Memulai Perjalanan Dekarbonisasi Industri Baja

Jakarta, 20 Maret 2024 – Sektor industri merupakan salah satu sektor penting untuk diturunkan emisinya. Konsumsi energi yang besar serta kontribusinya pada bidang ekonomi yang signifikan pada 2022 sebesar 16,48 persen Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi alasan kuat untuk membuat sektor ini semakin berkelanjutan. Industri dengan kebutuhan energi tinggi seperti industri besi baja membutuhkan persiapan strategis untuk melakukan dekarbonisasi. 

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil baja terbesar di Asia Tenggara, dan menempati urutan nomor 15 produsen baja di dunia. Tahun 2023, tercatat kapasitas produksi baja Indonesia mencapai 16 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 33-35 juta ton pada 2030. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam webinar “Accelerating the Transformation of the Steel Industry in Southeast Asia: Indonesia Chapter” menyatakan bahwa produksi baja Indonesia masih tinggi emisi. 

“Proyeksi kebutuhan baja Indonesia diprediksi akan meningkat, jika tidak mengambil langkah dekarbonisasi serius, maka emisi dari industri baja juga akan terus meningkat,” kata Fabby.

Kita juga menghadapi tuntutan pasar internasional untuk menghasilkan baja yang lebih rendah karbon. Uni Eropa misalnya telah menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang efektif pada 2026, akan menimbulkan efek negatif terhadap ekspor industri baja Indonesia. Untuk itu, industri baja perlu melakukan transformasi.

Farid Wijaya, Analis Senior IESR menjelaskan bahwa dekarbonisasi bagi industri besi baja akan membawa prospek pertumbuhan ekonomi, meski saat ini masih cukup banyak tantangannya. 

“Standar industri hijau dapat menjadi salah satu cara untuk mendorong industri ramah lingkungan. Standar hijau untuk baja baru ditetapkan dan masih terbatas pada baja lembar per lapis. Saat ini belum ada industri besi baja yang mendapat sertifikat hijau karena keterbatasan implementasi,” kata Farid.

Kajol, Program Manager Climate Neutral Industry Southeast Asia, Agora Industry, menambahkan bahwa saat ini hampir 80% produksi baja dilakukan melalui teknologi blast furnace (tanur tinggi). 

“Kita harus mulai memikirkan teknologi yang lebih baik dan modern untuk menggantikan blast furnace. Saat fasilitas blast furnace yang saat ini beroperasi mulai tidak lagi efisien di tahun 2030-2040 kita harus menggantinya dengan teknologi yang lebih modern dan tidak lagi berinvestasi di blast furnace,” jelasnya.

Salah satu teknologi yang dimaksud Kajol adalah Direct Reduced Iron (DRI) yang dapat memproduksi baja primer menggunakan gas alam atau hidrogen bersih. Bijih besi direduksi untuk menghasilkan DRI, yang kemudian dapat dilebur dalam tanur busur listrik (Electric Arc Furnace, EAF) untuk menghasilkan baja primer.

Strategi yang dapat dijalankan untuk dekarbonisasi industri baja mencakup penggunaan energi terbarukan secara langsung dan tidak langsung, efisiensi sumber daya dan ekonomi sirkular, dan menutup siklus karbon. 

Helenna Ariesty, Sustainability Manager PT Gunung Raja Paksi (GRP) sebagai pelaku industri menekankan pentingnya kepastian regulasi dalam mendorong dekarbonisasi industri. 

“Kami menghadapi beberapa tantangan untuk menavigasi arah kebijakan yang belum konsisten. Selain itu, akses pendanaan yang terjangkau mengingat investasi awal yang dibutuhkan jumlahnya signifikan,”

Joseph Cordonnier, Analis Kebijakan Industri, OECD sepakat bahwa kebijakan dan akses pendanaan akan menjadi komponen kerangka utama untuk membangun ekosistem pendukung untuk dekarbonisasi industri. 

“Sebagai bagian dari kerangka tersebut kita juga harus benar-benar melihat bagaimana memaksimalkan pemanfaatan aset yang ada berdasarkan variabel teknik, efisiensi energi, dan pengurangan emisi aset tersebut,” kata Joseph.

Fausan Arif Darmaji, Analis Perkembangan Infrastruktur, Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian mengatakan pemerintah menyadari adanya kebutuhan menekan emisi dari produksi baja Indonesia.

“Sektor besi baja juga merupakan fokus kami saat ini. Sembari kami menunggu aturan kebijakan yang saat ini sedang dibuat, kami memberikan pelatihan perhitungan GRK bagi sektor baja, juga perhitungan nilai ekonomi karbonnya,” kata Fausan.

Deon Arinaldo, Program Manajer Transformasi Energi IESR menutup webinar ini dengan menggarisbawahi kebutuhan dekarbonisasi industri merupakan upaya untuk tetap relevan dengan tuntutan perkembangan industri.

“Saat ini dekarbonisasi di sektor industri masih dianggap sebagai tantangan. Bukan hanya di Indonesia, namun juga fenomena global. Tren ini yang harus kita antisipasi karena dekarbonisasi adalah hal yang inevitable (tidak terelakkan),” kata Deon.

Dekarbonisasi Industri Besi dan Baja Butuh Peta Jalan Menyeluruh

press release
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa

Jakarta, 20 Maret 2024 – Industri besi dan baja di Indonesia mengalami pertumbuhan konsumsi. Data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menunjukkan secara nasional pada 2022, konsumsi baja rata-rata sebesar  15,62 juta ton per tahun. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan jumlah produksi baja rata-rata sekitar 12,46 juta ton per tahun. Sementara, dari sisi ekspor, industri besi dan baja mengalami tren peningkatan dari USD 7,9 miliar pada tahun 2019, menjadi USD 28,5 miliar pada tahun 2022.

Meningkatnya konsumsi besi dan baja nasional berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca. Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat industri besi dan baja bertanggung jawab terhadap 4,9 persen dari total emisi industri  yang mencapai setara 430 juta ton karbon dioksida pada 2022, atau berkisar setara 20-30 juta ton karbon dioksida per tahun.  Untuk itu, IESR mendorong pemerintah dan pelaku industri besi dan baja untuk melakukan upaya pengurangan emisi demi mencapai usaha yang lebih hijau dan yang berkelanjutan. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan bahwa upaya dekarbonisasi sektor industri besi dan baja perlu mengatasi perpindahan teknologi proses produksi besi dan baja. Saat ini, 80 persen produksi besi dan baja di Indonesia masih diproduksi dengan teknologi tanur tinggi atau blast furnace, bahan bakarnya masih didominasi dengan penggunaan batubara dan kokas (bahan karbon padat yang berasal dari distilasi batubara rendah abu dan rendah sulfur). Artinya, semakin banyaknya rasio penggunaan teknologi blast furnace dalam produksi besi dan baja nasional maka upaya penurunan emisi di industri besi dan baja di Indonesia akan menjadi lebih sulit di tahun berikutnya.

“Baja menjadi material kritis yang diperlukan di berbagai aspek pembangunan, termasuk untuk teknologi untuk mendukung transisi energi di seluruh dunia. Penerapan 1 MW teknologi energi terbarukan seperti panel surya dan, turbin angin memerlukan sekitar 20-180 ton baja. Untuk itu, dekarbonisasi industri baja menjadi krusial dilakukan untuk memastikan rantai pasok teknologi menjadi rendah karbon melalui  peningkatan efisiensi energi yang dapat dilakukan dengan beralih terhadap teknologi ramah lingkungan, penggunaan energi terbarukan serta optimalisasi dari penggunaan baja daur ulang (scrap),” ujar Fabby Tumiwa dalam acara Webinar Mempercepat Transformasi Industri Baja di Indonesia dan Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh IESR dan Agora Industry. 

Urgensi dekarbonisasi sektor industri besi dan baja juga dipengaruhi secara global dengan adanya aturan produk rendah emisi dan penetapan batas karbon untuk ekspor, serta perdagangan karbon. Di tataran nasional, senior Analis IESR, Farid Wijaya mengatakan, dekarbonisasi industri besi dan baja ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama untuk mencapai Indonesia Emas 2045, melindungi rantai pasokan dalam negeri dan ekonomi masa depan, dan meningkatkan daya saing ekspor untuk pasar global yang semakin sadar akan praktik ramah lingkungan.

“Upaya melakukan dekarbonisasi industri perlu dibarengi dengan membangun ekosistem industri hijau dalam kerangka regulasi dan standar, penyediaan energi hijau dan teknologi rendah karbon. Diperlukan pula adanya peta jalan oleh masing-masing industri dan asosiasi, yang saat ini masih terbatas pada beberapa sektor dan belum menjadi sebuah regulasi yang bisa dijadikan landasan aksi dekarbonisasi untuk pelaku industri dan asosiasi,” ujar Farid. 

Studi IESR memberikan rekomendasi dalam mendorong dekarbonisasi industri di Indonesia. Pertama, penyelesaian peta jalan dekarbonisasi industri oleh Kementerian Perindustrian pada akhir tahun 2024 atau lebih cepat. Kedua, memperkuat pelaporan dan pengumpulan data mengenai implementasi Peraturan Menteri Perindustrian No.2/2019 mengenai tata cara penyampaian data industri melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS) dan memastikan keterbukaan laporan keberlanjutan industri untuk transparansi dan akses informasi, terutama pelaporan penggunaan energi dan bahan baku  serta limbah yang dihasilkan. Ketiga, menyusun patokan (benchmarking) proses produksi industri hijau serta memperluas cakupan dan nilai batas standar industri hijau (SIH) dari yang awalnya bersifat sukarela (voluntary) dan mengacu ke best practice lokal menjadi wajib (mandatory) dan berkesesuaian dengan kebutuhan penurunan emisi di tahun 2060, atau lebih awal.

Kajol, Manajer Program Industri Netral-Iklim Asia Tenggara, Agora Industri, menuturkan transformasi industri besi dan baja memerlukan tiga strategi yaitu penggunaan energi terbarukan secara langsung dan tidak langsung, efisiensi sumber daya dan penerapan ekonomi sirkular, serta pengakhiran siklus karbon dengan penggunaan Carbon Capture Use and Storage (CCU/S) dan biomassa dan bioenergi yang dilengkapi dengan CCS (BECCS).

Fausan Arif Darmadi, Analis Pengembangan Infrastruktur, Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan, pihaknya telah meluncurkan standar industri hijau (SIH) yang memuat ketentuan mengenai bahan baku, bahan penolong, energi, proses produksi, produk, manajemen pengusahaan, dan pengelolaan limbah. Selain itu, terdapat juga Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 12 Tahun 2023 tentang batasan penggunaan energi, air, dan batasan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk baja lapis. Dengan regulasi tersebut, diharapkan dapat menjadi pedoman bagi perusahaan untuk menjalankan proses produksi yang efisien dan ramah lingkungan.

“Komitmen dari sektor industri menjadi hal yang paling penting dalam proses dekarbonisasi. Untuk itu, Kemenperin telah memberikan pelatihan perhitungan emisi gas rumah kaca (GRK) bagi sektor baja, termasuk perhitungan nilai ekonomi karbonnya. Sementara untuk panduan lengkap terkait perhitungan nilai ekonomi karbon sedang dalam proses pengembangan,” papar Fausan.

Permen ESDM No. 2/2024 Membatasi Partisipasi Publik untuk mendukung Transisi Energi lewat PLTS Atap

press release

Jakarta, 23 Februari 2024 – Pemerintah Indonesia telah resmi mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2024 Tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum, yang merupakan revisi dari Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021. 

Dalam peraturan baru ini, skema net-metering dihapuskan sehingga kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke PT PLN (Persero) tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurangan tagihan listrik.  Permen ini juga menetapkan mekanisme kuota sistem PLTS atap pada sistem kelistrikan pemilik Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) untuk lima tahun. Selain itu, dalam peraturan ini ditetapkan periode pendaftaran setahun 2 kali dan kompensasi yang diberikan oleh negara pada PLN jika biaya pokok penyediaan tenaga listrik terdampak karena penetrasi PLTS atap. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, peniadaan skema net-metering akan mempersulit pencapaian target Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa 3,6 GW PLTS atap pada 2025 dan target energi terbarukan 23% pada tahun yang sama. Dampak dari peniadaan skema ini adalah menurunnya tingkat keekonomian PLTS atap khususnya di segmen rumah tangga yang umumnya mengalami beban puncak di malam hari. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan bahwa pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil akan cenderung menunda adopsi PLTS atap karena permintaan puncak listrik mereka terjadi di malam hari, sedangkan PLTS menghasilkan puncak energi di siang hari. Tanpa net-metering,  investasi PLTS atap menjadi lebih mahal, terutama jika pengguna harus mengeluarkan  dana tambahan untuk penyimpanan energi (battery energy storage). 

Net-metering sebenarnya sebuah insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS Atap. Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2 – 3 kWp untuk konsumen kategori R1. Tanpa net-metering dan biaya baterai yang masih relatif mahal, kapasitas minimum ini tidak dapat dipenuhi sehingga biaya investasi per satuan kilowatt-peak pun menjadi lebih tinggi. Inilah yang akan menurunkan keekonomian sistem PLTS atap,” ungkap Fabby Tumiwa

Untuk PLTS atap kapasitas lebih besar dari 3 MW (tiga megawatt), Permen ini mewajibkan pengguna untuk menyediakan pengaturan basis data prakiraan cuaca yang terintegrasi dengan sistem Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA) atau smart grid distribusi milik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU).

“Peraturan ini menghilangkan kewajiban membayar biaya paralel pembangkitan listrik, yaitu biaya kapasitas dan biaya layanan darurat yang sebelumnya diterapkan ke industri – setara 5 jam per bulan. Penghapusan biaya paralel ini menambah daya tarik bagi pelanggan industri, namun kewajiban penyediaan weather forecast untuk sistem lebih dari 3 MW juga akan menambah komponen biaya pemasangan,” ungkap Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR.

Marlistya juga menyoroti pengaturan termin pengajuan permohonan oleh calon pelanggan, yang dilakukan menjadi dua kali per tahun, yakni tiap bulan Januari dan Juli.  

“Pengaturan ini serta penetapan kuota per sistem jaringan memunculkan pertanyaan terkait transparansi penetapan dan persetujuan kuota, terutama untuk pelanggan industri yang ingin memasang PLTS atap dalam skala besar, sementara mekanisme IUPTLU untuk menambah kuota ketika kuota sistem sudah habis tidak diatur jelas dalam peraturan ini,” lanjutnya.

Permen ini memberikan jaminan bagi para pelanggan yang sudah memanfaatkan sistem PLTS atap sebelum peraturan ini diundangkan, tetap terikat pada peraturan sebelumnya, hingga 10 tahun berikutnya. Termasuk masih mendapat manfaat dari sistem ekspor listrik PLTS atap.

“Sebagai pengguna PLTS atap on-grid, sebenarnya saya justru memiliki pertanyaan tentang aturan peralihan ini – mengingat selama pemasangan, ekspor PLTS atap masih dihitung setara 0,65 tarif tenaga listrik berdasar Permen ESDM No. 49/2018, tidak 1:1 seperti Permen ESDM No. 26/2021. Aturan peralihan ini perlu diinformasikan secara jelas pada pengguna PLTS atap saat ini,” kata Marlistya.

IESR menyayangkan Permen ini terlalu berpihak pada kepentingan PLN yang dapat berdampak pada terhambatnya partisipasi konsumen listrik mendukung tujuan pemerintah mengakselerasi transisi energi di Indonesia, upaya penurunan emisi GRK yang berbiaya rendah dan tidak membebani negara karena investasi energi terbarukan dilakukan oleh konsumen listrik tanpa perlu subsidi negara.. 

Fabby Tumiwa berharap agar aturan baru ini dapat diimplementasikan dengan memperhatikan manfaat yang didapatkan negara jika PLTS atap dibiarkan tumbuh pesat, yaitu peningkatan investasi energi terbarukan, tumbuhnya industri PLTS, penciptaan lapangan kerja, dan penurunan emisi GRK. Untuk itu, IESR mendesak agar dilakukan evaluasi setelah satu tahun pelaksanaan Permen untuk mengetahui efektivitasnya dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Pemerintah perlu secara terbuka untuk merevisinya pada tahun 2025 seiring dengan menurunnya ancaman overcapacity listrik yang dihadapi PLN di Jawa-Bali. 

Peran Industri Menuju Masa Depan Bersih

Bandung, 25 Januari 2024Indonesia, sebagai salah satu negara dengan sumber daya alam yang melimpah, tengah berkomitmen untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau bahkan lebih awal. Dalam usaha mewujudkan transisi energi menuju masa depan berkelanjutan ini, sektor industri memiliki peran yang sangat krusial. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), emisi gas rumah kaca (GRK) sektor industri di Indonesia mencapai 238,1 juta ton CO2e pada 2022. Dalam kurun 2015-2022 mencapai 8-20% dari total emisi GRK nasional. Penyumbang emisi terbesar berasal dari penggunaan energi industri. 

Berkaca dari kondisi tersebut, tim Jelajah Energi Jawa Barat melanjutkan kunjungan ke sejumlah industri pada hari ketiga untuk melihat pemanfaatan energi terbarukan. PT Kahatex, PT Surya Energi Indotama, dan Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang menjadi contoh nyata bagaimana industri dapat memainkan peran sentral dalam pemanfaatan energi terbarukan.

Mengurangi Dampak Emisi dari Proses Produksi Industri Garmen dengan Energi Terbarukan

Industri apparel dan garmen, terutama yang masuk dalam rangkaian rantai pasok merk global, memiliki tanggung jawab untuk ikut ‘membersihkan’ proses produksinya. Adanya mekanisme Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) mengharuskan industri ini untuk berhitung berapa banyak emisi karbon yang dihasilkan selama proses produksi. 

Dedi Supriadi, Sustainability Compliance PT Kahatex Majalaya, menyampaikan bahwa saat ini industri tekstil sedang berlomba-lomba untuk bisa berkontribusi dalam hal pengurangan emisi dengan brand internasional. Berbagai upaya dan penggunaan teknologi energi bersih juga terus diupayakan.

“Dari tahun 2021, kami (Kahatex Majalaya) memasang PLTS atap sebanyak 15% dari kapasitas daya terpasang. Dari pemasangan PLTS ini kami berhasil menurunkan emisi sekitar 40%-50% dari 7.567e-1 CO2/unit menjadi 3.190e-1 CO2/unit,” jelas Dedi.

Adanya penurunan emisi yang signifikan ini memicu pihak Kahatex untuk mencari peluang pemanfaatan energi terbarukan lain. Sejak 2022 juga Kahatex mulai menjajaki penggunaan biomassa sebagai sumber energi panas (co-firing dengan batubara), dan sejak 2023 PT Kahatex Majalaya telah menggunakan 100 persen biomassa untuk memenuhi kebutuhan panas dalam proses produksinya.

Surya Menerangi Bumi Indonesia

Direktur Teknik & Operasi, PT Surya Energi Indotama (SEI), Fajar Miftahul Falah memaparkan, SEI sebagai anak perusahaan PT Len Industri (BUMN) mengemban tugas dalam pengembangan bisnis energi terbarukan, khususnya energi surya. Fajar menyatakan, tantangan terberat SEI sejak pendiriannya yakni bidang bisnisnya itu sendiri. Menurut Fajar, pada awal berdiri, banyak yang meragukan atas eksistensi pihaknya sebagai perusahaan tenaga surya. Selain harga PLTS yang masih mahal, Indonesia dianggap belum siap menerima tawaran. Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi energi surya semakin pesat dan harga PLTS sudah relatif terjangkau. Kini pihaknya telah berkecimpung di industri pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sejak tahun 2009, yang berarti lebih dari 15 tahun pengalaman, dengan total kapasitas terpasang PLTS lebih dari 60 MW di seluruh Indonesia. 

Suasana ruang operasional PT SEI untuk memproduksi PLTS 

“Proyek pembangunan PLTS yang digarap kami sekitar 70% berlokasi di wilayah daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) serta mendekati 3T. Untuk itu, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi ketika mengembangkan PLTS di daerah tersebut di antaranya medan yang sulit dijangkau dan faktor keamanan,” tegas Fajar. 

Tak hanya itu, kata Fajar, dari segi biaya pembangunan PLTS di wilayah 3T justru lebih mahal daripada daerah lain, seperti di Pulau Jawa. Sayangnya, banyak masyarakat yang beranggapan biaya pembangunan PLTS di seluruh daerah sama. Yang sebenarnya terjadi adalah PLTS memang murah, tetapi anggaran untuk membangunnya yang mahal. 

“Beberapa proyek PLTS yang kami kerjakan di antaranya PLTS hybrid Nusa Penida, Bali dengan kapasitas 4,2 kWp, PLTS rooftop Terminal Eksekutif Merak berkapasitas 324 kWp dan Terminal Eksekutif Bakauheni dengan kapasitas 192 kWp. Dengan fokus bisnis energi terbarukan, kami berharap dapat turut serta berkontribusi untuk Indonesia mencapai target NZE pada 2060 atau lebih awal,” ujar Fajar. 

Panas Bumi untuk Kurangi Emisi

Rintik-rintik hujan menyambut tim Jelajah Energi Jawa Barat saat tiba di PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang, anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) di bawah Direktorat Hulu yang mengelola panas bumi mulai kegiatan eksplorasi sampai dengan produksi uap dan listrik. Pengembangan sumber energi panas bumi Kamojang tersebut dikelilingi hamparan hutan pinus di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.  

Yustinar Uli, perwakilan tim PGE memaparkan, PGE Area Kamojang menjadi pioneer pengusahaan panas bumi di Indonesia dengan pemboran sumur eksplorasi panas bumi pertama oleh Belanda pada tahun 1926-1928. PGE Area Kamojang mulai beroperasi pada 29 Januari 1983 ditandai dengan beroperasinya PLTP Unit 1 Kamojang. 

Lalu, dilanjutkan dengan pembangunan unit-unit lainnya hingga PLTP Kamojang Unit 5 yang mulai beroperasi pada 2015. Saat ini PGE mengoperasikan PLTP Kamojang Unit 4 dan 5 masing-masing 60 MW dan 35 MW, sementara PLTP Kamojang Unit 1,2 dan 3 dengan kapasitas total 140 MW dioperasikan oleh PLN,” ujar Yustinar. 

Yustinar menuturkan, total kapasitas terpasang pembangkit panas bumi di area Kamojang mencapai 235 megawatt (MW) atau setara dengan pengurangan emisi CO2 1,2 juta ton per tahun. Listrik yang dihasilkan, kata Yustinar, diserap oleh PT PLN dan didistribusikan melalui sistem interkoneksi kelistrikan Jawa Madura Bali (Jamali).

 

Kementerian ESDM dan IESR Gelar Sosialisasi PLTS Atap



Kementerian ESDM dan IESR Gelar Sosialisasi PLTS Atap: Tingkatkan Geliat Sektor Industri di Jabodetabek untuk Memanfaatkan Energi Terbarukan

Bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Sosialisasi dan Diskusi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap untuk sektor industri, 29 Januari 2020 lalu di Kota Bekasi, Jawa Barat. Acara ini diikuti oleh lebih dari 40 peserta yang berasal dari Bappeda, Pelaku Bisnis dan Kawasan Industri se-Jabodetabek.

Energi surya merupakan jenis energi terbarukan yang mudah untuk diaplikasikan dalam beragam skala dan di berbagai lokasi, baik terpasang di atap atau pun di atas tanah (ground-mounted). Desain sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang bersifat modular membuatnya mudah untuk disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, mulai dari konsumen rumah tangga, bisnis, pemerintah, dan industri. Salah satu sektor yang dapat memanfaatkan PLTS atap dengan optimal adalah sektor industri, mengingat sektor ini sangat energy-intensive dengan profil beban yang cukup merata sepanjang hari. Dengan memasang PLTS atap, pelaku industri dapat menggantikan kebutuhan listriknya, utamanya di siang hari, yang sebelumnya bersumber dari energi fosil menjadi energi terbarukan.

Dalam sambutannya, Kasubdit Implementasi Pengembangan Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Dirjen EBTKE, Pandu Ismutadi, menyampaikan pentingnya pemanfaatan energi baru dan terbarukan sebagai aksi mitigasi perubahan iklim yang telah menjadi komitmen pemerintah semenjak meratifikasi Paris Agreement. Pemerintah sendiri memiliki target 23% bauran EBT untuk energi primer di tahun 2025, namun hingga semester 1 2019, realisasinya baru mencapai 8,85%. Pandu juga menyampaikan bahwa minat masyarakat, termasuk industri, terhadap PLTS atap kian meningkat setiap tahunnya sehingga pemerintah pun berusaha mengakomodasi hal tersebut dengan menerbitkan regulasi yang mendukung. Harapannya, peran strategis industri menuju pemanfaatan energi terbarukan yang mandiri dan berkelanjutan akan meningkatkan profit perusahaan dan berperan serta dalam kemandirian energi nasional.

Acara sosialisasi dan diskusi ini dibagi menjadi dua sesi: sesi pertama menghadirkan Mustaba Ari Suryoko dari Direktorat Aneka Energi (Ditjen EBTKE) KESDM, Sigit Cahyo Astoro dari Ditjen Ketenagalistrikan KESDM, dan Pratiwi dari PLN Jawa Barat; sedangkan sesi kedua menghadirkan Fabby Tumiwa dari IESR dan Stevan Andrianus dari Danone.

Diskusi pada sesi pertama menekankan pada regulasi yang langsung menyasar pelaku industri, seperti Permen ESDM No. 13/2019 dan No. 16/2019 sebagai revisi Permen ESDM No. 49/2018 yang mengubah persyaratan terkait Sertifikat Laik Operasi (SLO), Izin Operasi (IO), capacity charge, dan emergency charge; guna mendorong pemanfaatan PLTS atap secara masif di sektor industri. Sesi ini juga membahas lebih detail mengenai prosedur dan persyaratan pemasangan PLTS atap serta simulasi pengurangan tagihan PLN untuk pelanggan PLN yang memasang PLTS atap. Dalam diskusi, beragam pertanyaan muncul dari para pelaku industri seputar kendala-kendala yang dihadapi terkait prosedur dan implementasi di lapangan yang berhubungan dengan kewenangan PLN pusat dan regional, seperti kendala penyediaan kWh meter, SLO, dan kapasitas pembangkit yang dikenakan capacity charge. Menanggapi hal tersebut, perwakilan KESDM maupun PLN mengatakan bahwa permen yang sudah dikeluarkan dan peraturan turunan dari Direksi PLN sudah ada; tantangan di lapangan mencakup pemahaman dan kesiapan PLN regional untuk pelaksanaannya karena sistem PLTS atap ini adalah sesuatu yang baru.

Dalam sesi berikutnya yang diisi oleh pihak non-pemerintah, yaitu IESR dan Danone, pembahasan terfokus pada potensi energi surya yang sangat besar di Indonesia namun belum dioptimalkan, berbagai program dan strategi yang dapat diimplementasikan untuk mempercepat pengembangan energi surya seperti program Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA), serta pengalaman langsung pelaku industri yang sudah menggunakan PLTS Atap.

“Indonesia memiliki ribuan industri dan lebih banyak lagi bangunan, dan karenanya memiliki potensi pemanfaatan PLTS atap yang tinggi. Karenanya sejak 2017, IESR bersama dengan beberapa pihak, di antaranya Kementerian ESDM, BPPT, Kemenperin, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), dan Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI) menginisiasi Gerakan Nasional Sejuta Atap (GNSSA) yang bertujuan untuk mendorong penetrasi energi surya hingga 1 GW pada tahun 2020; yang aaat ini baru mencapai 150 MW,” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyampaikan dalam paparannya.

“Sektor rumah tangga yang menggunakan PLTS atap hingga saat ini mencapai 1.700 pelanggan. Minat dari sektor industri baru menggeliat dalam 3 bulan terakhir setelah ada revisi dari Permen ESDM No. 49/2018 yang tertuang dalam Permen ESDM No. 16/2019,” lanjut Fabby.

Dalam sesi diskusi, ketertarikan peserta tertuju pada model bisnis untuk pelaku industri dalam menggunakan PLTS yang kemudian ditanggapi oleh Stevan Andrianus, Sr. Technovation Manager (Danone Aqua), yang menjelaskan bahwa model bisnis yang digunakan pelaku industri dapat berupa modal sendiri atau dengan skema leasing (sewa). Model bisnis ini tentu disesuaikan dengan kemampuan finansial perusahaan dan prosedur internal, misalnya kepemilikan aset. Selain model bisnis, penanganan limbah panel surya juga menjadi topik pembahasan pada sesi ini. Fabby menjelaskan bahwa beberapa negara sudah memiliki fasilitas pengolahan limbah elektronik dari modul surya. Meski saat ini untuk konteks Indonesia hal ini belum menjadi isu, Fabby menekankan bahwa pengolahan limbah yang berkelanjutan juga harus menjadi pertimbangan yang serius.

Untuk mendorong pencapaian target GNSSA dan target pengembangan energi terbarukan sesuai Kebijakan Energi nasional, IESR juga merekomendasikan strategi pengembangan ekosistem Program Surya Nasional kepada pemangku kebijakan, meliputi dukungan kebijakan dan regulasi (misalnya sertifikat energi terbarukan), penguatan kelembagaan pihak-pihak terkait, desain dan standarisasi produk, pengujian produk dan labelling, pengembangan kapasitas dan pelatihan, penjangkauan dan peningkatan kesadaran masyarakat, serta mekanisme pembiayaan yang bervariasi untuk berbagai sektor.

## 

Materi presentasi dapat diunduh di: