Bermain Pintu Belakang di Solusi Pengurangan Emisi

Fabby Tumiwa dalam Konferensi Pers Climate Action Tracker

Jakarta, 6 Desember 2023 – Climate Action Tracker (CAT) kembali merilis laporan terbaru terkait ambisi dan aksi iklim 42 negara, termasuk Uni Eropa. Hasil penilaian CAT menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan sejak tahun lalu terhadap upaya penurunan suhu global. 

CAT memodelkan empat skenario peningkatan temperatur bumi berdasarkan kebijakan dan aksi saat ini, target penurunan emisi pada 2030, target net zero emission (NZE) dan skenario optimis. Keempat skenario tersebut berujung pada naiknya suhu bumi, sekitar 1,8℃ hingga 2,7℃ pada tahun 2100.

Bill Hare, CEO Climate Analytics mengatakan bahkan berdasarkan inventarisasi global atau global stocktake, dunia sudah keluar dari jalur untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5℃.

“Seharusnya emisi gas rumah kaca sudah menurun sekarang dan seharusnya menurun dengan cepat, tetapi justru terus meningkat. Isu utama dalam COP ini dan global stocktake adalah untuk mencapai kesimpulan tentang penghentian penggunaan bahan bakar fosil. Tanpa kesepakatan tersebut, saya ragu akan ada peningkatan terhadap upaya membatasi suhu bumi,” ungkap Bill Hare pada konferensi pers CAT di Dubai (5/12).

Senada, Claire Stockwell, Senior Climate Policy Analyst, Climate Analytics berpendapat, target penurunan emisi negara-negara pada 2030 justru sangat lemah.

“Kami memproyeksikan bahwa negara-negara yang kami analisis akan dengan sangat mudah memenuhi target tersebut dengan kebijakan yang ada saat ini, termasuk Indonesia,” tutur Claire.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan turunnya peringkat indonesia menjadi sangat tidak memadai dalam hal kebijakan dan aksi iklim, disebabkan oleh peningkatan emisi Indonesia lebih dari 21% dibandingkan tahun lalu. Fabby menjelaskan naiknya emisi ini diakibatkan pembangunan PLTU baru dan pengoperasian PLTU yang sempat terjeda akibat Covid-19.

“Pemerintah Indonesia sebenarnya telah membuat beberapa kebijakan, misalnya, tahun lalu mengeluarkan peraturan presiden yang tidak mengizinkan penambahan pembangkit listrik tenaga batubara baru untuk perusahaan listrik, tetapi masih mengizinkan pembangunan PLTU captive dengan beberapa syarat. Jadi kami pikir peraturan-peraturan ini akan memiliki dampak, tetapi tidak sekarang, tetapi mungkin dalam waktu dekat,” kata Fabby.

Niklas Höhne, Ahli di New Climate Institute mengutarakan upaya pengurangan emisi yang tidak signifikan ini terjadi karena banyak negara mengusulkan pintu belakang untuk melanggengkan penggunaan energi fosil. Ia mencontohkan beberapa terminologi yang mencerminkan solusi pintu belakang, seperti unabated tenaga fosil atau tenaga fosil tanpa teknologi CCS/CCUS, mengalihkan fokus pada hanya emisi energi fosil, dan penurunan penggunaan namun tidak menghilangkan (phasing down) energi fosil. Sementara menurutnya, berdasarkan Persetujuan Paris, negara-negara telah bersepakat untuk menyeimbangkan emisi dan sumber, dan hal ini hanya bisa terjadi jika seluruh energi fosil diakhiri pengoperasiannya.

“Jika kita terus bertahan pada sesuatu yang tidak jelas, seperti istilah unabated, mengalihkan fokus pada emisinya saja, dan phasing down, maka hanya jadi langkah mundur dalam pengurangan emisi,” imbuhnya.

Lebih jauh, ia juga menyoroti solusi-solusi teknologi yang juga bertujuan memperpanjang umur energi fosil, seperti hidrogen hijau dan menggunakannya dalam boiler gas, atau menggunakan listrik ramah lingkungan untuk menghasilkan amonia dan menggunakannya di pembangkit listrik tenaga batubara. Menurutnya pilihan teknologi tersebut  merupakan solusi yang salah, tidak efisien dan mahal.  

Tiga Prinsip Keadilan dalam Transformasi Energi di Indonesia

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan dalam Sustainability Media Academy pada Kamis (30/11).

Jakarta, 30 November 2023 – Indonesia, seperti banyak negara lain di dunia, berada di persimpangan yang krusial dalam menghadapi krisis iklim. Sebagai sebuah negara dengan sumber daya energi yang kaya, langkah menuju energi terbarukan telah menjadi keharusan, namun tak boleh terlepas dari prinsip keadilan. Transisi energi bukanlah semata soal perubahan sumber daya, tetapi juga tentang dampak sosial, ekonomi, dan keadilan bagi masyarakat yang terdampak. Di Indonesia, transisi ini bukan sekadar langkah teknis, melainkan juga kewajiban moral untuk memastikan bahwa setiap individu mendapatkan hak yang sama dalam perubahan ini.

“Kita perlu melihat tiga prinsip untuk mewujudkan prinsip keadilan dalam transisi energi. Pertama, keadilan di tingkat lokal, di mana kita perlu mengamati lebih dekat pihak mana saja yang mendapatkan manfaat langsung serta yang terdampak dari transisi energi di tingkat lokal. Misalnya, apakah masyarakat di sekitar pertambangan juga mendapatkan manfaatnya atau tidak,” ujar Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan dalam Sustainability Media Academy pada Kamis (30/11). 

Lebih lanjut,  Marlistya Citraningrum menjelaskan prinsip lainnya yakni keadilan dari perspektif kewenangan. Artinya, masyarakat perlu melihat bagaimana otoritas pemerintahan setempat dalam mengelola transisi. Hal ini berkaitan dengan kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan untuk memastikan keadilan bagi semua pihak. Ketiga, keadilan dalam jangka panjang. Artinya, bagaimana masyarakat termasuk individu berperan dalam mengelola  masa depan setelah berakhirnya industri penambangan, dimana kesejahteraan masyarakat perlu diperhatikan dan perekonomian juga harus tetap berjalan.

Selain itu, akses energi yang terjangkau, berkelanjutan serta dapat diandalkan patut diperhatikan dalam proses transisi energi. Ketidakstabilan pasokan energi dapat menjadi hambatan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam transisi energi, perlu dibangun sistem energi yang dapat diandalkan. Hal ini melibatkan investasi dalam teknologi penyimpanan energi, jaringan distribusi yang handal, dan diversifikasi sumber daya energi. 

“Untuk itu, transisi energi yang sukses memerlukan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Program pendidikan dan pelibatan masyarakat dapat meningkatkan pemahaman tentang pentingnya akses energi yang terjangkau, berkelanjutan, dan dapat diandalkan. Dengan memberdayakan komunitas untuk mengambil peran aktif dalam perubahan ini, dampak positif dapat dirasakan di tingkat lokal,” kata Marlistya. 

Marlistya juga menekankan agar pemerintah melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas, misalnya, masyarakat adat, perempuan, pemuda, dan kelompok marginal lainnya, serta memastikan keterlibatan mereka dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Kesetaraan dan inklusi sosial menjadi penting untuk memastikan bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang ditinggalkan dan kelompok rentan memiliki akses yang adil terhadap peluang yang diciptakan dalam transisi berkeadilan.

“Selain mengedepankan kebijakan berbasis bukti, perlu pula empati, pelibatan dalam proses pengambilan keputusan serta penerapan prinsip energi berkeadilan melalui  pendekatan gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI),” papar Marlistya. 

Upaya Indonesia dalam Menghijaukan Industri Kimia

Jakarta, 21 November 2023 – Industri kimia dinilai termasuk salah satu industri yang banyak mengeluarkan emisi. Di Indonesia, berbagai industri, termasuk besi & baja, kertas, semen, dan tekstil saling berhubungan dengan industri kimia. Integrasi industri kimia di Indonesia, khususnya amonia, ke dalam industri pupuk berkontribusi terhadap posisi Indonesia sebagai produsen amonia terbesar kelima di dunia. Langkah-langkah proaktif yang dilakukan Indonesia untuk menghijaukan industri amonia akan berdampak signifikan terhadap lanskap amonia global.

Faricha Hidayati, koordinator proyek dekarbonisasi industri di Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam webinar bertajuk “Penghijauan Industri Kimia: Perspektif dan Wawasan Internasional” menyoroti jumlah emisi yang dilepaskan untuk setiap ton amonia yang diproduksi.

“Untuk setiap ton amonia yang dihasilkan, rata-rata emisi langsungnya adalah 2,4 ton CO2. Ini dua kali lebih tinggi dari baja mentah dan empat kali lipat dari semen,” kata Faricha.

Mengingat besarnya jumlah emisi, industri amonia menyumbang 2% dari penggunaan energi global. Oleh karena itu, dekarbonisasi industri amonia menjadi sangat penting. Lebih lanjut Faricha menjelaskan, IESR saat ini mengusulkan empat pilar untuk melakukan dekarbonisasi industri amonia di Indonesia yaitu efisiensi material, efisiensi energi, pengembangan amonia hijau, dan pemanfaatan CCS dalam prosesnya.

Faricha menambahkan, ada peluang untuk mendorong dekarbonisasi industri amonia di Indonesia karena para pelaku industrinya sudah sadar akan emisi dan mau mencari cara untuk membatasi emisinya.

“Peluang lainnya adalah potensi besar Indonesia dalam proyek hidrogen hijau, ditambah dengan variabel energi terbarukan hingga 3.686 GW,” ujarnya.

Setelah menilai status quo saat ini, IESR mendesak pemerintah untuk menetapkan target penurunan emisi yang jelas untuk sektor industri. Meskipun saat ini Indonesia telah memiliki visi besar untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat, namun masih belum ada target dan peta jalan yang jelas bagi sektor industri dalam berkontribusi terhadap tujuan NZE.

Penerapan langkah-langkah efisiensi energi di industri amonia dianggap sebagai upaya yang mudah untuk melakukan dekarbonisasi sektor industri. Pendekatan ini memerlukan investasi awal dan adopsi teknologi yang paling sedikit, sembari terus mendorong implementasi strategi jangka panjang.

Saksikan webinar “Penghijauan Industri Kimia: Perspektif dan Wawasan Internasional” di sini.

Cerita Energi Melalui Komedi

Jakarta, 16 November 2023 – Komunikasi yang efektif penting dilakukan untuk mengubah paradigma dan menyebarkan narasi transisi energi. Isu yang cukup kompleks dan lintas sektoral membuat komunikasi transisi energi menjadi menantang. Untuk itu perlu dicari bentuk-bentuk komunikasi alternatif sebagai pembuka jalan penyebaran narasi transisi energi ini. 

Program Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia melaksanakan pagelaran komedi tunggal (standup comedy) untuk mendorong narasi transisi energi dengan cara yang lebih informal dibalut dengan komedi. Acara yang bertajuk “Ngomongin Energi Pake Komedi” ini menampilkan lima komedian tunggal dengan berbagai latar belakang.

Dalam sesi pengenalan program, Manajer Proyek CASE, Agus Tampubolon menjelaskan bahwa inisiatif ini terinspirasi dari science slam seperti di Jerman. 

“Tujuannya supaya science itu dibedah dengan bahasa yang mudah dipahami dan dikaitkan dengan topik-topik sehari-hari,” kata Agus.

Hal ini senada dengan pandangan Rahmat Mardiana, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas, yaitu perlu upaya khusus untuk mendorong komunikasi isu transisi energi di Indonesia.

“Transisi (energi) ini hal yang cukup kompleks, di mana kita perlu mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Menjadi kompleks karena berhubungan erat dengan SDM dan ketersediaan finansial, sehingga perlu kegiatan yang komunikatif supaya pemahaman ini semakin menyebar luas,” kata Rahmat.

Deputi Sarana dan Prasarana, Kementerian PPN/ Bappenas, Ervan Maksum, menambahkan bahwa narasi transisi energi dan kebutuhan untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celcius mungkin sudah menjadi pemahaman bagi sebagian orang. Namun bagi kelompok tertentu diperlukan contoh peristiwa dan bahasa yang lebih mudah dipahami.

“Masyarakat bahkan mungkin pemerintah daerah membutuhkan topik relevan yang lebih konkret seperti durasi dan pola musim yang semakin kacau untuk memahami krisis iklim dan transisi energi ini. Maka kegiatan ini sangat baik karena meski mungkin saat tampil tidak membawakan materi transisi energi atau tidak lucu, minimal saat persiapan dia (komika-red) pasti membaca atau belajar tentang transisi energi sehingga proses pembelajaran tetap terjadi,” katanya.

Acara ini menampilkan Byan Yukadar (1st Runner Up Porseni Stand-Up Comedy Bappenas), Muhammad Fadhil (2nd Runner Up Porseni Stand-Up Comedy Bappenas), Irvan S. Kartawiria, (Wakil Rektor bidang Akademik, Swiss German University (SGU) Periode 2018-2022), Hery Sutanto (Dekan Fakultas Teknik dan Ilmu Hayati, Swiss German University (SGU) dan Pandji Pragiwaksono (CEO of COMIKA & Stand-up Comedian Indonesia).

Prinsip Keadilan dalam Pembiayaan Transisi Berkeadilan Indonesia

Johor Bahru, Malaysia, 16 November 2023 – Menjelang COP28 di Uni Emirat Arab, terdapat perhatian yang meningkat terhadap upaya pembiayaan iklim. Pembiayaan iklim menjadi fokus penting untuk mendukung transisi yang adil menuju ekonomi berkelanjutan yang rendah karbon.

Transformasi menuju ekonomi rendah karbon dan pembiayaan transisi berkeadilan (just transition) memerlukan kepemimpinan pemerintah. Pemerintah dapat menangkap peluang pendanaan transisi energi dengan memastikan berjalannya transisi energi berkeadilan dan akuntabilitasnya. Sebagai contoh, pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang didukung oleh negara-negara maju untuk mempercepat transisi energi. Aspek keadilan harus menjadi prioritas dalam setiap kesepakatan pendanaan transisi energi.

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau, Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan bahwa transisi energi tidak hanya sekedar menutup PLTU batubara dan mengganti ke pembangkit energi terbarukan. Namun, diperlukan perspektif yang lebih luas dari dampak yang akan ditimbulkan oleh transisi energi.

“Pendanaan transisi energi tidak melulu terbatas pada pembangunan infrastruktur, tetapi setiap aspek dari transisi berkeadilan juga harus dipertimbangkan. Transisi berkeadilan itu sendiri juga bukan hanya tentang tenaga kerja yang terdampak, tetapi juga mengenai masyarakat luas di sekitar wilayah pertambangan batu bara,” ungkap Wira dalam Asia-Pacific Climate Week 2023.

Selain itu, Wira juga menilai bahwa pendanaan JETP masih sangat minim dan belum cukup untuk memenuhi target yang telah ditetapkan. Sumber pendanaan ini masih didominasi oleh pendanaan yang berbentuk pinjaman (loans).

“IESR adalah bagian dari kelompok kerja teknis dengan Sekretariat JETP. Pendanaan JETP masih banyak berbentuk pinjaman, dan beberapa di antaranya bukan merupakan komitmen baru dari negara-negara donor. Hanya sekitar 1,62% yang kita terima berupa hibah (grants) untuk transisi yang adil. Masih ada kekurangan dana dan hal ini cukup ironis bagi saya. Bantuan perlu ditingkatkan daripada pinjaman,” tandasnya.

Pendanaan transisi energi seharusnya mencakup pendekatan komprehensif, termasuk pensiun dini PLTU batubara, penanganan wilayah penghasil batubara, peningkatan penggunaan energi terbarukan, dan pengelolaan transisi di lokasi pertambangan. Wira menganggap bahwa JETP masih kurang memiliki pendekatan yang komprehensif dan holistik.

“Pendanaan transisi energi juga sudah semestinya menjadi titik awal. Saat ini, Indonesia sedang dalam proses implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), menggunakan komitmen domestik dan berupaya untuk menyelaraskannya dengan JETP dan Energy Transition Mechanism (ETM). Pemerintah Indonesia perlu menghadapi berbagai tantangan ada di tingkat domestik, nasional, dan internasional,” imbuh Wira.

Tiza Mafira, Direktur Climate Policy Initiative (CPI) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa perdebatan di beberapa lembaga keuangan mengenai pembiayaan transisi berkeadilan.

“Masalahnya adalah terdapat perdebatan di lembaga keuangan, apakah pembiayaan transisi berkeadilan merupakan bagian dari pembiayaan transisi energi? Ketika kita membicarakan bagian yang ‘adil’, kita berbicara tentang sejumlah proyek yang penting dalam transisi energi. Ini bukan hanya beberapa proyek, tetapi perubahan besar secara menyeluruh dalam ekonomi. Jika tidak dikelola dengan baik, ini akan berdampak pada skala yang besar,” jelas Tiza.

Inventarisasi Aksi Perubahan Iklim di Asia Tenggara

Johor Bahru, 15 November 2023 – Dalam mencapai agenda transisi energi global, berbagai pihak kawasan Asia Tenggara mengambil langkah-langkah aksi iklim termasuk aktor non-negara. Partisipasi penuh makna dari aktor non-negara sangat penting dalam mencermati kebijakan yang sedang berjalan dan memberikan masukan untuk perbaikan di masa depan.

Inventarisasi menjadi kegiatan penting untuk melihat kemajuan mitigasi dan komitmen iklim saat ini. Hasil penilaian tersebut kemudian dapat digunakan untuk merancang rekomendasi kebijakan yang kuat. Aktor non-negara dapat memperkaya nuansa inventarisasi global dengan menyelaraskan aksi iklim dengan kepentingan komunitas global.

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau di Institute for Essentials Services Reform (IESR) menyoroti hal-hal penting yang dapat diambil dari survei global pertama pada Asia Pacific Climate Week 2023 dalam sesi “Integrating the role of NSAs focused on the thematic areas–Adaptation, Finance, and Mitigation”. Ketidakseimbangan pertumbuhan emisi global dibandingkan dengan rencana mitigasi iklim membuat kebutuhan untuk bertransformasi secara sistematis menguat.

“Kita memerlukan ambisi iklim yang lebih besar yang diikuti dengan tindakan dan dukungan pada aksi mitigasi iklim di kawasan (Asia Tenggara-red),” katanya.

Wira menambahkan bahwa untuk mencapai emisi net-zero memerlukan transformasi sistematis di semua sektor, dan kita perlu memanfaatkan setiap peluang untuk mencapai output yang lebih tinggi. Sektor bisnis dan komersial merupakan aktor penting dalam mempercepat transisi energi karena mereka mengonsumsi energi dalam jumlah besar. Selain itu, beberapa industri (terutama yang terlibat dalam rantai pasok berskala multinasional), mempunyai kewajiban untuk menghijaukan proses bisnisnya.

“Apa yang dapat dilakukan pemerintah bagi dunia usaha (untuk mendekarbonisasi proses bisnis mereka) adalah menyediakan lingkungan yang mendukung jika mereka ingin beralih ke proses bisnis yang lebih berkelanjutan. Misalnya, pemerintah dapat memberikan insentif dan disinsentif berdasarkan pilihan sumber energi yang digunakan untuk menggerakkan dunia usaha,” tutup Wira.

Jingjing Gao, dari UNEP Copenhagen Climate Centre, menambahkan bahwa inisiatif yang dipimpin oleh sektor swasta patut diperhatikan dan diapresiasi. Namun saat ini, masih terdapat kesenjangan dalam penggabungan data secara keseluruhan dari sektor swasta.

Menanti Kepastian Regulasi untuk Adopsi Energi Surya

Fabby Tumiwa dalam konferensi pers Smart Transportation and Energy di Indonesia pada Kamis (9/11/2023)

Jakarta, 9 November 2023 – Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia sulit berkembang walaupun berpotensi mengakselerasi energi terbarukan dalam bauran energi primer. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa menjelaskan, Indonesia memiliki potensi terbesar dalam energi surya. Mengacu studi IESR, tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3000-20.000 GWp berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan. Meski demikian, terdapat beberapa tantangan untuk perkembangan energi surya di Indonesia, seperti implementasi regulasi tentang PLTS. Berdasarkan data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, realisasi kapasitas terpasang PLTS pada 2022 ialah 271,6 MW atau jauh di bawah rencana 893,3 MW. 

“Adanya kebijakan membatasi pemanfaatan PLTS sekitar 10-15 persen dari kapasitas membuat keekonomian PLTS menjadi rendah dan tidak menarik. Sepanjang 2021-2022, kondisi PLTS atap khususnya mengalami stagnasi. Tetapi, sejak awal tahun ini sudah ada upaya untuk merevisi peraturan tersebut untuk mencegah ketidakpastian dan prosesnya cukup panjang, bahkan sudah dibahas di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) revisi tentang PLTS. Sayangnya, proses tersebut belum selesai dan masih memerlukan koordinasi lebih lanjut antar Kementerian/Lembaga,” ujar Fabby Tumiwa dalam konferensi pers Smart Transportation and Energy di Indonesia pada Kamis (9/11/2023). 

Fabby Tumiwa berharap agar kondisi ketidakpastian tersebut perlu segera diselesaikan dan memerlukan ketegasan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Terlebih, Indonesia baru saja meresmikan PLTS Terapung Cirata pada Kamis (9/11/2023) dengan kapasitas 192 MWp, menjadikan PLTS Terapung terbesar di Asia Tenggara. 

“Peresmian PLTS Terapung Cirata ini dapat dilihat sebagai komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi surya. Dalam pembangunan PLTS Terapung Cirata ini tak lepas dari teknologi dan inovasi yang canggih dari China. Mengingat, China merupakan produsen terbesar teknologi energi surya di dunia. Apabila dilihat dengan adanya rencananya Indonesia meningkatkan bauran energi terbarukan, kita mengantisipasi adanya permintaan PLTS yang cukup besar dalam beberapa tahun ke depan,” terang Fabby Tumiwa. 

Transformasi Energi Indonesia Menuju Nir Emisi

Fabby Tumiwa dalam acara Green Press Community 2023 pada Rabu (8/11/2023)

Jakarta, 8 November 2023 –  Krisis iklim global menjadi tantangan terbesar yang dihadapi manusia pada abad ke-21. Krisis iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca telah menyebabkan kenaikan suhu global yang signifikan, dengan dampak yang semakin terasa, seperti peningkatan suhu, cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, dan kerusakan ekosistem. Indonesia sebagai salah satu pihak yang menandatangani Persetujuan Paris telah berkomitmen  dalam pengurangan emisi.  Bahkan, Indonesia juga telah  menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (E-NDCs) dengan meningkatkan  target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Sebelumnya pada Updated NDC target penurunan emisi dengan upaya sendiri  (unconditional) 29% menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%. 

Berkaca dari ENDC terbaru Indonesia, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan target iklim Indonesia belum selaras (compatible) dengan ambisi Persetujuan Paris mempertahankan kenaikan suhu bumi pada level 1,5C, serta tidak mencerminkan urgensi menghindari perubahan iklim yang dampaknya kini melanda seluruh dunia.

“Berdasarkan asesmen yang dilakukan oleh Climate Action Tracker (CAT), target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia dinilai tidak memadai (highly insufficient), mengarah ke 2,4ºC. Agar bisa disebut compatible, emisi GRK Indonesia harus mencapai 850 MtCO2 di 2030 dan NZE di 2050 – 2060. Caranya, kita perlu melakukan penurunan emisi di sektor energi yang lebih ambisius lagi,” terang Fabby Tumiwa dalam acara Green Press Community 2023 pada Rabu (8/11/2023). 

Fabby menuturkan, akselerasi penggunaan energi terbarukan memainkan peran kunci dalam mengurangi emisi GRK.  Berdasarkan studi IESR berjudul Beyond 443 GW  Indonesia’s Infinite Renewable Energy Potentials, potensi teknis energi terbarukan di Indonesia mencapai hampir 8.000 GW, dengan energi surya memiliki potensi terbesar sekitar 6.700-7.700 GW. Namun demikian, transisi energi membutuhkan dukungan secara regulasi, tekno-ekonomi, investasi dan sosial. 

“Potensi besar tersebut apabila dimanfaatkan secara optimal akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan energi di Indonesia. IESR telah memproyeksikan kebutuhan kapasitas energi mencapai 1600 GW pada 2050.  Lebih lanjut, Indonesia bisa memenuhi kebutuhan listrik sebesar 1600 GW tersebut dari 100% energi terbarukan dan mencapai nir emisi pada 2050,” ujar Fabby Tumiwa. 

Transisi energi tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas energi terbarukan, tetapi juga menciptakan kesempatan baru dan transformasi energi yang berkeadilan dan inklusif. Terlebih, teknologi dekarbonisasi dan energi terbarukan telah semakin murah dan terjangkau. Untuk itu, Fabby mendorong agar pemerintah segera membuat perencanaan yang lebih ambisius untuk mencegah krisis iklim di Indonesia.

Pesan untuk Para Pemimpin Negara Jelang COP 28

Jakarta, 3 November 2023 – Pertemuan para Pihak untuk Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP 28) akan segera diselenggarakan di Dubai, Uni Arab Emirate. Salah satu agenda pertemuan tahunan ini adalah untuk melihat perkembangan aksi berbagai negara untuk menangani krisis iklim. Dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) hari Jumat 3 November 2023, Marlistya Citraningrum, Program Manajer Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa menyongsong pertemuan tahunan para pemimpin dunia ini, Pemerintah Indonesia baru saja merilis dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan) dan berencana untuk mengumumkan dokumen resmi ini pada COP 28.

“Dalam dokumen ini, secara esensi cukup mengecewakan karena meski menjanjikan proyek-proyek energi terbarukan, namun masih sangat fokus pada energi terbarukan berskala besar (base-load renewables) seperti hidro (PLTA) dan geotermal (PLTP). Energi terbarukan yang bersifat Variable Renewable Energy (VRE) seperti surya dan angin dianggap sebagai proyek berisiko tinggi,” jelas Citra.

Selain keberpihakan pada VRE yang kurang, Citra juga menyoroti rendahnya komitmen untuk pensiun dini PLTU batubara. Dalam dokumen CIPP yang saat ini sedang dalam proses konsultasi publik, negara-negara IPG hanya bersedia memfasilitasi pensiun dini PLTU sebesar 1,7 GW. Dalam draf dokumen tahun lalu, Amerika Serikat dan Jepang awalnya bersedia untuk membiayai 5GW pensiun dini PLTU batubara.

“Padahal untuk mencapai target net zero emission Indonesia butuh mempensiunkan sekitar 8 GW PLTU batubara,” tegas Citra.

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, menyetujui pentingnya kenaikan komitmen dan aksi iklim bukan semata-mata sebagai aksi iklim namun juga sebagai bagian dari pembangunan.

“Dalam draf RPJPN yang saat ini sedang digarap, kami menargetkan target pengurangan emisi kita naik ke 55,5% pada tahun 2030 dan 2045% pada tahun 2045 sebesar 80%. Hal ini menjadi keharusan untuk meningkatkan target dan ambisi iklimnya,” kata Medril.