Ikut Ber-“Gerilya” Energi Surya

Jakarta, 1 Maret 2023 – Transisi energi membutuhkan peran serta semua pihak untuk mewujudnyatakannya. Sektor pendidikan digadang-gadang menjadi salah satu pilar strategis untuk memastikan adanya tenaga ahli maupun teknisi yang siap berkiprah dalam ranah pengembangan energi terbarukan.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengingatkan pentingnya transisi energi dan pemanfaatan energi surya. 

“Saat ini untuk listrik 86% dari energi fosil, dan suatu saat akan habis. Dengan adanya transisi energi, kita ingin agar kualitas akan ketahanan dan kemandirian energi nasional meningkat, tidak lagi tergantung pada energi fosil. Kita punya sumber energi terbarukan, dan itu berlimpah. Artinya kalau kita ingin transisi dari fosil ke non-fosil, sumbernya sudah ada,” kata Rida pada peluncuran program Gerilya, Rabu 1 Maret 2023.

Rida juga menambahkan alasan mendesak yang kedua adalah adanya tekanan global bahwa saat ini perubahan iklim dan cuaca susah diprediksi, bahkan di negara tropis seperti Indonesia. Hal itu, karena adanya pemanasan global, akibat banyaknya GRK yang naik dan kemudian membuat suhu bumi naik, tidak saja tinggi permukaan laut yang naik, tetapi cuaca juga tidak dapat diprediksi, dan itu sudah dirasakan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral secara khusus membentuk GERILYA (Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya) sebagai bagian dari program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) hasil kolaborasi Kementerian ESDM dengan Merdeka Belajar Kampus Merdeka, Kemendikbud-Ristek

Dalam program GERILYA, mahasiswa ditempatkan pada berbagai lembaga dan perusahaan yang bergerak dalam berbagai aspek pengembangan energi surya. Dalam sambutannya pada kesempatan yang sama, Direktur Aneka Energi dan EBT, Kementerian ESDM, Andriyah Feby Misna menyatakan bahwa upaya transisi energi di Indonesia perlu diimbangi dengan ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten dan mumpuni. 

“Untuk itu program Gerilya terus memperbaiki diri dengan memperbaiki kurikulum energi surya dan kembali bergabung pada MSIB batch keempat ini,” jelas Feby. 

Perbaikan kurikulum yang dimaksud mencakup antara lain latar belakang keilmuan peserta yang awalnya hanya dari jurusan eksakta saat ini sudah dapat diikuti oleh mahasiswa jurusan sosial humaniora. Waktu mahasiswa untuk terlibat dalam proyek juga diperpanjang menjadi empat bulan dan waktu pembekalan dipersingkat menjadi satu bulan. 

Sebanyak 2.456 pendaftar dari 280 Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia telah diseleksi, dengan hasil 62 mahasiswa dari 34 Perguruan Tinggi dinyatakan lulus tahap seleksi GERILYA. Dari jumlah mahasiswa yang lulus tahap seleksi, 24 orang atau 38% di antaranya adalah perempuan. Hal ini merupakan wujud komitmen kesetaraan gender (gender equality) dalam pelaksanaan program GERILYA MSIB Batch 4.

 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mendukung program Gerilya sejak batch pertama dan menyediakan wadah untuk mahasiswa belajar tentang perubahan kebijakan terkait pengembangan energi surya dari sisi masyarakat sipil melalui kajian ilmiah. Pada batch 4 ini IESR akan menjadi tempat belajar bagi empat mahasiswa Gerilya.

Meninjau Kemajuan Industri Baterai Kendaraan Listrik Indonesia

Dalam dekade ini, popularitas kendaraan listrik mengalami peningkatan signifikan terlihat dari penjualan dari tahun ke tahun yang menunjukkan pertumbuhan eksponensial. Menurut laporan Bloomberg New Energy Finance (BNEF), sudah ada hampir 20 juta kendaraan listrik di jalanan hingga akhir tahun 2021. Untuk meningkatkan efisiensi energi, memastikan pengurangan emisi gas buang, dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak, kendaraan listrik telah menjadi pilihan yang menarik bagi pemangku kepentingan dan masyarakat umum. Mempertimbangkan tren yang ada dan beberapa keuntungan tambahan, Indonesia sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar, melalui Perpres 55/2019 tentang program akselerasi KBLBB (Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai), telah mengambil langkah proaktif untuk berpartisipasi dalam industri kendaraan listrik global, khususnya di sektor baterai. Sesuai dengan peraturan tersebut, Kementerian Perindustrian telah menjabarkan peta jalan industri dan persyaratan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) melalui Peraturan Menteri 20/2020.

Mulai tahun 2023, bobot Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada industri kendaraan listrik Indonesia telah disesuaikan. Penilaian proses perakitan yang sebelumnya 20% diturunkan menjadi 12%, sisanya 8% dialokasikan kembali ke perhitungan komponen utama, antara lain baterai (35%), motor listrik (12%), dan rangka mobil (11%). Pentingnya TKDN di Indonesia relevan dalam konteks pembelian untuk pengadaan atau proyek pemerintah. Untuk mendukung pertumbuhan industri kendaraan listrik dalam negeri dan menarik investasi, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai inisiatif, termasuk Instruksi Presiden 7/2022 tentang pengadaan publik dan rencana subsidi untuk pembelian kendaraan listrik yang sesuai dengan TKDN.

Bobot persentase baterai dalam industri kendaraan listrik yang mencapai 35% membuat penggunaan baterai yang diproduksi di dalam negeri  penting untuk meningkatkan TKDN secara keseluruhan. Namun, keadaan industri baterai saat ini menimbulkan tantangan untuk produksi massal. Tim Institute for Essential Services Reform (IESR) berupaya memahami kesenjangan kemampuan teknologi dalam industri baterai dalam negeri. Untuk mencapai tujuan ini, tim melakukan wawancara eksklusif di seluruh sektor industri hulu, tengah, dan hilir. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengevaluasi kesiapan industri dalam memenuhi target pemerintah dan tuntutan pasar kendaraan listrik. Asesmen komprehensif tersebut bertujuan untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang industri baterai dalam negeri.

Alur Produksi Baterai Kendaraan Listrik

 

Industri Sektor Hulu

Sektor hulu di industri kendaraan listrik Indonesia berkembang pesat, siap memenuhi permintaan pasar. Pemerintah telah memperkuat pertumbuhan ini dengan Permen ESDM 11/2019, yang mengatur pertambangan mineral dan batubara serta melarang ekspor bijih nikel. Terlepas dari kontroversi, peraturan tersebut telah mengarah pada pembangunan dua kilang nikel HPAL dan 5 lainnya dalam pengerjaan. Menurut Asosiasi Penambang Nikel Indonesia, ada permintaan tahunan sebesar 50,57 juta ton saprolit dan 1,2 juta ton bijih limonit untuk pabrik HPAL, diperkirakan akan menghasilkan hampir 1 juta MHP/MSP dan 316.000 ton produk turunan termasuk 140.000 ton Cr konsentrat, 136.000 ton Nikel Sulfat, dan 19,5 ton Cobalt Sulfat. Salah satu pengembang bahkan telah memperkenalkan teknologi pemurniannya sendiri, proses Step Temperature Acid Leaching (STAL), yang dirancang untuk memurnikan bijih limonit dengan kandungan nikel kurang dari 1,6%, menghasilkan MHP sebagai produk akhir di pabrik prototipenya.

Industri Sektor Menengah

Sektor baterai berbasis lithium mengalami pertumbuhan yang lambat karena kebutuhan investasi yang tinggi dan pengalaman yang terbatas. Selain tiga rencana investasi besar untuk produksi baterai (IBC-LG, IBC-CBL, dan Indika-Foxconn) yang sedang berlangsung, IESR telah mengumpulkan informasi tentang perusahaan yang ada dan berkembang. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki kapasitas produksi sel baterai berkisar antara 30 hingga 1 ribu sel per hari. Perkembangan yang menarik adalah start-up dari Universitas Sebelas Maret yang menjalin kerjasama dengan startup lain dari universitas yang sama untuk produksi bahan aktif dan prekursor.

Untuk menyelaraskan NCM atau katoda berbasis nikel NCA, proses produksi prekursor baterai sektor hulu perlu dilanjutkan di dalam negeri. Namun, perusahaan baterai lokal menggunakan LFP untuk bisnis mereka karena pertimbangan keselamatan dan siklus hidup yang panjang, meskipun memiliki densitas energi yang lebih rendah dibandingkan opsi berbasis nikel. Akibatnya, produksi nikel kelas 1 di sektor hulu Indonesia belum mencukupi kebutuhan industri katoda atau sel baterai di dalam negeri.

Sektor Hilir

Sebagai salah satu produsen sepeda motor terbesar di dunia, Indonesia tidak memiliki kendala berarti dalam merakit kendaraan listrik. Rangka merupakan komponen yang paling mapan untuk diproduksi di dalam negeri. Sementara itu, beberapa perusahaan telah memproduksi motor listrik (powertrain) dan memasok produksi motor listrik untuk BUMN.

Namun, daur ulang atau penggunaan kembali limbah sel baterai untuk belum sepenuhnya dikembangkan. Para peneliti di Universitas Gadjah Mada baru mengambil inisiatif dengan memulai pengembangan dalam skala laboratorium. Meskipun penggunaan kendaraan listrik masih terbatas di negara ini, sektor ini diharapkan menjanjikan karena potensinya untuk mengekstrak bahan langka seperti litium dan akses mudah ke logam yang diperlukan untuk produksi baterai.

Skema Power Wheeling Akan Ciptakan Pasar Energi Terbarukan

Fabby Tumiwa

Jakarta, 28 Februari 2023 – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyoroti skema power wheeling yang terdapat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Namun, skema tersebut telah dicabut dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET. Power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta atau Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri. Fabby memaparkan, power wheeling dibutuhkan agar selaras dengan upaya Indonesia untuk meningkatkan energi terbarukan. 

“Pemerintah telah menargetkan pencapaian bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% di tahun 2025, baik untuk listrik dan bahan bakar cair. Kemudian, tahun 2021, Presiden Jokowi menetapkan adanya target NZE tahun 2060 atau lebih awal. Target ini yang mendorong terjadinya transisi energi untuk bisa melakukan dekarbonisasi di sektor energi. Konsekuensi dari hal tersebut, energi terbarukan perlu dikembangkan secara besar-besaran,” tegas Fabby Tumiwa dalam webinar “Energi Baru dan Energi Terbarukan untuk Kemakmuran Semua” yang diselenggarakan oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS), pada Selasa (28/2/2023).

Seiring dengan hal tersebut, Fabby menekankan konsep power wheeling bukanlah hal yang baru karena sebelumnya sudah diatur berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 1/2015 dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 11/2021, namun aturan tersebut masih belum bisa dilaksanakan. Menurut Fabby, power wheeling dapat menciptakan pasar energi terbarukan sekaligus menjaga investasi industri/perusahaan di Indonesia. Salah satunya kelompok industri yang bergabung dalam RE100. 

Power wheeling bisa mendorong energi terbarukan karena memberikan insentif dari sisi supply dan demand. Namun demikian, power wheeling membutuhkan pengaturan lebih lanjut. Ketentuan tarif skema power wheeling di negara lain itu diatur oleh regulator, paling tidak rumusannya. Sementara aspek komersialnya diurus oleh business to business antara pihak yang ingin menggunakan dengan pemilik transmisi. Tidak hanya itu, power wheeling perlu masuk dalam undang-undang karena implikasi penerapan skema tersebut akan melibatkan sejumlah kementerian/lembaga. Untuk itu, tidak cukup hanya sampai peraturan menteri saja,” papar Fabby. 

 

Kembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi untuk Transisi Energi

FT

Jakarta, 24 Februari 2023 –  PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) akan menggelar penawaran saham perdana  atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia pada Jumat (24/2/2023). PGE akan melepas 25 persen saham dengan target perolehan dana hingga Rp 9,78 triliun. Dengan dana tersebut, PGE bakal mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan kapasitas 600 megawatt hingga 2027. Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan, terdapat dua urgensi dari proses IPO saham PGE. Pertama, target Indonesia yang akan mengembangkan energi terbarukan dan melakukan transisi energi. Oleh karena itu, Indonesia perlu memanfaatkan semua sumber energi terbarukan yang dimiliki, apalagi Indonesia juga perlu mengurangi secara bertahap pengoperasionalan PLTU batubara sampai tahun 2050. Hal ini diungkapkannya ketika menjadi narasumber di acara Sapa Malam Indonesia, Kompas TV pada Kamis (23/2/2023).

“Urgensi yang kedua yakni mengenai PGE memiliki strategi bisnis dan perusahaan ini akan bertransformasi dari perusahaan minyak dan gas ke perusahaan energi. Salah satunya yang akan didorong pengembangan energi terbarukan, seperti panas bumi,” terang Fabby. 

Fabby mengungkapkan, Pertamina memiliki cadangan panas bumi yang cukup besar dan kualitas cadangannya cukup bagus. Hal ini lantaran Pertamina telah melakukan eksplornya sejak tahun 1980an. Lebih lanjut, Fabby menilai, selama ini cadangan tersebut tidak dapat dikembangkan secara maksimal karena beberapa faktor. Salah satu faktornya yakni pendanaan. Mengingat, pengembangan cadangan panas bumi membutuhkan investasi yang cukup besar karena harus melakukan eksplorasi (ngebor) dan memastikan berapa persen dari cadangan tersebut yang dapat digunakan untuk operasional listrik. 

“Di Indonesia, biaya pengeboran satu sumur saja memerlukan dana sekitar USD3-5 juta. Dengan tingkat rasio keberhasilan 30% dan kira-kira kita melakukan pengeboran tiga sumur maka dapat satu sumur yang berhasil untuk membangkitkan listrik sekitar 30 – 50 megawatt (MW), kita harus menghabiskan USD15 juta untuk pengeborannya. Belum mengenai infrastruktur dan sebagainya. Proses ini memakan waktu yang lama dari pengeboran sampai menjadi pembangkit listrik,” ujar Fabby. 

Menurut Fabby, Pertamina perlu mengoptimalkan potensi cadangan panas bumi yang ada. Untuk itu, Pertamina memerlukan dana. Dana tersebut bisa didapatkan dengan salah satunya melalui IPO saham. IPO menjadi langkah tepat untuk pengembangan Pertamina ke depan. 

“Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia, totalnya sekitar 28 gigawatt (GW) atau 28 ribu megawatt (MW), yang baru termanfaatkan sampai hari ini kurang 10%. Jika kita bisa mengembangkan ini, maka diharapkan energi  terbarukan semakin kompetitif, terutama listrik dari panas bumi yang bisa lebih murah,” papar Fabby. 

Mendukung Pengurangan Emisi di Sektor Transportasi

Kendaraan Listrik

Jakarta, 20 Februari 2023 – Dekarbonisasi sektor transportasi menjadi salah satu agenda utama untuk mencapai target emisi nol bersih Indonesia pada tahun 2060. Sektor transportasi merupakan penghasil emisi GRK terbesar kedua (23%), dimana transportasi darat menyumbang 90% emisi sektor ini, dengan total emisi di sektor energi mendekati 600 MtCO2eq pada tahun 2021 (IESR, IEVO 2023).

Dalam skenario rendah karbon yang sesuai dengan target Paris Agreement (LCCP), emisi dari transportasi di Indonesia perlu diturunkan menjadi 100 MtCO2eq pada tahun 2050. Sementara itu, dalam perhitungan IESR seluruh sektor energi, termasuk transportasi, harus mendekati nol emisi pada tahun 2050 agar kenaikan suhu global tetap berada di bawah 1,5 °C. Untuk mencapai hal tersebut, elektrifikasi transportasi dan pemanfaatan bahan bakar berkelanjutan perlu diprioritaskan.

Salah satu cara melakukan dekarbonisasi transportasi darat yakni meningkatkan penggunaan kendaraan listrik. Adanya penggantian komponen mesin pembakar internal (Internal Combustion Engine/ICE) dengan kendaraan listrik tidak hanya menjadi solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), tetapi juga menjadi pilihan yang lebih ekonomis. Hal ini lantaran efisiensi energi teknologi kendaraan listrik yang tinggi. Kendaraan listrik diproyeksikan mewakili lebih dari 60% kendaraan yang terjual secara global pada tahun 2030. Untuk itu, perlu dipersiapkan dengan matang infrastruktur pendukung kendaraan listrik di Indonesia, seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). 

Namun demikian, sebagian masyarakat masih meragukan atau bahkan berpendapat bahwa kendaraan listrik tidak dapat menjadi solusi pengurangan emisi GRK. Pasalnya, sumber listrik untuk pengisian kendaraan listrik masih berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil, khususnya di Indonesia yang sekitar 67% listriknya berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU). Selain itu, proses pembuatan baterai kendaraan listrik juga sangat memakan energi dan menghasilkan GRK dalam jumlah tinggi.

Dalam hal ini, dekarbonisasi sektor transportasi perlu dilihat secara optimis dari perspektif jangka panjang. Penggunaan sumber listrik untuk kendaraan memang menjadi tantangan besar untuk meningkatkan utilisasi kendaraan listrik. Untuk itu, rencana pengembangan kendaraan listrik harus diintegrasikan dengan peta jalan dekarbonisasi multisektor karena adopsi kendaraan listrik yang tinggi berpotensi membantu sektor lain, yaitu sektor ketenagalistrikan.

Kondisi Sektor Ketenagalistrikan

Salah satu penyebab lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia yakni terjadinya kondisi kelebihan pasokan listrik. Apalagi sistem kelistrikan tersebut memiliki cadangan daya margin cadangan (reserve margin) yang tinggi, diperkirakan mencapai 56% pada tahun 2022, sedangkan margin cadangan tipikal berdasarkan RUPTL PLN berada pada kisaran 15-40%. Kondisi tersebut bisa dikatakan terjadi karena overestimasi permintaan dan efek pandemi global.

Sayangnya, sebagian besar pembangkit baru yang beroperasi yakni PLTU yang tidak dapat beroperasi secara fleksibel karena terkendala kesepakatan take or pay. Sementara itu, beberapa unit PLTU, terutama yang telah berusia lebih tua, memiliki keterbatasan untuk beroperasi secara fleksibel karena kemampuan teknisnya, seperti laju ramp-rate yang lambat, beban minimum yang tinggi, dan waktu start-up yang lama.

Berdasarkan permasalahan tersebut, setidaknya perlu ada peningkatan permintaan listrik atau penghentian pembangkit berbahan bakar fosil, dengan atau tanpa intervensi, untuk memungkinkan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut, pengembangan pemanfaatan kendaraan listrik dengan strategi yang tepat dapat digunakan sebagai salah satu upaya meminimalisir permasalahan sistem tenaga listrik.

Di lain sisi, tingkat adopsi kendaraan listrik yang tinggi berpotensi menyerap kelebihan pasokan listrik dari pembangkit listrik yang beroperasi. Dalam laporan Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang diterbitkan Institute for Essential Services Reform (IESR), kebutuhan elektrifikasi transportasi akan mencapai 136 TWh pada tahun 2030 (sekitar 28,6% dari total permintaan listrik). Dengan kata lain, elektrifikasi sektor transportasi dapat menjadi pendekatan strategis untuk mengurangi masalah kelebihan pasokan dan memberi ruang bagi lebih banyak energi terbarukan dalam sistem tenaga. Selain itu, elektrifikasi akan secara signifikan mengurangi emisi GRK langsung dan meningkatkan ketahanan energi melalui pengurangan impor bahan bakar.

Nilai Kendaraan Listrik dalam Sistem Tenaga Listrik

Pada dasarnya kendaraan listrik merupakan baterai berkapasitas besar yang terhubung ke motor listrik dan roda. Sederhananya, baterai tersebut menjadi aset penyimpanan energi untuk melakukan mobilitas. Kendaraan listrik saat ini memiliki kapasitas baterai rata-rata sekitar 40 kWh yang dapat dipandang sebagai aset berharga untuk sistem kelistrikan. Kapasitas tersebut cukup besar mengingat unit baterai penyimpanan rumah biasanya memiliki kapasitas tidak lebih dari setengah kendaraan listrik. Oleh karena itu, setiap nilai tambah kendaraan listrik perlu diaktifkan melalui integrasi jaringan dan kendaraan (VGI).

Berbagai skema VGI telah dikembangkan, sebut saja aliran energi satu arah (V1G), aliran energi dua arah (V2G), kendaraan ke bangunan (V2B), dan lainnya. Strategi integrasi yang sesuai dapat memberikan keuntungan, baik kepada pemilik kendaraan listrik maupun operator jaringan listrik. Misalnya, operator jaringan dapat menerapkan tarif pengisian berbeda pada jam pengisian tertentu yang akan mempengaruhi perilaku pengisian daya pemilik EV melalui skema V1G. Operator jaringan dapat menjaga beban puncak, menghindari biaya operasi tambahan atau kebutuhan penambahan kapasitas. Sebagai imbal baliknya, pemilik kendaraan listrik akan mendapatkan insentif tarif pengisian rendah selama waktu beban puncak.

Dalam implementasi lebih lanjut, VGI dapat dipromosikan menjadi V2G. Armada kendaraan listrik secara kolektif dapat bertindak seperti sistem penyimpanan energi stasioner (Energy Storage System/ESS) di mana operator jaringan dapat membeli listrik dari baterai kendaraan listrik untuk dipasok ke jaringan saat dibutuhkan. Namun implementasinya akan membutuhkan regulasi terkait interkoneksi.

Selain regulasi, VGI akan membutuhkan pengembangan infrastruktur pendukung yang relevan dengan peta jalan pengembangan sektor ketenagalistrikan. Mempertimbangkan tingkat penetrasi energi terbarukan, tingkat adopsi kendaraan listrik, dan profil beban saat ini, VGI dapat mulai diimplementasikan melalui insentif tarif rendah pada malam hari sehingga pemilik kendaraan listrik melakukan pengisian daya di rumah sepanjang malam. Namun, begitu sistem tenaga memiliki penetrasi PLTS  yang tinggi (seperti yang direncanakan pemerintah untuk masa depan), akan ada suplai listrik yang tinggi di siang hari. Bukankah kita perlu menyiapkan lebih banyak infrastruktur pengisian publik? Atau ada strategi lain?

Kelebihan Pasokan Listrik, PLN Perlu Evaluasi Megaproyek 35 GW

Jakarta, 8 Februari 2023 – PLN saat ini tengah dilanda krisis kelebihan pasokan listrik. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut, termasuk pandemi dan resesi global. Ditambah lagi, terdapat megaproyek PLTU batubara 35 Gigawatt yang telah digagas sejak tahun 2015 yang baru beroperasi 47% di tahun 2022. Namun terdapat pula beberapa miskonsepsi mengenai krisis ini. Dalam perbincangan di acara Energy Corner CNBC (6/2/2023), Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional, dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengupas beberapa miskonsepsi tersebut.

Menurut Herman, sudah umum bagi jasa penyedia listrik, termasuk PLN, untuk menyediakan persentase reserve margin atau cadangan daya pembangkit terhadap beban puncak. Jika menilik negara lain, 40-50% menjadi acuan normal bagi reserve margin untuk mengantisipasi pertumbuhan dan pemeliharaan. Pada 2022 sendiri, tercatat pertumbuhan listrik sebesar 6,15% (termasuk dari produsen listrik swasta), dan diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun ke depan.

“Di pulau Jawa sendiri mungkin memang reserve marginnya 60%, sementara di tempat lain kekurangan daya. Jadi dalam dua tahun ke depan, diperkirakan sudah tidak ada overcapacity,” jelas Herman

Masuknya permintaan listrik di luar PLN dalam angka pertumbuhan listrik dinilai oleh Fabby kurang mencerminkan realisasi pertumbuhan di dalam PLN yang kurang dari 5%. Ia menganggap situasi kelebihan pasokan saat ini terjadi karena ketidaksesuaian proyeksi permintaan yang menjadi basis perencanaan 35 GW dan realisasinya. “Dari 35 GW yang telah direncanakan, sebesar 5,4 GW belum kontrak dan belum mendapatkan pendanaan. Alangkah baiknya apabila jumlah tersebut dapat dibatalkan atau dialihkan ke energi terbarukan,” jelas Fabby.

Herman dan Fabby setuju bahwa perlu adanya evaluasi dari PLN di berbagai aspek. Pertama, harus menajamkan prediksi pertambahan permintaan listrik, sekaligus memperhitungkan pasokan listrik dari pembangkit swasta. Hal ini bisa mengurangi kemungkinan kelebihan kapasitas, yang bisa berakibat biaya yang harus ditanggung pemerintah, atau kenaikan tarif ke pelanggan. 

Kedua, adanya evaluasi kontrak jual beli daya dengan produsen listrik swasta terutama yang menggunakan klausul take or pay. 80% dari kelebihan suplai listrik datang dari take or pay swasta, dan tiap GWnya membebani negara sebesar Rp3 triliun.

Ketiga, perlu adanya evaluasi jadwal antar proyek. Kecenderungan yang sering terjadi adalah penyelesaian proyek disesuaikan dengan masa jabatan pemerintah, sehingga tidak sesuai dengan pertumbuhan permintaan listrik, namun justru terjadi pertambahan kapasitas secara tiba-tiba.

“Jadwal COD (tanggal operasi komersial) harusnya ditentukan PLN, bukan masa jabatan pemerintah. Lazimnya, proyek direncanakan tahun per tahun agar tidak terjadi undercapacity maupun overcapacity,” ujar Herman.

“Sisa 5,4 GW ini penting untuk dipantau. Proyek ini paling banyak didanai oleh Tiongkok, sementara sejak beberapa tahun yang lalu, Tiongkok sudah tidak membiayai proyek PLTU lagi, sehingga apabila sudah pasti tidak dapat pendanaan, lebih baik dibatalkan atau dialihkan ke energi terbarukan. Evaluasi kemudian penting untuk memberi kestabilan pasokan dan harga yang terjangkau,” tutup Fabby.

Implementasi B35 di Februari 2023, Apa yang Perlu Diperhatikan Pemerintah?

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa

Jakarta, 7 Februari 2023 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengimplementasikan program Mandatori Biodiesel 35 persen (B35) di bulan Februari 2023.  Diharapkan program ini dapat mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sekitar 34,9 juta ton CO2e. Menanggapi kebijakan ini, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menjelaskan salah satu alasan pengembangan bahan bakar nabati mulai dilakukan karena permintaan bahan bakar minyak (BBM) yang terus meningkat dan terjadi penurunan produksi minyak mentah di Indonesia. Hal ini diungkapkannya dalam webinar yang diselenggarakan oleh Satya Bumi dan Sawit Watch pada Sabtu, 4 Februari 2023 dengan tema “Problematika Minyak Goreng, CPO Bagi Pangan vs Energi”. 

“Persoalan pengembangan bahan bakar nabati (BBN) di Indonesia bisa dikelompokkan dalam beberapa isu, di antaranya harga domestik versus harga pasar, persoalan offtaker (pemasok kebutuhan industri atau pasar-red), termasuk intervensi negara. Penggunaan BBN ini mulai digalakkan mengingat sebagian besar bahan bakar minyak (BBM) impor sehingga mengakibatkan neraca perdagangan mengalami defisit, terjadinya pelemahan nilai tukar dan risiko keamanan pasokan energi,” terang Fabby Tumiwa. 

Fabby memaparkan, penggunaan minyak sawit dalam BBN memiliki dampak terhadap lingkungan. Mengutip beberapa studi selama 10 tahun terakhir, ujar Fabby, program BBN di Indonesia berkorelasi dengan deforestasi, ancaman terhadap keanekaragaman hayati, dan memperburuk perubahan iklim yang terjadi. Berdasarkan studi Biofuels Development and Indirect Deforestation (2023), peningkatan permintaan BBN dari CPO diikuti dengan peningkatan luasan kebun kelapa sawit, dari periode 2014-2022 luas kebun kelapa sawit meningkat sampai 4,25 juta ha. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam webinar yang diselenggarakan oleh Satya Bumi dan Sawit Watch pada Sabtu (4/2/2023)

“Penggunaan BBN diklaim sebagai salah satu strategi untuk memangkas emisi gas rumah kaca, dan itu dibandingkan dengan mensubstitusi minyak diesel oleh bahan bakar nabati. Klaim ini perlu diuji, benarkah demikian? Untuk itu perlu ada metodologi perhitungan emisi GRK yang baku, sehingga klaim pemerintah untuk substitusi ke BBN terbukti memiliki manfaat penurunan emisi GRK,” kata Fabby. 

Di sisi lain, Fabby menuturkan, terdapat dampak sosial dalam perkembangan BBN yakni mendukung ekonomi nasional dan lokal, seperti mengurangi defisit neraca perdagangan, membuka lapangan kerja dan meningkatkan nilai output petani. Meski demikian, terdapat pula dampak negatif ataupun kendala perkembangan BBN yang patut diperhitungkan yaitu konflik lahan, korupsi, posisi petani yang lemah dan kondisi kerja yang buruk. Untuk itu, Fabby menjelaskan, apabila Indonesia ingin produksi BBN maka terdapat potensi bahan baku non CPO yang bisa digunakan. 

“Beberapa potensi bahan baku non CPO seperti tanaman non pangan (nyamplung, kemiri sunan, malapari dengan potensi lahan 250.000 ha atau sekitar 280.000 kilo liter biodiesel/tahun, kaliandra dengan potensi lahan 2.771.000 ha), limbah minyak (minyak jelantah dengan potensi 2,7 juta ton/tahun dan lemak hewan, ikan, tail-oil, limbah sawit dengan potensi 1,2 juta ton/tahun) dan limbah pertanian atau perkebunan (sekam padi dengan potensi 151 juta ton/tahun, bonggol jagung dengan potensi 31 juta ton/tahun, bagas tebu dengan potensi 8 juta ton/tahun dan limbah sawit dengan potensi 70 juta ton/tahun,” tegas Fabby.

Fabby menekankan beberapa rekomendasi untuk memastikan keberlanjutan bahan bakar nabati, seperti memperjelas tujuan pengembangan, pemanfaatan dan menetapkan parameter yang jelas untuk mengukur keberhasilan, diperlukan adanya peta jalan pengembangan BBN yang ditautkan dengan program di Kementerian/Lembaga lainnya, menetapkan persyaratan NDPE dan/atau sertifikasi ISPO pada semua CPO untuk produksi FAME di program BBN, serta memprioritaskan co-processing untuk BBN pengganti bensin. 

Direktur Bioenergi, Ditjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Edi Wibowo, menuturkan terdapat dukungan pelaksanaan program biodiesel yakni kecukupan pasokan biodiesel dengan kapasitas produksi terpasang 17,2 juta kilo liter, pemerintah menyediakan insentif dari BPDPKS, menyiapkan dukungan kebijakan untuk menjamin sustainability program, penerapan standar nasional dan petunjuk teknis. Berdasarkan data Kementerian ESDM, total alokasi 2022 sebanyak 11,02 juta kilo liter terdiri dari realisasi implementasi biodiesel tahun 2022 dengan produksi 11,8 juta kilo liter, penyaluran domestik 10,5 juta kilo liter, ekspor 372 ribu kilo liter dan insentif yang dibayarkan dari penyaluran tersebut sekitar Rp22,1 triliun. 

“Substitusi BBM ke BBN adalah upaya strategis dalam upaya penghematan devisa akibat menurunnya impor minyak solar, peningkatan nilai tambah Crude Palm Oil (CPO), membuka lapangan kerja, sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca dan meningkatkan bauran energi baru terbarukan di Indonesia. Tak hanya itu, pengadaan biodiesel (B35) tahun 2023 didasarkan arahan Presiden dalam rapat kabinet pada 6 Desember 2022 dan hasil rapat komite pengarah (komite pengarah) pada 27 Desember 2022,” papar Edi. 

Sinergi dan Investasi Nasional demi Energi Terbarukan

Jakarta, 6 Februari 2023 – Jalan menuju target Indonesia bebas emisi masih cukup berliku dan panjang. Salah satu aksi pemerintah dalam mendukung upaya ini adalah dengan membuat regulasi untuk mendorong implementasi energi terbarukan. Kenyataannya, antara target, regulasi, dan implementasi seringkali tidak selaras. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam segmen Market Review di kanal IDX (24/01/2023) menyatakan bahwa pada tahun 2022, terdapat target untuk perkembangan energi terbarukan sebesar 1000 MW yang tidak tercapai. 

“Terdapat beberapa faktor mengapa target ini tidak tercapai, yang pertama adalah faktor pelemahan ekonomi yang menyebabkan permintaan listrik belum tumbuh optimal. Faktor lain adalah pandemi, yang menyebabkan beberapa proyek mengalami keterlambatan,” jelas Fabby.

Lebih lanjut, Fabby menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah no. 79/2014 yang diturunkan pada Perpres 22/2017 telah menetapkan target bauran energi terbarukan nasional 23% pada tahun 2025. Untuk mencapai target ini, Fabby memperkirakan bahwa perlu ada pertumbuhan energi terbarukan sebesar 3-4 Gigawatt tiap tahunnya. Kenyataannya, sejak PP no. 79/2014 ditetapkan, rata-rata energi terbarukan hanya bertambah 15% dari 3-4 GW, yaitu sekitar 400-500 MW. 

Permasalahan ini juga kemudian mengakar dari infrastruktur energi negara itu sendiri. Sumber energi Indonesia masih bergantung pada fosil, yakni sekitar 86%. Untuk merubah struktur ini, penting pula untuk mempertimbangkan pertumbuhan permintaan energi di Indonesia. Permintaan energi yang semakin meningkat ini harus kemudian diupayakan memakai energi bersih. Menurut perhitungan IESR, transisi energi di Indonesia memerlukan pendanaan sekitar 1,4 miliar dolar. Dana ini mencakup energi terbarukan dan pembaruan infrastruktur energi. 

Mengenai persepsi ekonomis masyarakat, Fabby menilai bahwa energi fosil masih dipandang lebih hemat karena saat ini batubara masih disubsidi oleh pemerintah. Penetapan Domestic Market Obligation pada tahun 2017 membatasi harga batubara menjadi 70 dolar/ton meskipun harga di luar lebih tinggi dari itu. Insentif semacam inilah yang patutnya turut diberikan pada perkembangan energi terbarukan. Namun, hal ini juga terhalang oleh kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

“PLTS telah menjadi sumber energi terbarukan yang paling hemat, namun di Indonesia justru menjadi mahal. Dibandingkan 10 tahun lalu, harga PLTS sudah menurun 90%. Kebijakan TKDN justru menjadi disinsentif yang bisa mencegah investor untuk berinvestasi dan membuat PLTS menjadi lebih terjangkau,” tutup Fabby.

Transisi Energi Indonesia di Mata Jurnalis

Peneliti Senior IESR, Raden Raditya Yudha Wiranegara di peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2023

Jakarta, 17 Januari 2023Transisi energi menuju energi terbarukan seakan keras mengaung dalam momentum G20 2022. Pasalnya, Pemerintah Indonesia menempatkan transisi energi sebagai salah satu isu prioritas di bawah kepemimpinannya di G20. Pemberitaannya di media massa, menggunakan kata kunci “transisi energi” di Brandwatch.com, meningkat dari 346 di 2017 menjadi lebih dari 79 ribu di 2022. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) senantiasa berupaya berkontribusi untuk mempopulerkan transisi energi dengan berbagai kajian dan kegiatan advokasinya. Salah satunya adalah dengan menerbitkan laporan utamanya yang mendorong dan mengukur proses transisi energi di Indonesia berjudul Indonesia Energy Transition Outlook (IETO). Dipublikasikan setiap tahun sejak 2017, IETO 2023 merupakan jilid ke-6. Sebelumnya laporan ini berjudul Indonesia Clean Energy Outlook di 2017, namun berubah nama menjadi Indonesia Energy Transition Outlook pada tahun 2020.  

Peluncuran IETO disambut baik oleh berbagai pihak, di antaranya para jurnalis di media massa yang mempunyai peran penting sebagai penyampai informasi kepada publik. 

Sugiharto, wartawan ANTARA, menuturkan IETO merupakan salah satu laporan  penting yang berkembang semakin baik dari tahun ke tahun dan menjadi  referensi dalam penulisan jurnalistik karena memuat berbagai data dan informasi tentang program transisi energi yang dijalankan oleh Indonesia.

“Dengan laporan IETO yang lengkap datanya maka kami sebagai jurnalis cukup sering menjadikannya sebagai referensi penulisan, terutama terkait keragaman data di luar pemerintahan,” terang Sugiharto. 

Di sisi lain, Sugiharto menilai, perkembangan transisi energi di Indonesia belum terlalu agresif. Padahal Indonesia punya banyak potensi energi terbarukan yang sangat mumpuni untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. Hambatan regulasi dan pendanaan menjadi tantangan bagi pengembangan transisi energi di Indonesia yang perlu diatasi.

“Dilihat dari bauran energi terbarukan yang masih rendah, pemerintah perlu agresif merealisasikan ambisi transisi energi di Indonesia,” ujar Sugiharto. 

Aditya Putra, wartawan Harian Kompas, menjelaskan IETO yang menjabarkan tantangan transisi energi di Indonesia dan langkah strategis ke depannya. Menurutnya hal ini menarik untuk diketahui oleh publik.

“Data-data yang tersaji di dalam IETO bisa membuat publik semakin memperhatikan transisi energi, termasuk yang mungkin selama ini terlewat oleh jurnalis atau tidak diungkap secara berkala ke publik oleh pemerintah misalnya soal bauran energi terbarukan dalam energi primer yang menurun. Makin menjauh target yang telah ditetapkan,” jelas Aditya.

Aditya berharap keberadaan laporan seperti IETO 2023 dapat mengawal komitmen dan implementasi dari agenda dan rencana transisi energi pemerintah. Senada dengan Aditya, Vindry Florentin, wartawan Koran Tempo, memaparkan integrasi data yang komprehensif membahas transisi energi di laporan IETO menjadi rujukan bagi media. Terlebih, kata Vindry, data yang dibagikan pemerintah juga belum lengkap dan terintegrasi. 

Menyoal perkembangan transisi energi di Indonesia, Efri Ritonga, wartawan senior  Koran Tempo, memaparkan bahwa transisi energi terus berjalan walaupun masih lambat.  Aksi-aksi inisiatif masyarakat untuk memulai transisi energi, seperti penggunaan PLTS atap di hunian, maupun pengembangan energi terbarukan skala besar masih terkendala. Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil masih menjadi primadona karena alasan harga, ketersediaan, dan keterjangkauan. Terlebih, sebagian masyarakat juga belum mengenal isu transisi energi. 

“Terdapat beberapa penyebab isu transisi energi belum begitu dikenal banyak masyarakat. Pertama, belum banyak informasi atau sosialisasi mengenai praktik transisi energi yang bisa dimulai dari diri sendiri, misalkan, dengan menggunakan kompor listrik, memasang PLTS atap, dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi berbahan fosil atau beralih ke kendaraan listrik. Kedua,  soal kepraktisan dan biaya. Contohnya di sektor transportasi, harga mobil elektrik  masih sangat mahal, dan ketersediaan charging station masih minim,” ujar Efri dan Vindry.