Melibatkan Masyarakat dalam Upaya Pengurangan Emisi

Jakarta, 22 April 2024 – Transisi energi mendapatkan daya tarik dan momentum dalam beberapa tahun terakhir. Negara-negara telah berjanji untuk mengurangi emisi serta mempercepat agenda transisi energi mereka untuk menjaga kenaikan suhu global pada tingkat 1,5 derajat Celcius. Indonesia berkomitmen untuk mencapai status emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih awal. Komitmen ini terlambat 10 tahun dibandingkan target Perjanjian Paris pada tahun 2050.

Irwan Sarifudin, Koordinator Clean Energy Hub IESR, dalam acara SEA Morning Show pada 22 April 2024, mengatakan studi Deep Decarbonization yang dilakukan IESR menunjukkan bahwa Indonesia secara teknis dapat mencapai emisi nol di sektor energi pada tahun 2050.

“Pilihan ini (menjadi NZE pada tahun 2050) secara teknis memungkinkan dan ekonomis bagi Indonesia,” kata Irwan.

Irwan juga menjelaskan bahwa untuk mendorong agenda pemerintah dalam mempercepat target transisi energi, kolaborasi multisektor sangat penting untuk didorong. Salah satu inisiatif yang diluncurkan IESR adalah Generasi Energi Bersih (Gen-B), sebuah komunitas pemuda yang fokus pada pengurangan emisi personal.

Maya Lynn, Koordinator GEN-B menjelaskan bahwa masyarakat mendorong setiap individu untuk berkontribusi dalam upaya penurunan emisi. Gen-B memanfaatkan website jejakkarbonku.id untuk menghitung jejak karbon individu.

“Jejakkarbonku.id sudah disesuaikan dengan konteks Indonesia, sehingga pilihan transportasi dan pilihan makanan dikembangkan sesuai dengan kebiasaan orang Indonesia,” ujarnya.

Untuk lebih melibatkan lebih banyak orang, komunitas GEN-B akan terus membangun kapasitas anggota komunitas salah satunya melalui akademi.transisienergi.id dan juga akan terlibat dalam Community Funded Offset Project (CFOP) yang merupakan kegiatan penyeimbangan (offsetting) karbon dengan menyediakan instalasi energi terbarukan atau penanaman bakau. CFOP sendiri rencananya akan berada di beberapa lokasi di Indonesia.

Memulai Perjalanan Dekarbonisasi Industri Baja

Jakarta, 20 Maret 2024 – Sektor industri merupakan salah satu sektor penting untuk diturunkan emisinya. Konsumsi energi yang besar serta kontribusinya pada bidang ekonomi yang signifikan pada 2022 sebesar 16,48 persen Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi alasan kuat untuk membuat sektor ini semakin berkelanjutan. Industri dengan kebutuhan energi tinggi seperti industri besi baja membutuhkan persiapan strategis untuk melakukan dekarbonisasi. 

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil baja terbesar di Asia Tenggara, dan menempati urutan nomor 15 produsen baja di dunia. Tahun 2023, tercatat kapasitas produksi baja Indonesia mencapai 16 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 33-35 juta ton pada 2030. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam webinar “Accelerating the Transformation of the Steel Industry in Southeast Asia: Indonesia Chapter” menyatakan bahwa produksi baja Indonesia masih tinggi emisi. 

“Proyeksi kebutuhan baja Indonesia diprediksi akan meningkat, jika tidak mengambil langkah dekarbonisasi serius, maka emisi dari industri baja juga akan terus meningkat,” kata Fabby.

Kita juga menghadapi tuntutan pasar internasional untuk menghasilkan baja yang lebih rendah karbon. Uni Eropa misalnya telah menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang efektif pada 2026, akan menimbulkan efek negatif terhadap ekspor industri baja Indonesia. Untuk itu, industri baja perlu melakukan transformasi.

Farid Wijaya, Analis Senior IESR menjelaskan bahwa dekarbonisasi bagi industri besi baja akan membawa prospek pertumbuhan ekonomi, meski saat ini masih cukup banyak tantangannya. 

“Standar industri hijau dapat menjadi salah satu cara untuk mendorong industri ramah lingkungan. Standar hijau untuk baja baru ditetapkan dan masih terbatas pada baja lembar per lapis. Saat ini belum ada industri besi baja yang mendapat sertifikat hijau karena keterbatasan implementasi,” kata Farid.

Kajol, Program Manager Climate Neutral Industry Southeast Asia, Agora Industry, menambahkan bahwa saat ini hampir 80% produksi baja dilakukan melalui teknologi blast furnace (tanur tinggi). 

“Kita harus mulai memikirkan teknologi yang lebih baik dan modern untuk menggantikan blast furnace. Saat fasilitas blast furnace yang saat ini beroperasi mulai tidak lagi efisien di tahun 2030-2040 kita harus menggantinya dengan teknologi yang lebih modern dan tidak lagi berinvestasi di blast furnace,” jelasnya.

Salah satu teknologi yang dimaksud Kajol adalah Direct Reduced Iron (DRI) yang dapat memproduksi baja primer menggunakan gas alam atau hidrogen bersih. Bijih besi direduksi untuk menghasilkan DRI, yang kemudian dapat dilebur dalam tanur busur listrik (Electric Arc Furnace, EAF) untuk menghasilkan baja primer.

Strategi yang dapat dijalankan untuk dekarbonisasi industri baja mencakup penggunaan energi terbarukan secara langsung dan tidak langsung, efisiensi sumber daya dan ekonomi sirkular, dan menutup siklus karbon. 

Helenna Ariesty, Sustainability Manager PT Gunung Raja Paksi (GRP) sebagai pelaku industri menekankan pentingnya kepastian regulasi dalam mendorong dekarbonisasi industri. 

“Kami menghadapi beberapa tantangan untuk menavigasi arah kebijakan yang belum konsisten. Selain itu, akses pendanaan yang terjangkau mengingat investasi awal yang dibutuhkan jumlahnya signifikan,”

Joseph Cordonnier, Analis Kebijakan Industri, OECD sepakat bahwa kebijakan dan akses pendanaan akan menjadi komponen kerangka utama untuk membangun ekosistem pendukung untuk dekarbonisasi industri. 

“Sebagai bagian dari kerangka tersebut kita juga harus benar-benar melihat bagaimana memaksimalkan pemanfaatan aset yang ada berdasarkan variabel teknik, efisiensi energi, dan pengurangan emisi aset tersebut,” kata Joseph.

Fausan Arif Darmaji, Analis Perkembangan Infrastruktur, Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian mengatakan pemerintah menyadari adanya kebutuhan menekan emisi dari produksi baja Indonesia.

“Sektor besi baja juga merupakan fokus kami saat ini. Sembari kami menunggu aturan kebijakan yang saat ini sedang dibuat, kami memberikan pelatihan perhitungan GRK bagi sektor baja, juga perhitungan nilai ekonomi karbonnya,” kata Fausan.

Deon Arinaldo, Program Manajer Transformasi Energi IESR menutup webinar ini dengan menggarisbawahi kebutuhan dekarbonisasi industri merupakan upaya untuk tetap relevan dengan tuntutan perkembangan industri.

“Saat ini dekarbonisasi di sektor industri masih dianggap sebagai tantangan. Bukan hanya di Indonesia, namun juga fenomena global. Tren ini yang harus kita antisipasi karena dekarbonisasi adalah hal yang inevitable (tidak terelakkan),” kata Deon.

Temuan Laporan Terbaru: Kebijakan di Negara Ekonomi Terbesar di Dunia Menghambat Peningkatan Kapasitas Listrik Energi Terbarukan hingga 3 Kali Lipat

press release

London, 4 Desember 2023 –  Lembaga nirlaba internasional, Climate Group baru saja meluncurkan laporan terbaru berjudul Financing the Energy Transition: How Governments Can Maximise Corporate Investment. Laporan ini menggarisbawahi adanya hambatan kebijakan dalam mengakselerasi penggunaan energi terbarukan di beberapa negara ekonomi terbesar di dunia. 

Inisiatif RE100 dari Climate Group bekerja sama dengan lebih dari 400 perusahaan, yang jika permintaan listrik perusahaan tersebut digabungkan maka akan lebih  besar daripada permintaan listrik Perancis. Perusahaan-perusahaan tersebut berkomitmen untuk menggunakan 100% listrik energi terbarukan di seluruh kegiatan operasionalnya. Mereka menginvestasikan miliaran dolar untuk mencapai hal tersebut, tetapi hambatan kebijakan dan peraturan menghalangi perusahaan untuk berinvestasi dalam listrik energi terbarukan di banyak tempat. Climate Group menyebut hal ini berdampak luas  pada upaya penghentian bertahap penggunaan bahan bakar fosil.

Laporan terbaru ini menyoroti kesenjangan kebijakan umum yang menghambat delapan negara G20, dan menjadikannya sebagai contoh dari tantangan yang akan dihadapi oleh banyak negara di seluruh dunia. Laporan ini berfokus pada Argentina, China, Jepang, Indonesia, India, Meksiko, Korea Selatan, dan Afrika Selatan, untuk memberikan rekomendasi yang dapat meminimalisir hambatan yang dihadapi, sehingga negara tersebut dapat memanfaatkan peluang ekonomi dari transisi energi dan mempercepat upaya menuju nir emisi karbon.

Misalnya saja di Korea Selatan,  129 dari 226 pemerintah daerah di negara tersebut (sekitar 57%) memiliki peraturan yang mengharuskan fasilitas tenaga surya untuk ditempatkan pada jarak minimum antara 100 hingga 1.000 meter dari daerah pemukiman dan jalan raya – yang menandai wilayah yang luas di negara tersebut tidak memungkinkan untuk pengembangan tenaga surya. 

“Energi terbarukan adalah emas yang seharusnya diperebutkan di abad ke-21, tetapi banyak bisnis, negara bagian, wilayah, dan negara yang masih ketinggalan. Era bahan bakar fosil yang murah telah berakhir, dan inilah saatnya bagi pemerintah untuk mengambil langkah sederhana untuk membuka pasar mereka bagi investasi perusahaan dalam bentuk listrik bersumber energi terbarukan yang murah dan bersih. Adalah hal yang sangat bagus jika negara-negara secara aktif mendiskusikan peningkatan kapasitas listrik terbarukan hingga tiga kali lipat, tetapi mereka juga harus mendobrak hambatan di negara mereka sendiri untuk mewujudkan janji tersebut,” ujar Sam Kimmins, Direktur Energi Climate Group.

Hambatan-hambatan yang diidentifikasi dalam laporan tersebut terbagi dalam tiga tema umum. Pertama, ketersediaan listrik terbarukan di suatu negara atau wilayah. Kedua, aksesibilitas listrik ini untuk penggunaan perusahaan. Terakhir, keterjangkauan listrik terbarukan di beberapa pasar, yang sering kali tidak sejalan dengan biaya listrik terbarukan yang jauh lebih rendah di tempat lain di dunia. Selain itu, laporan ini menelusuri pula tantangan yang ditimbulkan oleh  peraturan yang membatasi dan hambatan pasar . 

Menjelang COP28, seruan untuk melakukan lebih banyak tindakan dalam pengakhiran bertahap bahan bakar fosil dan kepemimpinan yang lebih kuat dari para pemimpin ekonomi terbesar di dunia, semakin meningkat. Langkah positif muncul pada awal tahun 2023 ketika negara-negara G20 berkomitmen untuk mengejar peningkatan kapasitas energi terbarukan sebesar tiga kali lipat secara global pada tahun 2030 melalui target dan kebijakan yang ada. Untuk melakukan hal ini, pemerintah perlu menghilangkan hambatan kebijakan yang paling umum, seperti penggunaan bahan bakar fosil dan hambatan lainnya yang memperlambat transisi energi global mencapai target  nir emisi  karbon.

“Dengan pasar energi terbarukan yang diperkirakan akan mencapai USD 2,15 triliun pada tahun 2025 dan investasi berkelanjutan yang melebihi USD 35 triliun pada tahun 2020, peluang pasar terbuka bagi negara-negara yang bekerja sama dengan dunia usaha untuk memprioritaskan keberlanjutan dan mendorong menuju nol karbon.Terus mempromosikan bahan bakar fosil, dengan tidak mendukung energi terbarukan secara memadai melalui kebijakan dan struktur pasar, artinya memilih jalan buntu,” lanjut Kimmins. 

Serangkaian rekomendasi kebijakan yang tercantum dalam laporan tersebut yang dapat digunakan oleh negara-negara untuk membuka potensi ekonomi yang sangat besar dari energi terbarukan yakni:

  • Membangun ekosistem peraturan yang mendukung untuk pengadaan dan aksesibilitas energi terbarukan oleh perusahaan
  • Meningkatkan transparansi dan tambahan sertifikat energi terbarukan (REC).
  • Mempermudah proses Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) yang rumit, termasuk mengatasi kurangnya transparansi dan insentif.
  • Memahami dan memperbaiki kesenjangan geografis dan regional dalam ketersediaan PJBL serta menyelaraskan aturan PJBL dan proses kontrak. 
  • Menciptakan tingkat persaingan yang setara untuk memastikan keterjangkauan energi terbarukan.
  • Menciptakan lapangan tandingyang setara di mana listrik terbarukan bersaing secara adil dengan bahan bakar fosil dan mencerminkan daya saing biaya produksi listrik terbarukan.
  • Menghapus subsidi bahan bakar fosil untuk menghentikan persaingan tidak sehat dengan energi terbarukan dan mengurangi beban subsidi pada pembayar pajak. 
  • Memberi insentif dan meningkatkan pasokan untuk memastikan ketersediaan energi terbarukan yang memadai. 
  • Bekerja sama dengan utilitas atau pemasok listrik untuk menyediakan dan meningkatkan opsi sumber listrik energi terbarukan bagi perusahaan
  • Mengatasi masalah perizinan dan lokasi yang terlalu membatasi peluang untuk pemasangan infrastruktur listrik terbarukan. 
  • Mendorong investasi langsung dalam proyek listrik terbarukan di lokasi dan di luar lokasi.

Selain Korea Selatan, laporan ini juga menyertakan contoh-contoh lain di mana kebijakan berdampak langsung pada investasi swasta dalam infrastruktur energi suatu negara. Pada tahun 2018, saat Presiden Andrés Manuel López Obrador berkuasa, Meksiko menarik investasi asing langsung sebesar USD 5 miliar di sektor energinya. Pada tahun 2021, angka ini hanya tinggal USD 600 juta – penurunan yang disebabkan oleh para investor yang dihalangi oleh retorika pro-bahan bakar fosil. 

Di sisi lain, Program Produsen Listrik Independen Terbarukan (Renewable Independent Power Producer Programme – REIPPP) Afrika Selatan telah mendorong lebih banyak investasi dalam pengembangan energi terbarukan, dengan 256 miliar Rand Afrika Selatan (USD 17,32 miliar) telah dikucurkan melalui program ini. Namun, jaringan listrik Afrika Selatan harus mengintegrasikannya, yang menunjukkan perlunya investasi dalam infrastruktur juga. 

Dengan mengadopsi rekomendasi dalam laporan tersebut, negara-negara dapat membuka investasi miliaran dolar, dengan tujuan keseluruhan untuk memerangi perubahan iklim dan membantu negara-negara mencapai target nir karbon. 

RE100 di Indonesia

Sementara itu, transisi energi di Indonesia membutuhkan percepatan mengingat komitmen untuk mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 (berdasarkan rencana investasi dan kebijakan komprehensif JETP Indonesia) dan untuk mencapai emisi nir emisi pada tahun 2060 atau lebih cepat. Institute for Essential Services Reform (IESR) percaya bahwa kontribusi sektor swasta merupakan salah satu faktor kunci, melalui praktik bisnis yang berkelanjutan – termasuk kemajuan penggunaan energi terbarukan untuk kegiatan operasional.

Mulai akhir tahun 2023, IESR dan RE100 bekerja sama untuk mendorong upaya dekarbonisasi perusahaan-perusahaan yang berkantor pusat di Indonesia dan perusahaan-perusahaan global yang beroperasi di Indonesia menuju pengadaan energi listrik terbarukan, sambil secara bersamaan mendorong kerangka kerja kebijakan yang lebih baik dan mendukung penggunaan energi terbarukan oleh perusahaan serta membina kerjasama dengan para pemangku kepentingan strategis di Indonesia.

“Laporan ini menekankan pentingnya permintaan korporasi terhadap energi terbarukan sebagai strategi untuk mempercepat aksi mitigasi iklim. Hal ini sejalan dengan seruan global untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada tahun 2030. Permintaan ini dapat memacu lebih banyak investasi energi terbarukan oleh sektor swasta tanpa membebani perusahaan listrik atau keuangan pemerintah. Pemerintah harus memfasilitasi investasi ini dengan menghilangkan hambatan-hambatan dalam pengadaan energi terbarukan dan meningkatkan lingkungan yang mendukung,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Sementara itu, Rachmat Kaimuddin, Deputi Menteri Bidang Infrastruktur dan Transportasi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, menyatakan, “Laporan ini memberikan contoh dari beberapa negara yang memiliki hambatan yang sangat relevan, sambil mendorong semua pemerintah untuk mempertimbangkan seluruh rekomendasi untuk memastikan bahwa rekomendasi-rekomendasi tersebut dapat mengatasi masalah-masalah utama yang menjadi perhatian utama dari perusahaan-perusahaan di semua tema. Untuk Indonesia, laporan ini menyoroti masalah aksesibilitas untuk energi terbarukan karena tingginya porsi bahan bakar fosil di jaringan listrik dan kurangnya kerangka kerja pengadaan yang jelas untuk power wheeling dan Power Purchase Agreement (PPA). Laporan ini mendesak Indonesia untuk memprioritaskan pembukaan pasar untuk investasi swasta dan secara bersamaan mengembangkan infrastruktur jaringan listrik dan fleksibilitas untuk mengimbangi pengembangan proyek untuk membuka potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan dan investasi terkait.”

Laporan tersebut dapat diunduh di sini.

Kontak Media Indonesia:

Kurniawati Hasjanah, kurniawati@iesr.or.id 

***********

Catatan untuk Editor:

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:

Nick Ringrow

Senior Manajer Komunikasi, Energi, Climate Group

nringrow@climategroup.org

 

Metodologi: 

Laporan ini berfokus pada negara-negara yang memiliki hambatan dan tantangan utama yang paling akut. Penelitian ini didasarkan pada data yang dikumpulkan dari lebih dari 400 perusahaan anggota RE100 bersama dengan konsultasi dari para anggota, mitra lokal utama di banyak pasar yang dinilai, dan pemangku kepentingan pemerintah. Hal ini didukung dengan sumber data internasional dan lokal yang tersedia untuk umum.

Tentang Climate Group 

Climate Group mendorong aksi iklim. Cepat. Tujuan kami adalah dunia tanpa emisi karbon pada tahun 2050, dengan kemakmuran yang lebih besar untuk semua. Kami fokus pada sistem dengan emisi tertinggi dan di mana jaringan kami memiliki peluang terbesar untuk mendorong perubahan. Kami melakukan ini dengan membangun jaringan yang besar dan berpengaruh serta meminta pertanggungjawaban organisasi, mengubah komitmen mereka menjadi tindakan. Kami berbagi apa yang kami capai bersama untuk menunjukkan kepada lebih banyak organisasi apa yang dapat mereka lakukan. Kami adalah organisasi nirlaba internasional yang didirikan pada tahun 2004, dengan kantor di London, Amsterdam, Beijing, New Delhi, dan New York. Kami bangga menjadi bagian dari koalisi We Mean Business. Ikuti kami di Twitter @ClimateGroup. 

Tentang RE100

RE100 adalah inisiatif global yang menyatukan bisnis-bisnis paling berpengaruh di dunia yang berkomitmen untuk 100% listrik terbarukan. Dipimpin oleh Climate Group, misi kami adalah mendorong perubahan menuju 100% jaringan listrik terbarukan, baik melalui investasi langsung dari para anggota kami, maupun dengan bekerja sama dengan para pembuat kebijakan untuk mempercepat transisi menuju ekonomi yang bersih. Inisiatif ini memiliki lebih dari 400 anggota, mulai dari merek rumah tangga hingga infrastruktur penting dan pemasok industri berat. Dengan total pendapatan lebih dari US$6,6 triliun, para anggota kami mewakili 1,5% konsumsi listrik global, permintaan listrik tahunan yang lebih tinggi daripada permintaan listrik di Inggris. RE100 didirikan melalui kemitraan dengan CDP.

 

Upaya Indonesia dalam Menghijaukan Industri Kimia

Jakarta, 21 November 2023 – Industri kimia dinilai termasuk salah satu industri yang banyak mengeluarkan emisi. Di Indonesia, berbagai industri, termasuk besi & baja, kertas, semen, dan tekstil saling berhubungan dengan industri kimia. Integrasi industri kimia di Indonesia, khususnya amonia, ke dalam industri pupuk berkontribusi terhadap posisi Indonesia sebagai produsen amonia terbesar kelima di dunia. Langkah-langkah proaktif yang dilakukan Indonesia untuk menghijaukan industri amonia akan berdampak signifikan terhadap lanskap amonia global.

Faricha Hidayati, koordinator proyek dekarbonisasi industri di Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam webinar bertajuk “Penghijauan Industri Kimia: Perspektif dan Wawasan Internasional” menyoroti jumlah emisi yang dilepaskan untuk setiap ton amonia yang diproduksi.

“Untuk setiap ton amonia yang dihasilkan, rata-rata emisi langsungnya adalah 2,4 ton CO2. Ini dua kali lebih tinggi dari baja mentah dan empat kali lipat dari semen,” kata Faricha.

Mengingat besarnya jumlah emisi, industri amonia menyumbang 2% dari penggunaan energi global. Oleh karena itu, dekarbonisasi industri amonia menjadi sangat penting. Lebih lanjut Faricha menjelaskan, IESR saat ini mengusulkan empat pilar untuk melakukan dekarbonisasi industri amonia di Indonesia yaitu efisiensi material, efisiensi energi, pengembangan amonia hijau, dan pemanfaatan CCS dalam prosesnya.

Faricha menambahkan, ada peluang untuk mendorong dekarbonisasi industri amonia di Indonesia karena para pelaku industrinya sudah sadar akan emisi dan mau mencari cara untuk membatasi emisinya.

“Peluang lainnya adalah potensi besar Indonesia dalam proyek hidrogen hijau, ditambah dengan variabel energi terbarukan hingga 3.686 GW,” ujarnya.

Setelah menilai status quo saat ini, IESR mendesak pemerintah untuk menetapkan target penurunan emisi yang jelas untuk sektor industri. Meskipun saat ini Indonesia telah memiliki visi besar untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat, namun masih belum ada target dan peta jalan yang jelas bagi sektor industri dalam berkontribusi terhadap tujuan NZE.

Penerapan langkah-langkah efisiensi energi di industri amonia dianggap sebagai upaya yang mudah untuk melakukan dekarbonisasi sektor industri. Pendekatan ini memerlukan investasi awal dan adopsi teknologi yang paling sedikit, sembari terus mendorong implementasi strategi jangka panjang.

Saksikan webinar “Penghijauan Industri Kimia: Perspektif dan Wawasan Internasional” di sini.

Menilik Pasar Karbon Indonesia: Tantangan, Peluang dan Jalan untuk Masa Depan

Kemajuan pesat dalam penetapan harga karbon di Indonesia telah mencapai tonggak penting. Peraturan Presiden (Perpres) 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) menjadi landasan pembangunan infrastruktur dan kerangka pelaksanaannya. Lahirnya regulasi NEK merupakan respon terhadap Pasal 6 Persetujuan Paris yang memperbolehkan para pihak memperdagangkan karbon guna menurunkan emisi. Beberapa instrumen yang ditawarkan dalam peraturan ini, terdiri dari perdagangan karbon, pembayaran berbasis hasil, dan pajak karbon, yang telah dua kali tertunda dan diperkirakan akan diluncurkan pada tahun 2025. Di antara semua instrumen tersebut, perdagangan karbon diidentifikasi sebagai instrumen yang matang dengan mekanisme cap-and-trade yang memungkinkan institusi untuk mengklaim emisi intensif tinggi mereka dengan membeli kredit dari aktivitas lain yang menyediakan stok karbon.

Untuk memperkuat pelaksanaan perdagangan karbon berdasarkan Undang-Undang 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertugas menyelenggarakan dan mengawasi perdagangan karbon di pasar karbon. Hanya dalam waktu 7 bulan, OJK menerbitkan peraturan perdagangan karbon melalui pertukaran karbon dan resmi meluncurkan pasar karbon pada 26 September 2023. Artinya, pembiayaan merupakan salah satu solusi untuk menjembatani kesenjangan dalam pencapaian target iklim dan berperan penting dalam meningkatkan kesadaran akan dampak buruk perubahan iklim, khususnya bagi sektor bisnis.

Sebelumnya, Indonesia telah mengenal Pasar Karbon Sukarela (Voluntary Carbon Market, VCM) sejak beberapa dekade terakhir sebelum memutuskan untuk membentuk pasar karbon wajib untuk memenuhi target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution, NDC) untuk sektor-sektor tertentu. Misalnya, proyek Lahan Gambut Sumatera Merang yang berhasil menjual 3 juta kredit karbon kepada perusahaan-perusahaan besar dan Indonesia Climate Exchange (ICX), sebuah platform perdagangan, diciptakan untuk membangun ekosistem bagi sektor swasta dengan skema sukarela.

Pada tahap pertama perdagangan karbon, 99 PLTU yang mencakup 86% pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia berpartisipasi dalam skema cap and trade. Setiap PLTU mempunyai jatah maksimum atau kuota emisi yang ditetapkan berdasarkan kriteria kinerja dan unit sebelumnya. Bagi mereka yang mengeluarkan emisi kurang dari ambang batas, mereka dapat menukarkan sisa kuota ke perusahaan lain yang melebihi batas maksimum. Ketika emisi PLTU telah melebihi kuota yang diberikan, maka mereka harus mengurangi emisi tersebut dengan membeli kuota dari PLTU lain atau membeli kredit karbon.

Keberhasilan program percontohan ini, meskipun memerlukan beberapa perbaikan, telah mendorong sektor-sektor lain untuk mempertimbangkan perdagangan karbon dan memperluas penerapannya di luar sektor energi, sambil menunggu diterbitkannya peta jalan perdagangan karbon yang saat ini sedang dibahas di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Dengan terbentuknya pasar karbon, maka produk perdagangan yang akan diperjualbelikan adalah kuota karbon dari sektor yang memenuhi syarat yang disebut PTBAE-PU dan kredit karbon atau SPE-GRK. PTBAE-PU hanya dapat diperjualbelikan oleh sektor wajib yang mempunyai batas maksimum emisi emisi, sedangkan kredit dapat diberikan dari berbagai proyek, misalnya proyek restorasi gambut dan energi terbarukan, di mana seluruh peserta dapat membeli kredit tersebut untuk menghindari emisi. Untuk berpartisipasi dalam pertukaran karbon, semua entitas, baik penghasil emisi atau bukan, harus mendapatkan izin dari National Standard Registry (SRN), sebuah platform yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai database emisi nasional dan memvalidasi kredibilitas produk dan peserta yang terlibat dalam pertukaran karbon. Dengan besarnya harapan, pemantauan dan evaluasi emisi yang cermat dapat dengan mudah diintegrasikan antar sektor dalam satu platform dan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi data yang diperlihatkan kepada publik.

Peluncuran pertukaran karbon hanya satu bulan setelah OJK mengeluarkan peraturannya telah menimbulkan beberapa pertanyaan, salah satunya adalah apakah Indonesia cukup siap untuk mengelolanya. Dengan tidak adanya ekosistem pasar yang komprehensif, diperlukan perencanaan dan implementasi yang matang oleh pemerintah, khususnya regulator dan kementerian terkait. Meski antusiasme ditunjukkan oleh 13 transaksi dengan total volume setara 459.914 metrik ton CO2 dengan harga satuan sekitar USD 4,51 yang didominasi oleh BUMN pada hari pertama peluncurannya, pembelajaran dari beberapa sistem perdagangan emisi (ETS) ), seperti Tiongkok, menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu yang cukup lama, hampir satu dekade, untuk membangun ekosistem pasar yang kuat dan matang. Validasi, kredibilitas, dan transparansi data merupakan aspek fundamental yang patut diwaspadai oleh berbagai pemangku kepentingan, antara lain OJK, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan lainnya. Integrasi pasar antara perdagangan karbon sektor tenaga listrik dan sektor kepatuhan yang akan datang dengan pasar karbon yang baru dirilis harus diterapkan untuk mencapai satu sistem dan mekanisme penetapan harga yang sama, karena pihak sukarela mendominasi pasar saat ini.

Penting juga untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan di pasar guna menjaga antusiasme pasar dan menjamin kelancaran transaksi. Mengingat pengalaman awal Skema Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU ETS), di mana kelebihan pasokan menyebabkan harga karbon mendekati nol pada tahun 2007, maka tindakan pencegahan harus diambil untuk mencegah harga karbon menjadi tidak kompetitif. Selain itu, pasar karbon akan segera memungkinkan perusahaan-perusahaan di luar Indonesia untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon, yang dapat menyebabkan kebocoran karbon jika harga tidak kompetitif dan perusahaan-perusahaan dalam negeri tidak mendapatkan manfaat dari insentif yang diberikan oleh pasar karbon.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang mengatur kuota dan ambang emisi di bidang ketenagalistrikan harus membatasi emisi yang diperbolehkan oleh setiap perusahaan pemilik pembangkit listrik. Dengan rencana kuota maksimal 85% pada tahun 2024, diharapkan dapat mendorong setiap operator untuk menyusun strategi penurunan emisi. Saat ini, kuota masih didasarkan pada intensitas emisi dan rata-rata emisi tahun sebelumnya, sehingga dapat menyebabkan alokasi yang lebih tinggi pada tahun berikutnya. Oleh karena itu, pemantauan berkala diperlukan untuk mengurangi kuota emisi setiap pembangkit listrik.

Pasar karbon juga membuka peluang untuk menginformasikan prinsip-prinsip taksonomi hijau secara luas, terutama kepada lembaga keuangan, investor, dan pemilik proyek. Hal ini dapat memungkinkan identifikasi apakah suatu proyek dapat diperdagangkan di pasar karbon dan termasuk dalam klasifikasi taksonomi hijau. Hal ini dapat meningkatkan transparansi dalam penilaian dan kepercayaan sekaligus membantu investor dan lembaga keuangan dalam memobilisasi pendanaan untuk proyek-proyek berkelanjutan. Namun, koordinasi dan kesepakatan kelembagaan lebih lanjut juga diperlukan untuk mencapai hal ini.

Meskipun pasar karbon di Indonesia masih tergolong baru, penerapannya yang efektif diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku industri, khususnya pada sub-sektor pembangkit listrik dan sektor energi secara keseluruhan. Penyebaran informasi kepada khalayak yang lebih luas penting untuk menarik lebih banyak pembeli dan pedagang untuk berpartisipasi dalam pertukaran karbon di luar sektor energi. Pada tahap awal ini, diperlukan insentif dari pemerintah karena untuk bisa lolos kriteria ‘hijau’, diperlukan proses tambahan yang menimbulkan biaya tambahan dan berpotensi menjadi beban, sehingga membuat pasar karbon menjadi tidak menarik. Pasar ini juga menciptakan peluang bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pendanaan iklim, sekaligus mendorong peluncuran pajak karbon sebagai alat pelengkap yang penting. Pemantauan dan evaluasi berkala diperlukan untuk menjaga semua kegiatan pada jalur yang benar, sementara peningkatan dan pengembangan lebih lanjut diperlukan agar pasar memenuhi syarat di tingkat internasional.