Temuan Laporan Terbaru: Kebijakan di Negara Ekonomi Terbesar di Dunia Menghambat Peningkatan Kapasitas Listrik Energi Terbarukan hingga 3 Kali Lipat

press release

London, 4 Desember 2023 –  Lembaga nirlaba internasional, Climate Group baru saja meluncurkan laporan terbaru berjudul Financing the Energy Transition: How Governments Can Maximise Corporate Investment. Laporan ini menggarisbawahi adanya hambatan kebijakan dalam mengakselerasi penggunaan energi terbarukan di beberapa negara ekonomi terbesar di dunia. 

Inisiatif RE100 dari Climate Group bekerja sama dengan lebih dari 400 perusahaan, yang jika permintaan listrik perusahaan tersebut digabungkan maka akan lebih  besar daripada permintaan listrik Perancis. Perusahaan-perusahaan tersebut berkomitmen untuk menggunakan 100% listrik energi terbarukan di seluruh kegiatan operasionalnya. Mereka menginvestasikan miliaran dolar untuk mencapai hal tersebut, tetapi hambatan kebijakan dan peraturan menghalangi perusahaan untuk berinvestasi dalam listrik energi terbarukan di banyak tempat. Climate Group menyebut hal ini berdampak luas  pada upaya penghentian bertahap penggunaan bahan bakar fosil.

Laporan terbaru ini menyoroti kesenjangan kebijakan umum yang menghambat delapan negara G20, dan menjadikannya sebagai contoh dari tantangan yang akan dihadapi oleh banyak negara di seluruh dunia. Laporan ini berfokus pada Argentina, China, Jepang, Indonesia, India, Meksiko, Korea Selatan, dan Afrika Selatan, untuk memberikan rekomendasi yang dapat meminimalisir hambatan yang dihadapi, sehingga negara tersebut dapat memanfaatkan peluang ekonomi dari transisi energi dan mempercepat upaya menuju nir emisi karbon.

Misalnya saja di Korea Selatan,  129 dari 226 pemerintah daerah di negara tersebut (sekitar 57%) memiliki peraturan yang mengharuskan fasilitas tenaga surya untuk ditempatkan pada jarak minimum antara 100 hingga 1.000 meter dari daerah pemukiman dan jalan raya – yang menandai wilayah yang luas di negara tersebut tidak memungkinkan untuk pengembangan tenaga surya. 

“Energi terbarukan adalah emas yang seharusnya diperebutkan di abad ke-21, tetapi banyak bisnis, negara bagian, wilayah, dan negara yang masih ketinggalan. Era bahan bakar fosil yang murah telah berakhir, dan inilah saatnya bagi pemerintah untuk mengambil langkah sederhana untuk membuka pasar mereka bagi investasi perusahaan dalam bentuk listrik bersumber energi terbarukan yang murah dan bersih. Adalah hal yang sangat bagus jika negara-negara secara aktif mendiskusikan peningkatan kapasitas listrik terbarukan hingga tiga kali lipat, tetapi mereka juga harus mendobrak hambatan di negara mereka sendiri untuk mewujudkan janji tersebut,” ujar Sam Kimmins, Direktur Energi Climate Group.

Hambatan-hambatan yang diidentifikasi dalam laporan tersebut terbagi dalam tiga tema umum. Pertama, ketersediaan listrik terbarukan di suatu negara atau wilayah. Kedua, aksesibilitas listrik ini untuk penggunaan perusahaan. Terakhir, keterjangkauan listrik terbarukan di beberapa pasar, yang sering kali tidak sejalan dengan biaya listrik terbarukan yang jauh lebih rendah di tempat lain di dunia. Selain itu, laporan ini menelusuri pula tantangan yang ditimbulkan oleh  peraturan yang membatasi dan hambatan pasar . 

Menjelang COP28, seruan untuk melakukan lebih banyak tindakan dalam pengakhiran bertahap bahan bakar fosil dan kepemimpinan yang lebih kuat dari para pemimpin ekonomi terbesar di dunia, semakin meningkat. Langkah positif muncul pada awal tahun 2023 ketika negara-negara G20 berkomitmen untuk mengejar peningkatan kapasitas energi terbarukan sebesar tiga kali lipat secara global pada tahun 2030 melalui target dan kebijakan yang ada. Untuk melakukan hal ini, pemerintah perlu menghilangkan hambatan kebijakan yang paling umum, seperti penggunaan bahan bakar fosil dan hambatan lainnya yang memperlambat transisi energi global mencapai target  nir emisi  karbon.

“Dengan pasar energi terbarukan yang diperkirakan akan mencapai USD 2,15 triliun pada tahun 2025 dan investasi berkelanjutan yang melebihi USD 35 triliun pada tahun 2020, peluang pasar terbuka bagi negara-negara yang bekerja sama dengan dunia usaha untuk memprioritaskan keberlanjutan dan mendorong menuju nol karbon.Terus mempromosikan bahan bakar fosil, dengan tidak mendukung energi terbarukan secara memadai melalui kebijakan dan struktur pasar, artinya memilih jalan buntu,” lanjut Kimmins. 

Serangkaian rekomendasi kebijakan yang tercantum dalam laporan tersebut yang dapat digunakan oleh negara-negara untuk membuka potensi ekonomi yang sangat besar dari energi terbarukan yakni:

  • Membangun ekosistem peraturan yang mendukung untuk pengadaan dan aksesibilitas energi terbarukan oleh perusahaan
  • Meningkatkan transparansi dan tambahan sertifikat energi terbarukan (REC).
  • Mempermudah proses Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) yang rumit, termasuk mengatasi kurangnya transparansi dan insentif.
  • Memahami dan memperbaiki kesenjangan geografis dan regional dalam ketersediaan PJBL serta menyelaraskan aturan PJBL dan proses kontrak. 
  • Menciptakan tingkat persaingan yang setara untuk memastikan keterjangkauan energi terbarukan.
  • Menciptakan lapangan tandingyang setara di mana listrik terbarukan bersaing secara adil dengan bahan bakar fosil dan mencerminkan daya saing biaya produksi listrik terbarukan.
  • Menghapus subsidi bahan bakar fosil untuk menghentikan persaingan tidak sehat dengan energi terbarukan dan mengurangi beban subsidi pada pembayar pajak. 
  • Memberi insentif dan meningkatkan pasokan untuk memastikan ketersediaan energi terbarukan yang memadai. 
  • Bekerja sama dengan utilitas atau pemasok listrik untuk menyediakan dan meningkatkan opsi sumber listrik energi terbarukan bagi perusahaan
  • Mengatasi masalah perizinan dan lokasi yang terlalu membatasi peluang untuk pemasangan infrastruktur listrik terbarukan. 
  • Mendorong investasi langsung dalam proyek listrik terbarukan di lokasi dan di luar lokasi.

Selain Korea Selatan, laporan ini juga menyertakan contoh-contoh lain di mana kebijakan berdampak langsung pada investasi swasta dalam infrastruktur energi suatu negara. Pada tahun 2018, saat Presiden Andrés Manuel López Obrador berkuasa, Meksiko menarik investasi asing langsung sebesar USD 5 miliar di sektor energinya. Pada tahun 2021, angka ini hanya tinggal USD 600 juta – penurunan yang disebabkan oleh para investor yang dihalangi oleh retorika pro-bahan bakar fosil. 

Di sisi lain, Program Produsen Listrik Independen Terbarukan (Renewable Independent Power Producer Programme – REIPPP) Afrika Selatan telah mendorong lebih banyak investasi dalam pengembangan energi terbarukan, dengan 256 miliar Rand Afrika Selatan (USD 17,32 miliar) telah dikucurkan melalui program ini. Namun, jaringan listrik Afrika Selatan harus mengintegrasikannya, yang menunjukkan perlunya investasi dalam infrastruktur juga. 

Dengan mengadopsi rekomendasi dalam laporan tersebut, negara-negara dapat membuka investasi miliaran dolar, dengan tujuan keseluruhan untuk memerangi perubahan iklim dan membantu negara-negara mencapai target nir karbon. 

RE100 di Indonesia

Sementara itu, transisi energi di Indonesia membutuhkan percepatan mengingat komitmen untuk mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 (berdasarkan rencana investasi dan kebijakan komprehensif JETP Indonesia) dan untuk mencapai emisi nir emisi pada tahun 2060 atau lebih cepat. Institute for Essential Services Reform (IESR) percaya bahwa kontribusi sektor swasta merupakan salah satu faktor kunci, melalui praktik bisnis yang berkelanjutan – termasuk kemajuan penggunaan energi terbarukan untuk kegiatan operasional.

Mulai akhir tahun 2023, IESR dan RE100 bekerja sama untuk mendorong upaya dekarbonisasi perusahaan-perusahaan yang berkantor pusat di Indonesia dan perusahaan-perusahaan global yang beroperasi di Indonesia menuju pengadaan energi listrik terbarukan, sambil secara bersamaan mendorong kerangka kerja kebijakan yang lebih baik dan mendukung penggunaan energi terbarukan oleh perusahaan serta membina kerjasama dengan para pemangku kepentingan strategis di Indonesia.

“Laporan ini menekankan pentingnya permintaan korporasi terhadap energi terbarukan sebagai strategi untuk mempercepat aksi mitigasi iklim. Hal ini sejalan dengan seruan global untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada tahun 2030. Permintaan ini dapat memacu lebih banyak investasi energi terbarukan oleh sektor swasta tanpa membebani perusahaan listrik atau keuangan pemerintah. Pemerintah harus memfasilitasi investasi ini dengan menghilangkan hambatan-hambatan dalam pengadaan energi terbarukan dan meningkatkan lingkungan yang mendukung,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Sementara itu, Rachmat Kaimuddin, Deputi Menteri Bidang Infrastruktur dan Transportasi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, menyatakan, “Laporan ini memberikan contoh dari beberapa negara yang memiliki hambatan yang sangat relevan, sambil mendorong semua pemerintah untuk mempertimbangkan seluruh rekomendasi untuk memastikan bahwa rekomendasi-rekomendasi tersebut dapat mengatasi masalah-masalah utama yang menjadi perhatian utama dari perusahaan-perusahaan di semua tema. Untuk Indonesia, laporan ini menyoroti masalah aksesibilitas untuk energi terbarukan karena tingginya porsi bahan bakar fosil di jaringan listrik dan kurangnya kerangka kerja pengadaan yang jelas untuk power wheeling dan Power Purchase Agreement (PPA). Laporan ini mendesak Indonesia untuk memprioritaskan pembukaan pasar untuk investasi swasta dan secara bersamaan mengembangkan infrastruktur jaringan listrik dan fleksibilitas untuk mengimbangi pengembangan proyek untuk membuka potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan dan investasi terkait.”

Laporan tersebut dapat diunduh di sini.

Kontak Media Indonesia:

Kurniawati Hasjanah, kurniawati@iesr.or.id 

***********

Catatan untuk Editor:

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:

Nick Ringrow

Senior Manajer Komunikasi, Energi, Climate Group

nringrow@climategroup.org

 

Metodologi: 

Laporan ini berfokus pada negara-negara yang memiliki hambatan dan tantangan utama yang paling akut. Penelitian ini didasarkan pada data yang dikumpulkan dari lebih dari 400 perusahaan anggota RE100 bersama dengan konsultasi dari para anggota, mitra lokal utama di banyak pasar yang dinilai, dan pemangku kepentingan pemerintah. Hal ini didukung dengan sumber data internasional dan lokal yang tersedia untuk umum.

Tentang Climate Group 

Climate Group mendorong aksi iklim. Cepat. Tujuan kami adalah dunia tanpa emisi karbon pada tahun 2050, dengan kemakmuran yang lebih besar untuk semua. Kami fokus pada sistem dengan emisi tertinggi dan di mana jaringan kami memiliki peluang terbesar untuk mendorong perubahan. Kami melakukan ini dengan membangun jaringan yang besar dan berpengaruh serta meminta pertanggungjawaban organisasi, mengubah komitmen mereka menjadi tindakan. Kami berbagi apa yang kami capai bersama untuk menunjukkan kepada lebih banyak organisasi apa yang dapat mereka lakukan. Kami adalah organisasi nirlaba internasional yang didirikan pada tahun 2004, dengan kantor di London, Amsterdam, Beijing, New Delhi, dan New York. Kami bangga menjadi bagian dari koalisi We Mean Business. Ikuti kami di Twitter @ClimateGroup. 

Tentang RE100

RE100 adalah inisiatif global yang menyatukan bisnis-bisnis paling berpengaruh di dunia yang berkomitmen untuk 100% listrik terbarukan. Dipimpin oleh Climate Group, misi kami adalah mendorong perubahan menuju 100% jaringan listrik terbarukan, baik melalui investasi langsung dari para anggota kami, maupun dengan bekerja sama dengan para pembuat kebijakan untuk mempercepat transisi menuju ekonomi yang bersih. Inisiatif ini memiliki lebih dari 400 anggota, mulai dari merek rumah tangga hingga infrastruktur penting dan pemasok industri berat. Dengan total pendapatan lebih dari US$6,6 triliun, para anggota kami mewakili 1,5% konsumsi listrik global, permintaan listrik tahunan yang lebih tinggi daripada permintaan listrik di Inggris. RE100 didirikan melalui kemitraan dengan CDP.

 

Peta Jalan Kebijakan Transportasi Rendah Emisi di Tingkat Nasional dan Regional

press release

Jakarta, 5 Desember 2023 – Penurunan emisi yang signifikan di sektor transportasi merupakan strategi untuk mencapai nir emisi pada 2050  sesuai Persetujuan Paris, atau mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 sesuai target Pemerintah Indonesia. Peta jalan dekarbonisasi transportasi yang komprehensif menjadi langkah penting untuk menerjemahkan komitmen pemerintah ke dalam strategi yang dapat diimplementasikan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengembangkan peta jalan kebijakan dekarbonisasi sektor transportasi di tingkat nasional dan regional (Jabodetabek). Berdasarkan data IESR, sektor transportasi, terutama transportasi darat, bertanggung jawab terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Pergerakan penumpang transportasi darat menyumbang emisi sebesar 73% atau sebesar 110 mtCO2e dari total emisi transportasi pada 2022.

“Indonesia telah memutakhirkan target penurunan emisinya pada Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Namun, penurunan emisi bukan hanya berdasarkan persentase saja, harus selaras dengan Persetujuan Paris. Untuk itu, IESR melakukan pemodelan peta jalan peluang dekarbonisasi sektor transportasi dengan struktur model nasional dan regional Jabodetabek. Pemodelan ini bertujuan untuk menemukan langkah optimal yang dapat dilakukan dalam peningkatan aksi mitigasi perubahan iklim Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. 

Rahmi Puspita Sari, Analis Mobilitas Berkelanjutan IESR, memaparkan secara nasional, pertumbuhan kendaraan pada 2021 telah melebihi laju pertumbuhan populasi penduduk. Di tingkat nasional, sepeda motor mendominasi total jumlah kendaraan teregistrasi sekitar 84,54% per tahun 2021. Hal yang sama juga terjadi di tingkat regional Jabodetabek, sebanyak 75,8% dari moda transportasi yang digunakan adalah sepeda motor per tahun 2019 berdasarkan laporan Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI). Dominasi kepemilikan sepeda motor ini disebabkan Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat meningkat dan harga sepeda motor yang juga cukup murah.

“Saat ini kita tidak memiliki angkutan umum yang dapat bersaing dengan sepeda motor dari sisi harga dan waktu. Kondisi tersebut akan menimbulkan dampak buruk karena pembakaran sepeda motor tidak sempurna dibandingkan mobil, sehingga berpotensi menimbulkan polusi yang lebih parah. Selain itu, ada juga fenomena mobilitas penglaju (commuter mobility) yakni penduduk yang melakukan mobilitas antar zona dari luar Jakarta ke Jakarta karena pendidikan dan pekerjaan. Sekitar 10% perjalanan di Jakarta disebabkan penglaju. Kemudian, ada juga fenomena mobilitas sirkuler (circular mobility) dengan pergerakannya tahunan. Misalnya saja penduduk semi permanen di kota lalu kembali ke kampung halamannya atau bepergian untuk liburan,” terang Rahmi. 

IESR menguji kebijakan yang berkaitan dengan kendaraan dan pergerakan penumpang dalam pemodelan peta jalan dekarbonisasi transportasi. Secara nasional, dengan berpedoman pada prinsip avoid (hindari dan kurangi perjalanan), shift (beralih ke kendaraan rendah karbon), improve (peningkatan efisiensi energi) terdapat 5 kebijakan yang diuji untuk menurunkan emisi di sektor transportasi. Lima kebijakan tersebut adalah bekerja dari rumah (work from home), pemusatan perjalanan pada transportasi publik, penggunaan biofuel, penetapan jumlah minimum efisiensi bahan bakar bermotor (fuel economy standard) dan pemberian insentif kepada kendaraan listrik motor dan mobil.

Fauzan Ahmad, Tasrif Modeling Team, yang juga terlibat pada pembuatan peta jalan dekarbonisasi transportasi ini, menyatakan, hasil pengujian kebijakan tersebut memperlihatkan adanya penurunan emisi transportasi dengan rentang 15%-75% hingga tahun 2060, melalui kombinasi kebijakan bekerja dari rumah (work from home), kendaraan listrik, penggunaan biofuel, penggunaan transportasi publik, dan efisiensi bahan bakar. Penurunan tersebut sebagian besar baru didukung oleh kebijakan kendaraan penumpang dan belum berkaitan dengan kendaraan barang serta logistik darat. 

“Kebijakan kendaraan listrik memungkinkan untuk berdampak besar dan menjadi pengubah signifikan (game changer) bagi penurunan emisi nasional. Namun setidaknya ada dua yang harus dicapai agar berdampak pada level nasional, yakni peningkatan pangsa penjualan kendaraan listrik (sales share EV) dan dukungan kebijakan yang mendorong pengurangan jumlah kendaraan berbahan bakar (ICE) yang tidak memenuhi syarat beroperasi (discard rate). Selain itu, pergeseran moda ke arah transportasi umum memiliki dampak yang lebih berkelanjutan (sustain) dalam konteks penggunaan bahan bakar dan sumber daya, namun membutuhkan investasi yang cukup besar,” terang Fauzan. 

Sementara secara regional Jabodetabek, dengan menggunakan prinsip avoid, shift  dan improve, terdapat 7 kebijakan yang diuji pada peta jalan dekarbonisasi transportasi yaitu perencanaan pembangunan di sekitar transportasi umum (Transit Oriented Development, TOD), bekerja dari rumah (work from home, WFH), pemberlakukan zona pembatasan terhadap kendaraan beremisi tinggi (Low, Emission Zone, LEZ), pemusatan pada transportasi publik, penggunaan biofuel, penetapan jumlah minimum efisiensi bahan bakar bermotor (fuel economy standard) dan pemberian insentif kepada kendaraan listrik motor dan mobil.

Arij Ashari Nur Iman, Tasrif Modeling Team menjelaskan hasil pengujian kebijakan di tataran regional menunjukkan terjadi penurunan emisi transportasi sekitar 7%-43% setiap tahunnya dari skenario baseline pada rentang waktu 2010-2060, melalui kombinasi kebijakan WFH, LEZ, TOD, kendaraan listrik, biofuel, penggunaan transportasi publik, dan efisiensi bahan bakar.

“Penetapan kebijakan rendah karbon akan menurunkan emisi optimal dengan nilai maksimal sebesar 45%. Jika dilihat per kebijakan, yang paling signifikan adalah penetapan jumlah minimum efisiensi bahan bakar bermotor, penggunaan biofuel, pemusatan pada transportasi publik dan penggunaan kendaraan listrik,” jelas Arij. 

Ambisi Penurunan Emisi Indonesia Perlu Semakin Meningkat

press release

Jakarta, 4 Desember 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) mengharapkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (Conference of the Parties, COP-28) dapat memperkuat  komitmen semua negara, termasuk Indonesia, untuk memangkas emisi gas rumah kaca di 2030. Sesuai hasil Global Stocktake, janji dan realisasi penurunan emisi masih jauh untuk mencapai target Paris Agreement. Untuk itu, pasca COP-28 semua negara perlu meninjau kembali Nationally Determined Contribution (NDC)-nya serta membuat target mitigasi krisis iklim yang lebih ambisius.  

Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam sambutannya di COP-28 menyampaikan Indonesia berkomitmen untuk mencapai net zero emission (NZE) di 2060 atau lebih awal. Untuk itu, Jokowi berharap melalui COP-28 dapat terbangun kerjasama dan kolaborasi inklusif untuk mendukung pencapaian NZE tersebut. Ia menjelaskan Indonesia sedang mempercepat transisi energi, dengan pengembangan energi terbarukan, dan menurunkan penggunaan PLTU batubara. Upaya mencapai target NZE 2060 membutuhkan pembiayaan yang besar, lebih dari USD 1 triliun. Ia mengundang lebih banyak kolaborasi dan investasi untuk menyokong pembiayaan transisi energi yang berbunga rendah. Menurutnya, menuntaskan masalah pendanaan transisi energi merupakan cara menyelesaikan masalah dunia.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang investasi yang besar untuk bertransisi energi perlu didukung dengan kebijakan yang mendukung. Indonesia semestinya dapat mengeluarkan kebijakan dan komitmen yang lebih ambisius dengan semakin sempitnya waktu untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius sesuai Persetujuan Paris. Berdasarkan laporan diskusi Inventarisasi Global atau Global Stocktake UNFCCC tahun 2023, komitmen negara-negara di dunia yang tercantum pada NDC-nya tidak sejalan dengan Persetujuan Paris. Hal ini akan menyulitkan upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global sebesar 43 persen di 2030 dari tingkat emisi 2010  dan 60 persen di 2035 dan nir emisi pada 2050. Tidak hanya itu, dengan target NDC yang disampaikan pada COP27, suhu bumi pada 2050 diperkirakan melampaui target Persetujuan Paris.

“Indonesia perlu menyampaikan target penurunan emisi yang lebih ambisius dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim dalam Second NDC (SNDC) yang rencananya akan disampaikan 2025. Agar selaras dengan target 1,5°C, tingkat emisi pada 2030 harus maksimal 850 juta ton untuk seluruh sektor. Sementara itu, di sektor kelistrikan, transisi energi ditandai dengan target 44% bauran energi terbarukan di 2030. Meskipun target bauran energi terbarukan tersebut tercapai, belum dapat membuat emisi sektor kelistrikan mencapai level di bawah 200 juta ton CO2, sesuai dengan jalur 1,5°C. Untuk itu, selain penambahan energi terbarukan, masih diperlukan pengakhiran operasi PLTU, 8 sampai 9 GW sebelum 2030 untuk menurunkan emisi pada level tersebut,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Pada 2025, Indonesia perlu meningkatkan ambisinya dalam Enhanced NDC yang saat ini hanya membidik target penurunan emisi sebesar 31,89% dengan upaya sendiri  (unconditional) dan 43,2% dengan bantuan internasional (conditional) pada tahun 2030. Target ini dibuat dengan membandingkan proyeksi business as usual (BAU) 2010. Sementara,  IESR, dengan menggunakan proyeksi dari data emisi tahun 2020, menemukan bahwa Indonesia dapat menetapkan target ambisi iklim tanpa syarat (unconditional NDC) sebesar 26% hingga 2030. Peningkatan target ambisi ini lebih tinggi dari target saat ini dan bertujuan agar Pemerintah Indonesia dapat tetap menetapkan target ambisi iklim yang lebih relevan untuk sejalan dengan target Persetujuan Paris agar pemanasan global tidak melebihi 1,5°C.

“Banyak peluang yang Indonesia dapat lakukan agar meningkatkan pencapaian target bauran energi terbarukan yang sejalan dengan Persetujuan Paris. Misalnya dengan menyesuaikan penyusunan SNDC dengan prinsip-prinsip NDC dalam Article 4 Line 13 dari Persetujuan Paris yakni mempromosikan integritas lingkungan hidup, transparansi, akurasi, keutuhan, keterbandingan, konsistensi, dan memastikan terhindar penghitungan ganda, menggunakan metode-metode yang layak untuk mencapai upaya dekarbonisasi, dan mempercepat dekarbonisasi keluar dari penggunaan bahan bakar fosil,” ujar Wira A Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR. 

Wira menambahkan Indonesia perlu menarik dukungan internasional, berkolaborasi dalam teknologi dan pengetahuan, untuk mendorong pengembangan energi terbarukan agar dapat menerapkan temuan-temuan kunci dari Technical Dialogue of the first GST, khususnya di bidang mitigasi iklim. Utamanya, pada COP-28 juga didorong untuk meningkatkan target energi terbarukan tiga kali lipat lebih besar atau setara 11 TW pada 2030. 

Menurutnya, Indonesia dapat berkolaborasi dan memperkuat kerja sama dengan Uni Emirat Arab (UAE). Terlebih, Masdar perusahaan asal Uni Emirat Arab, telah terlibat dalam pembangunan PLTS terapung Cirata dan berinvestasi di sektor energi panas bumi, seiring dengan statusnya sebagai investor strategis dalam penawaran umum perdana saham atau IPO PT Pertamina Geothermal Tbk. (PGEO) pada Februari 2023. 

“Kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara lain, termasuk UAE, sesungguhnya dapat membantu untuk upaya dekarbonisasi Indonesia untuk memitigasi dampak buruk dari perubahan iklim. Indonesia sudah memiliki berbagai kerja sama iklim, misalnya melalui mekanisme JETP dan berbagai kerja sama bilateral tetapi masih terdapat banyak kesenjangan untuk mendorong implementasi mitigasi dan adaptasi iklim yang lebih ambisius. Lebih khusus dalam hal pendanaan dan peningkatan kapasitas,” terang Wira. 

Sekilas tentang Global Stocktake bisa dilihat di sini

Energi Surya Dapat Jadi Strategi Pencapaian Target Energi Terbarukan di Jambi

press release

Jambi, 28 November 2023 – Pemerintah daerah mempunyai peran signifikan untuk menggenjot pemanfaatan energi terbarukan di daerahnya. Hal ini akan berkontribusi terhadap pencapaian target bauran energi terbarukan nasional. Jambi, menjadi salah satu daerah yang tengah mengejar target bauran energi terbarukan daerahnya sebesar 24 persen pada 2025 dan 40 persen pada 2050. Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank terkemuka di Indonesia, menggarisbawahi pentingnya percepatan pemanfaatan energi surya di Provinsi Jambi sebagai langkah konkret dalam mencapai target bauran energi terbarukan daerah dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebagai penyebab krisis iklim. 

Berdasarkan studi IESR berjudul Beyond 443 GW: Indonesia’s Infinite Renewable Energy Potentials, Jambi memiliki potensi energi surya mencapai 281,5 GWp. Sementara itu, berdasarkan Rencana Umum Energi Daerah, Jambi memiliki potensi tenaga surya sebesar 8.847 MW. Namun demikian, kapasitas terpasang PLTS hanya sekitar 0,68 MW per tahun 2022. 

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR menuturkan energi surya merupakan energi demokratis yang tersedia di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, saat ini teknologi energi surya tergolong mudah diakses, dengan biaya investasinya yang semakin terjangkau.

“Kami percaya bahwa energi surya menjadi solusi strategis dalam mitigasi krisis iklim. Beberapa manfaat dalam penggunaan PLTS atap yakni peningkatan bauran energi terbarukan dan penurunan emisi gas rumah kaca melalui gotong royong berbagai pihak, mampu menyediakan sumber energi listrik terbarukan tanpa perlu membangun pembangkit listrik skala besar, membuka peluang usaha di sektor pekerjaan hijau serta mendorong peningkatan daya saing industri surya dalam energi. Kami berharap Indonesia tidak hanya menjadi pasar dari industri energi surya, tetapi juga memantik perekonomian hijau dan sirkular,” ujar Marlistya dalam Forum Pemerintah Jambi, Implementasi Energi Surya di Provinsi Jambi yang diselenggarakan pada Selasa (28/11). 

Marlistya mengajak semua pemangku kepentingan untuk memainkan perannya secara proaktif dalam mempercepat pemanfaatan energi surya di Provinsi Jambi. Ia menekankan lima hal yang dapat dilakukan untuk memacu adopsi PLTS di tingkat daerah.  Pertama, memastikan adanya regulasi, kebijakan dan implementasi yang jelas. Kedua, memberikan dorongan melalui regulasi, kebijakan dan himbauan. Ketiga, memperbanyak praktik-praktik baik dalam pemanfaatan energi surya. Keempat, meningkatkan akses informasi energi terbarukan, khususnya energi surya. Kelima, pemberian insentif/fasilitasi serta memperluas potensi pembiayaan. 

Nanang Kristanto, Sub Koordinator Pemantauan Pelaksanaan RUEN, Dewan Energi Nasional menjelaskan bahwa Indonesia tengah melakukan pembaruan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Pembaruan KEN ini dilakukan agar kebijakan energi selaras dengan kebijakan perubahan iklim. Mengingat, sektor energi diprediksi akan menjadi penyumbang emisi terbesar setelah sektor kehutanan di tahun 2030. 

“Terdapat pembaruan di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) KEN seperti mempertimbangkan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Bauran energi primer tahun 2060 terdiri dari energi terbarukan sekitar 70-72%, dan energi tak terbarukan sekitar 28-30%, dan kebijakan pendukung dibuat rinci per pasal sehingga menambah jumlah pasal dalam RPP KEN,” kata Nanang. 

Nanang mengungkapkan lima peran penting daerah dalam transisi energi menuju NZE pada perubahan KEN. Pertama, semua lokus kegiatan di wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, melaksanakan kegiatan turunan transisi energi sesuai kewenangannya. Ketiga, dukungan pendanaan kepada daerah baik pemerintah pusat atau swasta. Keempat, kesiapan sumber daya manusia dalam mendukung teknologi baru yang digunakan. Kelima, sosialisasi kepada masyarakat sebagai pengguna energi. 

Anjas Bandarso, Analis Kebijakan Energi dari Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri menjelaskan adanya penguatan kewenangan daerah provinsi dalam memanfaatkan energi terbarukan di daerah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Sub Bidang Energi Baru Terbarukan. Perpres tersebut juga mengoptimalisasi koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.

“Kami memberi kewenangan baru agar pemerintah provinsi dapat mengelola biomassa atau biogas, baik sebagai energi maupun sebagai bahan bakar pengganti liquefied petroleum gas (LPG). Kemudian,  pengelolaan aneka energi terbarukan serta pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan konservasi energi,” ujar Anjas. 

Anjas berharap adanya sikap saling mendukung antara pemerintah pusat dan daerah serta kuatnya komitmen politik dan kepedulian yang nyata di tataran daerah untuk mendorong pencapaian target energi terbarukan.

Pergelaran SE-Bali 2023 Ajak Masyarakat Bali Sukseskan Bali NZE 2045

Bali, 25 November 2023 –  Pemerintah Provinsi Bali telah mendeklarasikan Bali menuju Net Zero Emission 2045 atau Bali NZE 2045 pada Agustus 2023 lalu. Pelaksanaan strategi dan kolaborasi dengan berbagai pihak terus dilakukan untuk mewujudkan Bali NZE 2045. Mendukung inisiatif tersebut,  Institute for Essential Services Reform (IESR)  berkolaborasi dengan berbagai komunitas  menggelar Sustainable Energy Bali (SE-Bali) 2023 pada Sabtu dan Minggu, 25-26 November 2023. Selain mempromosikan penggunaan energi terbarukan, acara ini juga bertujuan untuk mendorong kebersamaan untuk pencapaian target Bali NZE 2045.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, memandang pencapaian target Bali NZE 2045 akan berpengaruh dalam peningkatan ekonomi yang berkelanjutan, terutama di sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung Bali. Ia meyakini bahwa Bali akan mampu mencapai target NZE yang lebih cepat 15 tahun dari target nasional.

“Ada tiga alasan Bali yang menjadikan Bali strategis untuk mencapai target ini. Pertama, budaya Bali yang sangat erat dalam menjaga keselarasan hidup dengan alam. Kedua, pemerintahnya mempunyai semangat untuk menjadikan Bali lestari dengan energi berkelanjutan. Ketiga, pemanfaatan energi terbarukan akan menjadikan Bali lebih menarik untuk dikunjungi wisatawan seiring dengan meningkatnya kesadaran dunia untuk mengatasi krisis iklim,” ungkap Fabby.

Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bali, Ida Bagus Setiawan mengungkapkan pencapaian Bali NZE 2045 merupakan pekerjaan bersama. 

“Bali NZE 2045 bukan hanya tentang program Pemprov Bali semata, tetapi juga mengenai bagaimana kita semua dapat terlibat dalam menjaga alam Bali. Untuk itu, selain mengakselerasi penggunaan energi terbarukan, Pemprov Bali juga mendorong peningkatan sumber daya manusia (SDM) terkait pemahaman individu tentang pentingnya pengurangan emisi hingga meningkatkan kemampuan siswa SMK agar nantinya dapat terserap di lapangan pekerjaan hijau,” ujar Ida Bagus Setiawan. 

Prof. Ida Ayu Dwi Giriantari, Ketua Center of Excellence Community of Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana menjelaskan, Nusa Penida menjadi daerah yang lebih awal untuk mencapai net zero dalam program Bali NZE 2045, dengan target 100% energi terbarukan pada 2030. Salah satu langkah nyata mendukung visi ini adalah beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hybrid di Nusa Penida dengan kapasitas 3,5 Megawatt peak (MWp). PLTS ini terletak di lahan seluas 4,5 hektar, bukan hanya sebagai sumber energi yang bersih dan berkelanjutan, tetapi juga memiliki potensi sebagai destinasi ekowisata yang menarik di Bali.

“Pencapaian target 100% energi terbarukan di Nusa Penida merupakan langkah nyata dalam mendukung keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem. Kami sangat percaya bahwa potensi energi terbarukan, seperti surya, angin, dan hidro, dapat dimaksimalkan untuk mencapai keberlanjutan lingkungan,” terang Prof Ida Ayu. 

Pelibatan Generasi Anak Muda dalam Isu Transisi Energi

Jakarta, 24 November 2023 – Dampak krisis iklim semakin terasa seiring dengan meningkatnya suhu bumi. Laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan suhu bumi telah meningkat 1,1°C pada tahun 2011-2020 dibandingkan pada 1850-1900. Upaya mitigasi dan aksi iklim yang serius demi menekan emisi gas rumah kaca guna menjaga agar peningkatan suhu tidak melebihi 1,5 derajat Celcius perlu terus dilakukan. Salah satunya dengan bertransisi energi atau beralih dari energi yang padat karbon seperti energi berbahan bakar batubara ke energi terbarukan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai dalam proses transisi energi perlu melibatkan generasi masa depan, terutama anak-anak dan orang muda. Anak muda memiliki peran krusial dalam memastikan pembangunan berkelanjutan dapat berjalan di tengah tantangan perubahan iklim. Mereka pula yang akan membangun masa depan yang mengedepankan penggunaan sumber daya yang lebih ramah lingkungan serta pertumbuhan ekonomi yang mementingkan aspek kelestarian lingkungan.

Farah Vianda, Koordinator Pembiayaan Berkelanjutan, IESR dalam acara Road to Youth Climate Conference (23/11) menuturkan pengurangan penggunaan energi fosil memang memerlukan kebijakan pemerintah, namun orang muda pun dapat melakukan aksi-aksi individu yang berdampak pada penurunan emisi gas rumah kaca.

“Setiap individu khususnya anak-anak dan orang muda dapat terlibat untuk melakukan langkah konkret dalam mitigasi krisis iklim. Salah satu langkah utama adalah mengubah kebiasaan sehari-hari, mulai dari penggunaan listrik dan freon yang lebih bijak, hingga mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor dan membeli produk dengan bijak. Dengan langkah sederhana ini, anak muda dapat menciptakan dampak positif yang signifikan dalam mitigasi krisis iklim,” tegas Farah.

Farah menjelaskan, transisi energi melibatkan pergeseran fundamental dalam cara kita memproduksi dan mengkonsumsi energi. Menurutnya, dengan menitikberatkan pada penggunaan sumber daya yang lebih ramah lingkungan, akan dapat membentuk fondasi yang kuat bagi keberlanjutan bumi. Hal ini tidak hanya tentang teknologi, tetapi juga melibatkan pemahaman dan partisipasi aktif dari anak-anak dan orang muda sebagai agen perubahan masa depan.

Rahmat Jaya Eka Syahputra, Staf Program Transformasi Energi, IESR, menyoroti efisiensi energi dalam konteks transisi energi dengan mengurangi konsumsi energi yang tidak perlu. Menurutnya, pemahaman yang kuat terhadap pengurangan emisi karbon akan membentuk kebiasaan menghitung emisi dan berujung pada melakukan aktivitas sehari-hari yang rendah karbon.

“Efisiensi energi tidak hanya memberikan manfaat lingkungan dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga dapat memberikan manfaat ekonomi dengan menghemat biaya energi individu. Dengan berpartisipasi aktif melalui langkah efisiensi energi, individu telah ikut mengambil peran sesuai porsinya dalam mengatasi masalah iklim,” terang Rahmat.

Mendorong Transisi Energi Berkeadilan di Daerah Penghasil Batubara

Jakarta, 21 November 2023 –  Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang mitigasi dampak transisi energi di daerah penghasil batubara, perlu menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah. Pelibatan masyarakat terdampak dengan mengedepankan aspek berkeadilan dalam proses transisi energi menjadi krusial sehingga dapat beralih dari sistem ekonomi padat fosil ke ekonomi yang berkelanjutan.

IESR telah melakukan kajian berjudul  Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim dengan lokasi penelitian di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Studi tersebut menemukan bahwa daerah penghasil batubara berpotensi berkontribusi terhadap transisi ekonomi menuju energi bersih. Beberapa hal yang menjadi potensi berjalannya transisi energi di antaranya timbulnya kesadaran untuk tidak bergantung pada satu sumber pendapatan daerah saja, seperti hanya pada sektor batubara, adanya inisiatif perusahaan untuk mengembangkan bisnis di luar batubara dan Corporate Social Responsibility (CSR) yang dapat menjadi sumber pendanaan untuk pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, potensi tersebut belum dapat optimal karena beberapa hambatan, seperti terbatasnya kewenangan pemerintah daerah, kurangnya kapasitas keuangan, dan kurangnya infrastruktur kesehatan dan pendidikan.

“Pemerintah perlu memperhatikan fenomena transisi energi di daerah penghasil batubara agar dampaknya dapat ditanggulangi. Saat ini Indonesia masih memiliki waktu untuk mempersiapkan proses transisi energi, namun waktunya tidak cukup lama. Jangan sampai saat industri batubara berakhir, daerah tidak siap untuk melakukan transformasi. Pemahaman yang tepat terkait konteks transisi energi di daerah perlu dikuasai oleh pemerintah pusat sehingga dapat melakukan intervensi aktif di daerah penghasil batubara,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada media dialogue dengan judul “Transisi Berkeadilan di Daerah Penghasil Batubara di Indonesia: Studi Kasus Kab. Muara Enim dan Kab. Paser”.

Kajian ini juga menemukan bahwa kurangnya diversifikasi ekonomi dan pengembangan industri di wilayah penghasil batubara. Sebagian besar batubara yang diproduksi di Paser dan Muara Enim diekspor ke daerah lain dan belum mendorong pengembangan industri di daerah tersebut. Perkembangan industri juga lambat di kedua wilayah, terutama di Paser, di mana produk domestik regional bruto (PDRB) industri manufaktur masih lebih rendah daripada pertanian. Di Muara Enim, kurangnya peluang ekonomi yang layak juga disebabkan oleh terbatasnya lahan pertanian, terutama perkebunan karet, sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan dari perkebunan menjadi area konsesi pertambangan.

“Untuk itu, kami mendorong agar pemerintah pusat dan daerah dapat melakukan transformasi ekonomi dengan sektor keunggulan di setiap daerah penghasil batubara. Misalnya saja sektor keunggulan di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur yakni pendidikan dan jasa keuangan. Sementara itu, sektor keunggulan di Kabupaten Muara Enim,  Sumatera Selatan yakni akomodasi dan jasa makanan karena kinerjanya yang lebih baik dibandingkan dengan daerah sekitarnya,” terang Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR. 

Rusdian Noor, Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Paser, Kalimantan Timur berharap agar akselerasi transisi energi di daerah penghasil batubara diiringi dengan dukungan dari pemerintah pusat untuk investasi dan inovasi teknologi. 

“Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kab Paser per tahun 2022 untuk membiayai pembangunan daerah sekitar 75% dari pendapatan dan disumbang paling besar oleh pertambangan. Transisi energi dengan diversifikasi sektor ekonomi harus mampu memenuhi 75% PDR sehingga kami tidak kehilangan daya dalam melaksanakan pembangunan,” ujar Rusdian. 

Senada, Mat Kasrun, Kepala Bappeda Kab. Muara Enim, mengungkapkan agar pihaknya dilibatkan dalam setiap pembuatan kebijakan terkait transisi energi dan kewenangan pengembangan energi baru dan terbarukan. Selain itu, ia juga berharap dukungan dari pemerintah pusat seperti diberikan keleluasaan dalam wewenang atau perizinan dalam pengembangan sektor ekonomi baru di daerah.

Menjajaki Pengakhiran Dini Operasional PLTU Batubara

press release

Jakarta, 15 November 2023 – Pemerintah tengah menindaklanjuti Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, dengan menggodok peta jalan pengakhiran operasional PLTU batubara. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang penyusunan peta jalan pengakhiran dini operasional PLTU batubara merupakan langkah awal untuk mendorong pengembangan energi terbarukan. Selanjutnya, setelah peta jalan ditetapkan, pemerintah perlu mempersiapkan kerangka regulasi yang dapat mendukung penerapan struktur atau skema pembiayaan untuk pengakhiran operasional PLTU batubara di Indonesia.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR, mengungkapkan sudah ada beberapa usulan struktur untuk pengakhiran operasional PLTU seperti write-off atau  penghapusan aset PLTU dari catatan perusahaan karena dinilai tidak ekonomis lagi, atau misalnya spin-off yaitu penjualan aset ke perusahaan baru untuk mengelola aset tersebut dengan masa operasi lebih singkat. Selain itu, menurutnya, pemerintah perlu membuat beberapa proyek percontohan (pilot) untuk pengakhiran operasional PLTU yang sedang berjalan seperti PLTU Cirebon, sebagai pembuktian konsep dan memberikan kepastian pada PLN maupun Produsen Listrik Swasta (Independent Power Producers, IPP) sebagai pemilik aset PLTU.

“Selain dari skema atau struktur yang jelas dalam pengakhiran dini operasional PLTU batubara, diperlukan pula mekanisme untuk bisa mengalokasikan pendanaan yang didapatkan dari pengakhiran dini PLTU tersebut ke pembangkit energi terbarukan. Regulasi yang ada sekarang di Indonesia tidak memungkinkan hal ini, sehingga perlu dikaji dan diusulkan perubahannya agar pendanaan energi terbarukan yang biayanya bisa murah bisa sekaligus digunakan untuk mempensiunkan aset PLTU,” kata Deon pada diskusi panel Enlit Asia berjudul “Leapfrogging to NZE: Accessing ASEAN readiness to retrofit or early retire coal fleets” (15/11).

Deon memandang masih banyak pekerjaan rumah untuk melaksanakan pensiun dini PLTU, misalnya memastikan bahwa ada payung legal yang menjelaskan bahwa pengakhiran dini operasional  PLTU memang bagian dari kebijakan negara untuk bertransisi energi dan mengurangi emisi, ketersediaan regulasi yang memungkinkan modifikasi perjanjian jual beli listrik (PJBL) dan lainnya.

“Lebih baik lagi jika strategi pada PLTU merupakan bagian dari upaya transisi energi yang ingin mengintegrasikan energi terbarukan dalam skala besar sehingga mengurangi emisi GRK. Jika tujuannya seperti itu, maka aset PLTU akan dioptimalkan untuk memastikan energi terbarukan bisa masuk ke bauran listrik dengan cepat dan murah. Misalnya, selain menunggu dipensiunkan, PLTU bisa dioperasikan secara fleksibel untuk membantu menjaga kestabilan dan keandalan sistem seiring meningkatnya bauran PLTS dan PLTB yang intermiten,” imbuh Deon.

 

PLTS Cirata Siap Beroperasi: Tonggak Penting bagi Akselerasi Pengembangan Energi Surya untuk Dekarbonisasi Kelistrikan di Indonesia

Jakarta, 9 November 2023 –  Hari ini  Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung Cirata yang berlokasi di Waduk Cirata, Jawa Barat berkapasitas 145 MW(ac) atau 192 MW(p) diresmikan. Dengan peresmian PLTS terapung di Cirata ini, kini Indonesia menjadi lokasi PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara – yang sebelumnya dipegang oleh PLTS terapung Tengeh di Singapura. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, pengoperasian PLTS terapung Cirata menjadi tonggak  akselerasi pengembangan pembangkit listrik tenaga surya berskala besar di Indonesia yang praktis mati suri sejak 2020. Seiring dengan semakin menurunnya biaya investasi PLTS, yang menjadikannya sebagai pembangkit energi terbarukan termurah saat ini, Indonesia harus mengoptimalkan potensi teknis PLTS yang mencapai 3,7 TWp s.d 20 TWp untuk mendukung tercapainya target puncak emisi sektor kelistrikan di 2030, dengan biaya termurah.  

IESR juga mendorong pemerintah dan PLN untuk memanfaatkan potensi teknis PLTS terapung yang mencapai 28,4 GW dari 783 lokasi badan air di Indonesia untuk akselerasi pemanfaatan PLTS. Data Kementerian ESDM menunjukkan adanya potensi PLTS terapung skala besar yang dapat dikembangkan setidaknya di 27 lokasi badan air yang memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dengan total potensi mencapai 4,8 GW dan setara dengan investasi sebesar USD 3,84 miliar (Rp55,15 triliun). Pemanfaatan potensi PLTS terapung ini akan mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan dan meraih target net zero emission (NZE) lebih cepat dari tahun 2060. 

Pemerintah dan PLN harus mengoptimalkan potensi PLTS terapung dengan menciptakan kerangka regulasi yang menarik minat pelaku usaha untuk berinvestasi di pembangkit ini. Salah satunya dengan memberikan tingkat pengembalian investasi sesuai profil risiko tetapi menarik dan mengurangi beban tambahan. 

Salah satu yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah skema penugasan PLN kepada anak perusahaannya, yang selama ini menjadi opsi prioritas pengembangan PLTS terapung. Melalui skema ini anak perusahaan mencari equity investor untuk kepemilikan minoritas tetapi harus mau menanggung porsi equity yang lebih besar melalui shareholder loan.  

“Skema ini menguntungkan PLN, tetapi memangkas pengembalian investasi bagi investor dan beresiko pada bankability proyek dan minat pemberi pinjaman. Skema ini juga dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat di antara para pelaku usaha, karena hanya mereka yang punya ekuitas besar saja yang bisa bermitra dengan PLN, dan mayoritas investor asing. Hal ini dapat berdampak pada minat investasi secara keseluruhan,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa.  

Solusinya, menurut Fabby, membutuhkan dukungan pemerintah dengan cara pemerintah memperkuat permodalan PLN dan anak perusahaannya melalui penyertaan modal negara (PMN) khusus untuk pengembangan energi terbarukan, dan/atau memberikan pinjaman konsesi kepada PLN melalui PT SMI yang kemudian dapat dikonversi sebagai kepemilikan saham pada proyek PLTS terapung.  

Indonesia dapat meraup potensi potensi investasi dan listrik yang rendah emisi dari PLTS terapung dengan dukungan regulasi yang pasti dan mengikat dari pemerintah. Pada Juli 2023, pemerintah telah menerbitkan Permen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Nomor 27/PRT/M/2015 Tentang Bendungan yang tidak lagi membatasi luasan badan air di waduk yang dapat dimanfaatkan untuk PLTS terapung di angka 5%. Peraturan tersebut membuka peluang pengembangan PLTS terapung dengan skala yang lebih besar, dengan catatan bila menggunakan luasan badan air lebih dari 20%, perlu mendapatkan rekomendasi dari Komisi Keamanan Bendungan.

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR memandang hal ini menjadi salah satu peluang untuk mengatasi permasalahan lahan dalam pengembangan PLTS.

“Ketersediaan lahan kerap menjadi hambatan dalam pengembangan PLTS, terutama di wilayah yang sudah padat dengan harga lahan tinggi, juga tutupan lahan yang bisa jadi tidak sesuai untuk PLTS, misalnya terlalu curam atau merupakan lahan pertanian produktif. Indonesia juga memiliki cukup banyak bendungan, baik dengan PLTA atau tidak, yang bisa digunakan sebagai lokasi potensial. Proyek Hijaunesia 2023 misalnya, telah menawarkan pengembangan PLTS terapung di Gajah Mungkur, Kedung Ombo, dan Jatigede dengan kapasitas masing-masing 100 MW. ” jelas Marlistya. 

Meski demikian, menurut Marlistya, keseluruhan proses perencanaan, pelelangan, hingga pembangunan PLTS terapung di Indonesia masih perlu ditingkatkan efektivitasnya. Meski menjadi flagship project dan bentuk kerjasama antar pemerintah (G2G), lini masa penyelesaian PLTS terapung Cirata cukup panjang – diawali dengan nota kesepahaman Indonesia dan Uni Emirat Arab pada 2017 dan pembentukan joint venture PJB Investasi dengan Masdar di tahun yang sama, penandatanganan PJBL baru dilakukan di 2020 dan financial closing di 2021. Panjangnya proses ini mengurangi daya tarik investasi PLTS terapung di Indonesia.

Pengembangan rantai pasok komponen PLTS dan PLTS terapung di Indonesia juga terbuka lebar, termasuk untuk sel dan modul surya. Tidak hanya untuk pasar dalam negeri yang saat ini belum mencapai 1 GW, sel dan modul surya dengan kriteria tier 1 yang diproduksi di Indonesia juga ditujukan untuk pasar mancanegara. Pabrikan sel dan modul surya tier 1 asal Tiongkok, Trina Solar, telah bekerja sama dengan Sinarmas untuk membangun pabrik sel dan modul surya terintegrasi di Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah dengan kapasitas produksi 1 GW/tahun.