Menanti Kepastian Regulasi untuk Adopsi Energi Surya

Fabby Tumiwa dalam konferensi pers Smart Transportation and Energy di Indonesia pada Kamis (9/11/2023)

Jakarta, 9 November 2023 – Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia sulit berkembang walaupun berpotensi mengakselerasi energi terbarukan dalam bauran energi primer. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa menjelaskan, Indonesia memiliki potensi terbesar dalam energi surya. Mengacu studi IESR, tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3000-20.000 GWp berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan. Meski demikian, terdapat beberapa tantangan untuk perkembangan energi surya di Indonesia, seperti implementasi regulasi tentang PLTS. Berdasarkan data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, realisasi kapasitas terpasang PLTS pada 2022 ialah 271,6 MW atau jauh di bawah rencana 893,3 MW. 

“Adanya kebijakan membatasi pemanfaatan PLTS sekitar 10-15 persen dari kapasitas membuat keekonomian PLTS menjadi rendah dan tidak menarik. Sepanjang 2021-2022, kondisi PLTS atap khususnya mengalami stagnasi. Tetapi, sejak awal tahun ini sudah ada upaya untuk merevisi peraturan tersebut untuk mencegah ketidakpastian dan prosesnya cukup panjang, bahkan sudah dibahas di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) revisi tentang PLTS. Sayangnya, proses tersebut belum selesai dan masih memerlukan koordinasi lebih lanjut antar Kementerian/Lembaga,” ujar Fabby Tumiwa dalam konferensi pers Smart Transportation and Energy di Indonesia pada Kamis (9/11/2023). 

Fabby Tumiwa berharap agar kondisi ketidakpastian tersebut perlu segera diselesaikan dan memerlukan ketegasan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Terlebih, Indonesia baru saja meresmikan PLTS Terapung Cirata pada Kamis (9/11/2023) dengan kapasitas 192 MWp, menjadikan PLTS Terapung terbesar di Asia Tenggara. 

“Peresmian PLTS Terapung Cirata ini dapat dilihat sebagai komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi surya. Dalam pembangunan PLTS Terapung Cirata ini tak lepas dari teknologi dan inovasi yang canggih dari China. Mengingat, China merupakan produsen terbesar teknologi energi surya di dunia. Apabila dilihat dengan adanya rencananya Indonesia meningkatkan bauran energi terbarukan, kita mengantisipasi adanya permintaan PLTS yang cukup besar dalam beberapa tahun ke depan,” terang Fabby Tumiwa. 

Kerja Sama Transisi Energi Indonesia-Tiongkok, Dialog Tingkat Tinggi Pertama Digelar

Kerja Sama Transisi Energi Indonesia-Tiongkok, Dialog tingkat tinggi pertama untuk memajukan kerja sama energi terbarukan antara Indonesia dan Tiongkok


26 September 2023 –
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menyelenggarakan dialog tingkat tinggi yang pertama kali diadakan antara Indonesia dan Tiongkok untuk memperdalam kerja sama antara kedua negara dalam hal transisi energi pada Selasa (26/9) di Jakarta. Dialog ini diselenggarakan atas kerjasama dengan Kemenko Marves, lembaga think-tank Indonesia Institute for Essential Services Reform (IESR), BRI International Green Development Coalition (BRIGC) yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan di Tiongkok, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional di bidang hukum lingkungan, ClientEarth. Dialog ini menjadi dasar dari laporan yang akan diterbitkan oleh IESR, BRIGC dan ClientEarth mengenai peran China dalam mempercepat transisi energi di Indonesia. 

Dialog ini mempertemukan perwakilan dari kedua lembaga pemerintah dan para pemimpin industri utama untuk mempresentasikan dan bertukar pandangan dari kedua negara untuk menemukan kesamaan dalam membangun kerja sama terutama di sektor energi. Hadir dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut di antaranya Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Investasi, PLN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Energi, dan Kementerian Perindustrian dari Indonesia dan National Development and Reform Commission (NDRC), lembaga afiliasi Kementerian Perdagangan, China Development Bank, BRI International Green Development Coalition, China Renewable Energy Engineering Institute, dan Asosiasi Industri Energi Terbarukan dari China.

Tahun ini menandai ulang tahun ke-10 pengumuman Belt and Road Initiative (BRI) bersamaan dengan ulang tahun ke-10 dari kemitraan strategis komprehensif antara Tiongkok dan Indonesia. Selama satu dekade terakhir, China semakin memprioritaskan kerja sama dalam pembangunan hijau dan telah mengimplementasikan sejumlah proyek energi bersih yang ramah lingkungan, rendah karbon, dan berkelanjutan. Dengan keunggulan teknologi dan biaya, kemitraan yang saling menguntungkan ini dapat membawa peluang lompatan ke depan bagi para investor China, dan memanfaatkan transisi rendah karbon di Indonesia.

Antara tahun 2006 hingga 2022, investasi China di Indonesia mencapai sekitar USD 35 miliar. Seperempat dari total investasi ini disalurkan ke sektor energi. Namun, 86% dari jumlah tersebut digunakan untuk industri energi berbahan bakar fosil. Sejalan dengan janji Presiden Xi Jinping pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-76, Cina mengumumkan bahwa mereka akan “meningkatkan dukungan bagi negara-negara berkembang lainnya dalam mengembangkan energi ramah lingkungan dan rendah karbon, serta tidak akan membangun proyek-proyek pembangkit listrik tenaga batubara di luar negeri.” Salah satu dari lima proposal yang dibuat oleh Presiden Xi pada Peringatan 30 Tahun Hubungan Dialog China-ASEAN adalah untuk “bersama-sama mempromosikan transisi energi regional, mendiskusikan pendirian pusat kerja sama energi bersih China-ASEAN, dan meningkatkan pembagian teknologi dalam energi terbarukan” dan untuk “mengintensifkan kerja sama dalam keuangan dan investasi hijau untuk mendukung pembangunan rendah karbon dan pembangunan berkelanjutan di tingkat regional”.

Dialog ini dilakukan untuk memahami perkembangan Indonesia dan Tiongkok khususnya di bidang energi berkelanjutan dan industri manufakturnya. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060. Untuk mencapai target ini, dibutuhkan investasi sebesar USD 1,1 triliun atau setara dengan 768 GW kapasitas energi terbarukan. Tenaga surya akan menjadi teknologi terdepan dalam transisi menuju nol emisi di Indonesia karena potensinya yang besar, biayanya yang rendah, dan mudah dipasang dalam jangka waktu yang singkat. Indonesia juga memiliki cadangan mineral global yang besar yang dibutuhkan untuk sel surya dan baterai. Oleh karena itu, diperkirakan permintaan modul surya dan komponen lainnya di Indonesia akan meningkat pesat dalam lima tahun ke depan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, mengatakan, “Keberlanjutan telah menjadi bagian inti dari kerja sama Belt and Road Initiative (BRI) dan terdapat peluang investasi yang sangat besar di antara kedua negara untuk mempercepat transisi hijau dan rendah karbon pada sistem energi Indonesia. Secara teknis dan ekonomis, mencapai nol emisi karbon pada tahun 2050 dapat dilakukan dengan mendekarbonisasi sistem energi Indonesia. Hal ini akan membutuhkan elektrifikasi yang luas pada sektor transportasi utama, penyebaran energi terbarukan secara luas, pengurangan infrastruktur bahan bakar fosil, penggunaan penyimpanan energi dan elektrolisis dalam jumlah besar untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan, serta pembawa energi untuk transportasi dan industri, dan konektivitas jaringan listrik yang dapat diandalkan antara pulau-pulau di Indonesia.”

Untuk memperdalam kerja sama hijau dan rendah karbon antara Tiongkok dan Indonesia, draf laporan “Critical role of China on accelerating Indonesia’s energy transition” dipresentasikan dalam dialog tersebut. Elizabeth Wu, Konsultan Hukum dari tim Sistem Energi ClientEarth di Asia, memoderatori diskusi mengenai temuan-temuan dari laporan tersebut. Diskusi tersebut membahas tentang memperkuat kemitraan energi terbarukan tingkat tinggi antara China dan Indonesia melalui pengembangan strategi jangka panjang bersama dan menyelesaikan perjanjian bilateral, eksplorasi mekanisme inovatif dan struktur pembiayaan untuk meningkatkan jalur proyek hijau dan zona percontohan BRI serta proyek percontohan, dan memperdalam pertukaran dan mengeksplorasi integrasi lebih lanjut dengan strategi regional ASEAN.

Dimitri de Boer, Direktur Program Regional ClientEarth untuk Asia mengungkapkan apresiasinya terhadap kegiatan tersebut. “Belt and Road Initiative (BRI) dapat memainkan peran penting dalam transisi energi global, dengan bekerja sama dengan negara-negara mitra seperti Indonesia untuk benar-benar meningkatkan penyebaran energi terbarukan,” tutup Dimitri de Boer.

Peluang BRI China untuk Mendorong Percepatan Transisi Energi di Indonesia

FT

Beijing, 27 Maret 2023 – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyampaikan keberadaan Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra (Belt and Road Initiative/BRI) memberikan peluang bagi China untuk berperan dalam mendorong percepatan transisi energi di Indonesia. Hal ini diungkapkannya ketika menjadi narasumber di seminar on promoting green and low carbon transition in BRI participating countries and seminar on CCICED special policy study on green BRI pada Senin (27/3/2023).

“Indonesia harus meningkatkan ambisinya untuk membuat pengurangan emisi yang kompatibel dengan Persetujuan Paris. Di bawah rencana saat ini, net zero emission (NZE) sektor energi akan tercapai setelah tahun 2060, tetapi sektor listrik akan mencapai nol bersih pada tahun 2050. Untuk itu, diperlukan lebih banyak upaya untuk dekarbonisasi sektor transportasi dan industri,” jelas Fabby. 

Dalam mendorong dekarbonisasi tersebut, kata Fabby, Indonesia membutuhkan investasi kumulatif sekitar USD 1,3 triliun yang tersebar di berbagai teknologi. Dengan kondisi tersebut, Fabby menjelaskan, China dapat berperan mendukung transisi energi di Indonesia melalui kerjasama teknologi, manufaktur dan investasi, mengingat, terdapat potensi pasar dalam peningkatan permintaan energi terbarukan di Indonesia. 

“Tenaga surya akan berperan penting dalam transisi energi Indonesia. Berdasarkan RUPTL 2021-2030, PLN berencana untuk menambah 3,9 GW energi surya pada 2025. Untuk itu, investasi BRI pada tahun 2023 perlu difokuskan pada proyek-proyek yang layak secara finansial, seperti pembangkit listrik tenaga surya dan energi angin yang dapat diskalakan,” ujar Fabby Tumiwa.

Di lain sisi, keberadaan BRI bisa memungkinkan terjadinya investasi untuk industri komponen energi terbarukan. Hal ini bisa dilakukan dengan mempertimbangkan kompleksitas rantai pasokan. Fabby menegaskan, dorongan untuk transisi energi dibarengi dengan industrialisasi di Asia Tenggara, seperti penyimpanan energi (energy storage), kendaraan listrik dan panel surya.

“Saat ini Indonesia sudah mulai mengembangkan industri baterai dan kendaraan listrik (electric vehicle) karena kandungan nikelnya yang melimpah. Biaya produksi yang rendah dan ketersediaan sumber daya merupakan beberapa peluang untuk mengembangkan industri modul surya lokal di Indonesia,” terang Fabby. 

Dalam kesempatan yang sama, Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR), memaparkan berbagai rencana dan proyeksi sistem tenaga diperkirakan dapat menghasilkan percepatan penyebaran energi terbarukan di Indonesia. Misalnya saja perencanaan energi sistem tenaga terbaru menetapkan sekitar 20,9 GW terbarukan yang akan dibangun pada tahun 2030. Jumlah ini akan meningkat setidaknya 5-6 GW jika Indonesia mempertimbangkan target JETP dari 34% bauran energi terbarukan pada tahun 2030.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR)
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjadi narasumber di seminar on promoting green and low carbon transition in BRI participating countries and seminar on CCICED special policy study on green BRI pada Senin (27/3/2023)

“Untuk mencapai target kebijakan nasional pada tahun 2025, IEA memproyeksikan penambahan kapasitas energi surya sebesar 17,7 GW di atas yang direncanakan dalam RUPTL. Sementara itu, berdasarkan skenario IESR, kapasitas pembangkit listrik berbasis energi terbarukan harus digenjot menjadi 140 GW demi membatasi pemanasan global hingga 1,5°C,” jelas Deon. 

Namun demikian, kata Deon, secara historis, kapasitas terpasang energi terbarukan hanya tumbuh berkisar 500 MW per tahun. Hal ini terjadi karena terdapat beberapa tantangan utama, di antaranya kelebihan kapasitas pada pembangkit listrik Jawa-Bali. Selain itu, dominasi kapasitas PLTU batubara dengan mekanisme take or pay, membuat tidak adanya ruang untuk integrasi energi terbarukan. Tidak hanya itu, tantangan lainnya adalah, terdapat proses pengadaan energi terbarukan dan persyaratan penggunaan konten lokal yang menempatkan risiko yang tidak perlu terhadap pengembangan energi terbarukan. 

Masa Depan Cerah Energi Surya Butuh Dukungan Penuh Pemerintah

“Surya akan menjadi komoditas unggulan yang diperebutkan banyak pihak di masa depan, seperti minyak saat ini,” tutur Fabby Tumiwa dalam forum REinvest Indonesia – China (25/5/2021).

Forum tersebut bertujuan untuk menjembatani kedua negara dalam kolaborasi investasi energi terbarukan. Indonesia secara aktif sedang mencari cara untuk menyediakan sumber energi yang lebih bersih, lebih murah, dan lebih handal untuk merevitalisasi sistem energinya yang saat ini sangat bergantung pada fosil. Sementara itu, China menghadapi desakan global untuk mengurangi emisi karbon, dan telah berjanji untuk mencapai netral karbon pada tahun 2060. Karena kedua negara memiliki kesamaan untuk mengurangi emisi karbon, maka dialog untuk menjembatani kebutuhan tersebut diadakan.

Fabby Tumiwa, Ketua Indonesia Solar Association dan Direktur Eksekutif IESR, mengatakan bahwa Indonesia perlu mempercepat pemanfaatan energi terbarukan untuk mengejar target RUEN yaitu 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional dan selanjutnya menjadi nol emisi pada tahun 2050. Walaupun pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan target net emisi pada tahun 2070.

PLTS dapat menjadi penggerak utama dan kunci untuk mencapai target dekarbonisasi. Hal ini sejalan dengan urgensi global untuk menerapkan dekarbonisasi secara menyeluruh. Disebutkan oleh IEA dalam laporan terbarunya bahwa tenaga surya dan angin akan mendominasi sistem energi di masa depan hingga 78% pembangkit listrik pada tahun 2050, dimana tenaga surya harus meningkat dari 160 GW sekarang menjadi 650 GW pada tahun 2030. Pada kesempatan yang sama, IEA menekankan pentingnya peningkatan energi terbarukan dalam dekade ini untuk mencapai emisi nol pada tahun 2050. Dari segi strategis, tenaga surya sedikit lebih mudah didorong pemanfaatannya karena dapat dipasang secara modular. Kedepannya, energi surya akan menjadi komoditas yang populer seperti minyak bumi saat ini.

Namun, masa depan yang tampak cerah dan menjanjikan ini bukannya tanpa kekurangan. Ada banyak situasi yang menghambat percepatan industri PLTS di Indonesia.

Kondisi kelebihan pasokan listrik yang dialami PLN adalah salah satu hambatan terbesar untuk penggunaan tenaga surya. Situasi tersebut membuat pemerintah dan pengusaha swasta sulit untuk memasukkan energi terbarukan ke dalam sistem kelistrikan.

Sementara itu Eka Satria, CEO Medco Power Indonesia, menyoroti beberapa hal antara lain preferensi pemerintah dan pasar Indonesia untuk memilih sumber energi berbiaya rendah jangka pendek, ketidakpastian kebijakan dan regulasi, persyaratan BPP vs kandungan lokal, serta masalah pembebasan lahan untuk PLTS skala utilitas.

Selaku Ketua Umum Asosiasi Produsen Panel Surya Indonesia (APAMSI) Linus Sijabat menyampaikan hal-hal yang harus disiapkan investor asing dalam kesempatan kali ini China, sebelum menembus pasar Indonesia. Manajemen rantai pasok, terutama terkait dengan kebutuhan konten lokal menjadi poin utamanya.

“Diperlukan kerja sama luar dan dalam negeri untuk produk lebih dari 60% yang harganya kompetitif, kualitasnya bersertifikat internasional, dan pasarnya berkelanjutan,” tuturnya.

Dukungan pemerintah dalam pengembangan energi surya atau secara umum energi terbarukan harus tersurat dalam regulasi seperti RUPTL (Rencana Umum Pemenuhan Tenaga Listrik) agar investor swasta bisa melihat potensi pasar energi terbarukan di Indonesia. Apalagi di Indonesia PLN merupakan pembeli tunggal listrik, maka calon investor harus sungguh memperhitungkan potensi pasar yang ada. Selain peluang yang harus terlihat dalam dokumen perencanaan resmi, lingkungan pendukung lain seperti kejelasan regulasi, dan skema insentif untuk investasi energi terbarukan juga harus dipastikan tersedia. 

Indonesia Solar Potential Report

Siaran Tunda


 

Report Launch and Round Table Discussion

Bringing Indonesia to The Gigawatt Club:  Unleashing Indonesia’s Solar Potential

With energy transition becoming a global trend following action to mitigate climate crisis, many countries have integrated low-carbon energy systems into their national development agenda. Indonesia has the highest energy demand among ASEAN members, and fossil fuel resources still dominate Indonesia’s energy and electricity mix: less than 12% primary energy supply was from renewable sources, and the renewables only provided ~14.9% of Indonesia’s electricity generation in 2020 (IESR, 2021). Although Indonesia has established its renewable energy targets, i.e., 23% of primary energy mix by 2025, renewables growth in the country is slow, even stagnant over the years.

Indonesia is often called a frontier market for renewable energy, and that includes solar energy. While the technical potential is high, up to 207 GW according to Ministry of Energy and Mineral Resources, solar generation in the country is less than 1% – this slow growth is a combination of several inhibiting factors: lack of consistent and supportive policies, the absence of attractive tariff and incentives, as well as concerns on grid readiness. Solar energy will be key to open the doors for other renewables in Indonesia; along with the current government’s plan to issue presidential regulations on renewable energy pricing and deployment.

To support accelerated solar deployment in Indonesia, in March 2020, the Institute for Essential Services Reform (IESR) signed an MoU with the Global Environmental Institute (GEI) to collaborate on renewable energy development. To this end, we conducted two training sessions and technical exchanges on technical potential analysis of renewable energy resources by applying the Renewable Energy Implementation (REI) toolkit.

To date, with the supports from GEI, IESR has completed a GIS-based nationwide solar PV technical potential assessment in Indonesia. The assessment report is produced to provide detailed information for related stakeholders in identifying prospective locations for solar power plants at any scale, feeding energy planners and driving more ambitious solar development in Indonesia. The interests and growth need to be nurtured, yet the big question remains: what more Indonesia can do to enter the gigawatt solar installations?

Presenters:
Dr. Xu Shengnian (GEI) on Renewable Energy Implementation (REI) Toolkit
Daniel Kurniawan (IESR) on IESR’s Report “Beyond 207 Gigawatts”

Panelist:

SESSION 1: Moderated by Marlistya Citraningrum (IESR)

  • Dr. Ir. Dadan Kusdiana, M.Sc., Director General of New, Renewable Energy, and Energy Conservation, Ministry of Energy and Mineral Resources
  • Darmawan Prasodjo, Deputy CEO, PT PLN (Persero)
  • Andhika Prastawa, Chairman of Indonesia Solar Energy Association
  • Yi Wang, Member of China’s National People’s Congress Standing Committee, Vice President of Institutes of Science and Development, Chinese Academy of Sciences
  • Prof. Cuiping Liao, Research Director, Guangzhou Institute of Energy Conversion, Chinese Academy of Sciences

SESSION 2: Moderated by Xinran Yan (GEI)

  • Viktor Laiskodat, Governor of East Nusa Tenggara
  • Ir. Sudjarwanto Dwiatmoko, M.Si., Head of Energy and Mineral Resources Department, Provincial Government of Central Java
  • Ir. Herman Darnel Ibrahim M.Sc. IPU, Member of Indonesian National Energy Council
  • Wirawan, Interim President Director, PT PJB Investasi
  • Jianhua Liu, Professor, Beijing University of Civil Engineering and Architecture
  • Rudy Sembiring, Indonesia Country Head, Vena Energy

Presentation Materials

Daniel Kurniawan

Unduh

GEI

Unduh

ESDM Central Java

Unduh

2021 Round Table Solar IESR HDI

Unduh

Liujianhua

Unduh