12 Rekomendasi IESR untuk Percepatan Pembangunan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia

Selasa, 23 Februari 2021-Indonesia perlu berupaya lebih keras untuk mencegah peningkatan suhu bumi di bawah 2℃, dengan mengurangi penambahan emisi gas rumah kaca (GRK) di dunia, di antaranya dengan mendorong penetrasi energi terbarukan dan transportasi yang ramah lingkungan.

Sektor transportasi menjadi penyumbang sekitar seperempat dari total emisi GRK global. Jumlah emisi ini akan semakin meningkat seiring semakin berkembangnya perekonomian suatu negara.  Di tahun 2019, sektor transportasi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia terbesar kedua (157 juta ton CO2 atau 27 %) setelah sektor industri (215 juta ton CO2 atau 37%).Banyak negara di dunia, termasuk Cina, Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa semakin mengadopsi kendaraan listrik yang terbukti memiliki emisi rendah dan efisiensi penggunaan energi listriknya lebih baik daripada kendaraan konvensional.

Pada hari ini secara daring, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan  kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina, yang berisi  rekomendasi strategi dan kebijakan penting bagi pemerintah untuk kemajuan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.

“Hingga hari ini ada 17 negara yang sudah tidak mengizinkan penjualan kendaraan berbasis fosil fuel dari 2025-2040, salah satunya adalah Norwegia yang akan melarang  kendaraan internal combustion engine, pada tahun 2025,” tandas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Kendaraan listrik dipandang sebagai salah satu solusi untuk menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi. Perkembangan kendaraan listrik dalam satu dekade juga semakin pesat. Fabby menambahkan bahwa secara global, mobil listrik mengalami kenaikan pesat dalam satu dekade terakhir, dari 0,1 market share di 2011, menjadi 4,4 % di tahun 2020. 

“Walaupun secara umum, penjualan kendaraan menjadi turun sebesar 15 persen karena pandemi Covid-19, tapi permintaan kendaraan listrik tercatat meningkat di sejumlah negara. Dibandingkan tahun 2019, di Cina naik 5 persen, Eropa meningkat 10 persen, Amerika Serikat naik 4 persen,” paparnya.

Mengutip data dari IEA, Fabby menegaskan bahwa agar temperatur bumi terjaga sesuai kesepakatan Paris, maka adopsi kendaraan listrik haruslah sebesar 13,4% dari total kendaraan dari tahun 2030.

Indonesia Belum Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik Secara Terencana

Idoan Marciano, Penulis Kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina menjelaskan alasan IESR memilih ketiga negara itu sebagai best practices yang bisa ditiru oleh Indonesia. Terbukti, negara yang mencatatkan adopsi kendaraan listrik tertinggi (2019) adalah Cina (3,4 juta unit) dan Amerika Serikat (1,5 juta unit), sedangkan negara dengan pangsa pasar kendaraan listrik terbesar di negaranya di dunia adalah Norwegia (lebih besar dari 50 persen). 

IESR memandang bahwa ekosistem kendaraan listrik di Indonesia belum terbangun dengan baik. Adapun ekosistem yang dimaksud dalam studi ini mencakup beberapa aspek, yaitu: (a)  insentif dan kebijakan pendukung dari pemerintah, (b) infrastruktur pengisian daya; (c) model dan pasokan kendaraan listrik; (d) kesadaran dan penerimaan publik; (e) rantai pasokan baterai dan komponen kendaraan listrik. 

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian menargetkan jumlah kendaraan listrik mencapai 20% dari total produksi kendaraan di tahun 2025 (400.000 kendaraan beroda empat Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) dan 1.760.000 kendaraan listrik beroda dua). Namun, hingga bulan Agustus 2020 tercatat baru ada sekitar 2.279 kendaraan listrik yang sudah layak jalan.

“Untuk motor listrik, sebanyak 1.947 unit, belum mencerminkan jumlah adopsi setelah Indonesia meluncurkan program akselerasi pengembangan kendaraan listrik karena angka tersebut masih menggambarkan kendaraan listrik berperforma rendah, sudah ada dari tahun sebelumnya,” imbuh Idoan.

Agar realisasi target terpenuhi, IESR mendorong agar pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan fiskal sehingga membuat harga kendaraan listrik lebih kompetitif. Berkaca dari pengalaman ketiga negara tersebut, insentif dapat berupa pembebasan PPN, pajak registrasi, bea impor serta pemberian subsidi. Sementara saat ini total insentif yang diberikan pemerintah Indonesia hanya mampu mengurangi sekitar 40 persen dari harga awal kendaraan listrik yang masuk ke Indonesia. 

Tidak kalah penting adalah pemberian insentif non-fiskal yang sesuai dengan kebutuhan pengguna seperti kemudahan mendapatkan plat nomor (registrasi) yang dinilai sangat menambah daya tarik kendaraan listrik di Cina, pemberian akses ke jalur berpenumpang banyak (high occupancy vehicle) di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, dan pemberian akses jalur bus di Norwegia. 

“Saat ini Indonesia belum mempunyai aturan pembatasan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, dibandingkan negara pembanding yg sudah menargetkan 100 persen EV di 5-20 tahun kedepan,” tukas Idoan.

Selain itu, dari sisi pasokan, pemerintah perlu pula meningkatkan kuantitas dan ketersediaan beragam model kendaraan listrik dengan memberikan kebijakan yang mendorong produsen untuk memproduksi lebih banyak kendaraan listrik, seperti dengan penetapan standar efisiensi bahan bakar pada tahap awal dan penggunaan mekanisme kredit kendaraan listrik saat pasar sudah semakin berkembang seperti yang diterapkan di Cina dan California. 

Dalam mendukung terciptanya industri kendaraan listrik domestik, pemerintah dapat belajar dari Cina dengan memberikan insentif khusus bagi produsen lokal dan menggunakan pengadaan umum sebagai alat untuk menggenjot volume produksi kendaraan listrik buatan lokal sehingga mempercepat terjadinya economies of scale.  

Pembangunan dan perluasan jaringan SPKLU dan SPBKLU, serta penyiapan infrastruktur home charging diperlukan untuk menunjang adopsi kendaraan listrik. Rasio kendaraan listrik terhadap SPKLU pada tahun 2019 di Cina paling masif yakni rasio 6,5:1. Rasio tersebut menggambarkan negara-negara dengan tingkat pengembangan kendaraan listrik yang lebih matang. Sementara Indonesia bila mengikuti peta jalan yang dikeluarkan PLN, hanya akan mencapai sekitar 70:1. 

Studi ini merekomendasikan beberapa strategi dan kebijakan yang dapat diadopsi oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, yakni

  1. Penyelarasan target transisi menuju kendaraan listrik yang bersifat mengikat. 
  2. Perlunya peta jalan transisi menuju kendaraan listrik yang terintegrasi
  3. Penerapan kebijakan pembatasan penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil
  4. Pemberian insentif finansial dari pemerintah pusat untuk mengurangi harga beli kendaraan listrik hingga minimal sekitar 50 persen untuk mobil listrik, untuk motor listrik hanya lebih mahal 5-10 persen dari harga motor konvensional
  5. Pemberian insentif fiskal dan non-fiskal oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan kondisi daerah setempat
  6. Adanya ketentuan yang mensyaratkan transfer teknologi dalam kolaborasi dengan produsen internasional. 
  7. Penetapan kebijakan dari sisi pasokan untuk mendorong produksi dan ketersediaan model kendaraan listrik
  8. Pemberian insentif yang menunjang R&D kendaraan listrik dan baterai 
  9. Pengembangan industri dan rantai pasokan kendaraan listrik 
  10. Pengembangan infrastruktur pendukung kendaraan listrik SPKLU dan SPBKLU perlu direncanakan yang lebih baik agar peta jalan tersebut dapat menyamai target
  11. Elektrifikasi transportasi umum sebagai jalur masuk adopsi kendaraan listrik. IESR mengapresiasi untuk kolaborasi yang sudah berjalan.
  12. Promosi dan kampanye kendaraan listrik sebagai kendaraan ramah lingkungan yang diinisiasi oleh pemerintah

 

Laporan kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina dapat diunduh di:

Program Kendaraan Listrik Berhasil Akselerasi, IESR Dorong Pemberian Insentif oleh Pemerintah

 

Jakarta, 21 Desember – IESR. Institute for Essential Services Reform (IESR) beranggapan program kendaraan listrik dapat membantu Indonesia melakukan dekarbonisasi dan meningkatkan ketahanan energi Indonesia melalui penurunan laju permintaan bahan bakar minyak.  Penggunaan kendaraan listrik jika dikombinasikan dengan peningkatan bauran energi terbarukan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Pemerintah perlu mempercepat adopsi kendaraan listrik di Indonesia dalam lima tahun mendatang dengan membangun ekosistem pendukung kendaraan listrik dan menstimulasi pasar dengan insentif finansial dan fiskal. 

Di tahun 2019, sektor transportasi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia terbesar kedua (157 juta ton CO2 atau 27 %) setelah sektor industri (215 juta ton CO2 atau 37%). Pemodelan IESR menunjukkan bahwa penetrasi kendaraan listrik pada pasar mobil penumpang dan sepeda motor memiliki potensi menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi sebesar dalam skenario ambisius, dengan penerapan instrumen insentif yang agresif pada sisi permintaan, dapat menekan emisi sebesar 8,4 juta ton CO2 pada 2030 dan 49,5 juta ton CO2 pada 2050. Pemerintah menetapkan target 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta kendaraan listrik roda-2 pada 2030. 

“Target ini cukup ambisius tapi dengan perencanaan yang terintegrasi, insentif untuk mendorong pasar, dan pengembangan ekosistem pendukung, target tersebut dapat dicapai,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.   

“Kuncinya adalah akselerasi adopsi kendaraan listrik dalam 5 tahun mendatang. Untuk itu peluang terbaik ada pada segmen kendaraan listrik roda 2 yang lebih terjangkau bagi sebagian besar pengguna kendaraan bermotor di Indonesia. Jika ada insentif tambahan dalam bentuk kredit yang lebih mudah dan suku bunga rendah, serta stasiun penukaran battery (battery swapping) yang lebih banyak, ditambah dengan peningkatan kesadaran konsumen, maka dalam periode 5 tahun mendatang, motor listrik dapat mencapai 20% dari total penjualan kendaraan bermotor roda-2. Setelah 2025, kendaraan penumpang roda-4, bisa mencapai penetrasi 5-10% sampai 2030, seiring dengan peningkatan model dan harga mobil yang lebih terjangkau,” imbuh Fabby.   

IESR menilai salah satu faktor utama dari adopsi kendaraan listrik jenis mobil penumpang  adalah ketersediaan stasiun pengisian daya umum dan pengisian daya di rumah pengguna kendaraan listrik. Ketersediaan infrastruktur pengisian daya yang tersebar merata dapat menghilangkan “range anxiety” atau kecemasan jarak tempuh yang dimiliki oleh pengguna kendaraan pada umumnya. Untuk itu IESR merekomendasikan agar di tahap awal, rasio kendaraan listrik dan infrastruktur pengisian daya yang disarankan adalah 16:1. 

Selain pemerintah perlu mendorong pihak produsen kendaraan listrik untuk menyediakan kendaraan listrik yang terjangkau, dan mendorong PLN dan pelaku swasta untuk membangun infrastruktur pengisian yang lebih banyak, selain pemasangan home charging oleh pemilik kendaraan listrik. 

“Kebutuhan investasi untuk penyediaan infrastruktur pengisian daya ini sangat besar, berkisar 345 juta USD hingga tahun 2030 dan diperkirakan akan mencapai lebih dari 1 miliar USD hingga tahun 2050 dalam skenario penetrasi yang ambisius. Meski demikian, kebutuhan nvestasi untuk infrastruktur ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan besaran subsidi BBM yang diberikan pemerintah setiap tahun. Sebagai contoh, pada tahun 2020 saja, jumlah subsidi mencapai $1,2 miliar. Investasi ini perlu melibatkan partisipasi swasta sehingga dibutuhkan regulasi dan model bisnis yang dapat menarik minat mereka,” ungkap Julius Christian, peneliti bahan bakar bersih di IESR.  

Menurut Idoan Marciano, peneliti IESR yang juga penulis kajian tentang kendaraan listrik, menyatakan saat ini sudah semakin banyak pihak swasta yang berinisiatif mengadopsi kendaraan listrik dan membangun infrastrukturnya, seperti perusahaan taksi, produsen motor listrik, perusahaan ride hailing, dan pengembang Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU). Kolaborasi pemerintah dengan pihak swasta untuk mengadakan program demonstrasi dan pilot akan meningkatkan kesadaran publik bahwa tren mobil listrik sedang berjalan.

Pemerintah sudah membuat skema kerjasama untuk pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan SPBKLU dengan swasta. Namun untuk semakin menarik minat pengembang swasta, pemerintah perlu memberikan insentif untuk pembangunan infrastruktur tersebut seperti yang dilakukan beberapa negara yang progresif dalam mengadopsi kendaraan listrik. 

“Selain harga, ketersediaan stasiun pengisian daya juga sangat menentukan keputusan untuk membeli kendaraan listrik,” kata Idoan.  

Untuk membuat harga kendaraan listrik terjangkau, pemerintah perlu memberikan Insentif dalam bentuk pembebasan pajak dan bea impor untuk mobil listrik, serta pembebasan pajak tahunan selama beberapa tahun pertama. Insentif ini dapat membuat Total Ownership Cost (TOC) kendaraan listrik lebih baik daripada kendaraan mesin bakar.

Inisiatif pemerintah dengan membentuk konsorsium beberapa BUMN dan investor swasta untuk memproduksi baterai dengan mengandalkan potensi nikel yang cukup besar sebagai bahan baku baterai patut diapresasi.

IESR merekomendasikan untuk mempercepat pengembangan industri baterai dengan dukungan R&D dan menciptakan pasar domestik. Di tahap awal produksi battery difokuskan untuk mendukung produksi kendaraan listrik roda dua lokal. Selain itu pemerintah harus memastikan bahwa aktivitas tambang untuk produksi baterai mengikuti kaidah penambangan yang berkelanjutan, menghindari konflik sosial dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Produksi baterai juga menggunakan energi yang besar sehingga upaya efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan merupakan keharusan untuk meminimalisir emisi GRK. 

Komitmen pemerintah untuk menggunakan energi terbarukan untuk pengembangan KBLBB melalui pernyataan menteri ESDM Arifin Tasrif juga merupakan hal yang tepat. Analisis IESR menemukan bahwa bila pengisian daya mobil listrik dilakukan menggunakan faktor emisi jaringan yang ada sekarang, maka akan meningkatkan emisi GRK dibandingkan dengan mobil konvensional bila memperhitungkan juga emisi dari produksi mobil dan baterainya. Untuk mendapatkan manfaat penurunan gas rumah kaca, maka penetrasi energi terbarukan harus ditingkatkan diatas 23% sehingga dapat menurunkan faktor emisi jaringan (grid emission factor) dibawah 600 grCO2/kWh. 

Penetrasi kendaraan listrik dapat meningkatkan permintaan listrik sebesar 15 TWh pada 2030 dan 68 TWh pada 2050. Sebagai pembanding, konsumsi listrik total pada tahun 2018 adalah sebesar 232 TWh. Untuk menghindari beban listrik yang memuncak perlu kebijakan yang tepat pula. IESR merekomendasikan penerapan tarif listrik Time Of-Use (pembedaan tarif pada beban puncak dan luar beban puncak) sehingga waktu pengisian baterai kendaraan listrik akan teralihkan. Penerapan kebijakan tarif listrik Time-of-Use dapat membantu merekayasa perilaku konsumen dalam mengisi daya baterai kendaraan listrik dan menghindari peningkatan beban puncak akibat pertumbuhan kendaraan listrik.

Gambar 1. memperlihatkan pengaruh dari insentif pajak dan ketersediaan infrastruktur pengisian daya umum terhadap penetrasi motor listrik. Dari simulasi tersebut, terlihat bahwa penyediaan infrastruktur mampu mempercepat penetrasi motor listrik pada tahun-tahun awal hingga 2030. Di sisi lain, kebijakan insentif pembebasan pajak juga berpengaruh signifikan dan membuat penetrasi motor listrik meningkat lebih tajam hingga tahun 2050. Bila dikombinasikan, kedua instrumen tersebut mampu memberikan laju penetrasi motor listrik yang menyerupai skenario ambisius.

Melihat Potensi Kendaraan Listrik dalam Dekarbonisasi Sektor Transportasi Darat di Indonesia

Pada tahun 2018, sektor transportasi di Indonesia mengkonsumsi 45% dari total energi final, dimana 94% berasal dari bahan bakar minyak. Dengan begitu, sektor ini menyumbang hampir sepertiga dari total emisi sektor energi. Angka ini diprediksi akan terus meningkat oleh beberapa ahli. Bahkan, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) memprediksi bahwa emisi dari sektor ini akan meningkat 53% pada tahun 2030 dan hampir dua kali lipat pada tahun 2050 jika dibandingkan dengan angka pada tahun 2015. Dalam memenuhi tekanan pembatasan kenaikan suhu secara global, upaya dekarbonisasi atau pengurangan emisi di sektor transportasi memegang peranan penting, terutama mengingat bahwa Indonesia merupakan negara kontributor emisi keenam di dunia.

Di antara moda transportasi angkutan, moda transportasi di darat merupakan kontributor emisi terbesar. Banyak studi menunjukkan bahwa kendaraan listrik merupakan satu opsi penting untuk melakukan dekarbonisasi di transportasi darat. Sayangnya, rencana mitigasi perubahan iklim di sektor ini masih terbatas pada penggunaan bahan bakar nabati. Untuk melihat seberapa besar potensi kendaraan listrik dalam dekarbonisasi sektor transportasi darat di Indonesia maka IESR melakukan diskusi sekaligus meluncurkan laporan terbarunya secara daring pada Hari Minggu, 29 Maret 2020, yang disiarkan di kanal Youtube IESR Indonesia.

Bertujuan untuk meluncurkan laporan terbarunya, tajuk dari diskusi ini menggunakan tajuk yang sama dengan tajuk laporannya, yaitu The Role of Electric Vehicles in Decarbonizing Indonesia’s Road Transport Sector. Dipandu oleh Erina Mursanti, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, diskusi ini menghadirkan Julius C. Adiatma, Peneliti Bahan Bakar Bersih IESR, yang merupakan penulis dari laporan ini. Di samping itu, Dr. Mohammad Mustafa Sarinanto, Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi BPPT, dan Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia untuk wilayah Jakarta, turut hadir dalam diskusi ini untuk memberikan tanggapan atas laporan yang diluncurkan dalam diskusi ini.

Diskusi ini diawali dengan pemaparan presentasi oleh Julius C. Adiatma terkait kajian mengenai dekarbonisasi sektor transportasi untuk mendorong ambisi iklim negara dalam mencapai target pembatasan kenaikan suhu yang ada di dalam Kesepakatan Paris. Bahkan, menurut laporan spesial IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), pembatasan kenaikan suhu diusahakan mencapai 1,5 derajat C untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar.

Salah satu kajian yang dikeluarkan oleh Climate Action Tracker menjabarkan skenario yang kompatibel bagi Indonesia untuk dapat berkontribusi dalam mencapai target pembatasan kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat C. Salah satu caranya adalah elektrifikasi kendaraan penumpang darat seperti bis, motor, dan mobil secara 100% pada tahun 2050.

Kendaraan listrik dinilai bisa menjadi alternatif penurunan emisi karena memiliki tingkat efisiensi yang sangat tinggi. Selain itu listrik bisa diproduksi tanpa menimbulkan emisi apabila menggunakan energi yang terbarukan. Belajar dari beberapa negara, kendaraan listrik akan tumbuh apabila ada dukungan kebijakan dari pemerintah. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang dapat menstimulasi supply dan demand dari pasar kendaraan listrik.

Menurut Nanto, sapaan akrab dari Dr. Mohammad Mustafa Sarinanto, kajian yang dilakukan oleh Julius menjawab pertanyaan besar BPPT terkait potensi kendaraan listrik dalam dekarbonisasi sektor transportasi darat di Indonesia. BPPT sendiri telah mengembangkan platform-platform kendaraan listrik pada tahun 2018 sebelum diterbitkannya Peraturan Presiden No. 55 tahun 2019 terkait industri dalam negeri. Namun, sekarang BPPT lebih fokus kepada charging station atau stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).

Indonesia termasuk terlambat dalam menerapkan penggunaan kendaraan listrik bila dibandingkan dengan negara maju. Industri lokal terkait kendaraan listrik perlu untuk didorong dan hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak. Berbicara tentang industri kendaraan listrik maka bisa dilihat berbagai lembaga pengembangan kendaraan listrik baru berfokus pada research and development (R&D) dan manufaktur. Padahal kedua hal tersebut belum cukup. Kendaraan listrik adalah teknologi baru, dimana teknologi baru ini tidak akan berjalan dengan baik kalau hanya berkutat pada area R&D. Dengan demikian, Nanto menekankan bahwa aspek bisnis dari sisi manufaktur dan sisi infrastruktur pengisian baterai perlu diperhatikan.

Di samping itu, kendaraan listrik akan jauh bermanfaat dalam dekarbonisasi apabila Indonesia turut fokus mengembangkan pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan. Lebih jauh lagi, ekosistem kendaraan listrik harus mulai dikembangkan untuk mempercepat masa transisi kendaraan listrik, dimana ekosistem kendaraan listrik tersebut terdiri dari lima komponen yaitu: (a) research and development; (b) design and innovation; (c) fabrication/manufacture; (d) business; (e) implementation. Kelima komponen ini saling terkait dimana apabila implementation tidak jelas, maka tidak akan ada business sehingga  tidak ada research and development untuk melakukan design and innovation dalam fabrication/manufacture.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia untuk wilayah Jakarta, mengapresiasi kajian terbaru dari IESR yang menyatakan bahwa adanya kendaraan listrik tidak akan mempengaruhi APBN apabila ada insentif-insentif fiskal. Torri, sapaan akrab dari Damantoro, berharap skenario yang dilaporkan oleh IESR berjalan sukses sehingga bisa terlihat market size dari kendaraan listrik. Market size tersebutlah yang mampu mengundang investor untuk berinvestasi pada manufaktur kendaraan listrik.

Torri mengingatkan bahwa ada proyeksi yang menyatakan bahwa sekitar 60% penduduk Indonesia akan tinggal di daerah urban pada tahun 2030 ke atas, dimana ini berdampak pada kegiatan mobilisasi yang sangat tinggi. Dari perspektif sistem transportasi, akan sangat bagus apabila pemerintah dapat melakukan sinkronisasi antara sistem tata ruang dan transportasi maka kegiatan mobilisasi bisa dilayani dengan memuaskan. Tetapi selama tidak ada integrasi tata ruang dan transportasi maka masih akan mempertinggi penggunaan kendaraan pribadi. Di samping itu, jenis kebijakan yang diprioritaskan pemerintah untuk meningkatkan kepemilikan kendaraan listrik sebaiknya dapat dibedakan berdasarkan jenis kendaraan, dimana kebijakan insentif fiskal untuk meningkatkan kepemilikan kendaraan roda empat listrik sedangkan penyediaan stasiun pengisian baterai untuk kendaraan roda dua listrik.

Terkait dengan emisi yang dihasilkan, Julius kembali menekankan bahwa sektor transportasi dan ketenagalistrikan saling berkaitan satu sama lain. Apabila kendaraan listrik akan dikembangkan maka perlu juga untuk mengembangkan pembangkit listrik energi terbarukan.

Pada akhirnya kendaraan listrik dan industrinya bisa berkembang apabila ada dukungan dari semua pihak. Di berbagai negara juga demikian, keberhasilan kendaraan listrik menembus pasar bukan hanya keberhasilan satu pihak namun karena dukungan berbagai pihak utamanya adalah pemerintah. Perlu adanya dukungan dari pemerintah dalam hal penciptaan pasar dan kebijakan supply and demand.

Materi presentasi

The Role of EV

 

Unduh laporan lengkap
Unduh ringkasan untuk para pembuat kebijakan
Unduh infografis