Waktu Terus Berlalu, Sudahkah Transisi Energi Indonesia Bergerak Maju?

Perjalanan transisi energi Indonesia memasuki masa-masa kritis mengingat waktu yang ada semakin pendek. Target terdekat Indonesia adalah untuk mencapai 23% bauran energi terbarukan pada tahun 2025. Sementara, kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dikomitmenkan pada KTT G20 2022  menargetkan 34% energi terbarukan pada tahun 2030.

Dalam rentang waktu yang semakin pendek ini, progres transisi energi di Indonesia sayangnya masih tersendat. Kerangka kesiapan untuk bertransisi (Transition Readiness Framework) yang dikembangkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) sejak tahun 2020 mencatat di tahun 2022 tidak ada perkembangan signifikan dari berbagai sektor transisi energi di Indonesia. Komitmen politik dan kebijakan bertransisi energi, serta iklim investasi untuk pembangkit energi terbarukan termasuk dalam kategori rendah. Hal ini dapat diartikan sebagai tantangan dalam pengembangan energi terbarukan sekaligus faktor yang perlu diperhatikan agar Indonesia tidak  gagal mencapai target-targetnya.

Tidak dipungkiri terdapat peningkatan kapasitas terpasang energi terbarukan tiap tahunnya. Namun penambahan kapasitas ini tidak cukup cepat untuk memenuhi target-target kapasitas energi terbarukan Indonesia dalam upaya membatasi kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius. 

Mengapa penting bagi Indonesia mencapai target-target energi terbarukannya? Indonesia masuk dalam sepuluh besar negara penghasil emisi terbesar di dunia. Maka, Indonesia memiliki tanggungjawab untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya secara signifikan. Emisi Indonesia didominasi oleh dua sektor yaitu alih guna lahan dan sektor energi.

Dari sektor energi, emisi dapat dikurangi secara drastis dengan berfokus pada sektor ketenagalistrikan dengan menambah porsi pembangkit energi terbarukan, dan beralih pada sistem elektrik (elektrifikasi) bagi kendaraan dan industri.  

Indonesia Energy Transition Outlook 2023 melihat terdapat kesempatan untuk menambah kapasitas energi terbarukan pada tahun 2023. Adanya bantuan internasional untuk mengurangi emisi khususnya dari sektor energi harus menjadi katalis untuk penambahan kapasitas energi terbarukan sekaligus sarana pembuatan portofolio untuk menarik lebih banyak investasi untuk energi terbarukan. Untuk mencapai status bebas emisi pada tahun 2050, Indonesia membutuhkan 25-30 juta dolar Amerika per tahun untuk bertransisi.

Perubahan sistematis untuk memperbaiki iklim investasi diperlukan. Setidaknya terdapat tiga poin yang perlu diperbaiki menurut pengembang energi terbarukan yaitu perlu adanya FiT (Fit in Tariff), insentif fiskal, dan pinjaman berbunga rendah.

PR Panjang Transisi Energi Pemerintah Indonesia

Jakarta, 12 Januari 2023 – Transisi energi, secara definisi, adalah upaya perubahan suplai energi dari yang sebelumnya bergantung pada batubara ke energi yang lebih bersih. Upaya inilah yang terus didorong pemerintah Indonesia untuk menuju negara yang mandiri dan tahan energi. Namun, sebelum meraih hal tersebut, masih banyak tugas yang harus dipenuhi pemerintah Indonesia.

Handriyanti Diah Puspitarini, Manajer Riset Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara Ruang Publik KBR: Transisi Energi di Indonesia, Sampai di Mana? yang diselenggarakan oleh Berita KBR (10/01) menjelaskan bahwa kajian IESR mengenai transisi energi memantau kesiapan publik lewat survei, dan kesiapan pemerintah lewat riset.

“Kesiapan publik (bottom up) sudah mendukung pengadaan energi yang lebih bersih, namun berdasarkan kerangka kesiapan transisi yang dikaji dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2023, pemerintah (top down) masih punya banyak hal yang harus ditingkatkan, terutama dari segi komitmen dan regulasi,” ungkap Handriyanti.

Sementara dalam kesempatan yang sama, Raden Raditya Yudha Wiranegara, Peneliti Senior IESR menyatakan bahwa dari sisi bahan bakar fosil, pemerintah masih belum memperhatikan emisi karbon yang dihasilkan oleh industri pertambangan, minyak, dan gas. 

“Pemerintah masih memantau emisi karbon dioksida (CO2) saja, dibandingkan metana yang memerangkap panas 29-30x lebih besar. Padahal, apabila terjadi pengurangan akan gas metana sebesar 30% saja, akan membantu mengurangi kenaikan suhu sebesar 0,5°C,” tegas Raditya.

Handriyanti dan Raditya kemudian membahas mengenai tren adopsi kendaraan listrik yang meningkat. Harganya yang masih tinggi kemudian memunculkan usulan pemerintah untuk subsidi kendaraan ini, yang diharapkan akan mendorong permintaan publik dan menurunkan harga kendaraan listrik pada akhirnya. 

Namun menurut mereka,  terdapat beberapa titik resistensi masyarakat mengenai transisi energi dan penggunaan kendaraan listrik ini. Pertama adalah paradigma bahwa bahan bakar fosil lebih hemat dibandingkan energi terbarukan. Padahal, harga tersebut merupakan hasil dari intervensi pemerintah berupa price capping, subsidi, dan kompensasi. Dampaknya, ketika harga minyak dunia tinggi, tentu ini akan membebani APBN. Kedua, adanya range anxiety yang artinya ketakutan akan kurangnya daya kendaraan listrik dalam melakukan perjalanan jauh. 

“Pemerintah kemudian harus menyiasati ini dengan memperbanyak stasiun pengisian daya di titik-titik perjalanan jauh seperti di pemberhentian tol,” ungkap Raditya.

Handriyanti dan Raditya membagi pembahasan kemajuan dan tugas pemerintah dalam soal transisi energi dari sisi tekno ekonomi, regulasi, dan pendanaan. Mereka menyampaikan bahwa harga teknologi energi terbarukan semakin terjangkau tiap tahunnya, misalnya seperti harga modul surya 70% lebih murah dibandingkan 7-10 tahun lalu dan diprediksi dapat lebih menurun lagi. Regulasi yang baik seperti Perpres 112/2021 yang menetapkan menteri untuk membuat peta jalan pemensiunan PLTU perlu didukung. Namun, regulasi ini masih harus dipantau pelaksanaannya dan diperbaiki, terutama mengingat pendanaan batubara dan fosil 10 kali lebih besar dibandingkan pendanaan energi terbarukan. 

“Keberadaan forum-forum internasional seperti G20 telah mendorong Indonesia untuk membuat komitmen menuju transisi energi dan menarik pembiayaan untuk upaya terkait. Diharapkan, pembiayaan ini bisa membantu Indonesia mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025,” pungkas keduanya.

Jalan Panjang Perubahan Kebijakan Energi Indonesia

Jakarta, 20 Desember 2022 – Perkembangan energi terbarukan di Indonesia masih sangat lambat. Energi surya misalnya, data kementerian ESDM mencatat bahwa potensi energi surya di Indonesia mencapai 3300 GW. Namun pemanfaatannya masih kurang dari 1% dari besarnya potensi yang ada. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sekaligus Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dalam acara Inspirational Talks: Energi Terbarukan, Masa Depan Kita yang diselenggarakan oleh RESD dan Program Mentari (20/12) mengatakan terdapat sejumlah faktor yang saat ini menghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

“Mengurangi porsi energi fosil itu tidak mudah sebab sudah ada persepsi bahwa energi fosil lebih reliable dan energi terbarukan seperti surya dan angin tidak selalu tersedia (intermittent). Hal ini menjadikan energi terbarukan bukan pilihan utama ketika membuat perencanaan,” kata Fabby.

Salah satu akibat dari kebijakan ini adalah minat lembaga keuangan untuk membiayai proyek-proyek energi terbarukan rendah. Maka perkembangan energi terbarukan pun sangat lambat saat ini. 

Hal yang perlu dilakukan adalah mengubah dokumen perencanaan dan kebijakan energi berdasarkan bukti atau kajian kredibel (evidence based).  IESR melalui kajian-kajian berbasis buktinya kemudian memberikan rekomendasi pada pembuat kebijakan untuk membuat atau mengubah kebijakan untuk bertransisi menuju sistem energi yang lebih bersih. 

Meski secara kajian dan penelitian telah terbukti bahwa sistem energi yang lebih bersih akan membawa keuntungan yang lebih banyak bagi pemerintah dan masyarakat namun proses perubahan kebijakan seringkali memakan waktu panjang. Untuk itulah kemampuan advokasi dan komunikasi yang mumpuni dibutuhkan untuk mengawal dan mendesak kebijakan energi yang lebih bersih.

Fabby menuturkan bahwa penting untuk memastikan akses energi yang merata, berkualitas, dan bersih di masyarakat sebab dengan memiliki akses pada listrik, orang atau komunitas akan lebih sejahtera. Saat memiliki akses pada listrik yang berkualitas orang cenderung akan memiliki tingkat kehidupan yang lebih baik sebab dia lebih memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan produktif. 

Dalam penutupnya, Fabby menegaskan bahwa energi terbarukan adalah masa depan sistem energi Indonesia bahkan dunia. Maka penting untuk mempersiapkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan masa depan terutama untuk calon angkatan kerja yang saat ini masih sekolah ataupun kuliah.

Aktivitasmu Menyumbang Pemanasan Global, Bagaimana Bisa?

Save the earth

Jakarta, 21 Desember 2022 – Terdapat 3.207 bencana alam di Indonesia terjadi sejak awal tahun 2022 sampai November 2022 lalu. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari jumlah tersebut, setidaknya 95 persennya merupakan bencana hidrometeorologi atau bencana akibat aktivitas cuaca, seperti banjir, tanah longsor dan cuaca ekstrem. Tak hanya itu, BNPB mencatat terdapat lebih dari 3.000 bencana terjadi sepanjang 2021, didominasi peristiwa hidrometeorologi, yang diperparah adanya fenomena La Nina (menurunnya suhu air laut di Samudra Pasifik). Bencana itu juga dipicu dampak perubahan iklim. 

Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menjelaskan, pemanasan global adalah naiknya panas suhu rata – rata permukaan bumi akibat meningkatnya kadar gas rumah kaca. Melansir laman resmi National Geographic,peningkatan suhu permukaan bumi tersebut dihasilkan oleh adanya radiasi sinar matahari menuju ke atmosfer bumi, lalu sebagian sinar ini berubah menjadi energi panas dalam bentuk sinar infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi. Sebagian sinar infra merah dipantulkan kembali ke atmosfer dan ditangkap oleh gas rumah kaca terutama berupa karbon dioksida, metana dan nitrogen oksida, yang menyebabkan suhu bumi meningkat.

Berdasarkan laporan terbaru United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), pemanasan global bisa sangat buruk pada 2100 jika perubahan iklim akibat tingginya emisi karbon bumi diabaikan.  Upaya penurunan emisi karbon global perlu dilakukan secara segera dan masif untuk mengatasinya. Terlebih Indonesia menduduki urutan kelima sebagai negara penghasil emisi karbon kumulatif terbanyak di dunia mencapai 102,562 GtCO2 pada tahun 2021 berdasarkan laporan Carbon Brief. Hal ini menunjukkan, Indonesia juga berperan terhadap perubahan lingkungan global.

Pemanasan global memberikan efek cukup berbahaya bagi makhluk hidup. Misalnya saja, pemanasan global membuat gletser mencair dan mengakibatkan daratan berubah menjadi laut karena volume air meningkat. Apabila pemanasan global terus berlangsung, bukan tak mungkin seluruh es di kutub akan mencair.  Studi yang dilakukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia memperkirakan bahwa setidaknya 115 pulau kecil di Indonesia berada di ambang tenggelam. Hal ini disebabkan oleh kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah. Organisasi penelitian dan advokasi Climate Central menghitung bahwa kenaikan permukaan laut setinggi satu meter akan membanjiri pantai utara pulau Jawa, salah satu pulau terpadat di dunia. Hal ini karena kemiringan dataran pantai yang rendah (antara 0 dan 20 derajat). Jika pemanasan global tak ditekan, manusia akan kesulitan mencari tempat tinggal apabila volume air terus meningkat.

Upaya mitigasi menjadi keniscayaan agar bumi ini tetap lestari. Langkah untuk memperlambat terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim di antaranya dengan meminimalkan aktivitas yang menyebabkan masalah tersebut. Untuk melakukan mitigasi, sebagai individu sebaiknya mengetahui aktivitas apa saja yang bisa berdampak terhadap pemanasan global. IESR meluncurkan Kalkulator Karbon Jejakkarbonku.id pada Agustus 2022 lalu. Kalkulator karbon Jejakkarbonku.id menyediakan penghitungan emisi dari 3 sektor seperti rumah tangga, makanan dan transportasi. Selain itu, IESR tetap mempertahankan fitur kompetisi untuk mendorong semangat menurunkan emisi lebih kuat. Peringkat tertinggi berarti emisi yang dihasilkan semakin kecil.

Apa itu Energi Surya dan Bagaimana Pengembangannya di Indonesia?

PLTS Atap

Jakarta, 19 Desember 2022 – Peranan energi menjadi penting untuk peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional. Untuk itu, pengelolaan energi meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, optimal, dan terpadu. Terlebih Indonesia telah berkomitmen sesuai Persetujuan Paris untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, dengan target sebesar 31,89% pada tahun 2030 dengan kemampuan sendiri dan target sebesar 43,2% dengan bantuan internasional. 

Berdasarkan studi Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang dikeluarkan oleh IESR, Indonesia mampu untuk mencapai target Persetujuan Paris netral karbon pada 2050. Dekade ini menjadi penting, karena Indonesia harus segera mencapai puncak emisi di sektor energi pada tahun 2030 dan mendorong bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan mencapai 45%.

Pembangunan sektor energi terbarukan menjadi aksi mitigasi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mendukung energi yang berkelanjutan. Untuk itu, Indonesia terus menggencarkan penggunaan energi terbarukan. Energi surya menjadi salah satu pilihan jenis energi terbarukan yang terus didorong penggunaannya di Indonesia. 

Melansir Modul Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Konversi Energi Surya dan Angin, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, energi surya adalah energi yang didapat dengan mengubah energi matahari melalui peralatan tertentu menjadi sumber daya dalam bentuk lain. Teknik pemanfaatan energi surya pertama kali ditemukan oleh peneliti asal Prancis, Edmund Becquerel pada tahun 1839. Meskipun letak matahari sekitar 149 juta kilometer dari bumi, namun pancaran sinarnya bisa digunakan menjadi sumber energi terbarukan. Sinar matahari tersebut dikonversikan menjadi energi listrik menggunakan teknologi fotovoltaik (photovoltaic/pv) yang terdapat di dalam panel surya.

Panel surya merupakan kumpulan sel surya yang ditata sedemikian rupa agar efektif dalam menyerap sinar matahari. Sedangkan yang bertugas menyerap sinar matahari adalah sel surya. Konversi energi surya menjadi listrik berawal saat sel surya menyerap cahaya, maka akan ada pergerakan antara elektron di sisi positif dan negatif. Adanya pergerakan ini menciptakan arus listrik sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi untuk alat elektronik. 

Berdasarkan laporan Indonesia Solar Energy Outlook 2023 yang dikeluarkan IESR, tenaga surya memainkan peran penting dalam dekarbonisasi mendalam di Indonesia pada tahun 2060 atau lebih cepat pada 2050, setidaknya 88% dari kapasitas daya terpasang akan berasal dari tenaga surya pada 2050. Sayangnya, penggunaan tenaga surya di Indonesia baru mencapai 0,2 GWp dari kapasitas terpasang dan hanya menghasilkan kurang dari 1% dari total pembangkit listrik pada akhir tahun 2021.

Namun demikian, kemajuan energi surya Indonesia terlihat dari turunnya harga listrik PLTS yang diperoleh melalui perjanjian pembelian tenaga listrik (power purchase agreement (PPA)) yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dengan pengembang listrik swasta. Harga PPA PLTS telah turun sekitar 78% dari US$0,25/kWh menjadi US$0,056/kWh antara rentang 2015 dan 2022. Untuk itu, IESR memprediksi setidaknya dengan bertambahnya proyek PLTS skala besar, turunnya harga modul surya, dan membaiknya iklim investasi, harga investasi PLTS per unit akan terus turun, mendekati trend harga di dunia. Selain itu, dari sisi perkembangan project pipeline untuk PLTS skala besar, saat ini terdapat delapan proyek dengan total kapasitas 585 MWp (telah dilelangkan).

Pilihan untuk PLTU di Tengah Pengembangan Energi Terbarukan

Transisi energi telah menjadi kebutuhan global sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Pembakaran energi fosil terbukti berkontribusi besar pada kenaikan emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan naiknya rata-rata suhu global. Bagi negara-negara yang sistem energinya banyak ditopang oleh energi fosil, hal ini memerlukan perhatian khusus, sebab mereka juga harus  mengambil langkah yang tepat di tengah  pilihan-pilihan yang tersedia untuk melakukan dekarbonisasi sistem energi yang berarti berujung pada pengakhiran masa operasional PLTU batubara.

Raditya Wiranegara, peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam webinar bertajuk “Financing Indonesia’s Coal Phase-Out: A Just and Accelerated Retirement Pathway to Net-Zero” Sabtu, 19 November 2022, menjelaskan dua skenario yang dapat diambil untuk PLTU batubara. Kedua skenario ini bertujuan untuk memberikan ruang yang lebih lega pada energi terbarukan supaya dapat masuk pada jaringan PLN.

Pilihan yang pertama adalah dengan mempensiunkan PLTU-PLTU yang sudah tua dan tidak lagi efektif dan efisien secara operasional. Untuk mengkaji pilihan ini, IESR bekerjasama dengan Center of Global Sustainability, University of Maryland, Amerika Serikat. 

“Hasil penelitian kami menunjukkan, terdapat 9,2 GW PLTU batubara yang dapat segera dipensiunkan mulai dari 2022-2030,” kata Raditya.

Dengan melakukan pensiun pada seluruh pembangkit batubara, dan membangun pembangkit berbasis energi terbarukan, Indonesia dapat mencapai status net zero emission pada tahun 2050 sesuai dengan Persetujuan Paris. 

Selain itu terdapat berbagai dampak sosial-ekonomi serta lingkungan yang dapat dihindari. Hingga tahun 2050 diperkirakan akan ada 168.000 kematian yang dapat dihindari dengan skenario pensiun seluruh PLTU.

Pilihan kedua yaitu dengan mengoperasikan PLTU secara fleksibel. Operasi PLTU fleksibel adalah pengubahan pola operasi PLTU dari yang awalnya beroperasi 24 jam dalam sehari untuk menopang beban dasar sistem ketenagalistrikan (baseload), menjadi hanya menopang beban puncak pada jam-jam tertentu saja (peak load).

“Pola operasi fleksibel ini memungkinkan penambahan pasokan energi terbarukan, terutama sumber energi yang bergantung pada kondisi tertentu seperti surya dan angin,” jelas Raditya.

Ditambahkan oleh Raditya, pola operasi fleksibel ini cocok untuk PLTU yang masih berusia muda seperti yang banyak terdapat di Indonesia. Dalam laporan studi “Flexible Thermal Power Plant: An Analysis of Operating Coal-fired Power Plant Flexibly to Enable the High-Level Variable Renewables in Indonesia’s Power System” dijelaskan bahwa secara teknis PLTU-PLTU yang berada di sistem Sumatra, Jawa-Bali, dan Sulawesi dapat dioperasikan secara fleksibel. Akan terdapat perbedaan level efisiensi, besaran emisi, serta biaya investasi yang dibutuhkan dari satu unit PLTU ke PLTU yang lain tergantung pada usia PLTU. PLTU yang berusia muda relatif membutuhkan biaya retrofit yang lebih rendah karena infrastrukturnya masih relatif kuat untuk mendukung pola operasional PLTU fleksibel.

Untuk itu, diperlukan perencanaan matang untuk mengoperasikan PLTU secara fleksibel maupun melakukan pensiun PLTU dan menambah kapasitas energi terbarukan dalam jaringan. Pemerintah melalui PLN juga dapat memasukkan pola operasi PLTU fleksibel dalam dokumen perencanaan penyediaan tenaga listrik untuk memberikan kepastian regulasi pada investor.

Paparan tentang operasi PLTU fleksibel dapat disaksikan melalui kanal berikut ini.

Menggenjot Aksi Iklim Ambisius dari Pelaku Ekonomi

Direktur Eksekutif IESR

Jakarta, 30 November 2022 – Pemerintah Indonesia perlu menunjukkan perhatian kuat terhadap upaya mitigasi iklim. Salah satu caranya yakni meningkatkan komitmen terhadap penurunan emisi gas rumah kaca secara signifikan. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memaparkan, kenaikan temperatur global yang lebih tinggi bisa menyebabkan krisis iklim yang semakin sulit untuk diatasi. Hal tersebut disampaikannya pada acara Astra Green Energy Summit 2022 dengan tema Aksi Nyata Perjalanan Transisi Energi Menuju Lingkungan Berkelanjutan.

“Sejak disepakati dokumen United Nations Framework on Climate Change Conference (UNFCCC) tahun 1992, kemudian diratifikasi sebagian besar oleh negara di dunia pada tahun 1994, maka seluruh negosiasi perubahan iklim diarahkan untuk mencegah kenaikan temperatur bumi,” tegas Fabby Tumiwa. 

Mengutip data Climate Action Tracker 2022, kata Fabby, kebijakan iklim Indonesia di sektor energi dinilai belum cukup untuk dapat menahan kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1,5°C sebagaimana disepakati pada KTT COP 26 di Glasgow pada 2021. Untuk itu, Fabby menilai emisi gas rumah kaca (GRK) global harus mencapai puncaknya pada tahun 2030 dan kemudian turun, apabila Indonesia ingin mencegah kenaikan temperatur di atas 2°C yang punya implikasi luas.

“Yang artinya, aksi ambisius diperlukan, khususnya untuk negara G20 yang berkontribusi besar menghasilkan emisi GRK. Penurunan emisi GRK juga harus dilakukan pelaku ekonomi, apabila hanya dilakukan pemerintah, saya kira akan sulit,” jelas Fabby Tumiwa. 

Menurut Fabby, proses dekarbonisasi perlu dilakukan secara komprehensif karena berkaitan dengan struktur pasokan energi Indonesia. Saat ini energi fosil masih menjadi penyumbang utama pembangkit listrik di Indonesia. Kenaikan konsumsi BBM juga cukup tinggi, ditandai dengan kenaikan jumlah kendaraan bermotor. 

“Sejak 10 tahun terakhir konsumsi BBM mulai disubtitusi sedikit dengan biofuel. Sampai dengan 2021 lalu, proporsi jumlah bahan bakar yang disubstitusi ke biofuel mencapai 14%. Untuk itu, penggunaan bahan bakar rendah karbon (low carbon fuel) perlu ditingkatkan sampai 40-60% di tahun 2040. Artinya, kita perlu mendorong penggunaan bahan bakar sintetik selain biofuel,” papar Fabby Tumiwa.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menuturkan, badan usaha diharapkan dapat terlibat dalam percepatan transisi energi, dengan meningkatkan kontribusi dalam melakukan akselerasi transisi energi. Misalnya saja penerapan efisiensi energi di seluruh rantai bisnis dan mengembangkan inovasi teknologi serta industri bersih. Badan usaha juga diharapkan melakukan mitigasi dampak dari transisi energi di sektor usaha dan supply chain

“Untuk mengatasi adanya kendala transisi energi dibutuhkan sinergi antara pemangku kepentingan, baik pemerintah, media, NGO serta swasta demi tercapainya emisi nol bersih,” papar Arifin. 

Memahami Keadilan Iklim dalam Aksi Iklim Global dan Penerapannya di Indonesia

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa

Keadilan iklim menjadi urgensi yang diperjuangkan antar generasi manusia. Terutama bagi mereka yang mempunyai misi membebaskan Indonesia dari ancaman krisis iklim dan krisis ekologi dalam tatanan politik yang demokratis yang berdasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL menekankan pentingnya untuk memahami keadilan iklim yang termuat dalam dokumen Persetujuan Paris 2015, Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), Laporan Penilaian Keenam (AR6), Kelompok Kerja 2 yang berjudul Dampak, Adaptasi dan Kerentanan. Torry memaparkan, laporan penilaian keenam (AR 6) telah memperluas perhatian pada ketidakmerataan terkait kerentanan, respon, kuasa, partisipasi dan keadilan iklim. 

“Di dalamnya juga menjelaskan adanya pandangan tentang masyarakat yang adil akan berhasil beradaptasi. Sebaliknya, adaptasi yang berhasil akan menghasilkan masyarakat yang adil,” tegas Torry dalam diskusi yang dilaksanakan Yayasan Madani, Walhi, Kemitraan, Pikul dan Institute for Essential Services Reform (IESR), pada Senin (3/10/2022).

Torry menuturkan, isu pembangunan berketahanan iklim perlu diperhatikan untuk memperkecil ketimpangan, mensinergikan adaptasi dan mitigasi serta memberikan manfaat bagi kelompok miskin dan rentan. Keadilan iklim menjadi prasyarat adaptasi efektif dan mencegah maladaptasi rekognisi, keadilan prosedural, keadilan distributif dan institusi yang kuat tetapi fleksibel. 

“Setidaknya ada empat hal yang harus dikerjakan yaitu rekognisi terhadap agensi yang mewakili kelompok rentan, perlu ada prosedur kelompok rentan bisa bersuara dan solusinya serta mendistribusikan keadilan,” ujar Torry. 

Torry memaparkan, keadilan distributif memiliki prinsip yaitu pihak yang lebih rentan itu harus mendapatkan keadilan lebih banyak. Untuk menerapkan keadilan iklim, setidaknya Indonesia harus memiliki institusi yang kuat dan fleksibel.  Sementara itu, Bivitri Susanti, Pendiri dan Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menekankan bahwa setiap pihak termasuk masyarakat memiliki peran penting dalam keadilan iklim, sehingga partisipasi akar rumput dan anak muda dalam diskusi menjadi hal penting dilakukan. 

“Tiga hal yang harus disoroti (untuk pelaksanaan keadilan iklim di Indonesia,red) yakni pembuatan keputusan politik, peradilan, dan masyarakat sipil. Kita perlu melibatkan lebih banyak masyarakat sipil agar mereka juga bisa memahami konteks perubahan iklim,” ucap Bivitri. 

Diskusi Keadilan Iklim
Diskusi keadilan iklim dilaksanakan oleh Yayasan Madani, Walhi, Kemitraan, Pikul dan Institute for Essential Services Reform (IESR), di Jakarta, pada Senin (3/10/2022)

Perubahan iklim akan membawa dampak buruk yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pesisir. Menurut  Parid Ridwanuddin Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Walhi sebanyak 199 kabupaten/kota pesisir di Indonesia akan terkena banjir rob tahunan pada 2050, sekitar 118.000 hektar wilayah akan terendam air laut, 23 juta warga terdampak dan kerugian diperkirakan mencapai Rp1.576 triliun. 

“Kita juga perlu menyadari dalam satu tahun nelayan hanya bisa melaut selama 6 bulan. Setiap tahun rata-rata 100 nelayan hilang/meninggal di laut akibat melaut pada saat cuaca buruk,” terang Parid. 

Perubahan iklim, lanjut Parid, berdampak pula terhadap peningkatan suhu yang membuat ikan berpindah dari wilayah tropis. Dengan demikian, kondisi ini bisa mengurangi pendapatan nelayan tradisional.  Berkaca dari berbagai perubahan iklim dan peran masyarakat, Parid menekankan, pentingnya RUU Perubahan Iklim sebagai satu cara untuk mendorong keadilan iklim di Indonesia.

“RUU ini harus menjadi prioritas Gerakan masyarakat sipil di Indonesia, dan mengajak jejaring internasional,” tegas Parid. 

 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa di diskusi keadilan iklim pada Senin (3/10/2022).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memaparkan, dampak dari memburuknya iklim kian terasa saat ini.  Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI)-BNPB periode 2005-2017, kejadian bencana di Indonesia memang lebih banyak terkait hidrometeorologi. Pada tahun 2016, kejadian bencana hidrometeorologi sekitar 2.287 kejadian, sedangkan bencana geologi sebanyak 26 kejadian. Pada tahun 2017, ada 2.139 kejadian bencana hidrometeorologi dan 18 kejadian bencana geologi. 

“Ini menjadi konteks penting, siapa yang membayar dampak dari kejadian tersebut? Hal ini juga berkaitan dengan reformasi keadilan pajak. Misalnya pihak yang memproduksi emisi lebih besar seharusnya dikenakan biaya yang lebih karena krisis iklim,” tegas Fabby. 

Suara Pemuda untuk Transisi Energi

Transisi energi menjadi kata yang semakin populer pada tahun 2022. Hal ini merupakan suatu pertanda baik untuk menyebarkan isu transisi energi pada semakin banyak orang. Saat ini kita hidup di masa yang membutuhkan aksi cepat untuk penanganan krisis iklim yang sudah terjadi di depan mata. Transisi energi merupakan suatu solusi sistematik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang menjadi penyebab kenaikan suhu bumi sehingga menyebabkan krisis iklim.

Berbagai kelompok ilmuwan seperti Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah memperingatkan bahwa waktu kita untuk menahan laju kenaikan suhu bumi semakin sempit. Saat ini suhu bumi telah naik 1,1 derajat celcius dari masa pra-industri, dan seluruh dunia sedang berupaya untuk menahan laju kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat.

Untuk mencapai tujuan tersebut, hingga tahun 2030 kita harus memangkas 45% emisi GRK global. Sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia, Indonesia mendapat tuntutan untuk mengurangi emisi terutama sektor energi dan penggunaan lahan.

Dari sektor energi, untuk menekan emisi GRK dan selaras dengan tujuan 1,5 derajat, Indonesia harus mempensiunkan 9,2 GW PLTU hingga 2030 dan secara bertahap memensiunkan seluruh kapasitas PLTU pada 2045. Penurunan jumlah kapasitas PLTU ini juga harus dibarengi dengan peningkatan pembangkit energi terbarukan secara masif serta peningkatan kualitas jaringan transmisi dan distribusi. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam forum Muda Bersuara yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) menyatakan bahwa jika Indonesia tetap mengembangkan energi fosil maka emisi dari sektor energi akan terus meningkat.

“Jika kita terus mengembangkan energi fosil, emisi kita akan naik hingga 3 kali lipat. Untuk menghindari hal itu maka PLTU harus dihentikan dan energi terbarukan harus terus ditambah,” jelas Fabby.

Kuki Soejachmoen, Co-Founder dan Executive Director Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) menyoroti tentang kebijakan transisi energi yang belum harmoni di berbagai level.

“Ada beberapa kebijakan yang tidak saling mendukung. Contohnya, di forum internasional kita komitmen mau transisi, tapi kebijakan pendukung dan enabling environment-nya tidak ada. Jadi komitmennya tidak bisa dijalankan,” jelas Kuki.

Kuki juga menambahkan bahwa Indonesia sedang dalam masa pembangunan yang berarti permintaan akan energi diprediksi akan terus naik, jika pembangunan energi masih berbasis bahan bakar fosil tentu hal ini akan membuat emisi Indonesia terus naik.

Melissa Kowara, aktivis Extinction Rebellion Indonesia, menilai bahwa, meskipun terminologi transisi energi sudah semakin populer digunakan, namun secara kebijakan masih belum terlihat.

“Walaupun pemerintah Indonesia dan negara-negara di dunia sudah menjadikan transisi energi sebagai isu prioritas namun dalam pelaksanaannya masih belum mewujudkan transisi energi bahkan beberapa cenderung ‘salah arah’ seperti adanya rencana penggunaan CCS/CCUS untuk PLTU,” tutur Melissa.

Menanggapi hal ini Fabby Tumiwa mengatakan memang dibutuhkan dorongan publik supaya terjadi reformasi kebijakan untuk transisi energi. 

“Saat ini ada beberapa perubahan kebijakan, yang jika dilaksanakan dengan baik dapat membantu kita menjalankan transisi energi. Di sini salah satu peran publik dapat menjadi pengawas bagaimana pemerintah melaksanakan aturan-aturan tersebut dan ikut mengingatkan saat ada kelalaian,” pungkas Fabby.