Request for Proposal (RFP) Strategic Communication and Advocacy Plan in Promoting Low Carbon Solutions Adoption for Indonesia’s Large Industries & Small-Medium Industries

Latar Belakang

Pencapaian target pembangunan ekonomi nasional pada tahun 2045 akan mendorong perluasan kapasitas di beberapa industri utama di Indonesia, seperti industri besi dan baja, semen, amonia, pulp dan kertas, dan tekstil. Menurut studi terbaru IESR, kelima industri tersebut bertanggung jawab atas sekitar sepertiga emisi industri nasional pada tahun 2020 atau sekitar 102 MtCO2. Hal ini disebabkan karena banyak dari pelaku industri tersebut menggunakan teknologi produksi yang sudah ketinggalan zaman dan tidak efisien serta mengkonsumsi bahan bakar fosil baik sebagai bahan baku maupun bahan bakar. Dalam kasus lain, industri tersebut merencanakan ekspansi kapasitasnya dengan menggunakan teknologi padat karbon yang dapat menyebabkan penguncian emisi selama beberapa dekade ke depan. Selain itu, rendahnya penggunaan bahan baku yang berkelanjutan pada industri semen, besi dan baja, serta industri pembuatan kertas mendorong peningkatan emisi sebesar 50 MtCO2 per tahun pada tahun 2050, dan secara kolektif dengan subsektor industri lainnya, akan meningkatkan emisi sektor ini menjadi dua kali lipat pada tahun yang sama.

Selain itu, dengan lanskap industri dan sektor komersial di Indonesia yang didominasi oleh usaha kecil sekitar 99%, maka sangat penting untuk mempertimbangkan peran usaha kecil dalam portofolio emisi Indonesia. Dari studi IESR, terungkap bahwa dengan jumlah UMKM yang mencapai 65 juta usaha di tahun 2021, perkiraan paling tidak dari total estimasi emisi terkait energi dapat mencapai 216 MtCO2 per tahun di tahun 2023, atau sekitar separuh dari emisi sektor industri, termasuk emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar, proses industri, dan limbah. Tingginya emisi CO2 ini sebagian besar disebabkan oleh rendahnya pemahaman pelaku UMKM mengenai cara menerapkan langkah-langkah efisiensi energi serta kurangnya kapasitas finansial dan teknis untuk memanfaatkan bahan bakar dan listrik terbarukan untuk mendukung bisnis mereka.

Memahami urgensi yang tepat waktu untuk mendekarbonisasi industri dari semua skala, Institute for Essential Services Reform (IESR) bermaksud untuk merumuskan rencana komunikasi dan advokasi strategis untuk meningkatkan kesadaran publik tentang topik ini dan mendorong perubahan transformasional industri serta meningkatkan adopsi teknologi rendah karbon dan praktik-praktik berkelanjutan di kalangan industri besar dan UKM. Diharapkan konsultan mengembangkan rencana komunikasi dan advokasi sesuai dengan prinsip Specific, Measurable, Achievable, Relevant, and Time-Bound (SMART) dengan jangka waktu setidaknya satu tahun. Konsultan yang terpilih akan memberikan masukan mengenai metode, konten, dan strategi implementasi. Strategi tersebut harus mencakup penggunaan alat bantu online dan media baru, termasuk akun media sosial dan situs web IESR yang sudah ada.

Syarat dan Ketentuan

  1. Proposal
  2. Dokumen wajib yang diperlukan
    • Surat Pernyataan Kepatuhan terhadap Ketentuan Prakualifikasi
    • Surat Pernyataan Tidak Terlibat dalam Organisasi Terlarang
    • Surat Pernyataan Tidak Menuntut Ganti Rugi
    • Formulir Isian Kualifikasi Badan Usaha
    • Surat Pernyataan Tidak Dalam Pengawasan Pengadilan
    • Pernyataan Minat
    • Surat Pernyataan Kesediaan Mengerahkan Personil dan Peralatan
    • Pernyataan Komitmen Keseluruhan
    • Surat Pernyataan Kesanggupan Lapangan
    • Surat Pernyataan Keaslian Dokumen
    • Pakta Integritas

Seluruh dokumen yang diperlukan dapat diunduh melalui tautan berikut (s.id/documentsrfpcommsiesr), dan diharapkan dapat diterima oleh IESR hingga pukul 22. 00 WIB pada hari Jumat, 19 April 2024. Proposal yang diterima setelah tanggal dan waktu tersebut tidak akan diterima. Semua proposal harus ditandatangani oleh tenaga ahli, agen resmi, atau perwakilan perusahaan yang mengajukan proposal.

Proposal akan diterima hingga pukul 22.00 WIB pada hari Jumat, 19 April 2024. Untuk pertanyaan lebih lanjut, silakan hubungi Program Manager Transformasi Energi IESR di deon@iesr.or.id dan Koordinator Proyek Dekarbonisasi Industri di faricha@iesr.or.id.

Untuk lebih detail, silakan baca berkas berikut :

RFP-IESR-Strategic-Communication-and-Advocacy-Plan-in-Promoting-Low-Carbon-Solutions-Adoption-for-Indonesias-Large-and-Small-Medium-Industries.docx-1

Unduh

Mendorong Dekarbonisasi Industri Mulai dari Gaya Hidup Konsumen

Jakarta, 22 Maret 2024 – Kenaikan suhu bumi merupakan suatu fenomena tak terelakkan (inevitable) sebagai akibat dari berbagai kejadian alam hingga aktivitas dan gaya hidup manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai penyebab naiknya suhu bumi. 

Penemuan mesin uap pada 1880 membuat perubahan monumental pada kehidupan manusia dengan dimulainya industrialisasi. Berkembangnya industri ternyata dibarengi dengan meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK).  

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2022 mencatat adanya kenaikan suhu bumi sebesar 1,1 derajat Celsius. Hal ini merupakan suatu peringatan bagi umat manusia untuk segera mengambil langkah-langkah pengendalian kenaikan suhu untuk menahan kenaikan suhu tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius.

Faricha Hidayati, Koordinator Proyek Dekarbonisasi Industri, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan kenaikan suhu bumi dapat memicu salah satunya bencana hidrometeorologi yang frekuensinya akan semakin tinggi.

“Selain masalah lingkungan, dampak ikutan lainnya adalah biaya kesehatan yang akan naik seiring dengan meningkatnya penyakit terutama yang menyerang kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan rumah tangga miskin,” jelas Faricha.

Meski merupakan salah satu sektor penyebab naiknya emisi GRK, sektor industri memiliki kontribusi ekonomi yang signifikan. Sehingga diperlukan langkah dan upaya strategis untuk melakukan dekarbonisasi pada sektor industri. 

Pada tahun 2021, emisi sektor industri merupakan sektor penghasil emisi kedua terbesar setelah pembangkitan listrik. Jika tetap menggunakan skema business as usual tanpa intervensi apapun, nilai emisi di sektor industri akan naik dua kali lipat pada tahun 2050.

“Sektor industri menyumbang emisi lebih dari 300 juta ton CO2 pada tahun 2021, dengan sumber emisi tertinggi dari penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi,” tambah Faricha.

Meskipun telah ada regulasi yang mendorong industri untuk mempraktikkan prinsip berkelanjutan, namun implementasinya belum diwajibkan. Bahkan Bagi industri yang secara mandiri memiliki inisiatif untuk menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan, belum ada sistem insentif bagi mereka.

Faricha melanjutkan, selain melalui advokasi kebijakan pada pemerintah, konsumen dapat berkontribusi salah satunya dengan memilih produk-produk yang diproduksi dengan prinsip-prinsip berkelanjutan. Konsumen juga dapat menuntut pada produsen atau industri untuk mulai menerapkan prinsip berkelanjutan pada proses produksinya.

Energi Terbarukan Perlu Merajai Asia Tenggara

Jakarta, 27 Maret 2024– Asia Tenggara tergolong kawasan dengan perekonomian yang menduduki peringkat ke-5 terbesar di dunia pada 2022. Aktivitas ekonomi yang tinggi di kawasan Asia Tenggara, membuat proyeksi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan mencapai 60 persen pada 2050. Penurunan emisi kawasan akan berdampak signifikan terhadap upaya pengurangan emisi global. Sayangnya, upaya penurunan emisi dengan pemanfaatan energi terbarukan di Asia Tenggara belum sejalan dengan Persetujuan Paris untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Konferensi Internasional Revision 2024 di Tokyo (14/3) menyebutkan negara yang tergabung dalam ASEAN mempunyai target untuk mencapai bauran energi terbarukan di kawasan sebesar 23 persen pada 2025. Namun, menurutnya, target ini tidak selaras dengan Persetujuan Paris.

“Agar memenuhi Persetujuan Paris, bauran energi terbarukan harus mencapai 55 persen, dengan energi terbarukan variabel (variable renewable energy, VRE) berkontribusi sebesar 42 persen. Kecuali Vietnam, Kamboja, dan Filipina, negara-negara lain belum mencapai penetrasi energi terbarukan sebesar 5 persen. Kabar baiknya, pada tahun 2023, negara-negara ASEAN akan memiliki lebih dari 28 GW kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dan angin yang beroperasi, atau meningkat 20 persen dari kapasitas yang beroperasi sejak tahun lalu. Saat ini, kapasitas tersebut mencapai 9 persen dari total kapasitas listrik negara-negara ASEAN. Namun, agar negara-negara ASEAN dapat mencapai target tersebut, mereka perlu memasang lebih banyak energi terbarukan,” jelas Fabby.

Fabby melanjutkan, sumber daya energi terbarukan di Asia Tenggara tergolong melimpah , dengan 40-50 kali lebih besar dari kebutuhan energi tahun ini. Pemanfaatan PLTS terapung dapat menjadi salah satu pilihan strategis dalam dekarbonisasi sistem energi di kawasan. Ia mengurai, setidaknya terdapat potensi teknis PLTS terapung sebesar 134 hingga 278 GW untuk waduk, 343 hingga 768 GW untuk permukaan air alami seperti sungai, danau, laut. Potensi teknis ini bervariasi di setiap negara. Ia menilai, penghitungan yang rinci mengenai potensi teknis pasar dan ekonomi, serta  potensi tekno-ekonomi spesifik lokasi harus dilakukan untuk mengembangkan PLTS terapung.

Ia juga menyoroti kawasan Asia Tenggara perlu mempunyai kebijakan yang lebih ambisius, memberikan dukungan anggaran dan insentif yang kuat, dan menciptakan lebih banyak kebijakan yang menarik investasi. Investasi tahunan rata-rata dalam kapasitas energi terbarukan harus ditingkatkan hingga lima kali lipat menjadi USD 73 miliar per tahun.

Fabby menegaskan negara-negara di Asia Tenggara harus meningkatkan ambisi mereka untuk memenuhi target Persetujuan Paris. Sebagai langkah dekat, ASEAN perlu mencapai 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025, dan 40 persen pada 2030.

“Banyak kajian menunjukkan Asia Tenggara punya potensi energi terbarukan yang besar dan cukup untuk dekarbonisasi. Namun secara kebijakan dan aksi saat ini dinilai masih kurang untuk mencapai dekarbonisasi pada 2050.  Investasi yang sangat besar untuk energi terbarukan mengharuskan setiap negara untuk mereformasi kebijakan dan mengelola risiko yang terkait dengan proyek energi terbarukan, agar dapat menarik dan memobilisasi investor,” imbuh Fabby.

Lebih jauh, ia mendorong agar tidak meneruskan narasi yang menitikberatkan pada mempertahankan energi fosil sebagai pembangkit beban puncak (baseload), dan mengaitkannya dengan upaya menjaga ketahanan energi, serta mengesampingkan energi terbarukan. Menurutnya, narasi semacam ini justru mengganggu dan tidak sejalan dengan semangat Persetujuan Paris.

Memulai Perjalanan Dekarbonisasi Industri Baja

Jakarta, 20 Maret 2024 – Sektor industri merupakan salah satu sektor penting untuk diturunkan emisinya. Konsumsi energi yang besar serta kontribusinya pada bidang ekonomi yang signifikan pada 2022 sebesar 16,48 persen Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi alasan kuat untuk membuat sektor ini semakin berkelanjutan. Industri dengan kebutuhan energi tinggi seperti industri besi baja membutuhkan persiapan strategis untuk melakukan dekarbonisasi. 

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil baja terbesar di Asia Tenggara, dan menempati urutan nomor 15 produsen baja di dunia. Tahun 2023, tercatat kapasitas produksi baja Indonesia mencapai 16 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 33-35 juta ton pada 2030. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam webinar “Accelerating the Transformation of the Steel Industry in Southeast Asia: Indonesia Chapter” menyatakan bahwa produksi baja Indonesia masih tinggi emisi. 

“Proyeksi kebutuhan baja Indonesia diprediksi akan meningkat, jika tidak mengambil langkah dekarbonisasi serius, maka emisi dari industri baja juga akan terus meningkat,” kata Fabby.

Kita juga menghadapi tuntutan pasar internasional untuk menghasilkan baja yang lebih rendah karbon. Uni Eropa misalnya telah menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang efektif pada 2026, akan menimbulkan efek negatif terhadap ekspor industri baja Indonesia. Untuk itu, industri baja perlu melakukan transformasi.

Farid Wijaya, Analis Senior IESR menjelaskan bahwa dekarbonisasi bagi industri besi baja akan membawa prospek pertumbuhan ekonomi, meski saat ini masih cukup banyak tantangannya. 

“Standar industri hijau dapat menjadi salah satu cara untuk mendorong industri ramah lingkungan. Standar hijau untuk baja baru ditetapkan dan masih terbatas pada baja lembar per lapis. Saat ini belum ada industri besi baja yang mendapat sertifikat hijau karena keterbatasan implementasi,” kata Farid.

Kajol, Program Manager Climate Neutral Industry Southeast Asia, Agora Industry, menambahkan bahwa saat ini hampir 80% produksi baja dilakukan melalui teknologi blast furnace (tanur tinggi). 

“Kita harus mulai memikirkan teknologi yang lebih baik dan modern untuk menggantikan blast furnace. Saat fasilitas blast furnace yang saat ini beroperasi mulai tidak lagi efisien di tahun 2030-2040 kita harus menggantinya dengan teknologi yang lebih modern dan tidak lagi berinvestasi di blast furnace,” jelasnya.

Salah satu teknologi yang dimaksud Kajol adalah Direct Reduced Iron (DRI) yang dapat memproduksi baja primer menggunakan gas alam atau hidrogen bersih. Bijih besi direduksi untuk menghasilkan DRI, yang kemudian dapat dilebur dalam tanur busur listrik (Electric Arc Furnace, EAF) untuk menghasilkan baja primer.

Strategi yang dapat dijalankan untuk dekarbonisasi industri baja mencakup penggunaan energi terbarukan secara langsung dan tidak langsung, efisiensi sumber daya dan ekonomi sirkular, dan menutup siklus karbon. 

Helenna Ariesty, Sustainability Manager PT Gunung Raja Paksi (GRP) sebagai pelaku industri menekankan pentingnya kepastian regulasi dalam mendorong dekarbonisasi industri. 

“Kami menghadapi beberapa tantangan untuk menavigasi arah kebijakan yang belum konsisten. Selain itu, akses pendanaan yang terjangkau mengingat investasi awal yang dibutuhkan jumlahnya signifikan,”

Joseph Cordonnier, Analis Kebijakan Industri, OECD sepakat bahwa kebijakan dan akses pendanaan akan menjadi komponen kerangka utama untuk membangun ekosistem pendukung untuk dekarbonisasi industri. 

“Sebagai bagian dari kerangka tersebut kita juga harus benar-benar melihat bagaimana memaksimalkan pemanfaatan aset yang ada berdasarkan variabel teknik, efisiensi energi, dan pengurangan emisi aset tersebut,” kata Joseph.

Fausan Arif Darmaji, Analis Perkembangan Infrastruktur, Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian mengatakan pemerintah menyadari adanya kebutuhan menekan emisi dari produksi baja Indonesia.

“Sektor besi baja juga merupakan fokus kami saat ini. Sembari kami menunggu aturan kebijakan yang saat ini sedang dibuat, kami memberikan pelatihan perhitungan GRK bagi sektor baja, juga perhitungan nilai ekonomi karbonnya,” kata Fausan.

Deon Arinaldo, Program Manajer Transformasi Energi IESR menutup webinar ini dengan menggarisbawahi kebutuhan dekarbonisasi industri merupakan upaya untuk tetap relevan dengan tuntutan perkembangan industri.

“Saat ini dekarbonisasi di sektor industri masih dianggap sebagai tantangan. Bukan hanya di Indonesia, namun juga fenomena global. Tren ini yang harus kita antisipasi karena dekarbonisasi adalah hal yang inevitable (tidak terelakkan),” kata Deon.

Emisi Usaha Kecil Menengah (UKM) tidaklah Kecil

Dekarbonisasi emisi UKM

Jakarta, 14 Maret 2024 – Sektor industri telah menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Bukan hanya industri besar, Usaha Kecil Menengah (UKM) juga menjadi penggerak roda perekonomian nasional, termasuk dalam membentuk lapangan pekerjaan serta berkontribusi pada PDB sebesar 60,5 persen pada tahun 2021. 

Akan tetapi, di balik angka kontribusi ekonomi ada emisi besar yang menghantui. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam sambutannya di webinar “Peluang Dekarbonisasi Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia dan Pembelajaran dari Pengalaman Global”mengatakan bahwa emisi dari sektor UMKM pada tahun 2023 sebesar 216 juta ton CO2e.

“Angka ini setara dengan separuh dari emisi sektor industri nasional pada tahun 2022. Maka, kita perlu secara serius mengupayakan dekarbonisasi industri UKM ini karena dengan memprioritaskan aspek keberlanjutan (sustainability, red) UKM akan naik kelas,” tutur Fabby.

Fabby menuturkan, sebanyak 95 persen dari emisi sektor UKM datang dari pembakaran bahan bakar fosil, sisa 5 persen dari pembakaran sampah. Jika tidak diambil langkah signifikan untuk mengurangi emisi sektor UKM, ada kemungkinan emisi UKM akan meningkat di kemudian hari. 

Abyan Hilmy Yafi, Analis Data Energi IESR, menjelaskan dalam survei yang dilaksanakan oleh  IESR pada 1000 UKM di seluruh Indonesia bahwa untuk memulai dekarbonisasi industri UKM ini terdapat beberapa pendekatan dari yang bersifat peningkatan pemahaman hingga solusi teknis seperti penggantian teknologi. 

“Untuk lintas sektor perlu adanya peningkatan pemahaman pelaku UKM tentang konsumsi energi dan emisi yang mereka hasilkan. Juga perlu sosialisasi aktif untuk mempromosikan energi terbarukan. Secara sektoral, terdapat beberapa rekomendasi teknis seperti penggunaan boiler elektrik pada industri tekstil dan apparel (pakaian, red),” jelasnya.

Bo Shen, Energy Environmental Policy Research, Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL) menjelaskan bahwa secara global, tantangan dari melakukan dekarbonisasi industri UKM antara lain adanya gap pengetahuan dari pemilik atau pengelola UKM tentang emisi, energi, atau lebih jauh lagi perubahan iklim dan relevansinya pada usaha mereka. 

“Ketika pelaku UKM sudah memiliki pengetahuan dan kesadaran cukup untuk melakukan dekarbonisasi atau menekan emisi dari usahanya, pembiayaan menjadi kendala selanjutnya. Biaya yang harus dibayarkan di depan (upfront cost) yang ada saat ini untuk misal mencari vendor teknologi ataupun penyedia jasa energi (Energy Service Company – ESCO), masih cukup tinggi untuk skala keuangan UKM,” jelas Bo Shen.  

Tiap-tiap negara akan menggunakan pendekatan berbeda untuk mendorong dekarbonisasi UKM ini. Amerika Serikat misalnya, mereka bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk membangun pusat penilai industri (industry assessment centres). 

“Selain berguna untuk mendekarbonisasi industri UKM, pendekatan ini juga sekaligus menyiapkan tenaga kerja ahli yang memiliki kesempatan training langsung pada industri UKM,” jelas Bo Shen.

Bo juga menambahkan kasus menarik dari Cina yang membentuk inisiatif bernama Green Growth Together (GGT). Inisiatif ini mendorong dekarbonisasi UKM-UKM yang menjadi bagian rantai pasok produk besar. 

Pemilik industri bermerek besar meminta seluruh jaringan rantai pasoknya untuk menjalankan praktik pengurangan emisi atau dekarbonisasi. Tuntutan ini juga datang dengan bantuan pembiayaan ataupun asistensi teknis yang dibutuhkan. 

Ahmad Taufik dari Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan, untuk konteks Indonesia, saat ini sedang mengalami tantangan pada sektor industri. Kontribusi sektor industri pada PDB tercatat terus menurun.

“Secara struktural kami juga masih terus membenahi beragam hal mulai dari pengembangan industri, pengembangan UKM, hingga memastikan tersedianya lapangan kerja yang ramah lingkungan (green jobs) dan tenaga profesionalnya (green professional),” kata Taufik.

Meninjau Kebutuhan Investasi Energi Terbarukan Indonesia

Investasi energi terbarukan

Jakarta, 8 Maret 2024 – Komitmen transisi energi Indonesia secara resmi dimulai sejak tiga tahun lalu saat Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengeluarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang menargetkan adanya penambahan kapasitas energi terbarukan sebagai salah satu prasyarat tercapainya net zero emission Indonesia pada 2060, secara khusus sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050.

Dalam sesi Market Review, Jumat 8 Maret 2024, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa pengembangan energi terbarukan merupakan suatu keniscayaan. Pemerintah melalui sejumlah kebijakan seperti RUPTL 2021, dan Perpres 112/2022 telah mencanangkan penambahan kapasitas energi terbarukan sekaligus komitmen untuk tidak lagi membangun PLTU baru kecuali yang sudah dalam proses kontrak.

“Komitmen-komitmen ini harus diturunkan sampai ke rencana teknis dan ekonomis yang dapat dijalankan. Oleh karena itu proses revisi RUKN dan RUPTL yang saat ini sedang berlangsung menjadi sangat penting,” kata Fabby.

Dalam RUPTL 2024 – 2040, PLN berencana menambah kapasitas pembangkit energi terbarukan hingga 80 GW. Rencana ini akan membawa konsekuensi adanya kenaikan signifikan untuk energi terbarukan dari saat ini sekitar 9 GW menjadi 70 GW. 

Fabby menambahkan semangat dan ambisi ini perlu dikawal publik mengingat catatan pemerintah untuk peningkatan kapasitas energi terbarukan selalu di bawah target. Dalam mengejar target bauran 23 persen energi terbarukan pada 2025 Indonesia belum menunjukkan kemajuan yang diharapkan. Hingga tahun 2023, bauran energi terbarukan baru 13 persen saja. Hal ini membuat sisa dua tahun ini menjadi tantangan untuk akselerasi energi terbarukan. 

Kebutuhan biaya untuk membangun pembangkit energi terbarukan yang mencapai USD 152 miliar (setara 2.300 triliun rupiah) hingga 2040 menjadi sorotan. Angka ini dianggap sebagai angka yang realistis oleh Fabby, mengingat angka ini merupakan kebutuhan investasi meliputi kebutuhan pembangunan pembangkit energi terbarukan serta pembangunan jaringan transmisi dan distribusi.

“Angka USD 152 miliar sudah angka yang realistis saat ini. Kita juga harus memahami bahwa teknologi terus berkembang, bukan tidak mungkin ke depan kebutuhan investasi ini akan turun sesuai perkembangan teknologi,” jelas Fabby.

Fabby menyoroti niat pemerintah untuk melibatkan pihak swasta lebih banyak lagi. Untuk mengundang investasi swasta yang lebih besar diperlukan perbaikan regulasi antara lain Kebijakan Energi Nasional sesuai dengan target net zero emission sektor kelistrikan di tahun 2050, peninjauan ulang harga beli listrik dari pembangkit energi terbarukan, hingga peninjauan ulang tarif listrik yang berlaku saat ini.

Antara Rendahnya Target Energi Terbarukan dan Ambisi Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi

Jakarta, 20 Februari 2024 – Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai langkah Dewan Energi Nasional (DEN) melakukan penyesuaian target bauran energi terbarukan di Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional dari semula 23 persen menjadi 17-19 persen pada 2030 merupakan langkah mundur karena tidak sesuai dengan cita-cita pengurangan emisi dan pencapaian target net-zero emission Indonesia pada 2060 atau lebih cepat yang telah dicanangkan.

Fabby menyoroti pula agenda transisi energi yang diusung masing-masing pasangan calon presiden dalam pemilu 2024, yang memuat sejumlah target bauran energi terbarukan hingga tahun 2030 dalam wawancara dengan program Squawk Box

Menurutnya, masing-masing kandidat telah memiliki agenda transisi energi, salah satunya kehendak untuk mengejar target bauran energi terbarukan sama dengan Kebijakan Energi Nasional yang berlaku saat ini, berkisar antara 27-30 persen pada 2030. Selain itu, masing-masing kandidat juga memiliki komitmen untuk membatasi operasi PLTU batubara.

“Untuk pasangan 02, yang terlihat jelas adalah peningkatan penggunaan biofuel untuk mengganti atau mengurangi subsidi BBM seperti disampaikan pada saat kampanye,” kata Fabby. Pasangan calon presiden dan wakil presiden bernomor urut dua menargetkan  persentase campuran biofuel sebesar 50 persen pada tahun 2029, juga pemanfaatan etanol 10-20 persen.

Lebih jauh, Fabby menegaskan untuk sektor ketenagalistrikan, tujuan pengakhiran operasional PLTU batubara secara dini harus dibarengi dengan penambahan porsi energi terbarukan yang lebih besar. Selain untuk menggantikan daya listrik yang awalnya dipenuhi oleh PLTU batubara, pembangkit energi terbarukan juga harus mencukupi kebutuhan proyeksi pertumbuhan listrik di masa mendatang. Apalagi Indonesia berambisi untuk  mengejar pertumbuhan ekonomi hingga misalnya 6-7 persen, maka kebutuhan listrik diproyeksikan akan tumbuh lebih besar lagi. 

“Hitungan IESR, untuk mencapai berbagai target tersebut bauran energi terbarukan pada 2030 harus mencapai 40 persen, hal ini agak berbeda dengan penyesuaian target yang dibuat DEN saat ini,” jelas Fabby.

Fabby menambahkan PR pemerintahan baru terkait di sektor energi nanti adalah melakukan percepatan pembangunan energi terbarukan utamanya pada sub-sektor ketenagalistrikan dan bahan bakar cair.

Lemahnya Kebijakan dan Aksi Iklim Indonesia

Jakarta, 30 Januari 2024 – World Meteorological Organization (WMO) menobatkan tahun 2023 sebagai tahun terpanas. Catatan sejarah menunjukkan bumi terus mengalami peningkatan suhunya dari tahun ke tahun. Untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat para ahli telah merekomendasikan sejumlah aksi iklim, salah satunya untuk memastikan dunia mencapai puncak emisi global pada tahun 2030 dan harus turun pada tahun-tahun berikutnya. 

Penggunaan energi fosil menjadi salah satu kontributor emisi terbesar di dunia. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan Indonesia membutuhkan  aksi yang terukur dan riil untuk kita bertransisi dari energi fosil.

“Berdasarkan penilaian Climate Action Tracker (CAT), Indonesia tidak menunjukan penurunan emisi, bahkan mengalami kenaikan emisi pada tahun 2022 dan salah satu penyebabnya adalah peningkatan konsumsi batubara yang digunakan untuk hilirisasi. Rating Indonesia bahkan turun dari “highly insufficient” menjadi “critically insufficient”. Yang terpenting adalah langkah riil untuk akselerasi transisi pada dekade ini,” tegas Fabby.

Indonesia, sebagai salah satu 10 besar negara penghasil emisi di dunia justru mendapatkan catatan buruk dengan turunnya peringkat iklim Indonesia ke level terbawah menurut kerangka penilaian Climate Action Tracker (CAT).

Delima Ramadhani, Koordinator Proyek Climate Policy IESR, menyampaikan dalam peluncuran laporan Climate Action Tracker CAT, sepanjang tahun 2023 Indonesia menyampaikan sejumlah inisiasi dan kebijakan yang secara normatif mendukung adanya percepatan transisi energi, namun hal ini tidak berimplikasi pada upaya penurunan emisi.

“Rating Indonesia turun dari “highly insufficient ” menjadi “critically insufficient”. “Critically insufficient” berarti jika negara-negara memiliki komitmen iklim seperti Indonesia, laju pemanasan global akan ada di level 4 derajat,” kata Delima.

Mustaba Ari Suryoko, Analis Kebijakan Madya, Koordinator Pokja Penyiapan Program Aneka EBT, menanggapi bahwa penilaian terhadap upaya penurunan emisi menjadi i suatu pengingat bagi seluruh pihak untuk terus bekerja mencapai target penurunan emisi.

“Angka capaian adalah akumulasi dari berbagai variabel, maka kami berharap dalam perencanaan bukan hanya menentukan target yang ambisius namun juga harus dikerjakan upaya pencapaian,” katanya.

Anna Amalia, Fungsional Perencana Madya Bappenas, mengatakan bahwa untuk mengejar target iklim Indonesia yang lebih ambisius terdapat beberapa kesempatan.

“Pemerintah mulai bergerak progresif, dalam 20 tahun ke depan kita akan punya RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional-red) yang fokus pada penurunan emisi GRK, bagaimana kita mendorong pertumbuhan ekonomi melalui koridor yang rendah emisi dan tentu saja kebijakan lainnya akan mengikuti,” kata Anna.

Laporan tahunan Climate Transparency juga menyertakan Implementation Check untuk melihat efektivitas pelaksanaan kebijakan iklim.

Akbar Bagaskara, Analisis Sektor Ketenagalistrikan IESR, menjelaskan sektor ketenagalistrikan Indonesia ada pada kategori medium sebab implementasi kebijakan yang mendukung adanya transisi di sektor ketenagalistrikan belum berjalan dengan efektif.

“Secara historis, dalam lima tahun terakhir kita tidak mencapai target tahunan energi terbarukan. Perlu penguatan kebijakan untuk memperkuat ekosistem pendukung energi terbarukan Indonesia, serta pelibatan berbagai kelompok dalam proses perencanaan, procurement, hingga evaluasi,” jelas Akbar.

Yosi Amelia, Staff Program Hutan & Iklim, Yayasan Madani Berkelanjutan, menyoroti adanya ketidaksinkronan strategi lintas kementerian dan lembaga pemerintah yang menciptakan ketidakjelasan dokumen yang dijadikan pedoman. 

“Terdapat ketidaksinkronan antar dokumen misalnya tentang kuota deforestasi Indonesia. Dalam strategi FOLU Net Sink 2030, tidak ada lagi kuota deforestasi sementara pada E-NDC masih memberikan kuota deforestasi,” kata Yosi.