Indonesia Perlu Manfaatkan Kepemimpinan G20 untuk Kejar Pengembangan PLTS

Jakarta, 20 April 2022 – Mengusung transisi energi sebagai topik utama kepresidenan Indonesia di G20, Indonesia perlu menunjukkan kepemimpinannya dalam mengejar kapasitas energi terbarukan yang lebih masif, khususnya energi surya. Indonesia juga dapat belajar dari pengalaman negara-negara G20 dalam mendorong pertumbuhan energi surya dan mempercepat penyebaran energi surya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia dan Institute of Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan BloombergNEF dan International Solar Alliance ( ISA) mengadakan lokakarya untuk mengambil pelajaran dari negara-negara G20 dalam mendorong penerapan tenaga surya yang relevan dengan negara berkembang. Lokakarya ini juga tidak terbatas pada kerangka kebijakan, instrumen fiskal dan keuangan, kesiapan pasar, dan pengembangan sumber daya manusia.

 Ali Izadi – Najafabadi, Kepala Riset APAC, BloombergNEF menyatakan optimismenya bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mempercepat transisi energi.

“Beberapa analis mengatakan Indonesia tertinggal dari negara-negara G20 lainnya dalam energi terbarukan, terutama PLTS, tapi saya yakin Indonesia bisa mengejar. Ada banyak peluang bagi Indonesia untuk mereformasi kebijakan atau langkah-langkah regulasi khusus dengan fokus pada peningkatan ekonomi energi dan lingkungan,” kata Ali.

Senada dengan Ali, Rohit Garde, Senior Associate untuk Pembiayaan Energi Surya di BloombergNEF, mengatakan bahwa BloombergNEF mengukur kebijakan negara di sektor listrik dan kebijakan karbon. Jerman dan Inggris dengan skor masing-masing 84% dan 83% yang mengindikasikan bahwa kedua negara mempunyai kebijakan yang baik untuk PLTS. Sementara itu, Levelized Cost of Electricity (LCOE) PLTS di India, China, UEA, dan Chili adalah yang terendah karena tingkat radiasi surya yang tinggi dan pengembangan PLTS skala besar. Sedangkan LCOE PLTS di Indonesia termasuk yang tertinggi karena skalanya yang kecil dan biaya modal yang tinggi.

“Indonesia harus meningkatkan ambisinya dengan merevisi regulasi dan menghilangkan hambatan pembangunan,” tambah Rohit Garde.

Salah satu isu penting dalam kepemimpinan Indonesia di G20 adalah transisi energi.  Yudo Dwinanda Priadi, Staf Ahli Menteri Bidang Perencanaan Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan rencana pembangunan pembangkit tersebut sudah memiliki Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. RUPTL yang lebih hijau merupakan landasan untuk mencapai nol karbon pada tahun 2060.

“Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) memiliki optimasi terbesar di Indonesia, dan akan mencapai 4.680 MW pada tahun 2030. Energi surya memiliki potensi paling melimpah. Selain itu, biayanya terus menurun, dan perkembangan teknologi PLTS yang pesat menjadikan pembangkit listrik tenaga surya sebagai prioritas. Pengembangan PLTS atap juga mencakup implementasi dan insentif yang lebih baik bagi masyarakat yang ingin memasang PLTS atap. Pemerintah telah menerbitkan Permen ESDM No.26/2021, dan peta jalan PLTS atap sedang dalam proses sebagai Program Strategis Nasional (PSN),” kata Yudo .

Di sisi lain, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dan Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengatakan perkembangan energi surya di Indonesia cukup lambat dengan beberapa kendala.

“Pada tahun 2021, potensi teknisnya hanya 0,001 persen yang terimplementasi. Namun, pembangkit listrik tenaga surya atap terus meningkat dalam tiga tahun terakhir dan itu karena adanya dukungan dari peraturan pemerintah. RUPTL 2021 merupakan sinyal untuk menambah lima kali lipat menjadi 4,7 MW, dan ada juga proyek lain seperti ekspor ke Singapura, Kepulauan Riau, dan Batam. Proyek ini memiliki potensi untuk pengembangan energi surya secara besar-besaran,” kata Fabby Tumiwa.

Fabby juga menambahkan beberapa alasan kendala transisi energi di Indonesia seperti Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

“Permasalahan dalam pengembangan proyek seperti pertanahan dan peraturan tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN); proyek-proyek yang ada membutuhkan perangkat modul surya dari 40% hingga 60%, dan ini belum dipenuhi oleh industri di Indonesia dan belum mendapat bantuan dana dari negara; negosiasinya cukup panjang sementara negara lain cenderung lebih cepat. Pemerintah Vietnam memiliki kemauan dan komitmen politik yang kuat, regulasi, implementasi, dan insentif untuk kebijakan tarif terkait net metering. Yang juga penting adalah kepastian kebijakan dan transmisi Perusahaan Listrik Negara (PLN),” ungkap Fabby.

Kanaka Arifcandang Winoto, Senior Business Developer dari Mainstream Renewable Power, memaparkan bagaimana Indonesia perlu berakselerasi untuk memenuhi target bauran energi terbarukan 2025 sebesar 23%.

“Indonesia adalah konsumen energi terbesar di ASEAN, terhitung hampir 40 persen dari total penggunaan energi ASEAN. Dengan potensi sumber daya surya, panas bumi, angin, dan tenaga air yang signifikan, Indonesia berada di posisi yang tepat untuk berkembang dalam sistem energi rendah karbon,” tandasnya.

Menurut Kanaka, Indonesia adalah pemain kunci dalam mencapai 1.50C sehingga diperlukan  kerja sama dengan semua pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi peta jalan nasional dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan keamanan iklim.

Dyah Roro Esti, Anggota DPR, Komisi VII menjelaskan pihaknya terbuka terhadap masukan masyarakat terutama pada kebijakan energi terbarukan yang tengah dibahas di DPR RI.

 “Data dari DEN, Indonesia harus mengoptimalkan 2,5 GW, dan setiap daerah memiliki potensi, baik matahari maupun angin. Oleh karena itu, perlu adanya motivasi dan kemauan politik untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan dan merealisasikan potensi tersebut. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang mengerjakan RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) dan akan terbuka untuk saran. Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT masih dalam pembahasan,” urai Dyah Roro. .

Di sisi lain, menyangkut kebijakan di tingkat daerah, Ngurah Pasek, Kepala Sub Bagian Lingkungan Hidup dan Pembangunan Daerah, Bappedalitbang Provinsi Bali, menambahkan bahwa Bali telah  menerapkan Perda 29 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang turunannya adalah Pergub 45 Tahun 2019 tentang Bali Clean Energy.

“Instalasi hingga kabupaten dan kota di Provinsi Bali yang saat ini sudah mencapai 8,5 MW. Target Pemprov Bali mengenai refocusing anggaran adalah bagaimana pemasangan PLTS atap (solar rooftop) di perkantoran atau perusahaan dapat berjalan dengan baik,” tandasnya.

Pengembangan PLTS atap juga terjadi di Jawa Tengah.  Nathan Setyawan, Sub-Koordinator Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Tengah menjelaskan beberapa kemajuan dalam dukungan energi terbarukan di daerahnya.

“Jawa Tengah adalah satu-satunya provinsi yang telah mengembangkan dan mengintegrasikan pemulihan ekonomi dan penggunaan energi terbarukan. Pada 2021, kami akan mendorong tidak hanya pemerintah provinsi tetapi juga bupati dan walikota dan sektor swasta untuk penerapan PLTS atap.”

Ia menegaskan peningkatan kesadaran masyarakat dan dukungan Kementerian ESDM akan mendorong pemanfaatan PLTS komunal di daerah terpencil. Selain itu Nathan berharap ketersediaan teknologi pendukung energi bersih yang terjangkau akan membantu pembangunan industri energi terbarukan lokal.

“Harapannya akan ada lembah silikon mini untuk mengembangkan industri berorientasi energi baru terbarukan,” imbuhnya.***

Invasi Rusia Dapat Mempengaruhi Transisi Energi di ASEAN

Jakarta, 5 April 2022 – Invasi Rusia ke Ukraina selama sebulan terakhir memicu beragam reaksi global, terutama pada masalah keamanan energi. Rusia dikenal sebagai eksportir minyak dan gas global, dengan invasi yang terjadi, para pemimpin global mengambil sikap untuk memberikan sanksi untuk tidak membeli gas dari Rusia. Apakah ini baik atau buruk? Mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melihat dampaknya, namun satu hal yang pasti, sanksi Rusia menjadi salah satu pemicu bagi negara-negara Uni Eropa (UE) untuk mempercepat transisi energinya dan memastikan energy security serta mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan bahwa tindakan UE untuk memastikan keamanan energi mereka mempercepat transisi.

“Negara-negara UE mencoba mengurangi ketergantungan mereka pada bahan bakar fosil dengan mengembangkan teknologi seperti hidrogen hijau untuk memastikan keamanan energi mereka. Ini adalah kabar baik bagi kawasan UE namun memiliki efek domino karena negara-negara seperti Jerman berkomitmen untuk mendukung transisi energi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Situasi saat ini dapat mempengaruhi kecepatan dan pendanaan untuk transisi energi di negara-negara berkembang,” jelasnya.

Pendanaan yang cukup sangat penting untuk dekarbonisasi seluruh sistem energi. Pendanaan yang cukup berarti pemerintah akan mampu membangun infrastruktur energi rendah karbon yang modern. Karena sebagian besar negara berkembang terletak di kawasan Asia Tenggara, daerah ini telah menjadi hotspot untuk dekarbonisasi. Sebagai salah satu wilayah terpadat, permintaan energi di Asia Tenggara terus meningkat. Memastikan kawasan memiliki pendanaan yang cukup untuk mengubah sistem energinya menjadi sistem yang lebih bersih akan menjadi salah satu faktor penentu dekarbonisasi global.

Terdiri dari sepuluh negara, ASEAN memiliki karakteristik yang berbeda dalam mengembangkan mekanisme transisi energi berdasarkan prioritas nasional masing-masing negara. Berbagai situasi tersebut menciptakan peluang yang berbeda, satu kesamaannya adalah sumber energi terbarukan, terutama surya, tersedia melimpah. Fabby menambahkan, energi surya dalam waktu dekat akan menjadi komoditas seperti minyak dan gas saat ini.

“Oleh karena itu, penting bagi ASEAN untuk memiliki fasilitas manufaktur (untuk panel surya). Untuk memastikan transfer teknologi operasional bagi fasilitas manufaktur dari produsen utama adalah suatu keharusan, ”kata Fabby.

Sara Jane Ahmed, Founder, Financial Futures Center Advisor, Vulnerable 20 Group of Finance Ministers, menambahkan bahwa kemitraan akan menjadi kunci bagi negara-negara ASEAN dalam mempercepat transisi energi.

“Saat ini, Cina sebenarnya dapat berperan lebih besar dengan menyediakan dana dan mentransfer teknologinya ke negara-negara ASEAN,” ujarnya.

Krisis Energi atau Krisis Energi Fosil?

Jakarta, 11 Oktober 2021 – Dalam beberapa bulan belakangan banyak media memberitakan krisis energi di Eropa. Di Inggris contohnya, banyak perusahaan utilitas listrik dan gas bangkrut dan terpaksa tutup. Masyarakat juga terlihat mengantri di SPBU untuk membeli bahan bakar. Fenomena ini menunjukan kepada kita bahwa negara-negara dengan ekonomi yang kuat pun ternyata masih cukup rentan terhadap isu keamanan energi. 

CASE for Southeast Asia Project mengadakan sebuah diskusi bertajuk “Energy Crisis in UK and Europe: Lessons Learned for Indonesia’s Energy Transition” yang mengundang narasumber dari Inggris dan Eropa (11/10/2021). Pada diskusi ini, publik di Indonesia diajak untuk berdiskusi dan mengetahui berbagai fakta dan temuan penting terkait isu krisis energi yang sedang melanda Inggris dan Eropa. 

Di Inggris sektor industri dan rumah tangga cukup bergantung pada gas alam. Dengan  musim dingin yang semakin dekat, permintaan gas menjadi semakin meningkat karena kebutuhan untuk menghangatkan rumah juga meningkat. Kondisi ini, yakni ketika  suatu negara sangat bergantung pada sumber energi yang rentan terhadap pasar global, menimbulkan pertanyaan: apakah ini benar-benar krisis energi, atau krisis energi fosil? 

William Derbyshire, Direktur dari Economic Consulting Associates (ECA) Inggris pada kesempatan ini memberikan paparan terkait fakta bahwa bauran energi primer di Inggris bergantung pada gas alam sebanyak 42%. Lebih lanjut, William juga menunjukkan data yang memberi gambaran bahwa sejak 2017, harga gas alam berangsur naik hingga 2021 yang mengakibatkan harga jual listrik yang juga naik. 

“Jika harga bahan bakar fosil yang tinggi adalah masalahnya, maka jawabannya adalah mengurangi ketergantungan pada batu bara dan gas, bukan menambah lebih banyak bahan bakar fosil,” tutur William.

Atas kesimpulan tersebut, energi terbarukan menjadi solusi yang baik untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Namun bukan tanpa tantangan, Inggris yang memiliki pembangkit listrik tenaga bayu sebanyak 16% di bauran pembangkitnya ternyata memiliki beberapa catatan. Misalnya, Gareth Davies, Managing Director dari Aquatera memaparkan bahwa PLTB di Inggris memiliki skala variabilitas yang cukup tinggi.

Menanggapi tantangan ini, Gareth menyampaikan perlunya melakukan analisis dan perencanaan spasial terkait daerah yang memiliki potensi hembusan angin yang cukup, dengan memperhitungkan data iklim historis. 

“Dengan mendistribusikan produksi tenaga angin di wilayah geografis yang lebih luas, akan membantu meningkatkan ketahanan energi dan menyeimbangkan pasokan energi Inggris melalui energi terbarukan,” ujar Gareth. 

Senada dengan pernyataan William terkait pentingnya untuk segera melakukan transisi energi, Dimitri Pescia, Program Manager Southeast Asia dari Agora Energiewende memaparkan fakta bahwa sebagai contoh di Jerman, biaya investasi untuk membangun pembangkit listrik energi terbarukan sudah jauh lebih murah dibandingkan untuk membuat pembangkit listrik fosil. Dalam konteks ini, Dimitri menjelaskan bahwa investasi pada energi terbarukan merupakan strategi lindung nilai (hedging strategy) atas penggunaan energi fosil dalam masa transisi energi beberapa tahun mendatang. 

Dari diskusi ini, publik dibantu untuk memahami keadaan riil dan pelajaran yang bisa diambil untuk proses transisi energi di Indonesia. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyampaikan bahwa Indonesia perlu secara cepat mengadopsi penggunaan energi terbarukan untuk meminimalisir resiko krisis energi akibat bergantung kepada energi fosil. Fabby menambahkan, pengembangan potensi EBT yang melimpah di Indonesia perlu dibarengi dengan efisiensi energi, pengembangan teknologi penyimpanan energi, juga interkonektivitas antar pulau. 

“Perlu diingat bahwa krisis energi yang terjadi saat ini merupakan krisis energi fosil. Volatilitas harga energi fosil sangat tinggi. Kenaikan harga masing-masing energi fosil saling mempengaruhi,” ujar Fabby menegaskan penyebab krisis energi di Inggris dan Eropa.

Menutup diskusi ini, Fabby menyampaikan urgensi untuk publik bisa mengetahui isu ini secara kontekstual sehingga tidak timbul kepanikan di masyarakat. “Indonesia sendiri tidak perlu khawatir terhadap krisis energi yang terjadi di Eropa, China, Inggris, India, karena Indonesia mempunyai keunggulan untuk merancang transisi energi menuju dekarbonisasi lebih awal dengan lebih baik,” tutup Fabby.


Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Selamat Tahun Baru 2020! Apa harapan anda di 2020? Kami di IESR berharap di tahun ini energi terbarukan dapat bangkit kembali setelah mati suri selama 3 tahun terakhir. Mengapa kebangkitan energi terbarukan menjadi harapan kami? 

Pertama, membangun energi terbarukan adalah amanat UU No. 30/2007 tentang Energi, yang kemudian diturunkan dalam PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Tujuannya adalah menjamin kemandirian dan ketahanan energi nasional. Pasal 9 butir (f) dari PP tersebut mentargetkan bauran energi baru dan terbarukan mencapai 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Ini adalah kebijakan dan target pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. 

Kedua, peningkatan bauran energi terbarukan dan pemanfaatannya dapat membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik. Hal ini sesuai dengan komitmen Indonesia yang meratifikasi Paris Agreement dengan UU No. 16/2016, yang juga memuat komitmen Indonesia menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan usaha sendiri dan tambahan 12%, menjadi 41% dengan dukungan internasional. Sektor kelistrikan adalah salah satu kontributor utama emisi GRK. Berdasarkan kajian KESDM dan UNDP (2018), emisi GRK sub-sektor pembangkitan listrik mencapai 199 MtCO2e pada 2017 dan diperkirakan hingga 2030 akan tumbuh sebesar 10,1% per tahun. Dengan demikian pada 2030, emisi GRK diproyeksikan mencapai 699 MtCO2e (BAU). Dengan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi sebesar 20% maka emisi GRK dapat turun 36% dari skenario business as usual. Dengan itu faktor emisi listrik nasional turun dari 1,005 tCO2e/MWh menjadi 0,729 tCO2e/MWh. Oleh karena itu adanya peningkatan energi terbarukan yang signifikan menunjukan Indonesia turut berperan mengurangi risiko iklim global yang akan mengancam kehidupan generasi sekarang dan generasi masa depan. 

Ketiga, dengan memperbesar pemanfaatan energi terbarukan, biaya pasokan energi jangka panjang akan semakin rendah dan terjangkau. Berbeda dengan pembangkitan energi fosil yang cenderung naik dari tahun ke tahun karena harga bahan bakar, pengaruh nilai tukar dan inflasi, biaya O&M pembangkit energi terbarukan khususnya surya, angin dan hidro relatif rendah dan kenaikan terjaga. Capital expenditure (capex) pembangkit PLTS, PLT Angin skala besar juga cenderung turun. Oleh karena itu memperbesar porsi energi terbarukan dalam pasokan tenaga listrik dalam jangka panjang dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik.   

Pengembangan pembangkit energi terbarukan selama lima tahun terakhir nyaris mandek.

Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) 2020 yang diluncurkan IESR bulan lalu mencatat penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan 2015-2019 hanya mencapai 1,6 GW, lebih rendah dari periode 2010-2014 yang mencapai 1,8 GW. Ini kabar yang kurang baik karena dibandingkan target kebijakan, penambahan kapasitas ini hanya 10-15% dari yang seharusnya terbangun sesuai target RPJMN 2015-2019.  

Praktis sejak berlakunya Permen ESDM No. 12/2017, yang kemudian digantikan dengan Permen ESDM No. 50/2017, pengembangan energi terbarukan mandek. Dari 75 PPA yang ditandatangani sepanjang 2017-2018, terdapat 5 proyek yang diterminasi dan 27 proyek lainnya belum memperoleh pendanaan. Sebagian besar proyek yang berjalan, tidak menggunakan mekanisme harga yang diatur di dua Permen tersebut dan kemungkinan bisa berjalan karena menggunakan pendanaan sendiri atau instrumen pembiayaan korporat. 

Yang lebih parah lagi adalah Permen No. 50/2017 telah menyebabkan para pelaku usaha swasta asing dan domestik kehilangan kepercayaan terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia. Para investor yang datang ke Indonesia pada 2015 dan 2016 karena melihat adanya peluang investasi di bidang energi terbarukan, secara perlahan angkat kaki dan mencoba peruntungan di negara tetangga, Vietnam, yang pada 2017 dan 2018 justru mengeluarkan kebijakan feed in tariff (FiT) untuk pembangkit listrik surya dan angin. Kebijakan ini menjadi insentif bagi para investor yang berbondong-bondong memanfaatkannya.  

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kedua, ada harapan pengembangan energi terbarukan. Sejauh ini ada sejumlah sinyal positif yang mengindikasikan pemerintah memiliki keinginan yang kuat mendorong energi terbarukan Indikasinya saat memperkenalkan Menteri ESDM yang baru pada Oktober 2019 lalu, Joko Widodo memerintahkannya untuk mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan yang dimiliki Indonesia. Selain itu, pada saat menghadiri Indonesia Mining Award pada bulan November tahun lalu, Presiden menyatakan bahwa dunia sudah bergerak menuju pada pemanfaatan energi yang ramah lingkungan ketimbang menggunakan batubara

Terlepas dari pernyataan dan sikap politik tersebut, Presiden Joko Widodo sesungguhnya menghadapi tantangan untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dari 8% menjadi 23% pada 2025 seperti yang ditargetkan dalam Perpres No. 22/2017. Ini artinya, dalam lima tahun mendatang akan jadi ajang pembuktian apakah Presiden Joko Widodo mampu membangun pembangkit energi terbarukan dari 8 GW menjadi 30-35 GW dan pemanfaatan BBN untuk mengganti BBM.

Apa saja tantangan yang dihadapi Presiden Joko Widodo dan kabinetnya dan apa yang perlu dilakukan?

Pertama, kebutuhan me-mobilisasi investasi publik dan swasta.  Diperlukan investasi $70-90 miliar (~ Rp. 1000 triliun) untuk membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan dan infrastruktur pendukungnya. Hanya 10%-15% dari kebutuhan investasi ini yang dapat dipenuhi oleh BUMN dan anggaran publik. Sisanya harus berasal dari swasta/investor asing dan domestik. Untuk menarik investasi, khususnya investasi asing, pemerintah harus meningkatkan kondisi iklim investasi dengan mengeluarkan kebijakan yang transparan, terukur, dan pasti. Kebijakan tidak transparan dan regulasi yang tidak konsisten dengan kebijakan ataupun target kebijakan menjadi penyebab investor dan perbankan menganggap investasi di sektor energi terbarukan beresiko dan tidak menarik. Regulasi Indonesia harus dapat memberikan insentif yang lebih baik, risiko yang lebih rendah dan kepastian investasi jangka panjang yang lebih baik.  

Kedua, daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia yang rendah. Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dikeluarkan oleh EY, secara konsisten menempatkan Indonesia pada peringkat bawah dari 40 negara yang dikaji. Pada RECAI edisi Oktober 2019, Indonesia berada di peringkat 38. Tiga negara Asia Tenggara, Thailand, Filipina dan Vietnam memiliki peringkat yang lebih baik dari Indonesia. 

Selain itu penilaian atas 5 indikator dan 11 sub-parameter atas daya tarik investasi yang dilakukan IESR yang dilaporkan dalam ICEO 2020 menghasilkan penilaian 6 dari 11 sub-parameter dianggap tidak memadai (insufficient). Penilaian menunjukan pemerintah harus bekerja keras dalam 1-2 tahun mendatang, tidak saja membuat kebijakan yang tepat dan regulasi yang menarik dan terukur, tapi juga melakukan reformasi fundamental yang berkaitan dengan reformasi struktur industri kelistrikan, mandatory pemanfaatan energi terbarukan yang agresif, dukungan pembiayaan dari lembaga finansial lokal dan penyiapan instrumen mitigasi risiko, serta pelaksanaan kebijakan TKDN yang rasional dan instrumen untuk memfasilitasi transfer teknologi serta peningkatan kemampuan EPC domestik. 

Ketiga, bertambahnya kapasitas pembangkit thermal, khususnya PLTU. Pada 2019-2028, direncanakan dibangun 27 GW PLTU batubara dan mulut tambang, dimana 22 GW dibangun pada 2019-2025. Dengan perkembangan laju permintaan listrik PLN saat ini yang berada di bawah 5%, jauh di bawah proyeksi laju permintaan listrik dalam RUPTL, maka diperlukan koreksi terhadap rencana pembangunan pembangkit thermal untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan. Dengan mempertimbangkan pertumbuhan listrik 5 tahun terakhir, kami memproyeksikan pertumbuhan permintaan listrik berada di kisaran ~5% per tahun dalam lima tahun mendatang sehingga tambahan pembangkit baru sekitar 4 GW per tahun (rata-rata). Oleh karena itu untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan hingga mencapai 23-30% dari total kapasitas pembangkit PLN pada 2025, sekitar 3-4,5 GW pembangkit energi terbarukan harus masuk di sistem PLN setiap tahunnya. Ini berarti setelah 2020, pembangunan PLTU batubara harus mulai dikurangi dibarengi dengan phasing out pembangkit-pembangkit thermal tua dan yang efisiensinya rendah. Tanpa melakukan ini, PLN akan kesulitan memasukan tambahan 20-22 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan. 

Mengubah rencana pembangunan pembangkit listrik terutama menunda atau membatalkan PLTU batubara tentunya bukan keputusan yang mudah bagi Menteri ESDM yang akan memutuskan RUPTL 2020-2029 dalam dua bulan mendatang. Perubahan ini dapat mengguncang berbagai macam kepentingan, terutama pemilik tambang dan pembangkit batubara yang berharap dapat mengoptimalkan aset tambang yang mereka miliki. Tapi disinilah kualitas kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan menteri-menterinya akan diuji. Menarik tentunya memperhatikan langkah dan strategi pemerintah (jika ada) dalam hal merumuskan kebijakan dan instrumen regulasi untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan politik dan bisnis dalam rangka memajukan energi terbarukan di Indonesia dan memastikan Indonesia berada di jalur transisi energi yang berkelanjutan. 

Jakarta, 2 Januari 2020

 

Transformasi Perekonomian Indonesia menuju Net-zero Emission Economy

Brown to Green Report 2019: 

Strategi Transformasi Perekonomian Indonesia menuju Net-zero Emission Economy dalam Menangani Perubahan Iklim sebagai Upaya Pencapaian Paris Agreement

Jakarta, 19 November 2019 — IESR. Emisi karbon dari negara-negara G20 terus meningkat sebagai akibat dari tingginya penggunaan bahan bakar fosil dalam penyediaan energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan, tidak satupun dari mereka memiliki rencana penurunan emisi karbon yang selaras dengan pembatasan kenaikan suhu bumi sebesar 1.5°C. Meskipun mereka memiliki kemampuan teknis dalam meningkatkan upaya pencegahan perubahan iklim dalam mencapai target Paris Agreement, rencana aksi mitigasi yang ada di dalam dokumen NDC negara-negara G20 tidak ada yang menempatkan mereka berada di jalur 1.5°C.

Apabila negara-negara G20 tidak melakukan peningkatan ambisi iklimnya dan melakukan transformasi perekonomian, dan dengan dokumen NDC yang ada saat ini, suhu bumi akan meningkat lebih dari 3°C. Pembatasan kenaikan suhu bumi sebesar 1,5°C diindikasi akan mengurangi dampak negatif di berbagai sektor di negara G20 lebih dari 70%. Kerugian yang saat ini dilanda oleh negara G20 akibat perubahan cuaca yang ekstrim yakni kematian sebanyak 16.000 jiwa dan kerugian ekonomi sebesar US$ 142 triliun setiap tahunnya. 

Semua negara anggota G20, termasuk Indonesia, dapat meningkatkan ambisi iklimnya dalam upaya penurunan emisi karbon dan mencapai net-zero emission economy untuk mencapai Paris Agreement, dengan langkah yang taktis dan komitmen serta kemauan politik yang kuat. Hal ini merupakan salah satu pesan kunci dari Brown to Green Report 2019: The G20 Transition Towards a Net-Zero Emissions Economy yang diluncurkan oleh Institute for Essential Services Reform di Jakarta pada 19 November 2019. Peluncuran laporan yang diikuti dengan diskusi panel ini dihadiri sedikitnya 140 peserta yang berasal dari kementerian dan lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, pelaku bisnis, asosiasi, akademisi, dan masyarakat umum, serta rekan-rekan jurnalis.

Laporan Brown to Green 2019 merupakan sebuah laporan tahunan yang disusun oleh Climate Transparency dengan didukung oleh Federal Ministry of Environment Nature Conservation and Nuclear Safety. Dengan menggunakan 80 indikator penilaian terkait adaptasi, mitigasi dan pembiayaan perubahan iklim untuk dapat mencapai target 1,5°C, laporan ini mengukur aksi iklim dari negara-negara G20 dan bagaimana proses transisi mereka menuju net-zero emissions economy. Sebagai anggota dari kemitraan Climate Transparency, IESR mengukur kinerja Indonesia dalam upaya mengatasi perubahan iklim serta bagaimana Indonesia dapat melakukan transisi perekonomiannya, dibandingkan dengan negara anggota G20 lain.

Membuka acara ini, Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR) menyampaikan bahwa laporan ini memperlihatkan Indonesia masih cukup tertinggal dalam upaya mencapai Paris Agreement. Oleh karena itu dibutuhkan strategi pembangunan dan investasi untuk mendorong perekonomian Indonesia menjadi lebih hijau, khususnya investasi di pembangkit listrik, transportasi, dan industri manufaktur. Di samping itu, Indonesia membutuhkan strategi untuk membuat ekonomi Indonesia lebih resilient terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini sudah dirasakan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR

Ditegaskan dalam pidato pembukaan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Jend. TNI. (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan, bahwa Indonesia berkomitmen dalam penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030 dan juga peningkatan kontribusi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi di 2025. “Indonesia berkomitmen untuk menempatkan energi baru dan terbarukan dalam kebijakan negara. Penentu kebijakan harus membuat kebijakan yang tidak mencederai anak cucu” pernyataan Luhut dalam pidatonya.

Ia pun menjelaskan beberapa strategi investasi dan bisnis yang akan diterapkan Indonesia dalam mendorong perekonomian hijau, yakni teknologi yang masuk ke Indonesia harus yang berkualitas tinggi dan ramah lingkungan; harus ada transfer teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah produk mentah yang menjadi komoditas ekspor Indonesia; serta investor harus mengembangkan pelatihan bagi tenaga kerja lokal. Secara khusus, ada beberapa program yang disiapkan pemerintah untuk mendorong perekonomian hijau yaitu biodiesel dan green fuel untuk non listrik, kendaraan listrik, pembangkit listrik energi terbarukan, mendekatkan industri dengan sumber energi, dan pelibatan pihak swasta dalam proyek carbon credit.

Prof. Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga turut hadir dalam peluncuran ini, memberikan Keynote Speech kedua setelah Menteri Kemenko Maritim dan Investasi. Prof Emil turut menekankan bahwa Laporan Brown to Green ini mencerminkan kenyataan yang ada mengingat kebijakan energi Indonesia sudah dicanangkan hingga ke 2050 tapi tidak ada yang menunjukkan bagaimana dampak dari emisi karbon dapat diatasi. 

Prof. Emil Salim, Guru Besar FE UI

“Persoalan climate change adalah persoalan nasional yang sedang sama-sama kita hadapi. Namun, sayangnya faktor lingkungan tidak menjadi pertimbangan penting dalam Rencana Umum Energi Nasional, tapi justru menumpukan pembangunan pada energi konvensional. Jadi pola struktur energi kita didominasi minyak bumi, batu bara dan energi terbarukan hanya kurang dari separuh. Padahal potensinya tinggi. Jika kita merasa Rencana Umum Energi Nasional tersebut tidak tepat maka keinginan saya adalah, bagaimana komposisi energi terbarukan bisa dapat tingkatkan.” ujar Prof. Emil Salim.

Senior ekonom Indonesia ini pun menyoroti peran PLN sebagai BUMN yang menilai bahwa pihak swasta tidak dapat mengembangkan sumber energinya dengan alasan perizinan yang hanya dimiliki oleh PLN, sehingga teknologi pembangkit listrik surya atap masih terhambat hingga saat ini.Beliau menekankan bahwa laporan IESR ini harus dijadikan sebagai lampu kuning bagi seluruh pemangku kebijakan tak sekedar dokumen untuk dibaca. Indonesia tertinggal dalam urusan yang terkait dengan climate change, kebijakan energi sebagai alternatif harus segera dibuat, imbuhnya. 

Erina Mursanti, Program Manager IESR – Green Economy

Beberapa poin penting dalam paparan kedua keynote speech tersebut, selaras dengan isi dari laporan Brown to Green yang dipaparkan langsung oleh Manajer Program, Green Economy, IESR, Erina Mursanti. Laporan ini memperlihatkan posisi Indonesia untuk menuju 1,5°C berdasarkan compatible fair share emission ranges yang merupakan analisa adaptasi dari metodologi Climate Action Tracker yang juga merupakan mitra internasional dari Climate Transparency. Metodologi ini tidak memasukkan LULUCF emission karena tidak semua negara G20 memiliki emisi dari LULUCF (Land Use, Land-Use Change and Forestry) atau penggunaan lahan dan hutan. 

“Sekalipun semua kegiatan mitigasi yang ada di dalam dokumen NDC Indonesia dilaksanakan, negara ini tetap berada pada jalur suhu bumi 3°C atau bahkan 4°C, jadi bisa disimpulkan kita masih berada jauh dari jalur 1,5°C.” terang Erina, memaparkan salah satu hasil laporan ini. Laporan ini menunjukkan, selama tahun 2019, ada dua kemajuan Indonesia dalam melakukan transformasi perekonomian yakni adanya peraturan presiden mengenai kendaraan listrik serta pembentukan badan pengelola dana lingkungan hidup terkait upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Meskipun demikian, sayangnya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2019-2028 menunjukkan bahwa kontribusi dari batubara dalam pembangkit listrik naik sebesar 0,2% dibandingkan dengan rencana tahun lalu. 

Terkait rencana pembangunan jangka panjang, laporan ini menemukan bahwa Indonesia belum memiliki rencana pembangunan jangka panjang yang terintegrasi dengan rencana penurunan jumlah emisi gas rumah kaca. Indonesia telah mengeluarkan studi low carbon development initiative namun studi ini belum didokumentasikan secara resmi sebagai dokumen pembangunan pemerintah Indonesia. 

Dilaporkan bahwa Indonesia sudah memiliki target kontribusi energi terbarukan dalam sektor ketenagalistrikan, namun implementasi upaya pencapaian target tidak koheren dengan beberapa kebijakan yang sudah ada. Namun Indonesia belum memiliki target atau kebijakan terkait penghapusan batubara secara bertahap, padahal indikator ini merupakan faktor penting demi menanggulangi perubahan iklim. 

Dalam sektor transportasi, hanya satu hal yang cukup bagus dimiliki oleh Indonesia yaitu adanya beberapa instrumen yang mendukung pengalihan pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum. 

Indonesia belum mempunyai instrumen pembiayaan perubahan iklim yang cukup memuaskan. Catatan penting dari temuan ini adalah Indonesia masih memberikan subsidi kepada bahan bakar fosil yang sangat besar. Demi tercapainya suhu bumi pada 1,5°C Indonesia harus mulai menghapus subsidi tersebut dan memperkenalkan skema pajak karbon. Dana APBN juga semestinya sudah tidak digunakan lagi untuk membiayai proyek – proyek berbahan bakar fosil. Strategi pembangunan jangka panjang Indonesia harus diperjelas agar dapat mengakomodasi pembiayaan jangka panjang untuk perubahan iklim. 

Sebelum menutup paparannya, Erina Mursanti mengingatkan bahwa demi meningkatkan Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia dan untuk berada di jalur 1,5°C, ada tiga hal yang dapat dilakukan negara yaitu: (a) Mengurangi jumlah Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan menaikkan kontribusi energi terbarukan tiga kali lipat pada sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030. Hal ini sangat penting menurut Erina, karena: merupakan solusi yang layak (mungkin dilakukan) secara teknis tanpa mengurangi keandalan jaringan transmisi (jika daya energi terbarukan sangat besar). Komitmen dan kemauan politik (political will) dalam hal ini sangat dibutuhkan. (b) Meningkatkan tingkat efisiensi dari peralatan rumah tangga & industri termasuk penerangan karena hal ini berkontribusi sekitar 25 GW pada tahun 2030. (c) Indonesia harus melakukan moratorium pembebasan lahan hutan secara permanen termasuk untuk hutan primer, sekunder dan restorasi hutan gambut. 

 

(dari Kiri ke Kanan) Dr. Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi, CSIS, Erina Mursanti, Program Manager Green Economy, IESR, Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Kemenko Marves, Dr. Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, KESDM, Kuki H. Soejachmoen.

Galeri acara Peluncuran Brown to Green 2019:

Diskusi Panel: Strategi Indonesia menuju Perekonomian Nir Emisi pada 2050

Menindaklanjuti hasil laporan ini, diskusi panel pun dilakukan dengan mengusung topik Strategi Indonesia Menuju Perekonomian Nir Emisi pada 2050 dan menghadirkan para panelis yang terdiri dari: Kepala Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) – Yose Rizal Damuri; Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – Emma Rachmawati; Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang – Saleh Abdurrahman; dan Direktur Eksekutif, IESR – Fabby Tumiwa.

Yose Rizal Damuri, dalam hal ini mengaitkan political will dengan dinamika sosial politik Indonesia yang tidak banyak terafiliasi dengan isu lingkungan. Survei CSIS yang dilakukan di awal tahun mengenai persepsi sosial dan politik terhadap isu emisi menemukan bahwa hanya 1,68% dari 2.000 responden Indonesia yang menjawab bahwa isu lingkungan merupakan salah satu prioritas pembangunan. Yose melanjutkan, di ranah politik, sayang sekali hanya satu partai yang memasukkan kata lingkungan dari visi misi mereka namun sayangnya partai ini tidak masuk ke dalam DPR. Sangat disayangkan politisi – politisi belum banyak berperan di seputar isu lingkungan, padahal mereka punya peran penting dalam memberikan legalitas demi dukungan pendanaan.

Mengamini pernyataan Prof. Emil Salim di keynote speechnya, Yose juga menilai bahwa PLN masih menjadi salah satu penghalang utama untuk pengembangan teknologi energi terbarukan yang berhubungan dengan kelistrikan, karena semestinya menurut Yose, PLN seharusnya bertindak sebagai penyedia jasa bukan sebagai regulator. Political will pun sangat dibutuhkan dalam memecahkan kendala regulasi yang menghambat pengembangan energi terbarukan seperti solar rooftop atau kendaraan listrik.

Menurut pandangan KLHK yang disampaikan oleh Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Emma Rachmawati, kemampuan ekonomi yang dimiliki negara-negara G20 berbeda dari satu dengan yang lainnya. “Kenapa negara berkembang seperti Indonesia kemudian dituntut untuk increase ambition? Indonesia juga mempertanyakan, negara maju penuhi dulu kewajiban nya, jangan lalu dibagi rata menjadi beban negara berkembang.”

“KLK saat ini sedang dalam proses penyusunan roadmap implementasi NDC, dimana NDC dirinci dalam kegiatan di sub-sektor untuk masing-masing sektor. Kita sudah pilah mana yang kemudian bisa dikontribusikan oleh Provinsi dan Kabupaten/ Kota, kemudian oleh swasta, sudah ada dalam road map tersebut. Kemudian juga kemarin kita sudah diskusi mengenai carbon pricing dan bagaimana peran swasta untuk pasar karbon.” imbuh Emma Rachmawati.

Di kesempatan yang sama, Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, merespon wajar jika Indonesia belum mencapai target NDC karena, menurutnya, pertumbuhan GDP Indonesia masih rendah; sehingga kesejahteraan masyarakat Indonesia harus didahulukan dengan terus menumbuhkan sektor manufaktur. Untuk mencapai kesejahteraan Indonesia itu harus bisa menjamin kesejahteraan sosial, maka sektor manufaktur harus terus tumbuh. Sektor manufaktur mendapatkan nilai tambah yang tinggi dan bisa menjangkau pekerja baru sampai 200-300 ribu orang. 

Saleh pun menyatakan bahwa pemerintah tidak dapat melihat kebijakan dalam kurun waktu tahunan (yearly basis), karena kebijakan energi pada khususnya menyangkut sektor riil, dan harus mempertimbangkan faktor ekonomi. Strategi sektor energi dalam menuju nir emisi dapat dilakukan dengan: (i) mencari sumber energi yang memiliki big impact seperti biofuel, (ii) mengoptimalkan energy efficiency, (iii) memaksimalkan PLTS, PLTP, PLTA karena bisa mendorong ekonomi lokal.

Fabby Tumiwa, dalam sesi diskusi panel menyatakan Indonesia sebagai anggota negara G20 tentunya memiliki kondisi ekonomi yang berbeda dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat, trajectory yang ada dalam NDC menunjukkan jika kita belum di jalur 1,5°, namun ada di jalur 3° – 4°C dikarenakan Indonesia meningkatkan pembangkit dari minyak bumi cukup masif, dimana sebagian besar dari pembangkit ini baru mulai beroperasi setelah 2023 – 2030 dengan berkekuatan 35.000 MW, meski Indonesia sudah memiliki aset pembangkit energi terbarukan namun tidak on-track sesuai target. Long-term decarbonisation menjadi catatan penting untuk pemerintah Indonesia khususnya BAPPENAS, KLHK dan sektor lain untuk membahas bagaimana target 2050

“Tidak hanya target-target mau turun berapa, tetapi kapan emisi akan peak dan kapan kita bisa mencapai net-zero emission. Ini penting karena bisa melihat apakah kita compatible dengan Paris Agreement.” imbuh Fabby. 


Brown to Green Report 2019 diluncurkan di Jakarta, Hotel Pullman Thamrin 19 Desember 2019.

Materi paparan dari kegiatan ini dapat di unduh di laman agenda 

Anda juga dapat mengunduh: 

Laporan Lengkap Brown to Green 2019 (Bahasa Inggris)

Ringkasan Eksekutif dan Profil Indonesia (Bahasa Inggris)

Laporan Brown to Green 2019 Profil Indonesia (Bahasa Indonesia)

RUU Migas Harus Segera Dibahas

RUU migrasJAKARTA–Pembahasan rancangan Undang Undang Migas harus segera dilakukan untuk menuntaskan berbagai persoalan di sektor energi, khususnya masalah tata kelola industri minyak dan gas bumi.

Ketua Badan Pengarah Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Fabby Tumiwa mendesak DPR khususnya Komisi VII untuk segera membahas RUU Migas. Menurutnya, sampai hari ini tidak ada perkembangan apa pun yang signifikan dari pembahasan RUU Migas tersebut.

Fabby yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) menyatakan akar berbagai persoalan di sektor migas adalah payung hukum yang masih memiliki banyak celah, baik dari sisi perencanaan, pengelolaan, pembinaan maupun pengawasan.

“Setidaknya ada beberapa isu kunci yang harus dimasukkan ke dalam pembahasan RUU Migas, yaitu perencanaan pengelolaan migas, model kelembagaan hulu migas yang memungkinkan adanya proses check and balances badan pengawas, BUMN pengelola, Petroleum Fund, DMO, dana cadangan, cost recovery, participating interest, perlindungan atas dampak kegiatan migas, serta reformasi sistem informasi dan partisipasi,” katanya melalui keterangan resmi, Minggu (29/5/2016).

Adapun RUU Migas ditetapkan sebagai salah satu RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2016.

Sumber: http://industri.bisnis.com.

Hingga 2025, PLN akan Perbesar Porsi Energi Terbarukan

Untuk melancarkan rencana tersebut, PLN akan mengoptimalkan peran dan fungsi anak usaha perseroan yakni PLN Geothermal. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Untuk melancarkan rencana tersebut, PLN akan mengoptimalkan peran dan fungsi anak usaha perseroan yakni PLN Geothermal. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Jakarta, CNN Indonesia — PT PLN (Persero) telah menyelesaikan rancangan mengenai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk periode 2016-2025. Dalam rancangannya, manajemen PLN mengusulkan agar komposisi bauran energi (energy mix) mengalami perubahan dari RUPTL periode 2015-2024.

Rinciannya:

  1. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebesar 34 gigawatt (GW), turun 8 GW dari rencana sebelumnya.
  2. Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) sebesar 13 GW, meningkat 4 GW dari rencana sebelumnya.
  3. Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) sebesar 5 GW, tidak mengalami perubahan.
  4. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar 6 GW, naik 1 GW.
  5. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Mikrohidro (PLTM) sebesar 14 GW, naik 5 GW dari rencana sebelumnya.
  6. Pembangkit Listrik Energi Terbarukan lainnya sebesar 6 GW dari sebelumnya yang tidak diproyeksikan.

“Kami sudah lakukan beberapa kali konsultasi publik dan itu yang sedang dikritisi. Diskusi dengan masyarakat kelistrikan, masyarakat energi, DEN, tentu guidance dari ESDM. Semoga publik bisa accept,” ujar Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur dan Bali Amin Subekti di Jakarta, Rabu (30/3).

Amin mengakui, dalam rancangan RUPTL periode 2016-2025 PLN akan memprioritaskan pada pemanfaatan energi baru terbarukan.

Meski begitu ia bilang, persetujuan untuk mengimplementasikan rencana ini harus lebih mendapat persetujuan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) khususnya Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (DJK).

“Kita akan ikuti guidance dari pemerintah. EBT kita juga sebagian sudah jalan,” tutur pria yang pernah berkiprah bersama Menteri ESDM Sudirman Said di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias.

Menyusul implementasi RUPTL teranyar, Amin menambahkan pihaknya juga akan mengoptimalkan peran dan fungsi anak usaha perseroan yakni PLN Geothermal.

Ke depan, katanya jajaran PLN mewacanakan mengubah PLN Geothermal menjadi PLN Energi Baru dan Terbarukan.

“Nanti anggaran dasarnya diubah pembeliannya yang non geotermal bisa ikut di adopt,” tandasnya. (gir)

Sumber: cnnindonesia.com.

Batubara Dominan, Pemerintah Diminta Evaluasi Bauran Energi untuk Program Listrik 35.000 MW

 

Batubara Dominan, Pemerintah Diminta Evaluasi Bauran Energi untuk Program Listrik 35.000 MWJAKARTA, KOMPAS.com – Bauran energi dalam megaproyek 35.000 megawatt (MW) dikritisi.

Pasalnya, komposisi batubara dalam proyek tersebut terlalu dominan dan kurang ideal untuk pengembangan industri pendukungnya.

Pengamat ketenagalistrikan dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, industri tambang batubara saat ini sudah memasuki tahap mapan (mature) dan tergantung pada keseimbangan pasokan dan permintaan.

Kalau permintaan tinggi, maka lazimnya pasokan akan mengikuti, apalagi sumberdaya di Indonesia cukup besar.

“Tapi yang perlu diperhatikan adalah untuk jangka panjang. Permintaan batubara diprediksikan turun, karena kalau dilihat dalam 10 tahun terakhir pembangunan PLTU secara global menurun,” kata Fabby kepada KOMPAS.com, Jakarta, Senin (7/3/2016).

Selain pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang menurun tersebut, regulasi di sektor energi juga mengarah pada pengendalian perubahan iklim.

Atas dasar itu, pertumbuhan pembangunan PLTU dalam 10-15 tahun yang akan datang, diperkirakan alami stagnasi.
(Baca : Pemerintah Diminta Beli Lebih Mahal agar Pasokan Batubara untuk PLTU Terjaga)

Menurut Fabby, permintaan batubara akan terancam, seiring menurunnya pembangunan PLTU.

Batubara Dominan, Pemerintah Diminta Evaluasi Bauran Energi untuk Program Listrik

Daripada menggenjot sektor tambang untuk menyediakan kebutuhan batubara bagi PLTU, pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan sektor energi baru terbarukan.

Dia bilang, sebaiknya pemerintah lebih rasional dalam menerapkan bauran energi di megaproyek 35.000 MW.

“Agar ekspansi tambang batubara tidak terlalu banyak, dan permintaan batubara juga tidak melonjak,” ujar Fabby.

Sebagai informasi, dalam rencana megaproyek 35.000 MW, porsi dari PLTU batubara sebanyak 20.000 MW.

Sampai saat ini sudah ada penandatanganan kontrak power purchase agreement (PPA) sebesar 17.000 MW, dengan 10.000 MW di antaranya dari batubara.

Sumber: Kompas.com.

Pengembangan Thorium di Indonesia Masih Perlu Pertimbangan

Pengembangan Thorium di Indonesia Masih Perlu PertimbanganJAKARTA, JITUNEWS.COM – Dinilai belum banyak yang melakukan riset, penggunaan Thorium sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia masih harus dipertimbangkan lagi.Pengamat Energi, Fabby Tumiwa me

ngatakan, selama ini baru Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang melakukan riset untuk Thorium. Menurutnya, sejumlah wilayah yang berpotensi memiliki sumber (resource) Thorium antara lain Bangka Belitong (Babel), Kalimantan Barat (Kalbar) dan Sulawesi Barat (Sulbar).

“Thorium belum banyak risetnya di Indonesia. Sejauh ini Batan baru melakukan eksplorasi Thorium di Babel, Kalbar, Sulbar,” ungkap Fabby saat dihubungi JITUNEWS.COM, Jakarta, Jum’at (5/1).

Akan tetapi, Fabby mengakui, sebagai bahan bakar alternatif PLTN, Thorium memiliki kekuatan energi yang lebih tinggi dari Uranium. Untuk itu, menurutnya, keberadaan Thorium perlu segera dipublikasikan.

“Indonesia punya resource Thorium dan bisa dimanfaatkan. Karena Thorium memiliki densitas energi yang lebih tinggi dari Uranium,” ujarnya.

Meski begitu, dirinya merasa akan sangat sulit mengembangkan Thorium di Indonesia. Pasalnya, beberapa negara yang lebih dahulu melakukan riset seperti Amerika Serikat (AS) dan Jerman sejak tahun 60-an, sampai saat ini belum ada yang bisa mengkomersialkan.

“Sekarang memang lebih banyak riset untuk PLTN Thorium di India, China, kanada, Brazil, Norwegia, dan lain-lain. Tapi teknologinya belum ada yang komersial,” jelas Fabby.

Dirinya menggambil contoh, India sebagai negara yang sudah melakukan riset selama 20 tahun, baru akan merencanakan memiliki PLTN Thorium komersial pada 2035-2040 mendatang. Sehingga banyak kalangan menilai, pengembangan Thorium membutuhkan waktu yang sangat lama.

Sebelumnya, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Djarot Sulistio Wisnusubroto mengungkapkan, Indonesia memiliki sekitar 210.000-280.000 ton Thorium yang masih tersimpan di dalam tanah.

Sekadar informasi, Thorium adalah salah satu jenis nuklir dengan limbah radio aktif yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan Uranium.

Baca juga: Ini ‘Harta Karun’ Energi Milik Indonesia

Penulis: Citra Fitri Mardiana
Editor: Deni Muhtarudin

Sumber: jitunews.com.