Mempersiapkan Sumber Daya Manusia untuk Transisi Energi

Jakarta, Mei 2023 – Dunia bergerak ke ekonomi rendah karbon. Akibatnya, pasokan energi untuk perekonomian juga bergeser dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Tahun lalu, untuk pertama kalinya, investasi global dalam teknologi energi rendah karbon (termasuk teknologi produksi non-energi seperti transportasi listrik, panas yang dialiri listrik, dan material berkelanjutan) melampaui USD 1 triliun dan menyamai tingkat investasi bahan bakar fosil. Peningkatan investasi dalam teknologi rendah karbon menghasilkan peningkatan lapangan kerja di lapangan. Secara global, lapangan kerja dalam produksi energi terbarukan terus meningkat dari 7,3 juta pada tahun 2012 menjadi 12,7 juta pada tahun 2021.

Meski terlihat lebih lambat dari kecepatan global, Indonesia tidak terkecuali dalam tren ini. Khususnya selama setahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan komitmen transisi energi yang semakin baik. Presiden mengeluarkan peraturan yang menempatkan moratorium pembangkit listrik tenaga batu bara (dengan beberapa pengecualian) dan merombak peraturan penetapan harga yang tidak menarik yang menghambat investasi energi terbarukan sejak 2017. Dua bulan kemudian, tonggak penting dalam perjalanan transisi energi Indonesia diumumkan dalam bentuk Just Energy Transition Partnership (JETP) selama KTT G20 di Bali. Komitmen JETP tidak cukup untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C, tetapi komitmen ini jauh lebih ambisius daripada NDC. JETP berkomitmen untuk memobilisasi investasi senilai USD 20 miliar selama 3-5 tahun ke depan untuk mempercepat transisi energi di Indonesia.

Semua investasi yang dilakukan untuk transisi energi akan diterjemahkan menjadi kebutuhan sumber daya manusia. Hal ini terutama berlaku untuk investasi energi terbarukan yang umumnya lebih padat karya daripada industri fosil. IESR memperkirakan bahwa investasi untuk mencapai emisi net-zero pada tahun 2050 akan menghasilkan sekitar 800.000 pekerjaan baru pada tahun 2030 hanya di sektor ketenagalistrikan (tidak termasuk pekerjaan di kendaraan listrik, material berkelanjutan, dll.). Lapangan kerja akan meningkat menjadi 3,2 juta lapangan kerja pada tahun 2050. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan lapangan kerja saat ini di sektor ketenagalistrikan yang berjumlah 270.000.Namun, Indonesia tampaknya agak tidak siap menghadapi transisi angkatan kerja. Pemerintah tidak memiliki strategi yang jelas untuk mengembangkan kapasitas tenaga kerja yang dibutuhkan dan penelitian tentang energi terbarukan cenderung menurun. Instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas perencanaan tenaga kerja, seperti Kementerian Ketenagakerjaan, sejauh ini tidak disertakan dalam pembahasan transisi energi. Ketidaksiapan ini bahkan lebih krusial bagi ratusan ribu orang yang saat ini bekerja di industri pasokan bahan bakar fosil. Tidak semua dari mereka memiliki keterampilan yang dapat dialihkan yang dapat digunakan di sektor energi terbarukan, misalnya operator alat berat yang sebagian besar menyerap tenaga kerja di industri fosil. Suatu perangkat kebijakan yang lebih komprehensif dan koordinasi yang lebih baik di antara para pembuat kebijakan, terutama untuk melibatkan badan-badan yang bertanggung jawab atas pengembangan tenaga kerja, sangat diperlukan. Jika tidak, Indonesia mungkin kehilangan manfaat ekonomi (tenaga kerja) dari transisi energi.

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Foto milik Verhalenhuys di Unsplash

Memahami Konteks Transisi yang Adil di Daerah Penghasil Batubara

Jakarta, 10 Mei 2023 – Upaya global untuk beralih dari sumber daya listrik berbasis fosil akan mengarah pada peralihan dari batu bara. Transisi ini tidak hanya membawa perubahan drastis pada sektor hulu yaitu produksi batubara, tetapi juga mata pencaharian dan aktivitas ekonomi di daerah penghasil batubara.

Srestha Banerjee, direktur program Just Transition iForest India, selama webinar berjudul “The Just Transition Toolbox for Coal Regions — Knowledge needs in the South-East-Asian context” menekankan bahwa masalah transisi lebih merupakan masalah politik daripada masalah teknis.

“India telah menunjuk gugus tugas untuk merancang solusi yang berpusat pada manusia untuk transisi batubara. Selain menggali kebutuhan masyarakat melalui dialog dan diskusi, kita perlu contoh praktik transisi yang baik untuk meningkatkan kepercayaan diri masyarakat,” jelas Srestha.

Indonesia, negara eksportir batu bara terbesar, mengalami ketidakpastian transisi batu bara yang mendukung agenda transisi energi berkeadilan. Seiring melonjaknya harga batubara dunia tahun lalu, Indonesia menghadapi dilema antara mengurangi produksi batubara atau tetap menjalankan bisnis seperti biasa.

Marlistya Citraningrum, manajer program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform mengatakan, sejak tahun lalu pemerintah Indonesia mulai lebih mengandalkan energi terbarukan dalam perencanaan ketenagalistrikan PLN yaitu dokumen RUPTL, namun implementasinya masih menghadapi tantangan.

“Meninggalkan batu bara secara total dipandang sebagai pilihan yang jauh lebih sulit karena secara langsung akan berdampak pada situasi ekonomi dan pendapatan daerah,” katanya.

Citra, demikian ia biasa disapa, menambahkan bahwa pada tahap perencanaan, pemerintah perlu memahami konteks transisi dan dampaknya terhadap aspek sosial ekonomi. Mendengarkan secara aktif diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.

Chalie Charoenlarpnopparut, associate professor, Sirindhorn International Institute of Technology, Thammasat University Thailand sepakat bahwa dialog akan menjadi kunci untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan untuk mencapai target pengurangan emisi dan dampak sosial ekonomi dari meninggalkan batubara.

“Kita perlu memberi tahu masyarakat bahwa perubahan ini mutlak akan terjadi, dan kita perlu bersiap atau kita akan mengalami dampak negatif yang lebih besar dari transisi batubara,” kata Charlie.

Menyadari bahwa transisi energi dan transisi batubara khususnya merupakan masalah yang banyak bersifat teknis dan teknokratis, pengarusutamaan gender selama proses tersebut menjadi sangat penting. Chalie menambahkan, di Thailand, keterlibatan perempuan dalam masa transisi sudah mulai terlihat.

“Perempuan lebih memiliki sense of sustainability sehingga mereka lebih bersemangat untuk terlibat dalam suatu aksi. Sedangkan laki-laki lebih banyak terlibat dalam sisi penelitian dan akademik dalam transisi ini,” ujarnya.

Potensi Indonesia jadi Pemain Utama Kendaraan Listrik di ASEAN

Jakarta, 12 Mei 2023 – Pada Konferensi Tingkat Tinggi ke-42 yang diselenggarakan di Labuan Bajo, NTT,  ASEAN bertekad untuk membangun ekosistem kendaraan listrik. Di ASEAN sendiri, sudah terdapat negara-negara yang memiliki industri kendaraan listrik, seperti Thailand dan Indonesia. Indonesia memproduksi 1,2 juta kendaraan listrik per tahun, dan sudah mampu melakukan ekspor dan impor di pasar ASEAN. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk mendukung berkembangnya ekosistem kendaraan listrik, salah satunya adalah industri untuk menghasilkan komponen kendaraan listrik, terutama baterai yang harganya mencapai 40% dari harga kendaraan listrik. Menurutnya, membahas baterai artinya harus membahas mengenai industri critical mineral, seperti lithium, nikel, mangan, dan kobalt. Tidak semua negara di ASEAN memiliki critical mineral ini, sehingga Indonesia sebagai pemilik nikel dan kobalt berpotensi menjadi pusat jaringan pengembangan industri baterai. 

“Namun, negara lain seperti Thailand memiliki keuntungan strategis yang berbeda, yaitu iklim investasinya yang lebih mendukung akan perkembangan kendaraan listrik. Sehingga, tidak heran bahwa China lebih memilih untuk membangun pabrik di Thailand dibandingkan Indonesia,” terang Fabby.

Selain baterai, Fabby melihat potensi bahwa Indonesia dapat memasok mesin kendaraan listrik, dan material lain seperti baja. Baja seperti alloy diperlukan untuk rangka kendaraan listrik, yang Indonesia bisa pasok karena memiliki industri bijih besi. Secara domestik pula, industri otomotif Indonesia sudah lumayan menyerap tenaga kerja, sehingga diharapkan apabila kendaraan bahan bakar fosil sudah mulai ditinggalkan, Indonesia tidak akan menjadi pengimpor kendaraan listrik. Melihat situasi pasar Indonesia, Fabby beranggapan bahwa kendaraan tipe menengah (sekitar Rp 400-600 juta) akan paling cocok dan berpotensi di pasar Indonesia. 

“Selain itu, besar pula kemungkinan Indonesia memiliki peran dalam global supply chain kendaraan listrik, karena kita memiliki keuntungan strategis seperti sumber daya alam, sudah mengembangkan industri kendaraannya, dan industri menengahnya seperti sel baterai,” jelas Fabby.

Fabby juga berpendapat bahwa insentif yang kini perlu digelontorkan adalah untuk riset dan pengembangan dalam membuat baterai jenis baru. Ia menimbang bahwa nikel akan habis jika terus digali untuk baterai, dengan cadangannya tidak sampai 20 tahun, begitu pula dengan lithium. 

Lebih jauh Fabby menjelaskan bahwa strategi yang dapat dilakukan adalah upaya mencari baterai generasi baru yang memakai jenis metal yang banyak tersedia di Indonesia. Insentif juga diperlukan untuk industri hilir demi menstimulasi pasar kendaraan listrik di Indonesia hingga 2030. Sehingga, dengan meningkatnya pembelian kendaraan listrik, diharapkan Indonesia akan menarik investor yang dapat meningkatkan rantai pasok domestik. 

“Harapan kedepannya, kita memiliki rangkaian industri dari hulu ke hilir yang lengkap, terintegrasi tidak hanya dari produksi baterai, namun juga manufaktur kendaraan. Maka dari itu, stimulus perlu diberikan di sisi permintaan,” tutup Fabby.

Foto oleh dcbel di Unsplash

Waktunya Bercermin pada Diri Sendiri dan Target Iklim Kita

Jakarta, 11 Mei 2023 – Hari Bumi tahun ini cukup unik karena jatuh pada hari yang sama dengan Idul Fitri, hari raya Islam yang menandakan berakhirnya puasa pada bulan Ramadhan. Menurut agama, mereka yang berhasil menahan semua keinginan duniawi selama bulan suci ini akan dihapus semua dosanya di masa lalu. Walau konsumsi makanan menjadi lebih sedikit, sampah makanan di Indonesia secara kontra meningkat hampir 20% selama Ramadhan dibandingkan bulan-bulan lainnya, menurut pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam hal emisi gas rumah kaca (GRK), sampah makanan (food loss and waste, FLW) pada tahun 2000 – 2019 menyumbang 1.702,9 juta ton CO2 (MtCO2) atau 7,29% per tahun dari keseluruhan GRK di Indonesia, menurut laporan yang diterbitkan di 2021 oleh Bappenas. Selain itu, konsumsi listrik juga turut meningkat sebesar 5% menurut PLN, yang sebagian besar didorong oleh kegiatan industrial dan konsumsi listrik rumah tangga. Dengan hampir 70% dari kelistrikan Indonesia disuplai oleh PLTU, kenaikan tersebut tentunya akan meningkatkan emisi GRK, terutama karbon dioksida. Sayangnya, semua ini mengkontradiksi semangat Idul Fitri sendiri karena kita tidak sepenuhnya tersucikan, hanya karena aktivitas kita selama bulan suci menyumbang pada emisi GRK. 

Pertanyaannya, mengapa peduli pada emisi gas rumah kaca? 

Iklim bumi telah signifikan berubah dibandingkan keadaan sebelum era industrial. Menurut IPCC AR6 Synthesis Report, suhu global telah tercatat 1,09°C  lebih tinggi pada rentang waktu 2011 – 2020 dibandingkan 1850 – 1900. Angka ini menandakan bahwa panas yang tersimpan di dalam bumi telah melampaui kebutuhan iklim bumi agar cukup hangat untuk para penduduknya. Konsentrasi tinggi dari emisi GRK, termasuk karbon dioksida, metana, dan oksida nitrat dalam atmosfer telah dideteksi lebih tinggi dibandingkan zaman prehistoris, sekitar 800.000 – 2.000.000 tahun yang lalu, berdasarkan laporan di atas. Emisi GRK yang disebabkan manusia sudah pasti menyebabkan kenaikan emisi secara berkala, perlahan-lahan menyebabkan kejadian cuaca ekstrim.

Jadi, apa saja aktivitas manusia yang menyebabkan dampak signifikan pada iklim? Laporan tersebut menjelaskan lebih lanjut mengenai aktivitas manusia yang menghasilkan GRK dan kontribusinya pada emisi GRK global. 79% dari emisi GRK di 2019 berasal dari sektor energi, industri, dan bangunan, sementara sisanya datang dari agrikultur, kehutanan, dan penggunaan lahan (AFOLU). Sektor energi adalah kontributor besar dalam penghasilan karbon dioksida, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan proses industrial (CO2-FFI). Kondisi ini tidak mengejutkan, menimbang sebagian besar energi yang kita konsumsi masih bersumber dari bahan bakar fosil. Hal ini terutama benar bagi negara berkembang, di mana bahan bakar fossil dianggap lebih murah dibandingkan alternatifnya yang lebih bersih. Untuk negara – negara ini, terdapat keseimbangan yang harus dijaga antara mengurangi emisi GRK mereka dengan menjaga pertumbuhan ekonomi.

Apakah Indonesia Telah Cukup Berusaha dalam Komitmennya Terhadap Perubahan Iklim?

Baru tahun lalu, Indonesia menyerahkan NDC Ditingkatkan (Enhanced NDC, ENDC) pada UNFCCC untuk menunjukkan komitmen tetapnya terhadap isu perubahan iklim. Dalam dokumen tersebut, terdapat ambang batas yang sedikit dinaikkan. Indonesia berjanji akan mengurangi emisi GRKnya sebesar 31,2% (usaha sendiri) dan 43,2% (dengan bantuan internasional), bertalian dengan Business-as-Usual (BAU) pada 2030. Kendati tujuannya untuk memenuhi Keputusan 1/CMA.3 baris 29 dari Persetujuan Glasgow, target yang ditingkatkan tersebut masih kurang sejajar dengan target temperatur Persetujuan Paris. Sejajar dengan itu, Climate Action Tracker akhir-akhir ini telah menilai ENDC Indonesia sebagai Sangat Tidak Memadai. Untuk memenuhi target tersebut, CAT berargumen bahwa kebijakan yang ada sudah cukup, namun diperlukan target yang dapat dipenuhi. Analisis mereka menyarankan lebih lanjut bahwa sektor kelistrikan harusnya menurunkan emisi lebih signifikan untuk dapat sejajar dengan peta jalan 1.5°C.  Ini berarti mulai pemensiunan PLTU tanpa teknologi CCS/CCUS hingga tersisa 10% pada 2030, dan memensiunkan seluruhnya pada 2040. Peraturan Presiden 112/2022 seharusnya sudah menyediakan landasan hukum bagi para pemangku kepentingan untuk mengambil aksi yang diperlukan. Komitmen terpadu JETP yang memberikan Indonesia 20 miliar dolar yang diberikan oleh International Partners Group (IPG) harusnya dapat membantu mendorong transisi energi di Indonesia. Dalam pidato terakhirnya di acara Hannover Messe, Presiden Jokowi mengisyaratkan bahwa Indonesia akan memensiunkan seluruh armada batubaranya pada 2050.

Melalui momen Hari Bumi dan Idul Fitri, mari kita coba merefleksikan apakah kita telah berbuat cukup untuk mencegah krisis iklim makin memburuk. Apakah kita telah membersihkan diri kita sepenuhnya? Apakah gaya hidup kita sudah mencerminkan apa yang kita anjurkan selama ini?

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Photo by Asia Chang on Unsplash

Hari Bumi, Agenda Iklim dan Energi Indonesia Ke Depannya

Jakarta, 10 Mei 2023 – Perayaan Hari Bumi mengingatkan kita bahwa hanya ada satu bumi yang kita pijak, yang menyediakan banyak manfaat bagi manusia, sehingga wajib hukumnya bagi kita untuk melestarikannya bagi generasi ke depan. Untuk alasan tersebut, meningkatkan kesadaran akan isu lingkungan menjadi penting dan harus kita tempatkan sebagai agenda kebijakan utama, seperti isu polusi udara, pengelolaan sampah, degradasi hutan, dan tentunya perubahan iklim yang merupakan ancaman bagi keberadaan manusia dan dapat membawa kita ke arah bencana global (Hugell etc, 2022). 

Perubahan iklim telah menjadi isu signifikan karena dampaknya akan menyebabkan masalah baru bagi peradaban manusia, entah secara perlahan atau melalui kejadian yang ekstrim, yang akan menyebabkan kerugian dan kerusakan tidak hanya secara ekonomi – (pendapatan dan aset fisik) namun juga non ekonomi (individu, masyarakat, dan lingkungan) (Loss and Damage Online Guideline, UNFCCC.INT). Terlebih lagi, kenaikan suhu global di atas 2 derajat pada tahun 2100 akan berdampak pada manusia, flora fauna, dan ekosistem (Reuters, 2021), yang berarti semua negara akan beresiko terkena dampak perubahan iklim, dan diperlukan adanya ambisi kolektif untuk aksi iklim yang merefleksikan Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution, NDC) tiap negara sebagaimana ditetapkan oleh Persetujuan Paris (2015).

Dalam konteks Indonesia, berdasarkan Indeks Adaptasi Global Notre Dame (ND-GAIN, 2020) yang meringkaskan kerentanan sebuah negara akan perubahan iklim dengan kesiapannya untuk berubah, menempatkan Indonesia pada ranking 101. Ini menandakan Indonesia tengah berada di posisi rentan dan perlu mengubah struktur masyarakatnya lewat penguatan mitigasi dan aksi adaptasi untuk memungkinkan pembangunan yang tahan iklim. Dalam konteks kebijakan iklim, Indonesia telah memperbaharui NDCnya sejak proses Persetujuan Paris (2015), yaitu Intended NDC (2015), NDC Pertama (2016), NDC Diperbarui (Updated NDC, 2021), dan NDC Ditingkatkan (Enhanced NDC,2022). Walau telah diperbarui beberapa kali, kebijakan iklim Indonesia dianggap kurang ambisius. Pandangan ini sesuai dengan Climate Action Tracker (CAT) di mana nilai Indonesia akan kebijakan iklimnya masih sangat tidak memadai – yang artinya kebijakan dan komitmen iklim Indonesia tidak konsisten dengan ambang batas 1,5 derajat Persetujuan Paris dan justru menyebabkan kenaikan, bukan penurunan emisi.

Dalam kebijakan terbarunya, Indonesia telah menetapkan target penurunan emisinya pada 2030 sebanyak 31,89% (dengan usaha sendiri) dan 43,20% (dengan dukungan internasional dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya (NDC Diperbarui, 2021) – sebesar 29% (usaha sendiri dan 41% (dengan dukungan internasional). Berkaitan dengan sektor energi, Pemerintah Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi sebesar 12,5% (dengan usaha sendiri) dan 15,5% (dengan dukungan internasional). Pengurangan emisi dari sektor ini penting sebagai komponen penting dari pembangunan ekonomi nasional. Ini tidak hanya mencakup kelistrikan namun juga pendinginan, komersil, rumah tangga, transportasi, pemanasan, produksi, bangunan, dan memasak (SEforALL). Singkatnya, pengurangan emisi yang berhasil melalui transisi energi akan memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan iklim dan agenda ekonomi hijau.

Dari perspektif teknis dan ekonomis, menaikkan ambisi iklim Indonesia dan mencapai emisi Net Zero dalam sistem energi Indonesia pada 2050 dapat diraih melihat banyaknya potensi energi terbarukan dan sumber energi terbarukan lokal yang dapat digunakan di Indonesia, terutama energi surya yang dapat memenuhi kebutuhan energi di Indonesia (IESR, 2021). Secara detail, Kementrian ESDM telah mencatat potensi energi terbarukan Indonesia sebesar 3.686 GW, dengan pembagian tenaga surya (3.295), mikrohidro (95), bioenergi (57), turbin angin (115), geotermal (24), dan ombak (60) namun per Desember 2022, realisasinya hanya sebesar 12,56 GW. 

Untuk menyimpulkan, sesuai dengan penjelasan di atas, Indonesia memerlukan komitmen yang lebih ambisius untuk menangani perubahan iklim dan mempercepat transisi energinya, dengan mempertimbangkan ancaman eksistensial dan situasi krisis yang dihadapi. Target iklim baru yang lebih ambisius akan memberikan sinyal positif terhadap semua pemangku kepentingan bahwa Indonesia serius mengenai penanganan isu ini dan dapat mendorong pemangku kepentingan di masyarakat untuk bekerja secara kolektif untuk membuat Indonesia lebih hijau. Komitmen ini tidak hanya menguntungkan Indonesia sebagai negara namun juga berdampak pada usaha menyelamatkan bumi ini dari dampak perubahan iklim.

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Photo by Appolinary Kalashnikova on Unsplash

Mendefinisikan Adil dan Memastikan Komitmen JETP

Jakarta, 18 April 2023 – Mengatasi masalah perubahan iklim tidak hanya membutuhkan komitmen tetapi juga membutuhkan sumber daya yang sangat besar. Pembiayaan telah menjadi salah satu tantangan terbesar bagi negara-negara seperti Indonesia yang bergantung pada pembangkit batubara dan perlu mengubahnya menjadi pembangkit listrik berbasis terbarukan untuk mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Ini pasti membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.

Kelompok negara-negara maju berkomitmen untuk mendistribusikan dana ke beberapa negara untuk mempercepat transisi energi. Pendanaan itu disebut Just Energy Transition Partnership (JETP). Hingga April 2023, dua negara yaitu Afrika Selatan dan Indonesia menerima komitmen pendanaan.

Vietnam, salah satu negara Asia yang berkembang pesat dalam energi terbarukan beberapa tahun terakhir, sedang menjalin komunikasi intensif untuk menerima pendanaan JETP selanjutnya. Minh Ha Duong, ketua Dewan Anggota VIETSE, dalam webinar bertajuk “Between Vision and Reality: Navigating JETP in South Africa, Indonesia, and Vietnam” mengatakan bahwa JETP akan kembali menggeliatkan pengembangan energi terbarukan di Vietnam.

“Selama beberapa tahun, kami dapat mengatakan bahwa pengembangan energi terbarukan di Vietnam sedang booming hingga kami dapat memiliki beberapa gigawatt energi terbarukan, tetapi akhir-akhir ini terhenti. Dengan adanya pendanaan JETP ini akan memanaskan kembali pembangunan energi terbarukan,” ujarnya.

Afrika Selatan, yang menjadi negara pertama penerima JETP, mencatat poin-poin yang patut dipertimbangkan bagi negara lain dan anggota IPG dalam mereplikasi proyek di negara lain.

“Pembiayaan JETP bertindak sebagai katalis selama proses transisi energi. Tentu saja tidak cukup untuk menutupi seluruh dana yang dibutuhkan untuk mengubah sektor listrik dan dampak sosial dan ekonominya, tetapi itu masih dapat mempercepat transisi,” kata Tracy Ledger, pimpinan program transisi energi di Public Affairs Research Institute (PARI). Tracy juga menyoroti bahwa partisipasi publik selama negosiasi JETP sangat terbatas.

Mengamankan komitmen JETP sebesar USD 20 miliar selama pertemuan G20 November lalu, Indonesia telah membentuk sekretariat khusus untuk JETP di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Institute for Essential Services Reform (IESR), yang secara aktif terlibat dan meninjau sektor energi di Indonesia dan terus memberikan masukan kepada pembuat kebijakan tertentu, menunjukkan bahwa komitmen USD 20 miliar, tetapi pencairannya dapat bergantung pada banyak hal. Oleh karena itu Indonesia perlu menyiapkan ekosistem untuk menyambut pendanaan tersebut.

Pemerintah Indonesia setidaknya perlu menangani masalah-masalah berikut: ketersediaan proyek-proyek yang bankable, lelang pembangkit listrik energi terbarukan yang terjadwal, dan lingkungan yang memungkinkan bagi para pengembang untuk memulai proyek mereka di Indonesia.

“Kita juga perlu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘adil’ atau ‘just’ dalam konteks JETP. Konteks kami (IESR) yang dimaksud ‘adil’ melibatkan tenaga kerja dan transisi ekonomi terutama mereka yang berada di provinsi penghasil batubara,” jelas Fabby Tumiwa, direktur eksekutif IESR.

JETP Indonesia menangani target pengurangan emisi sebesar 290 juta ton CO2 dan campuran energi terbarukan sebesar 34% pada tahun 2030. Target ini memerlukan penghentian penggunaan batu bara sebagai prasyarat untuk mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Sebagai salah satu dampaknya, produksi batu bara akan turun drastis dan berdampak pada daerah penghasil batu bara seperti Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.

Kegiatan ekonomi lokal pasti akan bergeser karena provinsi-provinsi tersebut sangat bergantung pada produksi batubara untuk produk domestik brutonya. Kualitas akses energi yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain menjadi tantangan implementasi JETP di Indonesia.

“Target 34% energi terbarukan pada 2030 tidak cukup untuk mendekarbonisasi sistem energi Indonesia tetapi ini adalah awal yang baik untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan, apalagi USD 20 miliar. Namun, itu dapat membuka lebih banyak peluang untuk transisi energi,” kata Fabby.

Fabby menambahkan, pendirian industri energi terbarukan seperti manufaktur baterai dan panel surya menjadi salah satu kunci keberhasilan transisi energi.

Keterbatasan Pilihan Energi Bersih untuk Penduduk Terpencil

Konsumen dapat memilih sumber energi yang lebih bersih, namun bagaimana jika pilihan itu terbatas? Atau bahkan tidak ada sama sekali?

Komitmen pemerintah untuk mempromosikan energi terbarukan di Indonesia dapat ditelusuri sejak beberapa tahun lalu. Terlebih lagi, penandatanganan Persetujuan Paris pada 2015 untuk membatasi kenaikan temperatur global di batas 1,5℃ membuat pemerintah Indonesia lebih serius untuk bertransisi dari energi fosil ke energi bersih dengan memfokuskan pembangunan sektor listrik menggunakan energi terbarukan. Pada saat yang sama, penilaian Climate Action Tracker (CAT) pada 2 tahun sebelumnya menunjukkan bahwa kebijakan, komitmen, dan target penurunan emisi milik pemerintah Indonesia dinilai Sangat Tidak Memadai, atau bahkan mengarah ke kenaikan emisi.

Dengan celah yang cukup besar antara target 2025 dan hasil dari penilaian CAT Indonesia yang menunjukkan inkonsistensi dengan Persetujuan Paris, transisi energi harus terus didorong menuju pencapaian yang lebih tinggi, terutama karena celah yang cukup ‘besar’ ke arah bauran energi terbarukan 23%. Partisipasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang lebih ambisius kemudian diharapkan dapat memberi nafas baru ke dalam kebijakan energi bersih untuk masyarakat sebagai penerima jasa.

Transisi energi, dalam kenyataannya, dapat memberikan optimisme pada masyarakat Indonesia bahwa memang ada sumber energi yang lebih bersih dan lebih lestari untuk digunakan dibandingkan dengan energi fosil, energi dengan kualitas emisi rendah. Kemerataan akses energi untuk semua komunitas, terutama di area terpencil, adalah poin penting yang dijunjung dalam transisi energi.

Apakah Diesel Masih Menjadi Pilihan Baik?

Karena umumnya pemadaman listrik yang terjadi di area Pulau Adonara, Flores Timur, NTT, maka Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan generator diesel masih menjadi ‘teman baik’ dari masyarakat di sana, setidaknya selama 4 tahun terakhir. Pemadaman listrik yang terjadi 2-3 kali sehari dengan periode yang tak tentu membuat mereka dengan kemampuan ekonomi yang ‘lebih baik’ memprioritaskan memiliki generator pribadi. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak termasuk kalangan tersebut? Cahaya lilin kemudian menjadi penerangan utama di rumah mereka, atau mereka dapat menikmati akses listrik dari generator tetangga jika keadaan mengizinkan.

62 unit dari 85 total pembangkit listrik PLN yang tertera dalam RUPTL 2021-2030 menunjukkan banyaknya penggunaan PLTD di NTT sebagai solusi pengaliran energi dari pemerintah. PLTD kerap digunakan pemerintah untuk mengalirkan listrik ke daerah yang sulit dijangkau. Tentunya, beragamnya tipe energi terbarukan dapat membantu individu dalam memilih sumber energi yang lebih hijau, dalam skala kecil (PLTS atap, biomassa, dan mikro-hidro) ataupun skala besar (tenaga air, PLTS tanam, geotermal).

Terlebih lagi, ini dapat membantu kesulitan PLN dalam hal mobilitas pemasangan jaringan listrik di daerah terpencil karena sulitnya akses daerah, lokasi yang jauh dari jaringan listrik yang telah ada, dan infrastruktur jalanan yang belum mendukung.

Pembangunan Kapasitas dan Keberlanjutan

Jikalau kita hanya bergantung pada orang luar untuk pemeliharaan, terutama di daerah terpencil- yang telah menjadi masalah terberat PLN dalam menciptakan akses listrik- kemudahan akses dan pertumbuhan keberagaman sumber energi terbarukan akan terhambat. Tanpa mengesampingkan hak pemerintah untuk menyediakan listrik secara merata seperti tertera dalam ayat 2 paragraf (2) dari UU 30/2009 mengenai listrik, peran dari komunitas lokal amat besar dalam membantu keberlanjutan dari pembangunan energi terbarukan.

Pemerintah juga harus mendorong komunitas lokal untuk berpartisipasi dalam aspek teknis dari pembangunan energi terbarukan sehingga di masa depan, komunitas lokal sebagai konsumen akhir tidak hanya sebagai ‘penerima’ namun juga ‘ahli’, dengan potensi menjadi ‘pelopor’ yang mampu menciptakan energi secara mandiri.

Kesenjangan pengetahuan dalam komunitas lokal mengenai kendala teknis dapat diisi dengan pengembangan kapasitas dari pemerintah dan rekan ahli dengan waktu yang cukup, sehingga komunitas tersebut dapat mandiri atau dengan pengawasan minimal dari pusat, dibandingkan dengan hanya berlangsung satu periode dan tidak dilanjutkan.

Satu contoh dari pembangunan kapasitas komunitas lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah dan ahli adalah program Patriot Energi. Dalam kurang lebih setahun berjalannya program, kemandirian energi dapat ditingkatkan dalam basis komunitas. Dalam kurun waktu tertentu, kemungkinan daerah yang tidak mandiri energi sepenuhnya tentu masih ada. Namun, ekspektasi adanya komunitas lokal yang dapat menelusuri dan menggunakan energi terbarukan dengan ahli lokal berkemampuan teknis seharusnya bisa menyingkirkan keraguan di atas. Di masa depan, tentu amat mungkin bahwa teknologi energi terbarukan dapat dipelopori oleh desa terpencil di mana dahulu listrik dibangkitkan dengan energi yang tidak bersih.

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Energi Surya Mainkan Peran Penting dalam Transisi Energi Sistem Ketenagalistrikan

Alvin

Jakarta, 15 April 2023 – Strategi perencanaan yang matang diperlukan dalam mendorong penggunaan energi surya dalam sistem kelistrikan. Saat ini Indonesia telah memiliki  Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 dengan memperbesar porsi pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT). Target bauran EBT dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yakni sekitar 23% pada tahun 2025. Hal ini diungkapkan Alvin Putra Sisdwinugraha, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan di Institute for Essential Services Reform (IESR)  dalam acara Bincang Energi Surya #3, hasil kolaborasi antara Solar Scholars Indonesia (SSI), IESR, PPI Australia, Asosiasi Peneliti Indonesia Korea (APIK), Insygnia, dan Solarin. 

“Mengacu RUPTL tersebut, energi surya akan memainkan peran penting dalam ketenagalistrikan Indonesia untuk mencapai net zero emission (NZE), sementara skala utilitas masih menjadi penyumbang terbesar. Meski demikian, hal tersebut belum cukup bagi Indonesia untuk mengejar target dekarbonisasi tahun 2050,” ujar Alvin Putra Sisdwinugraha.

Beberapa klaster potensi di dalam RUPTL yakni sektor pertambangan, sektor wisata, sektor perikanan, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS atap), PLTS terapung, dan sektor lain dengan kapasitas total mencapai 2,1 Giga Watt (GW). Mengenai PLTS terapung, Alvin menuturkan, terbitnya Permen PU No 6 Tahun 2020 menjadi angin segar bagi perkembangan energi terbarukan di Indonesia karena memungkinkan penggunaan ruang pada daerah waduk/bendungan sekitar 5% pada ketinggian air normal. Dengan mengacu aturan tersebut, ESDM telah memetakan, potensi PLTS terapung 28,4 GW, dengan 4,8 GW dari PLTA yang telah ada. 

“Meski potensinya cukup besar, sayangnya belum ada peraturan teknis khusus mengenai keamanan bendungan/waduk tersebut. Hal ini bisa berkaca dari pengembangan PLTS terapung di Cirata, Jawa Barat yang dikerjakan pengembang swasta,” terang Alvin. 

Di lain sisi, demi mendorong penggunaan energi surya, pemerintah telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Regulasi ini menjadi memperkuat komitmen pemerintah dalam menjalankan transisi energi untuk mencapai NZE. Salah satu hal yang dibahas dalam Perpres tersebut, ujar Alvin, penetapan harga listrik dari PLTS berdasarkan patokan harga tertinggi. 

“Walaupun tergantung terhadap skema pelelangan yang akan diterapkan Pemerintah dan PLN, penetapan harga PLTS berdasarkan patokan harga tertinggi diharapkan bisa memberikan ruang untuk PLTS berkapasitas kecil lebih berkembang,” terang Alvin. 

 

Perkuat Peran Indonesia di ASEAN Melalui Transisi Energi

Jakarta, 11 April 2023 – Kepemimpinan Indonesia pada level internasional terus berlanjut. Setelah dinilai sukses menjadi pemimpin negara-negara G20 pada 2022, tahun 2023 ini Indonesia dipercaya untuk menjadi ketua ASEAN. Sebagai negara dengan jumlah penduduk, ekonomi, dan permintaan energi terbesar di kawasan ASEAN, Indonesia memiliki peran penting dalam berbagai aspek perkembangan kawasan ASEAN.

Salah satu isu prioritas yang dibahas selama Indonesia memegang presidensi G20 adalah transisi energi. Salah satu dokumen panduan transisi energi yang dihasilkan adalah Bali Compact yang memuat prinsip dasar percepatan transisi energi yang akan menjadi panduan dan acuan negara-negara G20 dalam melakukan transisi energi. 

Isu transisi energi kembali menjadi isu yang akan dibicarakan selama kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Dengan komitmen ini, Indonesia juga harus mengakselerasi proses transisi energinya. Keberhasilan transisi energi Indonesia dalam melakukan transisi energi dapat mempengaruhi status transisi energi di ASEAN terutama penerimaan negara lain terkait isu transisi energi. 

Dalam wawancara untuk program Indonesia Menyapa yang disiarkan oleh RRI Pro 3, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa mengatakan bahwa Indonesia memiliki sejumlah instrumen kebijakan yang dapat dijadikan modal untuk komitmen transisi energinya.

“Indonesia merupakan salah satu negara di ASEAN yang memiliki target net zero emission. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan Perpres 112/2022 yang mengatur tentang percepatan penghentian masa operasi PLTU batubara,” kata Fabby.

Meski memiliki catatan baik pada tingkat policy setting, namun Fabby mengingatkan bahwa dalam hal pengembangan dan penambahan kapasitas terpasang energi terbarukan, Indonesia tertinggal cukup jauh dengan negara ASEAN lain seperti Vietnam dan Filipina. 

Fabby menyoroti salah satunya proyek energi terbarukan yang sudah masuk dalam RUPTL PLN 2021-2030 yang pelaksanaannya juga mengalami berbagai kendala.

“Dalam RUPTL PLN seharusnya sepanjang 2021 – 2025 terdapat tambahan energi terbarukan sekitar 10,5 GW, namun pelaksanaannya tidak mulus. Ambillah dalam 5 tahun terakhir, penambahan kapasitas energi terbarukan Indonesia kurang bagus dan kita perlu kerja keras untuk memperbaiki ini,” kata Fabby. 

Salah satu penyebab Indonesia belum optimal dalam mengembangkan transisi energinya adalah anggapan bahwa batubara menghasilkan listrik yang murah dan energi terbarukan mahal. Cara pandang ini tersirat saat program 35 GW dicanangkan yang membuat infrastruktur energi fosil menjadi banyak dalam sistem kelistrikan di Indonesia. Ketersediaan infrastruktur energi fosil ini membuat preferensi pemerintah lebih condong ke pemanfaatan energi fosil dalam perencanaan pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia. Hal ini semakin didukung dengan kebijakan pemberian subsidi bagi sejumlah komoditas energi fosil seperti harga DMO (Domestic Market Obligation) batubara.

“Hal yang perlu diperhatikan dari pilihan-pilihan ini adalah dengan mendorong pemanfaatan batubara berarti menutup kesempatan energi terbarukan untuk tumbuh dan berkembang karena akan terus dianggap mahal,” jelas Fabby.

Fabby menutup wawancara ini dengan himbauan pada pemerintah dan PLN untuk mengejar target penambahan kapasitas energi terbarukan yang sudah direncanakan dalam RUPTL untuk menjadi game changer dalam mendongkrak pengaruh Indonesia di kawasan Asia Tenggara.