Diskusi Publik Menjadikan Energi Hijau dan Rendah Karbon untuk Mendukung Pertumbuhan Berkelanjutan: Memajukan Peran Masyarakat Sipil dalam Kerja Sama Transisi Energi di Asia Tenggara selama Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023

Latar Belakang

Setelah berkesempatan menjadi tuan rumah G20 tahun lalu, kali ini Indonesia kembali dipercaya untuk menjadi Ketua ASEAN di tahun 2023, yang sebelumnya dipegang oleh Kamboja. Ini merupakan kali keempat bagi Indonesia untuk menjadi ketua ASEAN, dengan tema utama “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”. Dalam tema tersebut, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyebutkan bahwa akan ada dua hal yang disoroti oleh pemerintah Indonesia selama masa kepemimpinannya, yaitu peningkatan relevansi ASEAN baik di dalam maupun di luar kawasan, serta mentransformasi ASEAN menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global (Kementerian Perdagangan, 2023). Menlu Retno juga menekankan bahwa isu Myanmar-yang telah menjadi duri dalam daging selama putaran negosiasi ASEAN-tidak boleh “menyandera proses pembangunan masyarakat ASEAN” dan Indonesia akan menjalankan peran kepemimpinannya dengan optimisme dan pandangan yang positif (Kementerian Luar Negeri, 2023).

 

Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 juga akan melanjutkan beberapa prioritas dari G20 tahun lalu, seperti transformasi digital, energi berkelanjutan, dan pemulihan ekonomi global. Beberapa prioritas isu di bidang energi yang dirumuskan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berkaitan erat dengan rencana ASEAN Power Grid, sebuah proyek interkonektivitas listrik regional sebagai upaya untuk menjaga kestabilan pasokan energi di ASEAN (ESDM, 2023). Terkait dengan isu perubahan iklim, Indonesia telah ditunjuk sebagai ketua Kelompok Kerja ASEAN untuk Bahan Kimia dan Limbah untuk tahun 2022-2024. Dalam kerangka kerja kelompok kerja ini, terdapat Rencana Kerja Kerja Sama ASEAN Plus Three yang mencakup isu-isu sampah laut, perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan kota berkelanjutan (Media Indonesia, 2022).

 

Keketuaan Indonesia di ASEAN pada tahun 2023 akan menjadi tantangan tersendiri, mengingat ASEAN sebagai sebuah institusi saat ini sedang berada di bawah sorotan baik dari dalam maupun luar kawasan. Menurut survei yang dilakukan oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute (2022), sekitar 82,6% warga negara ASEAN menganggap ASEAN mulai tidak relevan dan tidak efisien dalam menjalankan perannya sebagai organisasi regional. Survei yang sama juga melaporkan bahwa 73% warga ASEAN merasa bahwa ASEAN saat ini menjadi ajang perebutan pengaruh negara-negara besar. Dikhawatirkan bahwa negara-negara anggota ASEAN akan menjadi proksi kekuatan besar. Oleh karena itu, diperlukan usaha kolaboratif untuk memperkuat kapasitas kelembagaan ASEAN. Dengan keberhasilan Indonesia menjadi ketua G20 tahun lalu, diharapkan keketuaan Indonesia akan menghasilkan ASEAN yang lebih mudah beradaptasi dengan isu-isu penting abad ini, termasuk transisi energi dan perubahan iklim.

 

Dalam rangka memajukan keketuaan Indonesia di ASEAN 2023, Institute of Essential Services Reform akan menyelenggarakan diskusi publik yang ditujukan bagi organisasi masyarakat sipil di seluruh negara anggota ASEAN, khususnya di sektor iklim dan energi. Diskusi publik ini diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkenalkan isu-isu prioritas keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 dan proses pengambilan keputusan di ASEAN sebagai sebuah institusi. Oleh karena itu, diharapkan acara ini dapat menjadi wadah bagi organisasi masyarakat sipil untuk secara aktif menyuarakan aspirasinya kepada ASEAN dan juga kesempatan untuk memperkuat jaringan organisasi masyarakat sipil di ASEAN.

Tujuan

  1. Pengenalan agenda-agenda keketuaan Indonesia di ASEAN 2023, khususnya terkait isu transisi energi dan perubahan iklim.
  2. Penjelasan mengenai struktur pengambilan keputusan di ASEAN dan bagaimana masyarakat sipil dapat mengambil bagian dalam proses tersebut.
  3. Menggali aspirasi dan persepsi organisasi masyarakat sipil di negara-negara anggota ASEAN terhadap agenda Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023.

Koran Tempo | Peluang Devisa dari Pengembangan Energi Terbarukan

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan seluruh negara termasuk ASEAN berlomba-lomba untuk mengembangkan energi baru terbarukan.

“Masalahnya, bauran energi terbarukan di pembangkitan listrik di Indonesia masih rendah. Paling tinggi Laos karena itu banyak PLTA dan Vietnam,” ujarnya.

Baca selengkapnya di Koran Tempo.

Webinar Perkembangan Transisi Energi Asia Tenggara

Untuk mendukung proses transformasi rendah karbon, sangat penting untuk memperkuat kerja sama di antara para pemangku kepentingan utama di negara-negara Asia Tenggara. Pencapaian tujuan ini akan menghadapi tantangan yang berbeda karena beberapa negara lebih maju dalam hal infrastruktur energi terbarukan dan instrumen keuangan dibandingkan dengan negara lain.

Continue reading

Negara-negara ASEAN Masih Bergantung Pada Energi Fosil Namun Memiliki Peluang untuk Transformasi Sistem Energi

Jakarta, 9 Februari 2022 – Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan terpadat dengan pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi yang meningkat pesat. Pertumbuhan ekonomi muncul pada saat ada upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Untuk menjaga perkembangan ekonomi dan pertumbuhan permintaan energi, pemerintah harus mengembangkan sistem energi yang lebih bersih. Situasi saat ini menunjukkan bahwa sistem energi di Asia Tenggara masih mengandalkan bahan bakar fosil yaitu batubara.

Untuk mengidentifikasi tantangan dan peluang tersebut, perwakilan dari Indonesia, Filipina, dan Vietnam hadir dalam webinar “Energy Transition Dialogue” yang diselenggarakan oleh Australia National University bekerjasama dengan CASE (Clean, Affordable, and Secure Energy) for Southeast Asia pada Rabu, 9 Februari 2022 .

Sirpa Jarvenpaa dari Energy Transition Partnership menyoroti bahwa jika arah kebijakan terus berjalan seperti biasa tanpa ada terobosan baru (business as usual), pertumbuhan ekonomi dan energi di negara-negara ASEAN pada saat yang sama akan mencemari kawasan Asia Tenggara dan juga dunia. Ia juga menekankan pentingnya pengetahuan bagi pengambil kebijakan untuk membangun komitmen yang kuat.

“Proyek iklim yang ambisius didirikan berdasarkan pengetahuan sehingga kami perlu mendorong sektor bisnis untuk melakukan investasi dalam transisi energi, dan bagi pemerintah untuk menciptakan lingkungan investasi yang kondusif, serta merampingkan kerangka peraturan dan hukum,” katanya.

Sirpa menambahkan bahwa Asia Tenggara perlu meningkatkan investasi dalam energi terbarukan dan efisiensi energi untuk memastikan masa depan yang bersih dan sehat bagi kawasan dan dunia.

Meskipun 8 dari 10 negara di kawasan ini telah mengumumkan target net-zero mereka, paling paling awal pada 2050 dan terakhir 2065, pembangkit listrik tenaga batu bara baru masih berkembang di Asia Tenggara, terutama di Indonesia, Filipina, dan Vietnam menurut International Energy Agency (IEA). Artinya, emisi gas rumah kaca untuk kawasan Asia Tenggara belum mencapai puncaknya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa ada serangkaian tantangan untuk mencapai net-zero emissions di ASEAN seperti kebijakan, jaringan listrik (grid), dan integrasi pasar regional, serta masalah non-teknis; terkait dengan persepsi dan akses pengetahuan. Perencanaan energi jangka panjang masih bertumpu pada fosil meskipun kebijakan mengatakan untuk mengurangi penggunaan fosil.

“Bahan bakar fosil masih dianggap sebagai komponen utama ketahanan energi, dan energi terbarukan masih dianggap tidak dapat diandalkan dan mahal,” jelas Fabby.

Fabby juga menekankan aspek ‘transisi yang adil’ sebagai hal yang harus diperhatikan terutama untuk daerah yang sangat bergantung pada industri batu bara. Kalimantan Timur, misalnya, merupakan salah satu provinsi penghasil batu bara terbesar di Indonesia. Ketika harga batubara dunia turun hingga dibawah USD 40/ton, pertumbuhan PDB-nya terhenti dan mempengaruhi sektor-sektor lain.

“Kita perlu mencari cara agar perekonomian suatu provinsi tidak crash begitu terjadi transformasi besar-besaran dan batu bara tidak lagi dibutuhkan,” ujarnya.

Frank Jotzo dari Australia National University menambahkan bahwa perkembangan teknologi energi bersih menyebabkan penurunan biaya instalasi dan harga listrik dari energi terbarukan seperti surya (matahari) dan angin, sehingga transformasi energi menjadi layak secara ekonomis dan semakin kompetitif.

“Namun, ada juga tantangan seperti bagaimana memobilisasi investasi sistem energi yang besar, memastikan transisi berhasil secara teknis, dan bagaimana memaksimalkan peluang ekonomi, dan meminimalkan gangguan sosial,” Frank mengingatkan.