Request for Proposal (RFP) Strategic Communication and Advocacy Plan in Promoting Low Carbon Solutions Adoption for Indonesia’s Large Industries & Small-Medium Industries

Latar Belakang

Pencapaian target pembangunan ekonomi nasional pada tahun 2045 akan mendorong perluasan kapasitas di beberapa industri utama di Indonesia, seperti industri besi dan baja, semen, amonia, pulp dan kertas, dan tekstil. Menurut studi terbaru IESR, kelima industri tersebut bertanggung jawab atas sekitar sepertiga emisi industri nasional pada tahun 2020 atau sekitar 102 MtCO2. Hal ini disebabkan karena banyak dari pelaku industri tersebut menggunakan teknologi produksi yang sudah ketinggalan zaman dan tidak efisien serta mengkonsumsi bahan bakar fosil baik sebagai bahan baku maupun bahan bakar. Dalam kasus lain, industri tersebut merencanakan ekspansi kapasitasnya dengan menggunakan teknologi padat karbon yang dapat menyebabkan penguncian emisi selama beberapa dekade ke depan. Selain itu, rendahnya penggunaan bahan baku yang berkelanjutan pada industri semen, besi dan baja, serta industri pembuatan kertas mendorong peningkatan emisi sebesar 50 MtCO2 per tahun pada tahun 2050, dan secara kolektif dengan subsektor industri lainnya, akan meningkatkan emisi sektor ini menjadi dua kali lipat pada tahun yang sama.

Selain itu, dengan lanskap industri dan sektor komersial di Indonesia yang didominasi oleh usaha kecil sekitar 99%, maka sangat penting untuk mempertimbangkan peran usaha kecil dalam portofolio emisi Indonesia. Dari studi IESR, terungkap bahwa dengan jumlah UMKM yang mencapai 65 juta usaha di tahun 2021, perkiraan paling tidak dari total estimasi emisi terkait energi dapat mencapai 216 MtCO2 per tahun di tahun 2023, atau sekitar separuh dari emisi sektor industri, termasuk emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar, proses industri, dan limbah. Tingginya emisi CO2 ini sebagian besar disebabkan oleh rendahnya pemahaman pelaku UMKM mengenai cara menerapkan langkah-langkah efisiensi energi serta kurangnya kapasitas finansial dan teknis untuk memanfaatkan bahan bakar dan listrik terbarukan untuk mendukung bisnis mereka.

Memahami urgensi yang tepat waktu untuk mendekarbonisasi industri dari semua skala, Institute for Essential Services Reform (IESR) bermaksud untuk merumuskan rencana komunikasi dan advokasi strategis untuk meningkatkan kesadaran publik tentang topik ini dan mendorong perubahan transformasional industri serta meningkatkan adopsi teknologi rendah karbon dan praktik-praktik berkelanjutan di kalangan industri besar dan UKM. Diharapkan konsultan mengembangkan rencana komunikasi dan advokasi sesuai dengan prinsip Specific, Measurable, Achievable, Relevant, and Time-Bound (SMART) dengan jangka waktu setidaknya satu tahun. Konsultan yang terpilih akan memberikan masukan mengenai metode, konten, dan strategi implementasi. Strategi tersebut harus mencakup penggunaan alat bantu online dan media baru, termasuk akun media sosial dan situs web IESR yang sudah ada.

Syarat dan Ketentuan

  1. Proposal
  2. Dokumen wajib yang diperlukan
    • Surat Pernyataan Kepatuhan terhadap Ketentuan Prakualifikasi
    • Surat Pernyataan Tidak Terlibat dalam Organisasi Terlarang
    • Surat Pernyataan Tidak Menuntut Ganti Rugi
    • Formulir Isian Kualifikasi Badan Usaha
    • Surat Pernyataan Tidak Dalam Pengawasan Pengadilan
    • Pernyataan Minat
    • Surat Pernyataan Kesediaan Mengerahkan Personil dan Peralatan
    • Pernyataan Komitmen Keseluruhan
    • Surat Pernyataan Kesanggupan Lapangan
    • Surat Pernyataan Keaslian Dokumen
    • Pakta Integritas

Seluruh dokumen yang diperlukan dapat diunduh melalui tautan berikut (s.id/documentsrfpcommsiesr), dan diharapkan dapat diterima oleh IESR hingga pukul 22. 00 WIB pada hari Jumat, 19 April 2024. Proposal yang diterima setelah tanggal dan waktu tersebut tidak akan diterima. Semua proposal harus ditandatangani oleh tenaga ahli, agen resmi, atau perwakilan perusahaan yang mengajukan proposal.

Proposal akan diterima hingga pukul 22.00 WIB pada hari Jumat, 19 April 2024. Untuk pertanyaan lebih lanjut, silakan hubungi Program Manager Transformasi Energi IESR di deon@iesr.or.id dan Koordinator Proyek Dekarbonisasi Industri di faricha@iesr.or.id.

Untuk lebih detail, silakan baca berkas berikut :

RFP-IESR-Strategic-Communication-and-Advocacy-Plan-in-Promoting-Low-Carbon-Solutions-Adoption-for-Indonesias-Large-and-Small-Medium-Industries.docx-1

Unduh

Membangun Kota Rendah Emisi di Indonesia

Jakarta, 2 April 2024 – Kawasan perkotaan merupakan pusat aktivitas padat karbon. Populasi yang tinggi, rapatnya bangunan dan penggunaan energi yang intensif berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca. Climate Transparency 2022 mencatat emisi langsung dan emisi tidak langsung dari sektor bangunan di Indonesia masing-masing menyumbang 4,6 persen dan 24,5 persen dari total emisi karbon dioksida terkait energi pada 2021. Untuk itu, dekarbonisasi kawasan perkotaan menjadi salah satu upaya krusial untuk mengurangi emisi karbon serta mewujudkan kawasan yang berkelanjutan, sesuai dengan Persetujuan Paris untuk mencapai target nir emisi karbon.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang bekerja sama dengan Kementerian Federal Jerman untuk Urusan Ekonomi dan Aksi Iklim (Bundesministerium für Wirtschaft und Klimaschutz/BMWK) serta didukung oleh berbagai kementerian lain sesuai rekomendasi Kementerian ESDM sepakat untuk mendukung upaya dekarbonisasi kawasan perkotaan melalui program Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI). Program ini melibatkan anggota konsorsium yang terdiri dari Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) di Indonesia, Yayasan Indonesia Cerah, Institute for Essential Services Reform (IESR), dan WRI Indonesia.

Manajer Program Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI), Institute for Essential Services Reform (IESR), Malindo Wardana menjelaskan, salah satu inisiatif penting dari SETI adalah Urban Energy Lab. Urban Energy Lab bertujuan untuk mengembangkan ekosistem energi lokal yang berkelanjutan di lingkup perkotaan, khususnya di beberapa kota yang terpilih. Ini bertujuan untuk mendukung lingkungan binaan yang lebih baik dan berkelanjutan.

“Kriteria pemilihan kota-kota yang akan menjadi proyek SETI meliputi potensi energi terbarukan di wilayah tersebut, program keberlanjutan yang sudah ada, serta kesediaan kota-kota tersebut untuk mengimplementasikan dekarbonisasi energi di sektor bangunan,” ujar Malindo.

Malindo dalam acara Focus Group Discussion Urban Energy Lab SETI yang diselenggarakan pada Selasa (2/4/2024) menuturkan, proses penentuan kota percontohan (pilot) untuk program SETI melalui tahap membentuk jaringan (network) kota-kota yang berpotensi. Kota-kota yang tergabung dalam jaringan kota berpotensi tersebut, kemudian akan dipilih oleh Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM & konsorsium SETI sebagai kota pilot. Kota-kota pilot ini akan mendapatkan dukungan tambahan berupa kegiatan mempertemukan (matchmaking) antar pemilik/pengelola bangunan dengan perusahaan layanan energi (energy service company), pengembangan kapasitas seperti sertifikasi manajer energi/auditor energi, pembuatan model perencanaan energi terintegrasi, dan pelatihan manajemen data energi.

Koordinator Kelompok Bimbingan Teknis dan Kerjasama Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Hendro Gunawan mengatakan, pemerintah telah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2009 menjadi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2023 tentang Konservasi Energi yang menjadi langkah konkret pemerintah untuk mengatur penggunaan energi yang hemat, rasional dan bijaksana. Dalam aturan ini, sektor bangunan dengan batas penggunaan energi lebih dari atau sama dengan 500 TOE (Ton Oil Equivalent) per tahun  termasuk wajib untuk melakukan manajemen energi. 

“Pemerintah daerah turut memiliki kewajiban untuk menerapkan manajemen energi pada bangunan yang dimiliki, dikelola dan dibiayai melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD),” kata Hendro. 

Hendro juga menyinggung adanya aturan yang menguatkan kewenangan daerah provinsi dalam memanfaatkan energi terbarukan di daerah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Sub Bidang Energi Baru Terbarukan. 

Ia berharap, keberadaan peraturan tersebut dan pelaksanaan program SETI akan dapat mendukung pemerintah daerah dalam menerapkan efisiensi energi pada bangunan, serta upaya peningkatan pemanfaatan energi terbarukan pada bangunan/gedung, sehingga dapat mengurangi dampak perubahan iklim dan membangun lingkungan berkelanjutan.

 

Cermat Merancang Kerangka Kebijakan Energi Indonesia

Jakarta, 28 Maret 2024 – Dewan Energi Nasional (DEN) berencana untuk melakukan penyesuaian target bauran energi terbarukan. Saat ini dalam draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), DEN berencana untuk menurunkan target bauran energi terbarukan nasional menjadi 17-19 persen pada tahun 2025. Sebelumnya target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai langkah ini merupakan suatu langkah mundur dari komitmen pemerintah Indonesia dalam mengawal transisi energi.

Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR, dalam audiensi dengan Dewan Energi Nasional menyampaikan keresahannya di balik penetapan target bauran energi terbarukan. 

“Sebelumnya IESR telah melakukan pemodelan yang sudah dipublikasikan di dalam laporan tahunan kami, Indonesia Energy Transition Outlook (IETO). Hasil pemodelan kami menunjukkan adanya perbedaan dengan hasil pemodelan yang menjadi landasan perumusan RPP KEN. Hal ini terutama terlihat di dalam pertumbuhan energi final, di mana di dalam pemodelan untuk IETO kami menggunakan asumsi pertumbuhan GDP-nya Bappenas untuk Indonesia Emas 2045,” kata Radit.

Hal ini diklarifikasi oleh Retno Gumilang Dewi, tim modeling ITB, yang membantu DEN dalam membuat modeling, bahwa angka yang saat ini beredar merupakan angka penyesuaian.

“Model yang kita hasilkan dapat dikatakan model ideal. Modeling itu kemudian dibawa untuk FGD (focussed group discussion) dan menerima berbagai masukan, sehingga disesuaikan,” kata Retno Gumilang.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa dalam menyusun perencanaan energi suatu negara, penting untuk memastikan pilihan teknologi yang paling relevan dan teruji dengan perkembangan teknologi terkini.

“Langkah ini penting dan krusial untuk menghindari kita berada pada situasi lock-in oleh teknologi-teknologi yang tinggi karbon,” kata Fabby.

Fabby menambahkan jika terlanjur terjebak pada pilihan teknologi tinggi karbon, dibutuhkan investasi yang lebih besar lagi untuk keluar dari teknologi tinggi karbon tersebut. IESR juga mendorong tercapainya target-target energi terbarukan yang telah ditetapkan dalam RUPTL maupun proyek strategis nasional sebagai pendorong tumbuhnya industri energi terbarukan di dalam negeri. 

Nusa Penida: Dari Keindahan Alam Menuju Kemandirian Energi

Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan

Jakarta, 28 Maret 2024 – Nusa Penida, sebuah pulau cantik yang terletak di sebelah tenggara Bali, Indonesia, sedang dikembangkan untuk mengadopsi energi terbarukan secara menyeluruh. Dengan keindahan alamnya yang memukau, Nusa Penida akan bertransformasi menjadi pulau yang sepenuhnya mengandalkan sumber energi terbarukan. Di tengah-tengah tantangan perubahan iklim global, langkah-langkah seperti ini menjadi kunci dalam mengurangi emisi karbon dan menjaga keberlanjutan lingkungan.

Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan Nusa Penida terpilih sebagai pulau dengan 100 persen energi terbarukan dikarenakan tiga alasan. Pertama, ketersediaan potensi energi terbarukan yang melimpah. Kedua, letak geografis yang terpisah dari Bali daratan. Ketiga, adanya potensi ekonomi dari pengembangan pariwisata hijau (green tourism).

“Sisa enam tahun lagi (dari 2024, red) yang bisa digunakan dalam mewujudkan 100% energi terbarukan di Nusa Penida, dengan melaksanakan tiga tahap. Tahap pertama dilakukan pada 2024-2027,  dengan memaksimalkan potensi pembangkit listrik tenaga atap (PLTS) untuk mengurangi konsumsi diesel pada siang hari. Di mana saat ini sistem ketenagalistrikan Nusa Penida masih ditopang dari PLTD,” ujar Alvin dalam X Space bertajuk Menuju Nusa Penida 100% Energi Terbarukan. 

Tahap kedua, lanjut Alvin, mulai menempatkan PLTD sebagai pembangkit cadangan pada 2027-2029 serta mengeksplorasi sumber energi terbarukan lainnya, seperti biomassa. Menurut Alvin, terdapat tanaman gamal di Nusa Penida yang berpotensi menjadi sumber pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm).  Tahap terakhir adalah mengoptimalkan pembangkit energi terbarukan lainnya seperti biodiesel dan arus laut, serta membangun pumped hydro energy storage pada 2029-2030. 

“Menciptakan pulau dengan 100% energi terbarukan itu sangat mungkin dan dilakukan melalui setiap tahapan. Misalnya saja kita mulai dari skala kecil yakni Pulau Nusa Penida di tahun 2030. Kita juga mendorong dekarbonisasi sistem ketenagalistrikan di Bali untuk mencapai Bali NZE 2045,” kata Alvin. 

Di lain sisi, Ida Ayu Dwi Giriantari, Ketua Center of Excellence Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana menyatakan, sebelum menjadi destinasi pariwisata, Nusa Penida terkenal dengan pertanian rumput laut. Zona budi daya rumput laut yang ditetapkan oleh  Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sekitar 464 hektar, yang dapat menghasilkan rumput laut 9 kiloliter per hari. Namun demikian, dari sekitar 20.000 hektar lahan atau perairan yang dapat ditanami rumput laut, saat ini hanya tersisa 70 hektare.

“Hal ini terjadi karena adanya pergeseran orientasi ekonomi masyarakat Nusa Penida ke sektor pariwisata. Padahal, rumput laut sangat potensial dijadikan bioenergi seperti biogas, bioetanol, hingga biodiesel. Untuk itu, diperlukan manajemen yang bagus di mana mereka (petani rumput laut di Nusa Penida, red) perlu mengetahui potensi rumput laut yang dapat menjadi sumber energi terbarukan tersebut,” kata Ida Ayu. 

Ida Ayu menekankan, berkaca dari kondisi Pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu dimana destinasi pariwisata begitu terdampak dan diperlukannya ketahanan ekonomi yang berkelanjutan, maka pertanian rumput laut ini patut dikembangkan.  Saat ini terdapat beberapa kondisi dimana rumput laut yang dipanen misalnya, baru sebagian kecil yang diolah menjadi sabun cuci, sabun mandi, kerupuk, minuman dan sebagainya. Bahkan petani lebih banyak yang langsung menjualnya setelah panen.

“Ketika masyarakat mengetahui bahwa pertanian rumput laut dapat meningkatkan nilai perekonomian, saya kira hal tersebut akan berkembang. Selain rumput laut, terdapat potensi tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L) yang dapat dikembangkan juga sebagai sumber energi. Berdasarkan studi yang telah saya lakukan, sekitar 20 persen dari total 4.000 hektare lahan di Pulau Nusa Penida dapat dioptimalkan, bisa ditanami jarak pagar,” kata Ida Ayu. 

Ida Ayu memberikan contoh apabila sekitar 25 persen dari lahan atau sekitar 1.000 hektare ditanami jarak pagar, maka satu hektare bisa menghasilkan sekitar antara 540-680 liter biodiesel. Jarak pagar merupakan sejenis tumbuhan bersemak yang banyak ditemukan di daerah-daerah tropis. Biji jarak mengandung minyak yang jika diolah bisa menjadi minyak biodiesel. 

Koran Jakarta | Dedieselisasi di Daerah Dipacu

Pemerintah mendorong dedieselisasi di daerah daerah dengan meningkatkan penggunaan pembangkit yang bersumber dari energi hijau. Terbaru, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyelesaikan pembangunan dan revitalisasi Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTM) berkapasitas 1 megawatt (MW) di Distrik Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan.

Baca selengkapnya di Koran Jakarta.

Mendorong Dekarbonisasi Industri Mulai dari Gaya Hidup Konsumen

Jakarta, 22 Maret 2024 – Kenaikan suhu bumi merupakan suatu fenomena tak terelakkan (inevitable) sebagai akibat dari berbagai kejadian alam hingga aktivitas dan gaya hidup manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai penyebab naiknya suhu bumi. 

Penemuan mesin uap pada 1880 membuat perubahan monumental pada kehidupan manusia dengan dimulainya industrialisasi. Berkembangnya industri ternyata dibarengi dengan meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK).  

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2022 mencatat adanya kenaikan suhu bumi sebesar 1,1 derajat Celsius. Hal ini merupakan suatu peringatan bagi umat manusia untuk segera mengambil langkah-langkah pengendalian kenaikan suhu untuk menahan kenaikan suhu tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius.

Faricha Hidayati, Koordinator Proyek Dekarbonisasi Industri, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan kenaikan suhu bumi dapat memicu salah satunya bencana hidrometeorologi yang frekuensinya akan semakin tinggi.

“Selain masalah lingkungan, dampak ikutan lainnya adalah biaya kesehatan yang akan naik seiring dengan meningkatnya penyakit terutama yang menyerang kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan rumah tangga miskin,” jelas Faricha.

Meski merupakan salah satu sektor penyebab naiknya emisi GRK, sektor industri memiliki kontribusi ekonomi yang signifikan. Sehingga diperlukan langkah dan upaya strategis untuk melakukan dekarbonisasi pada sektor industri. 

Pada tahun 2021, emisi sektor industri merupakan sektor penghasil emisi kedua terbesar setelah pembangkitan listrik. Jika tetap menggunakan skema business as usual tanpa intervensi apapun, nilai emisi di sektor industri akan naik dua kali lipat pada tahun 2050.

“Sektor industri menyumbang emisi lebih dari 300 juta ton CO2 pada tahun 2021, dengan sumber emisi tertinggi dari penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi,” tambah Faricha.

Meskipun telah ada regulasi yang mendorong industri untuk mempraktikkan prinsip berkelanjutan, namun implementasinya belum diwajibkan. Bahkan Bagi industri yang secara mandiri memiliki inisiatif untuk menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan, belum ada sistem insentif bagi mereka.

Faricha melanjutkan, selain melalui advokasi kebijakan pada pemerintah, konsumen dapat berkontribusi salah satunya dengan memilih produk-produk yang diproduksi dengan prinsip-prinsip berkelanjutan. Konsumen juga dapat menuntut pada produsen atau industri untuk mulai menerapkan prinsip berkelanjutan pada proses produksinya.

Memulai Perjalanan Dekarbonisasi Industri Baja

Jakarta, 20 Maret 2024 – Sektor industri merupakan salah satu sektor penting untuk diturunkan emisinya. Konsumsi energi yang besar serta kontribusinya pada bidang ekonomi yang signifikan pada 2022 sebesar 16,48 persen Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi alasan kuat untuk membuat sektor ini semakin berkelanjutan. Industri dengan kebutuhan energi tinggi seperti industri besi baja membutuhkan persiapan strategis untuk melakukan dekarbonisasi. 

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil baja terbesar di Asia Tenggara, dan menempati urutan nomor 15 produsen baja di dunia. Tahun 2023, tercatat kapasitas produksi baja Indonesia mencapai 16 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 33-35 juta ton pada 2030. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam webinar “Accelerating the Transformation of the Steel Industry in Southeast Asia: Indonesia Chapter” menyatakan bahwa produksi baja Indonesia masih tinggi emisi. 

“Proyeksi kebutuhan baja Indonesia diprediksi akan meningkat, jika tidak mengambil langkah dekarbonisasi serius, maka emisi dari industri baja juga akan terus meningkat,” kata Fabby.

Kita juga menghadapi tuntutan pasar internasional untuk menghasilkan baja yang lebih rendah karbon. Uni Eropa misalnya telah menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang efektif pada 2026, akan menimbulkan efek negatif terhadap ekspor industri baja Indonesia. Untuk itu, industri baja perlu melakukan transformasi.

Farid Wijaya, Analis Senior IESR menjelaskan bahwa dekarbonisasi bagi industri besi baja akan membawa prospek pertumbuhan ekonomi, meski saat ini masih cukup banyak tantangannya. 

“Standar industri hijau dapat menjadi salah satu cara untuk mendorong industri ramah lingkungan. Standar hijau untuk baja baru ditetapkan dan masih terbatas pada baja lembar per lapis. Saat ini belum ada industri besi baja yang mendapat sertifikat hijau karena keterbatasan implementasi,” kata Farid.

Kajol, Program Manager Climate Neutral Industry Southeast Asia, Agora Industry, menambahkan bahwa saat ini hampir 80% produksi baja dilakukan melalui teknologi blast furnace (tanur tinggi). 

“Kita harus mulai memikirkan teknologi yang lebih baik dan modern untuk menggantikan blast furnace. Saat fasilitas blast furnace yang saat ini beroperasi mulai tidak lagi efisien di tahun 2030-2040 kita harus menggantinya dengan teknologi yang lebih modern dan tidak lagi berinvestasi di blast furnace,” jelasnya.

Salah satu teknologi yang dimaksud Kajol adalah Direct Reduced Iron (DRI) yang dapat memproduksi baja primer menggunakan gas alam atau hidrogen bersih. Bijih besi direduksi untuk menghasilkan DRI, yang kemudian dapat dilebur dalam tanur busur listrik (Electric Arc Furnace, EAF) untuk menghasilkan baja primer.

Strategi yang dapat dijalankan untuk dekarbonisasi industri baja mencakup penggunaan energi terbarukan secara langsung dan tidak langsung, efisiensi sumber daya dan ekonomi sirkular, dan menutup siklus karbon. 

Helenna Ariesty, Sustainability Manager PT Gunung Raja Paksi (GRP) sebagai pelaku industri menekankan pentingnya kepastian regulasi dalam mendorong dekarbonisasi industri. 

“Kami menghadapi beberapa tantangan untuk menavigasi arah kebijakan yang belum konsisten. Selain itu, akses pendanaan yang terjangkau mengingat investasi awal yang dibutuhkan jumlahnya signifikan,”

Joseph Cordonnier, Analis Kebijakan Industri, OECD sepakat bahwa kebijakan dan akses pendanaan akan menjadi komponen kerangka utama untuk membangun ekosistem pendukung untuk dekarbonisasi industri. 

“Sebagai bagian dari kerangka tersebut kita juga harus benar-benar melihat bagaimana memaksimalkan pemanfaatan aset yang ada berdasarkan variabel teknik, efisiensi energi, dan pengurangan emisi aset tersebut,” kata Joseph.

Fausan Arif Darmaji, Analis Perkembangan Infrastruktur, Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian mengatakan pemerintah menyadari adanya kebutuhan menekan emisi dari produksi baja Indonesia.

“Sektor besi baja juga merupakan fokus kami saat ini. Sembari kami menunggu aturan kebijakan yang saat ini sedang dibuat, kami memberikan pelatihan perhitungan GRK bagi sektor baja, juga perhitungan nilai ekonomi karbonnya,” kata Fausan.

Deon Arinaldo, Program Manajer Transformasi Energi IESR menutup webinar ini dengan menggarisbawahi kebutuhan dekarbonisasi industri merupakan upaya untuk tetap relevan dengan tuntutan perkembangan industri.

“Saat ini dekarbonisasi di sektor industri masih dianggap sebagai tantangan. Bukan hanya di Indonesia, namun juga fenomena global. Tren ini yang harus kita antisipasi karena dekarbonisasi adalah hal yang inevitable (tidak terelakkan),” kata Deon.

Kompas | Ikhtiar Membangun Energi Terbarukan yang Terjangkau dan Murah

Transisi dari energi fosil ke energi yang rendah emisi tak bisa ditawar. Bukan perihal ikut-ikutan tren global, tetapi menyangkut bumi dan kehidupannya di masa mendatang. Namun, muncul pertanyaan kapan Indonesia benar-benar bisa mengandalkan energi terbarukan? Sebab, kendati diberkahi potensi energi terbarukan yang melimpah, aksesnya belum mudah dan harganya belum murah.

Baca selengkapnya di Kompas.