Rekomendasi Masyarakat Sipil untuk Penyusunan Second NDC

press release

Jakarta, 2 Februari 2024 – Indonesia, melalui koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mulai menyusun Second National Determined Contribution (SNDC) untuk penurunan emisi di 2030 dan 2035. KLHK merencanakan untuk menyampaikan SNDC ke UNFCCC pada tahun 2024. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil  meminta agar SNDC ini memutakhirkan skenario yang digunakan, menetapkan target yang selaras dengan tujuan pencapaian pembatasan pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius dan berusaha mencapai 1,5 derajat C sebagaimana target Persetujuan Paris, yang juga dikukuhkan oleh keputusan Global Stocktake di COP 28. 

IESR juga mendesak pemerintah agar melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses penyiapan SNDC. Selain itu, Pemerintah juga perlu untuk menjalankan prinsip Article 4 Line 13 dalam Persetujuan Paris dan ketentuan-ketentuan dalam rangkaian COP dalam menyusun SNDC.

Sejauh ini, pemerintah masih menggunakan perhitungan penurunan emisi menggunakan skenario business as usual (BAU). Masyarakat sipil memandang skenario  ini tidak relevan untuk dijadikan basis perhitungan emisi. Indonesia perlu beralih pada sistem perhitungan yang akurat yaitu menggunakan acuan emisi relatif pada tahun tertentu, dengan memperhitungkan trajektori pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia yang lebih realistis.

“Meski target penurunan emisi dalam Enhanced NDC (ENDC) terlihat meningkat, tetapi  sesungguhnya masih  tidak sejalan dengan target pembatasan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius. Saat ini, target ENDC hanya membidik penurunan emisi sebesar 31-43 persen saja di bawah BAU. Jika menggunakan perhitungan BAU yang digunakan untuk menetapkan target penurunan emisi dalam NDC selama ini, seharusnya target penurunan emisi Indonesia minimal 60 persen dari BAU untuk perhitungan dengan upaya sendiri (unconditional) dan 62 persen dari BAU untuk perhitungan dengan bantuan internasional (conditional). Jumlah ini belum termasuk penurunan emisi dari sektor pertanian, kehutanan dan lahan,” ungkap Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Berdasarkan analisis IESR, dengan menggunakan emisi tahun 2022 sebagai basis penetapan target, Indonesia perlu menetapkan target penurunan emisi pada 2030 dengan upaya sendiri (unconditional) sebesar 26 persen atau 859 MtCO2e, dan 28 persen dengan bantuan internasional (conditional) atau 829 MtCO2e. Penetapan target emisi tersebut akan berkontribusi pada pembatasan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius.

Seiring dengan peningkatan target penurunan emisi, maka Indonesia perlu pula menurunkan bauran energi fosil seperti batubara dan gas dalam sistem energi Indonesia. Bauran batubara dalam sistem ketenagalistrikan Indonesia, berdasarkan perhitungan Climate Action Tracker (CAT), harus dikurangi menjadi 7 hingga 16 persen pada 2030 dan menghentikan operasi PLTU sebelum 2040. Adapun, gas perlu berkurang menjadi 8 hingga 10 persen pada 2030 dan berhenti pengoperasiannya pada 2050.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR, mengatakan pengurangan bauran energi fosil harus digantikan dengan peningkatan bauran energi terbarukan sebesar 55 hingga 82 persen di 2030 nanti. Sayangnya, di ENDC, target yang tercantum bukan target bauran energi terbarukan, melainkan target kapasitas energi terbarukan yang terpasang. IESR menilai besaran kapasitas terpasang energi terbarukan saja tidak secara jelas menunjukan hubungan dengan penurunan emisi.

“Dengan kejelasan target bauran energi terbarukan di sektor kelistrikan, maka dapat diekspektasikan dan bahkan dihitung berapa besar intensitas emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 untuk mencapai target SDNC. Selain itu, bauran energi terbarukan yang tinggi akan dapat memberikan arah perencanaan ketenagalistrikan yang lebih jelas, termasuk jenis energi terbarukan yang perlu dibangun untuk bisa mengejar kesenjangan (gap) saat ini. Dengan sisa waktu 7 tahun, maka jelas PLTS dan PLTB yang punya masa konstruksi singkat seharusnya menjadi prioritas pengembangan untuk mengejar target bauran. Selain itu, intervensi perlu pula dilakukan pada pembangkit listrik fosil dan pentingnya untuk mengurangi bauran energi fosil dengan berbagai strategi seperti pengakhiran operasi PLTU dan atau pengurangan utilisasinya,” ungkap Deon.

Selain itu, IESR dan organisasi masyarakat sipil lain juga memandang dokumen ENDC lalai dalam memasukkan prinsip keadilan iklim. Masyarakat sipil mendorong agar penyusunan SNDC dapat mengakomodasi partisipasi yang lebih luas, memberikan perlindungan iklim bagi kelompok masyarakat rentan, serta berlangsung transparan.

Wira Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR mengungkapkan pemerintah perlu memastikan distribusi beban pengurangan emisi juga perlu dilakukan secara adil.

“Aktor yang paling banyak mengeluarkan emisi, harus pula mengurangi emisi dengan porsi yang lebih besar. Tidak hanya itu, penyusunan SNDC ini perlu mengedepankan prinsip keadilan iklim yang dapat mengurangi risiko jangka pendek dan jangka panjang serta membagi manfaat, beban, dan risiko secara adil, termasuk bagi komunitas-komunitas yang selama ini termarjinalkan,” tandas Wira.

IESR dan kelompok masyarakat sipil lainnya memberikan enam rekomendasi terhadap penyusunan SNDC. Pemerintah dalam penyusunan SNDC perlu, pertama, mempertimbangkan prinsip dari Persetujuan Paris sesuai dengan Article. 4 Line 13 dan sesuai dengan panduan yang diadopsi oleh COP. Kedua, mempertimbangkan integrasi measurement, reporting and verification (MRV) bagi pihak-pihak negara-negara berkembang. Ketiga, menanggalkan menggunakan BAU scenario sebagai basis perhitungan penurunan emisi dan beralih menggunakan emisi relatif pada tahun tertentu, dengan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia yang lebih akurat. Keempat, menetapkan target iklim selaras Persetujuan Paris. Kelima, pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang transparan dan dapat diakses publik. Keenam,  memasukkan dan melaksanakan prinsip keadilan iklim. Rekomendasi penyusunan Second NDC telah diserahkan kepada kementerian dan lembaga terkait.

RPP KEN Pangkas Target EBT Menjadi 19 Persen di 2025

press release

Jakarta, 31 Januari 2024 – Dewan Energi Nasional (DEN) tengah menggodok pemutakhiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dengan rancangan kebijakan baru (RPP KEN) yang tengah dibahas dengan DPR. DEN menjadwalkan RPP KEN akan rampung pada Juni 2024. Target energi baru terbarukan (EBT) yang terangkum pada RPP KEN dibuat berdasarkan asumsi tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 4-5 persen menyesuaikan Pasca-COVID dan menyetarakan energi nuklir sebagai energi terbarukan. Hasilnya, RPP KEN menetapkan target bauran EBT di 2025 turun dari sebelumnya 23 persen menjadi 17-19 persen. Sementara, target EBT di 2050 meningkat dari 30 persen menjadi 58-61 persen dan di 70-72 persen pada 2060.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang penurunan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025 dan 19-21 persen pada 2030 menyiratkan lemahnya komitmen untuk melakukan transisi energi dan saratnya kepentingan untuk mempertahankan energi fossil. IESR justru memandang tahun 2025 hingga 2030 sepatutnya menjadi tonggak penting lepas landasnya transisi energi di Indonesia dengan pencapaian target energi terbarukan lebih dari 40 persen dan puncak emisi sektor energi di 2030. Capaian bauran energi terbarukan yang ambisius di dekade ini penting agar bisa menyelaraskan emisi GRK Indonesia sesuai dengan target Persetujuan Paris  untuk membatasi kenaikan rata-rata temperatur global di bawah 1,5 derajat Celcius.

Sementara itu, terlambatnya menggenjot bauran EBT sebesar 38-40 persen di 2040 akan membuat Indonesia tidak meraup manfaat yang lebih besar dari pengembangan energi terbarukan, di antaranya harga listrik yang  lebih murah dan kompetitif untuk jangka panjang, rendahnya emisi listrik di grid yang menjadi daya tarik investasi, berkembangnya  industri manufaktur dan rantai pasok energi terbarukan dalam negeri dan penciptaan kesempatan kerja dari energi terbarukan yang lebih besar. Rendahnya bauran energi terbarukan menuju 2030, juga dapat mengurangi daya tarik investasi luar negeri ke Indonesia, pasalnya, industri dan perusahaan multinasional saat ini sudah gencar untuk memastikan kebutuhan energi mereka dipasok dari sistem kelistrikan yang rendah emisi dan akses penuh pada  energi terbarukan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyebutkan penetapan target bauran energi terbarukan yang rendah di 2025 dan 2030 ini tidak sejalan dengan target bauran energi terbarukan dalam kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang membidik 44 persen pada 2030.

“JETP telah menyepakati target bauran energi terbarukan di atas 34 persen di 2030 dan target ini selaras dengan rencana RUKN yang dibahas berbarengan dengan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) tahun lalu. Target bauran energi terbarukan yang diusulkan DEN membuat kredibilitas arah kebijakan transisi energi Indonesia diragukan oleh investor dan dunia internasional.  Ketimbang menurunkan target dengan alasan realistis, DEN seharusnya lebih progresif untuk melakukan transisi energi. Sebagai lembaga yang dipimpin Presiden, DEN justru dapat membongkar hambatan-hambatan koordinasi, tumpang tindih kebijakan dan prioritas untuk membuat energi terbarukan dan efisiensi energi melaju kencang,” ungkap Fabby Tumiwa.

IESR memandang strategi dalam RPP KEN seperti pengoperasian PLTN berkapasitas 250 MW di 2032 dan penggunaan CCS/CCUS pada PLTU yang masih beroperasi pada 2060 ini belum didasarkan pada kelayakan teknis dan ekonomis di Indonesia sampai saat ini. PLTN dengan kapasitas kecil dari 300 MWe, small modular reactor, masih belum tersedia teknologi yang terbukti aman dan ekonomis. Indonesia sendiri masih harus membangun infrastruktur institusi (NEPIO), kesiapan regulator, standar keamanan, serta ketersediaan teknologi SMR yang sudah teruji, serta persetujuan masyarakat, sebelum mulai membangun PLTN. 

Adapun  aplikasi CCS/CCUS pada PLTU hingga saat ini masih menjadi solusi mahal dan tidak efektif untuk menangkap karbon, walaupun teknologi ini sudah dikembangkan puluhan tahun. Contoh  proyek CCS di Boundary Dam Kanada dan juga di PLTU Petranova di US menunjukan masalah teknis untuk memenuhi target penangkapan karbonnya dan keekonomiannya tidak layak.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR menuturkan Indonesia akan terbeban dengan biaya penerapan CCS pada PLTU yang mahal, biaya operasional yang rentan volatilitas serta tidak berkelanjutan. Sedangkan pembangunan PLTN menjadi antiklimaks di tengah menurunnya kapasitas PLTN dunia setelah tragedi nuklir di Fukushima.

“Pada dekade ini, seharusnya strategi mitigasi emisi GRK Indonesia pada sektor energi dapat difokuskan pada pembangunan teknologi energi terbarukan dan energy storage yang sudah terbukti dapat menyediakan energi dengan biaya kompetitif dengan PLTU batubara yang masih dapat subsidi. PLTS (energi surya) dan PLTB (energi angin) secara waktu konstruksi dapat dilakukan dengan cepat, sehingga pekerjaan rumah yang perlu diperbaiki adalah bagaimana menyiapkan pipeline proyek-proyek yang siap untuk diinvestasikan serta proses pengadaan di PLN,” jelas Deon.

Peringkat Kebijakan dan Aksi Iklim Indonesia Turun di 2023

Delima Ramadhani, Koordinator Proyek Climate Policy, IESR memaparkan hasil penilaian CAT terhadap kebijakan, target dan aksi iklim Indonesia

Jakarta, 31 Januari 2024 – Laporan Climate Action Tracker (CAT) menilai peringkat kebijakan dan aksi serta target iklim Indonesia yang terdapat dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2023 adalah “sama sekali tidak memadai” (critically insufficient) untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Peringkat ini turun dari tahun 2022 di mana Indonesia mendapat peringkat “sangat tidak memadai” (highly insufficient). 

Institute for Essential Services Reform (IESR), sebagai kolaborator dalam CAT, mengungkapkan bahwa dengan peringkat “sama sekali tidak memadai” secara target Enhanced NDC, Indonesia berpotensi mengeluarkan emisi gas rumah kaca sebesar  1.800 juta ton setara karbon dioksida untuk target dengan upaya sendiri (unconditional) dan 1.700 juta ton setara karbon dioksida dengan target bantuan internasional (conditional) pada tahun 2030. Jumlah emisi ini belum termasuk emisi dari sektor kehutanan dan lahan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyebutkan penurunan peringkat Indonesia menjadi “sama sekali tidak memadai” dikarenakan peningkatan konsumsi batubara yang digunakan untuk hilirisasi sektor pertambangan. Ia menekankan bahwa peringkat paling bawah dalam sistem penilaian CAT ini, mengindikasikan target dan kebijakan iklim saat ini akan memicu kenaikan emisi di atas 4 derajat Celcius.

“Indonesia membutuhkan aksi yang terukur dan nyata untuk bertransisi dari energi fosil dan melakukan akselerasi transisi energi ke energi terbarukan pada dekade ini,” ungkap Fabby dalam sambutannya pada peluncuran laporan Climate Action Tracker Assessment Indonesia dan Climate Transparency Implementation Check yang diselenggarakan oleh IESR (30/1).

Sepanjang periode 2022-2023, pemerintah Indonesia telah membuat kemajuan terkait aksi mitigasi iklim, salah satunya mendorong pengembangan energi terbarukan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Selain itu, target nir emisi (net zero) dan  target penyerapan emisi di sektor hutan dan lahan (FOLU net sink) 2030 yang dikeluarkan pemerintah juga merupakan komitmen positif, dan kebijakan yang ambisius dibutuhkan untuk mewujudkannya. 

Naiknya emisi tahun 2022 sekitar 200 juta ton setara karbon dioksida; salah satunya disebabkan oleh meningkatnya konsumsi batubara. Emisi dari PLTU captive, PLTU yang dioperasikan oleh perusahaan utilitas di luar PLN, diperkirakan akan meningkatkan emisi sekitar 100 juta ton pada 2030. Kebijakan iklim indonesia saat ini akan menempatkan Indonesia pada tingkat emisi sebesar 1.487-1.628 MtCO2e (di luar sektor hutan dan lahan) pada 2030. 

Selain itu, Indonesia telah menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP) yang menargetkan bauran energi terbarukan lebih tinggi dari 34% pada 2030. Meskipun demikian JETP ini belum menempatkan Indonesia selaras dengan target Persetujuan Paris.

Delima Ramadhani, Koordinator Proyek Climate Policy, IESR, menjelaskan agar sejalan dengan Persetujuan Paris emisi sektor ketenagalistrikan harus turun menjadi 140-150 juta ton setara karbon dioksida pada 2030, dan nir emisi pada tahun 2040.

“Indonesia perlu menerapkan reformasi kunci yang disarankan dalam dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif JETP (CIPP) serta merumuskan dan mengimplementasikan jalur dekarbonisasi yang ambisius untuk pembangkit listrik di luar jaringan (captive),” jelas Delima.

Mempertimbangkan kontribusi sektor ketenagalistrikan dan mempunyai potensi yang strategis untuk dekarbonisasi, IESR juga melakukan pengecekan secara implementasi kebijakan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Kebijakan ini merupakan acuan utama Indonesia dalam pengembangan ketenagalistrikan domestik, yang mana dapat juga digunakan untuk pemantauan dan evaluasi pengembangan energi terbarukan. Akbar Bagaskara, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR memaparkan secara umum penilaian terhadap RUKN adalah “sedang” (medium) yang berarti RUKN telah memiliki basis hukum yang jelas yakni Permen ESDM 143/2019, namun secara implementasi banyak menemui hambatan, di antaranya target bauran energi terbarukan yang sering tidak tercapai per tahunnya. 

“Sulitnya Indonesia dalam mencapai target tahunan bauran energi terbarukan seharusnya menjadi bahan evaluasi dan urgensi bagi pemerintah untuk menyiapkan strategi dan inovasi yang progresif untuk mencapai target-target tersebut dan sesuai dengan Persetujuan Paris,” kata Akbar.

Ia menjelaskan beberapa hal yang perlu pemerintah lakukan dalam meningkatkan implementasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah pertama, dengan meningkatkan keberadaan undang-undang pendukung untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik. Kedua, menyediakan perangkat yang jelas dan komprehensif mulai dari proses perencanaan, pengadaan, dan pelaporan, terutama untuk pemegang area bisnis selain PLN. Ketiga, menciptakan model pendapatan baru untuk PLN. Keempat, memperbaiki kerangka kerja keuangan berkelanjutan PLN untuk mendorong lebih banyak sumber pembiayaan.

Mendorong Kontribusi Pelaku Usaha Tambang dalam Transisi Energi Berkeadilan

Dari kiri ke kanan Wira Swadana Manajer Program Ekonomi Hijau, Yulfaizon, General Manager, PT Bukit Asam Tbk Unit Pertambangan Ombilin, Farah Vianda, Koordinator Pembiayaan Berkelanjutan, dan Y. Sulistiyohadi,  Inspektur Tambang Madya/Koordinator PPNS Minerba

 

Jakarta, 25 Januari 2024 – Mitigasi dampak penurunan permintaan batubara Indonesia perlu dilakukan, terutama  di daerah penghasil batubara, seiring dengan menguatnya agenda transisi energi di dunia. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang perusahaan atau pelaku usaha industri batubara dapat memainkan peranannya secara optimal dalam memulihkan wilayah pasca tambang dan menyiapkan pembangunan ekonomi masyarakat setelah industri batubara berakhir beroperasi.

Wira Swadana, Manager Program Energi Hijau, IESR, mengungkapkan pelaksanaan transisi energi berkeadilan harus pula melibatkan semua pihak, terutama perusahaan dan pelaku usaha. 

“Pihak swasta atau pelaku usaha batubara sering dianggap sebagai pihak antagonis karena menyebabkan eksternalitas negatif bagi wilayah tambang. Namun dalam konsep transisi berkeadilan yang inklusif, perusahaan tambang memainkan peranan penting untuk kegiatan pasca tambang dan mempersiapkan masyarakat untuk kegiatan sosial-ekonomi untuk beralih dari sistem yang bergantung pada pertambangan,” jelas Wira pada Dialog Transisi Berkeadilan: Mengidentifikasi Peran Sektor Swasta dalam Pemberdayaan Sosial-Ekonomi Masyarakat (24/1/2024) yang diselenggarakan oleh IESR.

Wira Swadana menekankan agar kewajiban para pelaku usaha dalam reklamasi  lahan dan kegiatan pasca tambang sesuai dengan amanat UU No.3/2020, pemerintah perlu pula mengawasi pelaksanaan dan menindak tegas bagi perusahaan tambang yang mangkir terhadap upaya reklamasi dan pasca tambang.

Sulistiyohadi,  Inspektur Tambang Madya/Koordinator PPNS Minerba, menjelaskan bahwa kegiatan reklamasi tambang berbeda dengan kegiatan pasca tambang. Secara fungsi, reklamasi berarti memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Sementara kegiatan pasca tambang berarti memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

“Pada tahap eksplorasi sudah ada kewajiban untuk melakukan reklamasi. Saat operasi produksi, setelah ketemu rencana laiak secara ekonomi dan teknis, maka disusunlah rencana pasca tambang,” ujar Sulistiyohadi. Ia mengungkapkan baik persetujuan rencana reklamasi dan pasca tambang, perlu disertai dengan penempatan jaminan reklamasi dan pasca tambang. 

Di sisi lain, PT Bukit Asam Tbk Unit Pertambangan Ombilin telah melakukan proses reklamasi dan pasca tambang. Kegiatan pasca tambang berfokus pada penciptaan ekonomi baru yang berkelanjutan seperti memanfaatkan wilayah bekas tambang menjadi zona perlindungan satwa, zona budidaya tanaman dan peternakan dan zona pemanfaatan wisata, olahraga, pendidikan dan budaya.

“Kegiatan pasca tambang yang sudah dilakukan di tambang Ombilin ini diharapkan menjadi contoh secara nasional, mendukung visi misi Sawah Lunto untuk menjadikan bekas tambang sebagai pusat studi, sebagai tempat pelatihan kerja, dan sebagai lokasi destinasi di Sawah Lunto,” ungkap Yulfaizon, General Manager, PT Bukit Asam Tbk Unit Pertambangan Ombilin.

Jelajah Energi Jawa Barat: Gaungkan Semangat Transisi Energi

press release

Jakarta, 23 Januari 2024 – Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui Akademi Transisi Energi bekerja sama dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat dan Society of Renewable Energy Universitas Indonesia (SRE UI) menggelar Jelajah Energi Jawa Barat pada 23-26 Januari 2024. Inisiatif tersebut untuk mendukung dan mempromosikan penerapan energi terbarukan di Provinsi Jawa Barat, agar menjadi contoh bagi wilayah lain di Indonesia.

Provinsi Jawa Barat dipilih sebagai destinasi Jelajah Energi karena kaya akan potensi energi terbarukan yang dapat diaplikasikan secara efektif dan berkelanjutan menuju target nir emisi (net zero emission) pada 2060 atau lebih cepat. Selain itu, bauran energi terbarukan Jawa Barat mencapai 25,81% pada 2023, melampaui target bauran energi terbarukan di Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sebesar 20% pada 2025.

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat, Ai Saadiyah Dwidaningsih menuturkan, provinsi tersebut memiliki potensi energi terbarukan yang terdiri dari energi surya, biomassa, panas bumi, air dan angin sekitar 192 GW. Meskipun pencapaian secara bauran energi terbarukan tinggi pada 2023, namun secara kapasitas baru sekitar 2% potensi tersebut (sekitar 3,41 GW) yang baru termanfaatkan. 

“Terdapat beberapa tantangan implementasi transisi energi di Jawa Barat di antaranya terbatasnya kewenangan urusan energi di daerah baik provinsi dan kabupaten/kota, adanya kondisi oversupply pembangkit tenaga listrik Jawa Madura Bali, juga konsep energi terbarukan serta konservasi energi juga belum dikenal secara luas oleh masyarakat,” ujar Ai Saadiyah Dwidaningsih pada sambutannya di Jelajah Energi Jawa Barat. . 

Berkaca dari tantangan tersebut, Ai Saadiyah Dwidaningsih menekankan, pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam upaya mengkampanyekan transisi energi. Untuk itu, Provinsi Jawa Barat telah membentuk Forum Energi Daerah. Forum ini menjadi wadah membahas isu-isu strategis di bidang sumber daya energi dari berbagai sudut pandang untuk memberikan masukan bagi kebijakan sesuai Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dan kebijakan energi nasional.

“Kami terus mendorong kolaborasi lintas sektor untuk menggaungkan transisi energi. Kami melihat transisi energi menjadi penting karena kondisi bumi kita yang telah memasuki era pendidihan global (global boiling), bukan lagi pemanasan global. Apabila kita tidak melakukan langkah yang lebih konkret untuk menurunkan emisi, situasinya akan semakin memburuk,” terang Ai Saadiyah Dwidaningsih. 

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR memaparkan, kegiatan Jelajah Energi Jawa Barat diharapkan dapat meningkatkan pemahaman publik mengenai manfaat dan potensi energi terbarukan. Menurutnya, mengunjungi wilayah yang memanfaatkan energi terbarukan diiringi dengan penyebaran narasi dan praktik baik yang berasal dari inisiasi masyarakat, industri, dan pemerintah, akan menjangkau masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian, peluang  mendorong inspirasi dan inisiatif mandiri dari berbagai aktor termasuk masyarakat umum akan semakin besar dalam mendorong transformasi energi berkelanjutan di Indonesia.

“Energi terbarukan itu sangat dekat dengan kita dan bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Untuk itu, kami mendorong kolaborasi seluruh pihak agar dapat bergotong royong dalam transisi energi. Cara bergotong royong ini perlu dimulai dengan pemahaman mengenai energi terbarukan dan manfaatnya bagi lingkungan dan ekonomi. Melalui pengetahuan ini, diharapkan masyarakat dapat memberikan dukungan penuh dalam implementasi solusi-solusi berbasis energi bersih,” ujar Deon Arinaldo. 

Deon menjelaskan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, IESR telah menyediakan platform belajar transisi energi bernama Akademi Transisi Energi yang dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat.  

“Berbagai kelas transisi energi yang mudah dicerna tersedia di Akademi Transisi Energi. Bahkan ke depannya, tidak menutup kemungkinan akan terdapat berbagai cerita praktik baik pemanfaatan energi terbarukan, termasuk pengalaman Jelajah Energi Jawa Barat ini, terdokumentasi di sana,” imbuh Deon.

Jelajah Energi Jawa Barat diikuti berbagai pihak mulai akademisi, komunitas, hingga jurnalis. Tim ini akan mengunjungi 9 lokasi strategis untuk melihat dampak positif dari pemanfaatan energi terbarukan. Destinasi yang dikunjungi yakni PLTSa TPST Bantar Gebang, PLTS Terapung Cirata, PLTA Cirata, PLTMH Gunung Halu, Cofiring dan PLTS PT Kahatex Majalaya, Surya Energi Indonesia, PLTP Kamojang, Biogas & PLTS Koperasi Produsen Karya Nugraha Jaya, Ekowisata Mangrove Cirebon. 

Mengejar Target 23% Bauran Energi Terbarukan di 2025 Memerlukan Strategi Percepatan dan Komitmen Politik

Jakarta, 15 Januari 2024 – Realisasi energi baru terbarukan pada 2023 hanya sebesar 13,1% dari target 17,9% dalam mencapai 23% pada 2025. Menteri ESDM, Arifin Tasrif, saat menyampaikan Capaian Sektor ESDM Tahun 2023 & Program Kerja Tahun 2024 mengemukakan 8 strategi, di antaranya pembangunan pembangkit energi baru terbarukan sebesar 10,6 GW, pembangunan PLTS atap sebesar 3,6 GW, pelaksanaan program 13,9 juta kL B35, dan co-firing biomass sebesar 10,2 juta ton pada 2025 untuk mencapai target tersebut. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pencapaian energi terbarukan di tahun 2023 sangat kontras dengan peningkatan produksi dan pemanfaatan energi fosil yang terus meningkat. Tren ini berlawanan dengan semangat transisi energi menuju net-zero emission yang telah digaungkan pemerintah sejak 2021 lalu.  

IESR menilai rendahnya pencapaian bauran target energi terbarukan bersifat sistemik, yang disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya keterlambatan lelang pembangkit energi terbarukan oleh PLN sejak 2019, kendala eksekusi proyek-proyek yang sudah kontrak karena bankability, kenaikan tingkat suku bunga keuangan dalam dua tahun terakhir, serta pandemi COVID-19. 

Sejumlah proyek energi terbarukan, terutama PLTA dan PLTP yang menjadi andalan pemerintah seperti PLTA Batang Toru, PLTP Baturaden dan PLTP Rajabasa yang mundur waktu penyelesaiannya ditengarai berkontribusi pada rendahnya capaian bauran energi terbarukan di 2023. Demikian juga proses revisi Permen ESDM No. 26/2021 yang berlarut-larut menghambat implementasi PLTS atap, sehingga PSN PLTS atap 3,6 GW tidak berjalan. 

Pemerintah berencana untuk mengejar pembangunan pembangkit energi baru terbarukan skala besar, di antaranya PLTS terapung dan PLTB. Peta jalan PLTS atap pun telah disiapkan dengan target 2023 sebesar 900 MW, dan 2024 sebesar 1800 MW. Hanya saja, menurut Fabby, regulasi PLTS atap yang tak kunjung selesai membuat adopsi PLTS atap turun di sektor residensial dan bisnis, masing-masing sebesar 20% dan 6%. Akibatnya, berdasarkan analisis IESR, pada kuartal kedua 2023, kapasitas terpasang dari PLTS atap kumulatif hanya mencapai 100 MW, jauh di bawah target yang seharusnya mencapai 900 MW pada tahun 2023.

“Pemerintah  masih punya waktu 2 tahun untuk mengejar target 23 persen bauran energi terbarukan, tapi perlu ada komitmen politik, dukungan PLN, dan langkah-langkah extraordinary.  Ada sejumlah cara, antara lain: mempercepat eksekusi-eksekusi proyek yang sudah kontrak, khususnya dari Independent Power Producer (IPP). Selain itu, pemerintah harus mendesak PLN melakukan lelang pembangkit skala besar secara reguler selama tahun ini, penyederhanaan negosiasi Perjanjian Jual Beli Listrik (Power Purchase Agreement, PPA) sehingga proyek-proyek tersebut bisa dieksekusi tahun ini. Untuk mengejar target 10,6 GW dalam dua tahun, pemerintah harus mengandalkan PLTS terapung, ground mounted dan ditambah dengan 3,6 GW target kapasitas terpasang PLTS atap. Oleh karena implementasi revisi Permen No. 26/2021 tidak boleh lagi tertunda,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Dalam hal investasi energi terbarukan, dari target sebesar USD 1,8 miliar, hanya tercapai USD 1,5 miliar. Sementara pada 2024, pemerintah menargetkan USD 2,6 miliar. Jumlah ini masih jauh dari kebutuhan pendanaan energi terbarukan sebesar USD 25 miliar per tahun hingga 2030 untuk mencapai  NZE pada 2060. Untuk mengakselerasi pertumbuhan investasi energi terbarukan pemerintah perlu membantu mempersiapkan proyek energi terbarukan yang dapat diimplementasikan dan layak untuk dibiayai.

Fabby menduga ada permasalahan struktural yang menyebabkan target investasi energi terbarukan tidak pernah tercapai selama era pemerintahan Presiden Jokowi, sementara di dunia, investasi energi terbarukan terus meningkat bahkan melampaui investasi energi fosil dalam lima tahun terakhir. Untuk itu, Fabby mengusulkan adanya evaluasi serius terhadap persoalan ini sehingga pemerintah bisa dengan cepat memperbaiki lingkungan yang memungkinkan (enabling environment) perbaikan iklim investasi energi terbarukan, salah satunya tinjauan ulang atas subsidi batubara lewat skema DMO dan domestic coal pricing obligation untuk PLTU PLN. 

Akselerasi pembangunan energi terbarukan merupakan keniscayaan untuk mencapai target bauran yang tinggi di 2030 sebagaimana yang dinyatakan oleh target JETP, dan untuk mendukung pembangunan rendah karbon Indonesia. Berbeda dengan pandangan awam, harga listrik energi terbarukan jauh lebih murah dan kompetitif atas energi fosil. 

“Dari laporan capaian KESDM ini, menteri ESDM sudah mengakui biaya energi terbarukan dan biaya integrasi untuk PLTS dan PLTB, sudah dapat kompetitif dengan PLTU baru. Seharusnya sudah tidak ada keraguan lagi dalam memberikan dukungan akselerasi energi terbarukan. Perlu diperhatikan kesenjangan (gap) dan penundaan (delay) di pengembangan energi terbarukan dari hulu ke hilir dan coba dibangun strateginya. Ini termasuk dari identifikasi dan pengembangan kandidat proyek energi terbarukan awal, proses masuknya kandidat ke perencanaan PLN, bagaimana proses pengadaan energi terbarukan di PLN, serta alokasi risiko yang jelas antara PLN dan IPP bagi energi terbarukan yang dikembangkan swasta,” ungkap Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR.

Kontras dari rendahnya capaian bauran energi terbarukan, KESDM menyebutkan terjadi penurunan emisi GRK di sektor energi tahun 2023 sebesar 127,67 juta ton karbon dioksida dari target 116 juta ton karbon dioksida.

“Capaian penurunan emisi sektor energi melebihi target patut diapresiasi. Namun perlu dicatat juga bahwa target penurunan emisi sektor energi berdasarkan pada target enhanced NDC Indonesia, yang sayangnya belum kompatibl dengan jalur 1,5 C sesuai Persetujuan Paris. Pemerintah butuh mengeksplorasi strategi baru, melibatkan sektor energi lainnya seperti sektor konsumsi energi di sektor industri, transportasi, dan gedung dan bahkan yang saling berhubungan antar sektor (sector coupling),” tandas Deon.

Menurut IESR. intensitas emisi listrik Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan. Ini dapat menghambat minat investasi industri-industri multinasional yang menetapkan syarat ketersediaan listrik yang rendah emisi dan kemudahan akses pada energi terbarukan. 

“Pemerintah harus berupaya menurunkan intensitas emisi GRK di sistem kelistrikan, dengan cara mengurangi pembangkit energi fosil dan menambah pembangkit energi terbarukan. Salah satu opsinya adalah pensiun dini PLTU PLN yang telah berusia di atas 30 tahun pada 2025, yang juga dapat mendorong percepatan pembangkit energi terbarukan,” kata Fabby. 

 

Tingkatkan Kolaborasi dan Investasi untuk Pemanfaatan Energi Terbarukan di Jawa Tengah

 Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam acara Forum Akselerasi Energi Terbarukan Jawa Tengah (19/12).
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam acara Forum Akselerasi Energi Terbarukan Jawa Tengah (19/12)

Semarang, 19 Desember 2023 – Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berupaya untuk mendorong kolaborasi dan sinergi untuk mempercepat transisi energi dan mencapai target bauran energi terbarukan di daerahnya. Jawa Tengah mempunyai target energi terbarukan di Rencana Umum Energi Daerah (RUED)-nya sebesar 21,32% pada tahun 2025. Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah, bauran energi terbarukan di daerahnya baru mencapai 15,76% pada tahun 2022.  Dengan waktu hanya 2 tahun lagi, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah harus mengejar sisa 5,56% bauran energi terbarukan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) telah bekerja sama dengan Jawa Tengah sejak tahun 2019 untuk akselerasi target bauran energi terbarukan Jawa Tengah. Agar terjadi percepatan transisi energi dengan adopsi energi terbarukan yang lebih besar maka perlu diupayakan pembangunan kondisi yang mendukung (enabling conditions) seperti peraturan dan regulasi, dukungan untuk kemitraan publik dan swasta, inisiatif masyarakat dan investasi. IESR menilai, kemampuan pendanaan daerah masih harus terus dikejar mencapai target RUED dan menarik lebih banyak investasi energi terbarukan.

“Jawa Tengah mempunyai potensi energi terbarukan yang melimpah, seperti energi surya yang mencapai 194 GW dan angin 3,5 MW. Untuk itu, beberapa hal perlu dilakukan dalam mengakselerasi pemanfaatannya di antaranya menyebarkan informasi dan meningkatkan kapasitas berkaitan pengembangan energi terbarukan, mendorong ekosistem investasi pendanaan hijau seperti pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) serta membentuk platform pemantauan, pelaporan dan evaluasi sehingga masyarakat juga dapat berpartisipasi,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam acara Forum Akselerasi Energi Terbarukan Jawa Tengah (19/12).  

Pada kesempatan yang sama, IESR juga meresmikan kerja sama dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Tengah untuk mendorong investasi hijau dan khususnya energi terbarukan di Jawa Tengah.

IESR juga meresmikan kerja sama dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Tengah untuk mendorong investasi hijau dan khususnya energi terbarukan di Jawa Tengah.

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Tengah, Sakina Rosellasari menuturkan, pihaknya telah melakukan beberapa kegiatan untuk mempromosikan investasi hijau di Jawa Tengah. Satu di antaranya dengan menyusun proyek yang siap dikembangkan oleh investor (investment project ready to offer, IPRO) dengan proyek ekonomi sirkuler pengolahan limbah, minihidro, pengolahan produk berkelanjutan serta pengolahan sampah menjadi refused derived fuel (RDF). Selain itu, DPMPTSP juga telah membuat video promosi, bertemu dengan berbagai pemangku kepentingan dan melakukan perjanjian kerjasama.

“Penyusunan IPRO penting untuk menarik calon investor dan memberikan keyakinan bahwa Provinsi Jawa Tengah menjadi lokasi yang tepat untuk berinvestasi. IPRO di Jawa Tengah saat ini melingkupi tiga sektor yakni infrastruktur, agrikultur dan pariwisata. Di dalam sektor infrastruktur, di antaranya terdapat pembangunan pembangkit listrik tenaga minihidro Banjaran dan Logawa di Kabupaten Banyumas dan pengolahan limbah medis B3 kota Tegal dan pembangunan industri,” ujar Sakina.

Pemerintah pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri, telah menerbitkan Peraturan Presiden No.11/2023 yang memberi kewenangan lebih bagi pemerintah daerah dalam mengelola dan menyediakan biomassa, biogas, dan energi baru terbarukan. Tidak hanya pemerintah daerah, bahkan pemerintah kabupaten dan kota melalui Kepmendagri 900.1.15.5-1317 tahun 2023 juga mempunyai kewenangan dalam mendukung pengembangan energi terbarukan. Beberapa contoh kewenangan pemerintah kabupaten dan kota adalah dalam pengelolaan sampah, penyediaan perlengkapan jalan di jalan kabupaten/kota, pemberdayaan nelayan kecil dalam daerah kabupaten/kota, dan penyediaan komponen instalasi listrik/penerangan di bangunan kantor.

Tavip Rubiyanto, Analis Kebijakan Ahli Madya pada Substansi Energi dan Sumber Daya  Mineral,  Direktorat  SUPD  I  Ditjen  Bina  Pembangunan Daerah Kemendagri, menuturkan peran daerah dalam mengembangan energi terbarukan menjadi penting untuk mendongkrak pencapaian target bauran energi terbarukan nasional sebesar 23% pada 2025. Sementara, hingga akhir 2023, target bauran energi terbarukan yang tercapai baru 12,3%. 

“Kami mengharapkan dengan adanya aturan mengenai keleluasaan wewenang daerah dalam pengelolaan energi baru terbarukan, maka mulai 2024, daerah sudah mulai menganggarkan untuk mencapai target tersebut. APBD akan membiayai hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan daerah,” jelas Tavip.

Ia juga menekankan perlunya kerja sama antar sektor untuk mencapai target energi terbarukan di tingkat daerah. Koordinasi antara Dinas ESDM, lingkungan hidup, perhubungan, perencanaan harus diperkuat.

Boedyo Dharmawan, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah memaparkan capaian Jawa Tengah untuk energi terbarukan yang pada tahun 2022 telah melebihi target tahunan, di antaranya PLTS dengan total kapasitas berkisar 25 MW, pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) 6 MW, pembangkit listrik tenaga mini hidro (PLTM) 31 MW, dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) 322 MW.

“Tidak hanya dari sisi regulasi, pemerintah juga berkomitmen di tingkat pelaksanaan. Sebagai upaya untuk mensukseskan transisi energi menuju era energi terbarukan, pemerintah provinsi juga melakukan upaya pengendalian emisi gas rumah kaca melalui program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai,” ungkap Boedyo.

Tidak hanya dari sisi pemerintah, inisiatif masyarakat dalam mengadopsi energi terbarukan akan berkontribusi meningkatkan bauran energi terbarukan di daerah. Lebih jauh, inisiatif ini juga akan berperan dalam memajukan kesejahteraan masyarakat. Hal ini diakui oleh Yanto, Kepala Desa Banyuroto, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, yang juga merupakan Desa Mandiri Energi

Ia menjelaskan dengan populasi sapi 930 ekor, dibantu berbagai pihak dari pemerintah, masyarakat, dan lembaga non-pemerintah, sejak 2027 hingga 2023, desanya telah mengembangkan sekitar 34 unit pengolahan biogas. Biogas ini bermanfaat untuk menghemat kebutuhan dapur 44 KK di desanya. Selain itu, biogas juga dapat digunakan untuk bahan bakar lampu penerangan (petromak). Tidak hanya biogas, limbah padat dan cair dari kotoran sapi berguna untuk pupuk organik yang menyuburkan tanah pertanian. 

Terobosan Kebijakan Akan Percepat Lepas Landas Transisi Energi Indonesia

press release

Jakarta, 15 Desember 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai transisi energi di 2023 dalam kondisi menggeliat dan dalam persiapan untuk lepas landas, jika pemerintah mampu mendorong penciptaan kondisi pendukungnya. 

IESR membahas secara komprehensif perkembangan transisi energi dan peluang dalam mempercepat transisi energi di Indonesia pada laporan utamanya Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024. 

Laporan IETO 2024 menemukan bahwa walaupun terdapat target dan komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi dan target  yang lebih tinggi  untuk mitigasi emisi gas rumah kaca, pasokan energi fossil masih mendominasi. Di sektor ketenagalistrikan. jumlah total kapasitas PLTU batubara on grid dan captive coal plant sekitar 44 GW dan diproyeksikan akan meningkat menjadi 73 GW pada 2030. Hal ini akan meningkatkan emisi GRK menjadi sekitar 414 juta ton setara karbondioksida (MtCO2e) pada 2030. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan bahwa pemerintah harus mau membatasi  izin pengembangan PLTU captive setelah 2025 dan memandatkan pemilik kawasan industri   untuk mengoptimalkan  pemanfaatan energi terbarukan dan menurunkan emisi dari PLTU yang telah beroperasi sesuai dengan target peak emission sektor kelistrikan di 2030 dan net-zero emission di 2060 atau lebih awal.

IETO mencatat  tidak terdapat kenaikan yang signifikan untuk kapasitas energi terbarukan dan kontribusi pada bauran energi terbarukan. Pemanfaatan energi terbarukan yang hanya mencapai 1 GW pada 2023 dari target RUPTL 2021-2030 yang menetapkan 3,4 GW pada periode yang sama.

Fabby menjelaskan agar transisi energi dapat berjalan cepat maka perlu adanya kesamaan visi transisi energi yang hemat biaya (cost effective) oleh presiden dan pembuat kebijakan kunci di Indonesia. Kesamaan visi akan menentukan keberlanjutan komitmen politik dan peta jalan yang optimal.

Selain itu, ia juga menyoroti lambatnya transisi energi di Indonesia disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan politik, kurangnya kapasitas aktor, dan beban kebijakan masa lalu. Untuk itu, ia menekankan perlunya ‘no regret policy’ atau kebijakan yang sudah dipastikan akan memberikan manfaat sosial ekonomi menyeluruh, terlepas dari perubahan yang mungkin terjadi, dan reformasi anggaran publik dan reformasi PLN untuk mempercepat  proses transisi energi. 

“Indonesia perlu peta jalan yang koheren untuk mencapai NZE 2060 atau lebih cepat. Saat ini baru sektor kelistrikan yang paling banyak kemajuannya, sektor transportasi dan industri masih berada di tahap awal. Pemerintah perlu pula melibatkan masyarakat agar tercipta transisi yang adil. Dengan nilai dan sejarah bangsa Indonesia, transisi energi harusnya dapat dilakukan dengan gotong-royong,” tandasnya.

Komitmen politik pemerintah untuk transisi energi telah mendorong meningkatnya komitmen pendanaan bilateral dan multilateral untuk proyek energi terbarukan. Walaupun demikian, IETO 2024 mencatat target investasi energi terbarukan jauh dari target yang dicanangkan. Salah satunya dikarenakan rendahnya investasi ini terjadi karena minimnya bankable project dan persepsi risiko investor karena kualitas kebijakan dan regulasi yang belum memenuhi kebutuhan investor dan pelaku usaha. Namun, ini belum mampu mendongkrak pemanfaatan energi terbarukan yang hanya mencapai 1 GW pada 2023. 

IESR memandang agar dapat menarik minat investasi, perlu dilakukan tinjauan ulang review atas kebijakan harga tertinggi energi terbarukan di Perpres No. 112/2022 sesuai dengan perkembangan teknologi dan tingkat suku bunga pendanaan, yang diikuti dan dengan reformasi lainnya untuk mendorong pengembangan proyek energi terbarukan bankable dan menguntungkan bagi investor. Upaya menarik investor dapat dilakukan dengan memperbaiki struktur tarif dan memastikan profil risiko-imbalan (risk-reward) yang adil bagi para mitra produsen listrik swasta serta mempertimbangkan skema power wheeling.

“Selain kolaborasi yang solid antara PLN, regulator, pengembang proyek, dan pemberi dan, baik itu swasta maupun pemerintah, diperlukan untuk menyiapkan rangkaian proyek yang kokoh dan meningkatkan proyek-proyek yang layak untuk pendanaan,” jelas His Muhammad Bintang, Analis Teknologi Penyimpanan Energi dan Materi Baterai IESR, yang juga merupakan penulis IETO.

Di sisi transportasi, peningkatan adopsi kendaraan listrik mengalami kenaikan sebesar 2,4 kali lipat untuk sepeda motor listrik pada 2023, dari 25.782 unit di 2022 menjadi 62.815 di September 2023.

“Meskipun insentif dan bantuan pemerintah untuk mengadopsi kendaraan listrik bagi publik, akan tetapi ada masalah – masalah lain yang menjadi halangan untuk mengadopsi kendaraan listrik. Misalnya, di sisi kendaraan roda dua ada keterbatasan jarak tempuh, dan keterbatasan performa dibandingkan dengan kendaraan roda dua berbasis BBM, sedangkan di sisi kendaraan roda empat ada harga kendaraan mobil listrik yang lebih tinggi, keterbatasan tipe kendaraan, serta kurang menjamurnya SPKLU,” jelas Faris Adnan Padhilah, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR.

Di lain sisi, pemerintah daerah di Indonesia tengah menghadapi tantangan untuk menyelesaikan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dan mengimplementasikannya untuk memenuhi target energi terbarukan. Adanya peraturan terbaru Perpres No. 11/2023 memperluas kewenangan pemerintah daerah dalam pengembangan energi terbarukan. Namun, salah satu tantangan implementasinya adalah  anggaran pemerintah daerah yang terbatas, sehingga perlu diseimbangkan dengan prioritas lainnya.

“Selain perluasan kewenangan, pemerintah provinsi juga perlu untuk melakukan perincian peraturan rencana energi daerah ke dalam berbagai instrumen dan skema terukur, misalnya prioritas alokasi keuangan daerah untuk energi terbarukan dan aturan spesifik untuk dekarbonisasi berbagai sektor (transportasi dan bangunan) di daerah. Selain itu, dengan sedang berlangsungnya revisi dokumen rencana umum energi nasional (RUEN), pemerintah daerah perlu melakukan pembaruan RUED provinsi ke depannya agar lebih mencerminkan ambisi-ambisi daerah dalam transisi energi dan mengintegrasikan target energi terbarukan yang lebih ambisius,” ujar Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.

Informasi untuk media

Status Transisi Energi di Indonesia tahun 2023

  • IESR menilai kesiapan transisi energi Indonesia 2023 tidak mengalami perubahan dari 2022. Dari delapan variabel yang diukur,  yang mendapat nilai paling rendah adalah kemauan dan komitmen politik yang belum selaras dengan kebutuhan mitigasi gas rumah kaca sesuai dengan peta jalan 1,5 C. 
  • Kebijakan energi Indonesia saat ini belum memadai untuk menekan emisi gas rumah kaca, hanya akan menurunkan 20 persen proyeksi emisi di 2030, dan akan terus meningkat hingga tahun 2060.
  • Perkembangan energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan berjalan lambat ditandai dengan total tambahan kapasitas terpasang hanya 1 GW sampai 2023, jauh dari target yang ditetapkan sejak tahun 2021 sebesar 3,4 GW
  • Produksi batubara semakin meningkat. Hingga akhir Oktober 2023, produksi batubara telah berada pada 619 Mt, dan diperkirakan akan melampaui 700 Mt pada tahun 2023, melebih target pemerintah pada 2023 sebesar 695 Mt. 
  • Kebijakan pemerintah Indonesia masih berpihak pada industri fosil. Pemutakhiran Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) tidak mencantumkan opsi untuk menghentikan PLTU batubara secara dini meskipun opsi tersebut secara ekonomi layak dan menguntungkan.
  • Untuk bahan bakar rendah karbon, pengembangan hidrogen hijau semakin diminati. Terdapat 32 proyek hidrogen hijau yang sedang berjalan, meski sebagian besar dalam tahap pengembangan awal.
  • Dari sisi transportasi, sepeda motor menjadi penghasil emisi terbesar pada 2022, yaitu sebesar 36% (54 MtCO2e) dari total emisi transportasi
  • Adopsi kendaraan listrik melonjak signifikan pada 2023. Adopsi mobil listrik meningkat 2,3 kali lipat dari 7.679 unit pada 2022 menjadi 18.300 unit pada September 2023. Sementara motor listrik meningkat 2,4 kali lipat dari 25.782 unit di 2022 menjadi 62.815 di September 2023
  • Pada kuartal kedua 2023, kapasitas terpasang dari PLTS atap kumulatif hanya mencapai 100 MW, jauh di bawah target yang seharusnya mencapai 900 MW pada tahun 2023. Pertumbuhan PLTS atap lambat terutama terjadi penurunan adopsi PLTS di sektor perumahan dan bisnis, masing-masing sebesar 20% dan 6%.
  • Pada tahun 2023, tujuh provinsi telah melampaui target energi terbarukan tahun 2025 yaitu Sumatera Utara, Sumsel, Bangka Belitung, Jawa Barat, Gorontalo, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Sementara 31 provinsi lainnya masih terhadang kemampuan fiskal dan kebijakan pusat untuk mencapai target bauran energi terbarukan daerah.
  • Total pendanaan di sektor energi baru dan terbarukan mencapai USD 1,7 miliar selama kuartal satu 2022 hingga kuartal tiga 2023. Komitmen pendanaan tersebut umumnya berfokus pada persiapan proyek efisiensi energi dan pengembangan energi terbarukan. Perpres 112/2022 telah meningkatkan komitmen pendanaan untuk energi terbarukan.
  • Diluncurkan pada September 2023, bursa karbon mencatatkan transaksi sebesar Rp29,2 miliar. Namun, setelah pembukaan tersebut, transaksi bursa karbon sepi peminat. Hingga akhir Oktober 2023, total transaksi hanya meningkat sebesar Rp200 juta.

 

Peluang dan Proyeksi Transisi Energi di Indonesia tahun 2024

  • Peluang peningkatan komitmen pemerintah terhadap transisi energi akan terlihat dari hasil pemutakhiran Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang akan menguraikan target dekarbonisasi di sektor energi, dan diikuti dengan menerbitkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
  • Pemerintah telah mengeluarkan PP No. 33/2023 tentang Konservasi Energi. Penerapan PP ini harus bersifat mengikat dan dikontrol secara mandatori sehingga dapat mendorong penurunan emisi yang signifikan di sektor bangunan.
  • Kementerian Perindustrian berencana untuk membuat peta jalan dekarbonisasi pada tahun 2023 dan 2024 terhadap sembilan sektor industri penghasil emisi energi tinggi beserta insentif untuk transisi energi. Langkah ini dapat menjadi kesempatan untuk membangun industri yang lebih hijau.
  • Rendahnya capaian energi terbarukan pada 2023 merupakan dampak dari penundaan berbagai proyek PLTA dan PLTP seperti PLTA Batang Toru, PLTP Baturaden, PLTP Rajabasa. Pemerintah perlu mendukung keberlangsungan proyek ini dengan meminimalkan risiko persiapan proyek.
  • Adopsi kendaraan listrik meningkat, namun masih ada kecemasan jarak tempuh (range anxiety). Hal ini perlu segera diatasi, di antaranya dengan meningkatkan jumlah infrastruktur pengisian daya melalui pemberian insentif.
  • Peraturan terbaru Perpres No. 11/2023 memperluas kewenangan pemerintah daerah dalam pengembangan energi terbarukan. Namun, adanya wewenang tambahan untuk pengembangan energi terbarukan di daerah dihadapkan dengan keterbatasan anggaran daerah, sehingga akan membutuhkan dukungan tambahan dari pemerintah nasional.

IETO 2024: Indonesia Perlu Bangun Momentum Capai Puncak Emisi Sektor Energi di 2030

Jakarta, 12 Desember 2023 -Indonesia menargetkan untuk mencapai puncak emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2035 untuk selanjutnya melandai hingga tercapai net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih awal. Transformasi di sektor energi Indonesia, yang menjadi sumber emisi dengan dominasi energi fosil pada suplai energi domestik sekitar 90,4 persen, beralih ke energi terbarukan menjadi upaya krusial untuk menekan emisi. 

Sayangnya, Institute for Essential Services Reform (IESR), mengamati tren pembangunan energi terbarukan cenderung melambat yakni hanya mencapai 0,97 GW dari target 3,4 GW pada kuartal keempat 2023. Artinya, jika tren ini berlanjut, Indonesia justru tidak akan mencapai puncak emisi karena stagnasi dekarbonisasi sektor daya (power) sedangkan emisi sektor permintaan (demand) terus naik. Hal ini membuat, langkah Indonesia untuk menurunkan emisi akan  semakin sulit jika tidak disertai ambisi penurunan emisi yang tinggi dan komitmen politik yang kuat. 

Pembahasan upaya Indonesia dalam meraih puncak emisi pada 2030 yang berpotensi sebagai tonggak transformasi ke energi terbarukan secara besar-besaran atau justru mengakhiri harapan untuk mencapai target NZE lebih cepat, merupakan topik utama dalam laporan unggulan IESR berjudul Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyampaikan tahun ini, IETO 2024 hadir dengan lebih komprehensif dalam  memantau perkembangan dan proyeksi transisi energi di Indonesia. Menurutnya, Indonesia telah mengeluarkan rencana dan komitmen transisi energi dengan terbitnya beberapa kebijakan pemerintah seperti Perpres 112/2022 tentang percepatan pembangunan energi terbarukan, dan pemutakhiran Kebijakan Energi Nasional (KEN) oleh Dewan Energi Nasional. Namun implementasi untuk mempercepat transisi energi masih membutuhkan dukungan dari segi regulasi dan investasi.

“IESR melalui IETO 2024 mencoba mengukur proses transisi energi dalam berbagai sektor, seperti ketenagalistrikan, industri, transportasi dan bangunan. Kami juga konsisten menilai kondisi pendukung (enabling condition), khususnya di sektor ketenagalistrikan, yang menentukan kesuksesan atau kegagalan transisi energi di Indonesia. Terdapat empat enabling condition yakni kerangka kebijakan dan regulasi, dukungan pendanaan dan investasi, aplikasi dari teknologi serta dampak sosial dan dukungan masyarakat,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR  dalam media briefing Indonesia Energy Transition Outlook 2024. 

IETO 2024 juga menyoroti agar dapat mencapai target emisi kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) 250 MtCO2e/y pada tahun 2030, hasil simulasi IESR menunjukkan Indonesia perlu mengurangi 4,29 GW PLTU batubara dan diesel hingga 2030. Selain itu, Indonesia harus menggenjot pembangunan energi terbarukan setidaknya 30,5 GW tambahan hingga 2030.

Pintoko Aji, Analis Energi Terbarukan IESR menyebutkan penetrasi energi terbarukan variabel (PLTS dan PLTB) yang tinggi akan membuat konsep pembangkit baseload atau pembangkit yang beroperasi secara berkesinambungan dengan kapasitas yang tinggi, menjadi tidak relevan.

“Dengan adanya kebutuhan untuk meningkatkan penetrasi variable renewable energy (VRE), sistem ketenagalistrikan Indonesia membutuhkan sistem yang lebih fleksibel dan responsif. Makna fleksibel berarti tingkat sistem ketenagalistrikan dapat menyesuaikan dengan beban dan sebagai reaksi variabilitas produksi listrik dari VRE. Untuk melakukannya, diperlukan pendalaman materi untuk pembatasan kontraktual, misal perubahan kontrak (legal) dari menerima atau membayar (take-or-pay) ke menerima dan membayar (take-and-pay) dan insentif fleksibilitas,” ujar Pintoko Aji, Analis Energi Terbarukan.

Pintoko Aji, Analis Energi Terbarukan IESR
Pintoko Aji, Analis Energi Terbarukan IESR

IESR mendorong agar pemerintah menunjukkan komitmen politik (political will) yang lebih kuat dan langkah-langkah yang konkret untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan. Selain itu, , strategi dekarbonisasi perlu diterapkan di seluruh sektor agar saling mendukung. IESR memandang presiden baru yang akan terpilih pada Pemilu 2024 harus menciptakan momentum transisi energi sedari awal kepemimpinan.

Seluruh pembahasan mengenai status dan analisis sektor energi untuk mendorong percepatan transisi energi terangkum pada Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024. Terbit sejak 2017 dengan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) yang kemudian bertransformasi menjadi IETO di 2019.

“Selain merangkum keberjalanan transisi energi Indonesia selama setahun terakhir, IETO kali ini juga secara komprehensif memproyeksikan kebijakan sektoral di masing-masing sektor energi dan mengkontraskannya dengan target jangka panjang. Ini dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan di masing-masing sektor ketenagalistrikan, transportasi, industri dan gedung untuk meningkatkan target dan level implementasi mitigasi emisi sektoralnya,” jelas Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR

IESR akan melakukan diskusi dan peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2024 pada 15 Desember 2023. Untuk pendaftaran dapat mengunjungi s.id/IETO2024