Energi Terbarukan Perlu Merajai Asia Tenggara

Jakarta, 27 Maret 2024– Asia Tenggara tergolong kawasan dengan perekonomian yang menduduki peringkat ke-5 terbesar di dunia pada 2022. Aktivitas ekonomi yang tinggi di kawasan Asia Tenggara, membuat proyeksi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan mencapai 60 persen pada 2050. Penurunan emisi kawasan akan berdampak signifikan terhadap upaya pengurangan emisi global. Sayangnya, upaya penurunan emisi dengan pemanfaatan energi terbarukan di Asia Tenggara belum sejalan dengan Persetujuan Paris untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Konferensi Internasional Revision 2024 di Tokyo (14/3) menyebutkan negara yang tergabung dalam ASEAN mempunyai target untuk mencapai bauran energi terbarukan di kawasan sebesar 23 persen pada 2025. Namun, menurutnya, target ini tidak selaras dengan Persetujuan Paris.

“Agar memenuhi Persetujuan Paris, bauran energi terbarukan harus mencapai 55 persen, dengan energi terbarukan variabel (variable renewable energy, VRE) berkontribusi sebesar 42 persen. Kecuali Vietnam, Kamboja, dan Filipina, negara-negara lain belum mencapai penetrasi energi terbarukan sebesar 5 persen. Kabar baiknya, pada tahun 2023, negara-negara ASEAN akan memiliki lebih dari 28 GW kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dan angin yang beroperasi, atau meningkat 20 persen dari kapasitas yang beroperasi sejak tahun lalu. Saat ini, kapasitas tersebut mencapai 9 persen dari total kapasitas listrik negara-negara ASEAN. Namun, agar negara-negara ASEAN dapat mencapai target tersebut, mereka perlu memasang lebih banyak energi terbarukan,” jelas Fabby.

Fabby melanjutkan, sumber daya energi terbarukan di Asia Tenggara tergolong melimpah , dengan 40-50 kali lebih besar dari kebutuhan energi tahun ini. Pemanfaatan PLTS terapung dapat menjadi salah satu pilihan strategis dalam dekarbonisasi sistem energi di kawasan. Ia mengurai, setidaknya terdapat potensi teknis PLTS terapung sebesar 134 hingga 278 GW untuk waduk, 343 hingga 768 GW untuk permukaan air alami seperti sungai, danau, laut. Potensi teknis ini bervariasi di setiap negara. Ia menilai, penghitungan yang rinci mengenai potensi teknis pasar dan ekonomi, serta  potensi tekno-ekonomi spesifik lokasi harus dilakukan untuk mengembangkan PLTS terapung.

Ia juga menyoroti kawasan Asia Tenggara perlu mempunyai kebijakan yang lebih ambisius, memberikan dukungan anggaran dan insentif yang kuat, dan menciptakan lebih banyak kebijakan yang menarik investasi. Investasi tahunan rata-rata dalam kapasitas energi terbarukan harus ditingkatkan hingga lima kali lipat menjadi USD 73 miliar per tahun.

Fabby menegaskan negara-negara di Asia Tenggara harus meningkatkan ambisi mereka untuk memenuhi target Persetujuan Paris. Sebagai langkah dekat, ASEAN perlu mencapai 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025, dan 40 persen pada 2030.

“Banyak kajian menunjukkan Asia Tenggara punya potensi energi terbarukan yang besar dan cukup untuk dekarbonisasi. Namun secara kebijakan dan aksi saat ini dinilai masih kurang untuk mencapai dekarbonisasi pada 2050.  Investasi yang sangat besar untuk energi terbarukan mengharuskan setiap negara untuk mereformasi kebijakan dan mengelola risiko yang terkait dengan proyek energi terbarukan, agar dapat menarik dan memobilisasi investor,” imbuh Fabby.

Lebih jauh, ia mendorong agar tidak meneruskan narasi yang menitikberatkan pada mempertahankan energi fosil sebagai pembangkit beban puncak (baseload), dan mengaitkannya dengan upaya menjaga ketahanan energi, serta mengesampingkan energi terbarukan. Menurutnya, narasi semacam ini justru mengganggu dan tidak sejalan dengan semangat Persetujuan Paris.

Kompas | Nilai Aksi Iklim Indonesia Masih Buruk

Aksi dan kebijakan iklim untuk pengurangan emisi di Indonesia dikategorikan sangat tidak mencukupi atau critically insufficient. Artinya, upaya untuk meredam pemanasan global yang dilakukan pemerintah masih jauh dari cukup. Terdapat kesenjangan yang jauh antara kebijakan sekarang dan tingkat emisi yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015, yakni 1,5 derajat celsius.

Baca selengkapnya di Kompas.

Kompas | Bukan Hanya Perbincangan Orang-orang Jakarta

Pada 8-11 Agustus 2023, Litbang Kompas menggelar jajak pendapat terkait transisi energi di Indonesia. Saat disodorkan pertanyaan apakah responden mengetahui jika Pemerintah Indonesia sedang gencar melakukan kegiatan transisi energi dari fosil ke energi terbarukan, sebanyak 65,7 persen menjawab tidak tahu. Namun, saat ditanya apakah responden tahu isu tentang pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim, sebanyak 52,8 persen menjawab tahu dan sisanya tidak tahu.

Baca selengkapnya di Kompas.

Aktivitasmu Menyumbang Pemanasan Global, Bagaimana Bisa?

Save the earth

Jakarta, 21 Desember 2022 – Terdapat 3.207 bencana alam di Indonesia terjadi sejak awal tahun 2022 sampai November 2022 lalu. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari jumlah tersebut, setidaknya 95 persennya merupakan bencana hidrometeorologi atau bencana akibat aktivitas cuaca, seperti banjir, tanah longsor dan cuaca ekstrem. Tak hanya itu, BNPB mencatat terdapat lebih dari 3.000 bencana terjadi sepanjang 2021, didominasi peristiwa hidrometeorologi, yang diperparah adanya fenomena La Nina (menurunnya suhu air laut di Samudra Pasifik). Bencana itu juga dipicu dampak perubahan iklim. 

Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menjelaskan, pemanasan global adalah naiknya panas suhu rata – rata permukaan bumi akibat meningkatnya kadar gas rumah kaca. Melansir laman resmi National Geographic,peningkatan suhu permukaan bumi tersebut dihasilkan oleh adanya radiasi sinar matahari menuju ke atmosfer bumi, lalu sebagian sinar ini berubah menjadi energi panas dalam bentuk sinar infra merah diserap oleh udara dan permukaan bumi. Sebagian sinar infra merah dipantulkan kembali ke atmosfer dan ditangkap oleh gas rumah kaca terutama berupa karbon dioksida, metana dan nitrogen oksida, yang menyebabkan suhu bumi meningkat.

Berdasarkan laporan terbaru United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), pemanasan global bisa sangat buruk pada 2100 jika perubahan iklim akibat tingginya emisi karbon bumi diabaikan.  Upaya penurunan emisi karbon global perlu dilakukan secara segera dan masif untuk mengatasinya. Terlebih Indonesia menduduki urutan kelima sebagai negara penghasil emisi karbon kumulatif terbanyak di dunia mencapai 102,562 GtCO2 pada tahun 2021 berdasarkan laporan Carbon Brief. Hal ini menunjukkan, Indonesia juga berperan terhadap perubahan lingkungan global.

Pemanasan global memberikan efek cukup berbahaya bagi makhluk hidup. Misalnya saja, pemanasan global membuat gletser mencair dan mengakibatkan daratan berubah menjadi laut karena volume air meningkat. Apabila pemanasan global terus berlangsung, bukan tak mungkin seluruh es di kutub akan mencair.  Studi yang dilakukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia memperkirakan bahwa setidaknya 115 pulau kecil di Indonesia berada di ambang tenggelam. Hal ini disebabkan oleh kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah. Organisasi penelitian dan advokasi Climate Central menghitung bahwa kenaikan permukaan laut setinggi satu meter akan membanjiri pantai utara pulau Jawa, salah satu pulau terpadat di dunia. Hal ini karena kemiringan dataran pantai yang rendah (antara 0 dan 20 derajat). Jika pemanasan global tak ditekan, manusia akan kesulitan mencari tempat tinggal apabila volume air terus meningkat.

Upaya mitigasi menjadi keniscayaan agar bumi ini tetap lestari. Langkah untuk memperlambat terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim di antaranya dengan meminimalkan aktivitas yang menyebabkan masalah tersebut. Untuk melakukan mitigasi, sebagai individu sebaiknya mengetahui aktivitas apa saja yang bisa berdampak terhadap pemanasan global. IESR meluncurkan Kalkulator Karbon Jejakkarbonku.id pada Agustus 2022 lalu. Kalkulator karbon Jejakkarbonku.id menyediakan penghitungan emisi dari 3 sektor seperti rumah tangga, makanan dan transportasi. Selain itu, IESR tetap mempertahankan fitur kompetisi untuk mendorong semangat menurunkan emisi lebih kuat. Peringkat tertinggi berarti emisi yang dihasilkan semakin kecil.