Air Berdaya Listrik di Desa Singapura

Palembang, 27 Februari 2024 Gemuruh arus Sungai Endikat yang mengalir deras dan cuaca mendung menyambut kedatangan rombongan Jelajah Energi Sumatera Selatan di muara Sungai Cawang, yang juga dikenal sebagai Muara Endikat, di Desa Singapura, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Wilayah ini tidak hanya menawarkan keindahan alamnya yang memukau, tetapi juga menyimpan potensi besar dalam penyediaan energi listrik bagi penduduk setempat.

Dengan jarak sekitar 1 hingga 1,5 jam perjalanan dari Kota Pagar Alam, rombongan Jelajah Energi Sumatera Selatan tiba di PLTMH Green Lahat. Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) ini telah beroperasi sejak tahun 2015. PLTMH Green Lahat memiliki kapasitas produksi energi listrik sebesar 3×3,3 Megawatt (MW), yang berarti total kapasitasnya mencapai 9,9 MW. 

“Dari total energi yang dihasilkan, sebanyak 7 MW dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Kota Pagar Alam, yang merupakan sekitar 70% dari total produksi. Sementara sisanya, sebesar 30%, didistribusikan ke Kabupaten Lahat,” ujar Plant Manager PLTMH Green Lahat, Kastiono. 

Bersebelahan dengan PLTMH Green Lahat, juga telah dibangun PLTMH Endikat (sama-sama di bawah perusahaan induk PT Manggala Gita Karya) dengan kapasitas 3 x 2,67 MW yang beroperasi pada 2022. Kedua produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) itu memanfaatkan aliran Sungai Endikat untuk menghasilkan energi listrik yang dijual ke PLN hingga nanti dimanfaatkan masyarakat.

Kastiono memaparkan, sebelum PLTMH dibangun, warga sekitar pembangkit, baik yang masuk wilayah Kota Pagaralam maupun Kabupaten Lahat, memang kerap mengalami penurunan tegangan listrik. Rendahnya kualitas kelistrikan itu dipengaruhi, antara lain, oleh lokasi yang terlalu jauh dari gardu induk sehingga tegangan listrik menjadi tak stabil. Lebih lanjut, Kastiono mengakui, produksi listrik dari PLTMH Green Lahat tergantung dari kondisi di sekitar hulu sungai. 

”Yang utama penghijauan di hulunya. Semua perlu kontrol serta tak ada pembalakan liar, tetapi kewenangan menjaga tutupan hutan pada daerah aliran sungai, kan, juga melibatkan instansi lain,” katanya.

Rizqi Mahfud Prasetyo, Koordinator Proyek Sub Nasional, Program Akses Energi Berkelanjutan,IESR menjelaskan menurut kajian IESR, Indonesia memiliki potensi PLTM/MH mencapai 27,8 GW, di mana sebesar 287,7 MW terdapat di Sumatera Selatan. 

“Selain dapat meningkatkan bauran energi terbarukan pada listrik PLN. PLTM dapat meningkatkan kualitas akses energi masyarakat yang mungkin belum terjangkau oleh jaringan PLN,” ujar Rizqi.

Rizqi juga menambahkan bahwa kondisi geografi dan topografi sebagian wilayah Indonesia yang berkontur memungkinkan adanya aliran sungai dan terjunan sungai. Aliran sungai memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik, salah satunya di PLTM Green Lahat yang memanfaatkan aliran sungai Endikat.

Keberadaan PLTMH Green Lahat dan PLTMH Endikat membawa harapan bagi pemukiman di Sumatera Selatan, tidak hanya dalam penyediaan energi listrik yang andal, tetapi juga dalam memperkuat infrastruktur dan perekonomian lokal. Dengan berjalannya waktu, diharapkan pembangkit listrik tenaga mikrohidro ini dapat terus memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Tantangan Ketenagalistrikan Indonesia, Bagaimana Menanggulangi Kelebihan Pasokan Listrik?

Fabby Tumiwa di Kompas Bisnis dengan topik ‘PLN Kelebihan Listrik, Negara Jangan Sampai Rugi’ pada Rabu (11/10/2023)

Jakarta, 11 Oktober 2023 –  Indonesia, salah satu negara berkembang terbesar di dunia, tengah menghadapi tantangan dalam sektor ketenagalistrikan. Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang bertanggung jawab atas pasokan listrik, kini dilanda kelebihan pasokan listrik (oversupply). Beberapa faktor kompleks telah berkontribusi pada situasi tersebut di antaranya megaproyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara sebesar 35 gigawatt, yang diumumkan pada tahun 2015. Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa dalam program acara Kompas Bisnis dengan topik ‘PLN Kelebihan Listrik, Negara Jangan Sampai Rugi’ pada Rabu (11/10/2023).

Fabby Tumiwa memaparkan, PLN memiliki perencanaan 10 tahun melalui proyeksi kelistrikan dan besaran kapasitas pembangkit yang harus dibangun. Berkaca dari penyediaan listrik di Indonesia, kata Fabby, sebelum 2014 pasokan listrik mengalami defisit karena pembangunan listriknya tertinggal dibandingkan laju pertumbuhan. Oleh karena itu, terdapat program 35 ribu gigawatt (GW) pada 2015 dengan target kebutuhan ekonomi akan mencapai 7% berdasarkan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) sehingga kebutuhan listrik diproyeksikan tumbuh sekitar 8%. 

“Di dalam perjalanannya, sejak 2015 pertumbuhan ekonomi kita tidak pernah mencapai 7%, rata-rata sekitar 5%. Sementara itu, pertumbuhan listrik sampai tahun 2019 tidak pernah mencapai 5% per tahun, hal ini menjadi persoalan karena implementasi dari program 35 GW sudah berjalan, tetapi nyatanya proyeksi tersebut tidak terlalu tepat,” ujar Fabby Tumiwa.

Lebih lanjut, Fabby menegaskan, kondisi oversupply tersebut menjadi beban karena kontrak listrik PLN menerapkan skema take or pay. Artinya, listrik yang dipakai atau tidak yang diproduksi produsen listrik swasta (IPP), PLN tetap harus membayar sesuai kontrak.  Menurut Fabby, untuk mengatasi kelebihan pasokan listrik, dari sisi supply telah mulai teratasi. Hal ini bisa dilihat dari rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030 di mana ada lebih dari 13 GW kapasitas pembangkit yang telah dipangkas. Untuk menghindari kasus serupa, ujar Fabby, IESR telah merekomendasikan agar dari kapasitas pembangkit sekitar 3 GW yang telah ada di pipeline berpotensi untuk dihentikan. 

Fabby Tumiwa
Fabby Tumiwa di Kompas Bisnis dengan topik ‘PLN Kelebihan Listrik, Negara Jangan Sampai Rugi’ pada Rabu (11/10/2023)

“Informasi dari PLN, setiap 1 GW PLN bisa rugi sekitar Rp3 triliun, namun demikian setiap pembangkit memiliki kontrak yang berbeda.  Memang tidak ada cara lain untuk menyerap kelebihan listrik, kita harus menaikkan permintaan listrik. Permintaan kenaikan listrik pada 2022 terlihat sudah mulai tinggi, sekitar 5,5%. Namun demikian, kita perlu mengejar dengan pertumbuhan di atas 7% melalui permintaan listrik dari rumah tangga maupun industri,” tegas Fabby. 

Fabby menjelaskan, kelebihan listrik terbesar di Sumatera dan Jawa, menyerap konsumsi listrik lebih dari 90% secara nasional. Sebagian besar di Jawa, rasio elektrifikasi dengan rata-rata 100%. Tetapi, terdapat kesenjangan rasio elektrifikasi di bagian Indonesia bagian timur seperti NTT, NTB dan Papua.

“Yang sekarang terjadi rasio elektrifikasi belum 100% di luar Jawa, sedangkan kelebihan listriknya di Jawa. Persoalannya, bukan sekadar kapasitas pembangkit tetapi juga pembangunan jaringan listrik ke daerah pelosok yang cukup mahal. Sebagai gambaran, untuk memberikan akses listrik ke satu rumah di daerah 3T maka diperlukan antara Rp10 juta – Rp100 juta namun daya beli rumah tangga cukup rendah,” ujar Fabby.

 

Integrasi Kapasitas Energi Terbarukan Lebih Besar Memerlukan Reformasi Sistem Energi

press release

Jakarta, 19 September 2023 – Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Indonesia melakukan reformasi sistem ketenagalistrikan yang mampu mengintegrasikan energi terbarukan, terutama surya dan angin atau yang lebih dikenal sebagai Variable Renewable Energy (VRE) atau variabel energi terbarukan, dengan kapasitas yang lebih besar melalui pengoperasian sistem ketenagalistrikan yang fleksibel, memperkuat kapasitas perkiraan (forecasting) VRE dan revitalisasi infrastruktur jaringan. 

Setidaknya ada tiga hal kunci yang perlu dipertimbangkan. Pertama, insentif bagi pemain yang terlibat di dalam pengoperasian sistem tenaga listrik yang fleksibel. Kedua, transparansi di dalam proses pengadaan, baik itu pembangkit energi terbarukan maupun infrastruktur jaringan. Ketiga, reformasi regulasi yang dapat mengakomodasi pengoperasian sistem ketenagalistrikan yang fleksibel serta mendorong adopsi energi terbarukan yang lebih besar.

Peluang untuk mereformasi sistem ketenagalistrikan Indonesia dengan lebih banyak kapasitas energi terbarukan perlu dukungan investasi yang mumpuni pula. Direktur Hilirisasi Mineral dan Batubara, Kementerian Investasi dan BKPM RI, Hasyim Daeng Barang, mengatakan minat investor terhadap pengembangan energi terbarukan di Indonesia mulai terbangun.  Untuk itu, pihaknya berupaya menjembatani kebutuhan investor, khususnya terkait inisiasi pengembangan proyek energi baru terbarukan dengan melakukan koordinasi dan menghubungkan pihak investor dengan pihak yang berkepentingan terkait.

“Kementerian Investasi/BKPM juga berupaya untuk memberikan informasi yang komprehensif kepada investor melalui penyusunan penawaran proyek yang dapat diinvestasi (Investment Project Ready to Offer) dengan keluaran berupa dokumen pra feasibility study terkait proyek strategis di daerah,” jelas Hasyim dalam pelaksanaan hari-ke 2, Indonesia Energy Transition Dialogue 2023 pada Selasa (19/9/23).

Selain itu, BKPM menilai bahwa disamping mendorong investasi pada sektor potensial/prioritas, urgensi keberlanjutan tetap merupakan tanggung jawab seluruh sektor perekonomian.

Di dalam presentasinya, Senior Advisor Programme Manager International Energy Agency (IEA), Michael Waldron, mengenalkan enam tahapan integrasi variabel energi terbarukan di dalam sistem ketenagalistrikan. Menurut Michael, Indonesia, dengan bauran variabel energi terbarukan-nya yang saat ini masih berada di bawah 1%, berada di dalam tahap satu dari integrasi variabel energi terbarukan. Hal ini berarti pengoperasian variabel energi terbarukan masih memberikan dampak yang sangat minor terhadap sistem ketenagalistrikan. Namun, perencanaan ke depannya perlu tetap mempertimbangkan bauran variabel energi terbarukan yang lebih tinggi, apalagi biaya pembangkitan variabel energi terbarukan memiliki tren yang semakin menurun selama satu dekade terakhir.

Menyoal harga sistem ketenagalistrikan dan biaya investasi di Indonesia,  Michael menilai masih berada di atas harga yang ditetapkan oleh pasar internasional. Hal ini membuat keekonomian pembangunan energi terbarukan tidak cukup menarik di Indonesia. Ia mendorong agar Indonesia menurunkan harga melalui reformasi kontrak dan operasional dalam sistem tenaga listrik untuk menarik lebih banyak investasi serta membangun integrasi jaringan listrik antar pulau juga penting bagi Indonesia yang menghubungkan sumber energi terbarukan dengan pusat beban atau permintaan energi. Reformasi kontrak dan operasional, ia menambahkan, juga perlu menyasar pembangkit listrik konvensional, seperti PLTU batubara, yang sebetulnya dapat berperan di dalam hal pengoperasian sistem ketenagalistrikan yang fleksibel.

Menurutnya, kemajuan interkoneksi di ASEAN serta pengoperasian sistem energi yang fleksibel di Indonesia akan mempercepat penurunan emisi dan meningkatkan penghematan biaya. 

“Sistem energi Indonesia dapat mempersiapkan porsi energi terbarukan yang lebih besar melalui penerapan kontrak baru, memberikan insentif untuk investasi di jaringan listrik, mengembangkan strategi fleksibilitas sistem, serta mengadaptasi perencanaan dan operasi jaringan listrik untuk memaksimalkan porsi variasi energi terbarukan dan menetapkan visi untuk jaringan listrik pintar,” ungkap Michael.

General Manager PLN Unit Induk Pusat Pengatur Beban Jawa, Madura, dan Bali (PLN UIP2B Jamali), Munawwar Furqan, mengungkapkan pembangkit dengan variasi energi terbarukan saat ini berlokasi di Sulawesi, terdiri dari 5 pembangkit energi terbarukan dengan total 170 MW, di antaranya Likupang SPP 15 MW, Sumulata SPP (2 MW), Sidrap WPP kapasitas 77 MW, Tolo (Jeneponto) kapasitas 66 MW. Namun demikian, Munawwar menyebutkan pihaknya telah mengidentifikasi beberapa tantangan dari pengoperasian sistem energi yang mengakomodasi variasi energi terbarukan, di antaranya sifat intermitensi energi terbarukan yang berpengaruh terhadap sistem, keandalan dan frekuensi yang berubah-ubah.

“Beberapa strategi yang dilakukan untuk mengendalikan intermitensi variasi energi terbarukan seperti merevisi kode jaringan (grid code) untuk bisa diterapkan bagi pengguna jaringan, prakiraan dan pengurangan beban (forecasting and load curtailment) untuk kestabilan sistem, serta memasang sistem penyimpanan energi baterai. Kapasitas perkiraan menjadi hal penting untuk pengoperasian pembangkit dengan variasi energi terbarukan agar bisa mengatur variabilitas serta mengantisipasinya,” jelasnya. 

Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, menyebut pihak terkait perlu menginventarisasi data perkiraan cuaca sehingga dapat membuat perkiraan (forecasting) yang lebih akurat dan perencanaan investasi pembangkit energi terbarukan yang lebih efisien. 

“Kolaborasi dengan pihak lain seperti BMKG untuk perkiraan cuaca penting dan potensial. Aktual kondisi cuaca di masing-masing tempat harus dilakukan. Ketersediaan data perkiraan cuaca, radiasi surya untuk publik penting karena akan bermanfaat dan menguntungkan banyak pihak. Data yang akurat menjadi basis fleksibilitas sistem sehingga bisa melihat kebutuhan baterai, variasi energi terbarukan dan lain-lain,” sebut Deon.

Menyoroti penyimpanan energi untuk mendukung integrasi energi terbarukan, Indonesia melalui Indonesia Battery Corporation (IBC) juga semakin serius pada rencana Battery Energy Storage System (BESS) atau teknologi untuk menyimpan energi listrik dengan menggunakan baterai khusus. BESS akan dapat menyimpan energi berlebih yang didapat dari sistem energi baru terbarukan untuk menyuplai beban ketika sumber energi terbarukan tidak dapat menghasilkan energi.

“Ada banyak faktor yang membuat proyek BESS berhasil, mulai dari terkait teknologi, daya saing, harga, inovasi dan pertumbuhan pasar. Harga baterai terus turun saat ini diperkirakan di bawah US$200/kWh dan harga perkiraan terus menurun, jadi kita optimis pembangunan BESS menjadi momen tepat bagi masa depan Indonesia,” sebut VP Business Development Indonesia Battery Corporation (IBC), Bayu Yudhi Hermawan.

IBC sendiri membangun industri terintegrasi dari hulu hingga hilir untuk memproduksi sel baterai untuk kendaraan listrik baik mobil dan motor. Indonesia memiliki potensi besar sebagai produsen nikel terbesar di dunia, yang merupakan bahan baku utama untuk baterai kendaraan listrik. 

“Untuk itu, saat ini IBC menjalankan proyek berbasis nikel, utamanya untuk sisi hilir yakni ekosistem kendaraan listrik dan baterai. Berkaitan investasi kapabilitas, kita yakin dapat menjadi negara yang bisa bersaing dengan negara lain. Sumber daya kita nomor satu dunia terkait cadangan dan produsen nikel,” sebut Bayu.

CNBC | ASEAN Bakal Terang Benderang di 2040

Perbandingan jumlah pelanggan rumah tangga berlistrik dengan jumlah rumah tangga total atau yang dikenal sebagai rasio elektrifikasi khususnya di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) telah mengalami kenaikan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Baca selengkapnya di CNBC.

Tantangan dan Peluang: Mendorong Pemerataan Akses Listrik di Indonesia

Jakarta, 22 Agustus 2023 –  Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan berbagai kondisi geografis dan demografis, menghadapi tantangan yang kompleks dalam upaya mewujudkan pemerataan akses listrik bagi seluruh penduduknya. Meskipun sudah ada kemajuan yang signifikan dalam sektor energi selama beberapa tahun terakhir, masih banyak daerah terpencil dan pedalaman yang belum terjangkau oleh jaringan listrik nasional. Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menjembatani kesenjangan akses listrik guna memberikan manfaat ekonomi dan sosial kepada semua warga negara.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR memaparkan, pemerataan akses listrik dan kualitas listrik sesuai dengan kebijakan energi nasional yaitu PP 79 Tahun 2014, tertulis dengan jelas bahwa kebijakan energi nasional punya tujuan untuk menciptakan ketahanan dan kemandirian energi nasional. Salah satu prioritasnya dalam KEN tersebut yaitu memprioritaskan perkembangan energi, pemanfaatan sumber daya yang ada di dalam negeri untuk masyarakat atau pihak yang belum mendapatkan akses energi, baik itu listrik dan lainnya. 

“Untuk itu, kita memerlukan sebuah strategi yang terbukti ampuh. Misalnya saja pengembangan sistem isolated off grid di Afrika, sistem ini tidak terhubung dengan jaringan besar namun dibangun khusus untuk melistriki wilayah tertentu, memanfaatkan energi terbarukan yang tersedia di daerah tersebut. Meski demikian, strategi ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan.  Pada dasarnya akses listrik seharusnya memiliki semangatnya tidak hanya memberikan akses pada listrik, tetapi juga bagaimana akses listrik bisa memberikan kesempatan bagi masyarakat yang mendapatkan aksesnya untuk memperbaiki kualitas hidup serta meningkatkan perekonomian di daerah,” tegas Deon Arinaldo dalam webinar Road to IETD: Transisi Energi dalam Pemerataan Elektrifikasi Nasional.  

Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR menuturkan, rasio elektrifikasi tidak mampu menjawab pertanyaan terkait aksesibilitas, keandalan, serta kapasitas dan kualitas. Untuk itu, perlu menggunakan Multi-Tier Framework (MTF), dimana merupakan sebuah spektrum kualitas layanan dari sudut pandang pengguna listrik (end-user)

“Misalnya saja, IESR telah melakukan asesmen MTF di daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan hasilnya masih terbatas di Tier 1-2, yaitu listrik tidak tersedia selama 24 jam dan terbatas. Sehingga diperlukan metode evaluasi yang bisa mengintegrasikan kualitas layanan listrik sebagai indikator kunci pencapaian terkait akses energi. Hal ini memerlukan koordinasi antar lembaga seperti Kementrian ESDM, PLN, Kemendesa, dan juga Pemda/Pemprov,” ujar Alvin. ‘

Berkaca dari hal tersebut, kata Alvin, IESR mencoba untuk mendorong paradigma Beyond 100%” dimana akses kelistrikan dan energi tidak hanya dilihat dari rasio elektrifikasi saja. Namun perlu adanya  perubahan paradigma penyediaan akses energi, yang tercermin dalam rencana pembangunan energi. Energi yang dimaksud adalah energi untuk pembangunan yang adil dan setara untuk semua kalangan.

Rachmat Mardiana, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika,Kementerian PPN/Bappenas menyatakan, dengan adanya keinginan Indonesia mencapai negara maju atau keluar dari middle income trap, mencukupi kebutuhan ketenagalistrikan juga merupakan tantangan dalam arah pengembangan wilayah yang ada di setiap pulau di Indonesia. Apabila melihat dari isu kewilayahan ketenagalistrikan, kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan tersebar menjadi tantangan untuk memberikan layanan ketenagalistrikan yang baik. Untuk itu, sejumlah upaya transformatif dalam ketenagalistrikan yang dapat dilakukan seperti percepatan transisi energi, reformasi subsidi, serta peningkatan efisiensi pemanfaatan tenaga listrik.

“Upaya dalam melakukan elektrifikasi di Indonesia juga tidak terlepas dari potensi energi terbarukan di Indonesia, seperti surya, hidro, bioenergi, bayu, panas bumi, dan juga laut. Hal ini juga didukung dengan adanya penurunan biaya investasi sehingga dapat diimplementasikan pada daerah terpencil.Diperlukan upaya yang kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, BUMN, dan para ahli untuk melakukan pemerataan elektrifikasi nasional. Bappenas bersama Asian Development Bank (ADB) telah menyusun suatu model untuk melistriki daerah timur Indonesia seperti Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara yang sumber datanya berasal dari citra satelit. Tujuan utamanya adalah mengurangi biaya investasi awal yang diperlukan,” papar Rahmat. 

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR mengatakan, berlistrik atau memiliki akses listrik menjadi layanan dasar bagi masyarakat untuk kesejahteraan. Untuk itu, definisi rasio elektrifikasi perlu diperbarui agar tidak ada lagi definisi beyond connection. Yang berarti berlistrik itu memiliki arti menerima listrik yang cukup untuk aktivitas sehari-hari, aktivitas produktif dan layanan dasar lainnya untuk mensejahterakan masyarakat. 

“Saat ini terdapat Perpres Nomor 11 Tahun 2023 yang memberikan kewenangan lebih banyak terhadap pemerintah daerah (Pemda), khususnya pengembangan energi terbarukan. Maka implementasi selanjutnya adalah desain program atau rancangan seperti apa yang cocok terhadap penyediaan energi terbarukan dengan wilayah setempat dalam mengupayakan akses listrik. Dengan desentralisasi, semua opsi sumber energi baik dari PLN, pemerintah pusat dan Pemda bisa dieksplorasi untuk meningkatkan kualitas sehingga diharapkan aksesnya bisa mudah, handal dan kualitasnya baik,” ucap Marlistya.

Lambas Richard Pasaribu, VP Pengembangan Lisdes dan Sistem Isolated PLN menjelaskan,  rasio elektrifikasi nasional mencapai 99,72 persen per Juni 2023. Tantangan dalam upaya pemerataan akses listrik di Indonesia di antaranya keterbatasan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan lainnya. Keterbatasan aksesibilitas di daerah terisolasi dan terpencil, umumnya berada di Indonesia bagian timur. Kadang kala tidak ada dermaga sehingga materialnya dibuang ke laut, kemudian dibawa oleh pekerja kontraktor listrik ke lokasi.

“Untuk itu, PLN bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan pemerintah daerah, khususnya di daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) bersinergi untuk mengembangkan infrastruktur wilayah serta rencana kerja pembangunan listrik pedesaan. Sinergi ini termasuk efisien karena pembangunan infrastruktur dasar tersebut berdampak pada penurunan biaya pembangunan infrastruktur kelistrikan, sehingga semakin banyak desa yang mendapatkan akses listrik,” ucap Lambas.

Sandra Winarsa, Manajer Proyek Energi Hijau (Sumba) Hivos menuturkan, dalam proses transisi energi dan adanya kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP), perlu didorong pemerataan akses listrik ke daerah. Selain itu, di tengah masyarakat yang telah mendapatkan akses kelistrikan, kualitasnya memprihatinkan karena sering mati. 

“Kami apresiasi program pemerintah dalam pemenuhan elektrifikasi tetapi prioritasisasi sepertinya over shadow dengan pengakhiran operasi PLTU batubara. Untuk itu, jangan sampai mereka yang belum mendapatkan ketidakadilan elektrifikasi ini masuk ke dalam jurang lagi. Namun demikian, saya belum melihat adanya prioritas dari JETP terhadap akses listrik. Dalam melakukan desentralisasi, diperlukan juga kesiapan Pemda untuk monitor dalam membantu kelembagaan yang lebih siap, serta kesiapan SDM untuk troubleshoot dalam hal teknis,” kata Sandra.