Road to Youth Climate Conference Webinar: Perubahan Iklim, Industri, dan Gaya Hidup


Tayangan Tunda


Latar Belakang

Dampak perubahan iklim telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan anak-anak dan pemuda. Studi yang dilakukan oleh Save the Children pada tahun 2020 menemukan bahwa anak-anak yang lahir pada tahun 2020 mengalami bencana sebanyak 3.4 kali lebih sering daripada kakek-nenek mereka yang lahir pada tahun 1960. Bencana tersebut melibatkan perubahan iklim seperti gelombang panas, kekeringan, kebakaran hutan, banjir, dan kegagalan panen, memberikan tekanan tambahan pada lingkungan yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perlindungan anak-anak. Studi lain yang dilakukan oleh UNICEF menyoroti bahwa perubahan iklim merupakan ancaman terbesar terhadap kesehatan, nutrisi, pendidikan, dan masa depan anak-anak. 

Di sisi lain, perkembangan sektor industri dalam beberapa dekade terakhir telah merubah gaya hidup masyarakat dari berbagai sisi. Mulai dari barang-barang elektronik hingga pakaian sehari-hari. Sayangnya, aktivitas produksi dan konsumsi yang tidak berwawasan lingkungan kerap kali memiliki dampak buruk terhadap perubahan iklim. Misalnya, penggunaan sumber daya alam yang berlebihan, deforestasi akibat aktivitas industri, serta berkembangnya tren fast fashion yang mendorong konsumsi yang tidak berkelanjutan. Bahkan, sektor industri sendiri telah menyumbang 25% dari emisi karbon global (UNEP, 2023). Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan dalam pola pikir dan perilaku sehari-hari, terutama generasi muda, untuk mengurangi dan memitigasi dampak perubahan iklim dari sektor industri dan gaya hidup.

Webinar ini bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana perubahan iklim disebabkan oleh industri dan gaya hidup masyarakat umum, termasuk yang dilakukan oleh orang muda. Melalui diskusi mendalam, diharapkan dapat tercipta pemahaman yang lebih baik mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi generasi muda dalam konteks perubahan iklim. Selain itu, webinar ini juga diarahkan untuk merumuskan solusi dan tindakan konkret yang dapat diambil oleh anak muda dalam membangun gaya hidup yang berkelanjutan serta merumuskan inovasi dalam industri untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Tujuan

  • Mendiskusikan dampak perubahan iklim pada sektor industri dan gaya hidup.
  • Mendiskusikan peran orang muda dalam menanggulangi dampak perubahan iklim dari gaya hidup.

 

 


Presentasi

 

Peran Anak Muda dalam Mendorong Arah Perkembangan Industri Indonesia yang Berkelanjutan – Faricha Hidayati

Peran-Anak-Muda-dalam-Mendorong-Arah-Perkembangan-Industri-Indonesia-yang-Berkelanjutan-Faricha-Hidayati

Download

Lemahnya Kebijakan dan Aksi Iklim Indonesia

Jakarta, 30 Januari 2024 – World Meteorological Organization (WMO) menobatkan tahun 2023 sebagai tahun terpanas. Catatan sejarah menunjukkan bumi terus mengalami peningkatan suhunya dari tahun ke tahun. Untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat para ahli telah merekomendasikan sejumlah aksi iklim, salah satunya untuk memastikan dunia mencapai puncak emisi global pada tahun 2030 dan harus turun pada tahun-tahun berikutnya. 

Penggunaan energi fosil menjadi salah satu kontributor emisi terbesar di dunia. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan Indonesia membutuhkan  aksi yang terukur dan riil untuk kita bertransisi dari energi fosil.

“Berdasarkan penilaian Climate Action Tracker (CAT), Indonesia tidak menunjukan penurunan emisi, bahkan mengalami kenaikan emisi pada tahun 2022 dan salah satu penyebabnya adalah peningkatan konsumsi batubara yang digunakan untuk hilirisasi. Rating Indonesia bahkan turun dari “highly insufficient” menjadi “critically insufficient”. Yang terpenting adalah langkah riil untuk akselerasi transisi pada dekade ini,” tegas Fabby.

Indonesia, sebagai salah satu 10 besar negara penghasil emisi di dunia justru mendapatkan catatan buruk dengan turunnya peringkat iklim Indonesia ke level terbawah menurut kerangka penilaian Climate Action Tracker (CAT).

Delima Ramadhani, Koordinator Proyek Climate Policy IESR, menyampaikan dalam peluncuran laporan Climate Action Tracker CAT, sepanjang tahun 2023 Indonesia menyampaikan sejumlah inisiasi dan kebijakan yang secara normatif mendukung adanya percepatan transisi energi, namun hal ini tidak berimplikasi pada upaya penurunan emisi.

“Rating Indonesia turun dari “highly insufficient ” menjadi “critically insufficient”. “Critically insufficient” berarti jika negara-negara memiliki komitmen iklim seperti Indonesia, laju pemanasan global akan ada di level 4 derajat,” kata Delima.

Mustaba Ari Suryoko, Analis Kebijakan Madya, Koordinator Pokja Penyiapan Program Aneka EBT, menanggapi bahwa penilaian terhadap upaya penurunan emisi menjadi i suatu pengingat bagi seluruh pihak untuk terus bekerja mencapai target penurunan emisi.

“Angka capaian adalah akumulasi dari berbagai variabel, maka kami berharap dalam perencanaan bukan hanya menentukan target yang ambisius namun juga harus dikerjakan upaya pencapaian,” katanya.

Anna Amalia, Fungsional Perencana Madya Bappenas, mengatakan bahwa untuk mengejar target iklim Indonesia yang lebih ambisius terdapat beberapa kesempatan.

“Pemerintah mulai bergerak progresif, dalam 20 tahun ke depan kita akan punya RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional-red) yang fokus pada penurunan emisi GRK, bagaimana kita mendorong pertumbuhan ekonomi melalui koridor yang rendah emisi dan tentu saja kebijakan lainnya akan mengikuti,” kata Anna.

Laporan tahunan Climate Transparency juga menyertakan Implementation Check untuk melihat efektivitas pelaksanaan kebijakan iklim.

Akbar Bagaskara, Analisis Sektor Ketenagalistrikan IESR, menjelaskan sektor ketenagalistrikan Indonesia ada pada kategori medium sebab implementasi kebijakan yang mendukung adanya transisi di sektor ketenagalistrikan belum berjalan dengan efektif.

“Secara historis, dalam lima tahun terakhir kita tidak mencapai target tahunan energi terbarukan. Perlu penguatan kebijakan untuk memperkuat ekosistem pendukung energi terbarukan Indonesia, serta pelibatan berbagai kelompok dalam proses perencanaan, procurement, hingga evaluasi,” jelas Akbar.

Yosi Amelia, Staff Program Hutan & Iklim, Yayasan Madani Berkelanjutan, menyoroti adanya ketidaksinkronan strategi lintas kementerian dan lembaga pemerintah yang menciptakan ketidakjelasan dokumen yang dijadikan pedoman. 

“Terdapat ketidaksinkronan antar dokumen misalnya tentang kuota deforestasi Indonesia. Dalam strategi FOLU Net Sink 2030, tidak ada lagi kuota deforestasi sementara pada E-NDC masih memberikan kuota deforestasi,” kata Yosi.

Mangrove untuk Masyarakat

Cirebon, 26 Januari 2024 – Kesunean Selatan merupakan salah satu daerah pesisir di wilayah Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Terletak di pesisir pantai, wilayah Kesunean Selatan ini mengalami ancaman berupa abrasi atau banjir rob. Menyadari hal tersebut, warga mulai menanam mangrove untuk menghalau abrasi tersebut. 

Kebutuhan untuk mempertahankan mangrove ini kurang berjalan mulus mengingat ada kebiasaan masyarakat setempat untuk menimbun sampah dan menjadikannya tanah timbul.  Tanah timbul adalah sebuah fenomena di mana warga dengan sengaja mengumpulkan sampah, kemudian menumpuk dan menimbunnya di pesisir hingga menjadi padat dan membentuk daratan baru untuk digunakan sebagai area bermukim.

Mengingat lokasinya yang ada di pesisir pantai, sejumlah warga yang tergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) mangrove RW 09 Kesunean Selatan melakukan berbagai upaya termasuk mengedukasi warga sekitar untuk tidak menimbun sampah dan membuat tanah timbul lagi di area sekitar hutan mangrove. Meskipun kesadaran masyarakat mulai terbangun dengan tidak lagi menimbun sampah, namun masih ada warga masyarakat yang menebang pohon mangrove untuk kayu bakar, dan menginjak pohon mangrove yang kecil saat akan melaut. 

Pepep Nurhadi, Ketua RW 09 Kesunean Selatan sekaligus pengurus Pokja Mangrove Kesunean berharap bahwa hutan mangrove Kesunean Selatan ini dapat bertahan bahkan berkembang.

“Kami berharap mangrove ini dapat berkembang menjadi semacam ekowisata sehingga masyarakat sekitar dapat secara langsung mendapat manfaatnya secara sosial ekonomi,” kata Pepep.

Untuk itu, pihak Pokja Mangrove Kesunean Selatan membuka diri pada kolaborasi dan asistensi dari berbagai pihak. Sejak tahun 2023, Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui komunitas Generasi Energi Bersih (GEB) melakukan observasi dan asesmen kolaborasi yang dapat dilakukan bersama warga Kesunean Selatan.

Setelah berdiskusi dengan masyarakat setempat, terdapat beberapa hal yang berhasil diidentifikasi yaitu penanaman bibit mangrove dan perawatannya, pembuatan mangrove track (semacam jembatan) supaya nelayan yang akan melaut tidak lagi menginjak bibit-bibit mangrove, juga peningkatan kapasitas warga sekitar melalui pelatihan batik ecoprint dengan pewarna alami utamanya mangrove. 

Untuk mengajak keterlibatan lebih banyak orang, Generasi Energi Bersih membuka donasi untuk pengembangan kawasan mangrove Kesunean Selatan supaya menjadi kawasan ekowisata melalui laman berikut ini.

Mencecar Komitmen Iklim Usai COP 28

Jakarta, 20 Desember 2023 – KTT Iklim COP 28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) telah berakhir pada Rabu (13/12/2023) siang, dengan menghasilkan beberapa kesepakatan diantaranya  menyerukan peralihan dari transisi bahan bakar fosil, serta meningkatkan kapasitas energi terbarukan global sebanyak tiga kali lipat. Selain itu, COP 28 berhasil menggalang pendanaan senilai USD 85 miliar serta 11 janji dan deklarasi yang berkomitmen terhadap aksi iklim. 

Sicha Alifa Makahekum, Staff Program Ekonomi Hijau, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai adanya berbagai kesepakatan tersebut sebaiknya diiringi dengan komitmen pendanaan yang kuat. Menurutnya, tanpa dukungan finansial yang memadai, pencapaian target-target tersebut mungkin akan sulit dilakukan. Pendanaan USD 85 miliar dari hasil COP 28 dapat menjadi langkah awal yang signifikan. Namun, perlu adanya komitmen lebih lanjut baik dari pemerintah maupun sektor swasta untuk memastikan bahwa angka tersebut tidak hanya menjadi angka nominal, tetapi benar-benar tersalurkan untuk mendukung aksi iklim. 

“Seiring kesepakatan tersebut, Indonesia sendiri juga memiliki target untuk mencapai 44% bauran energi terbarukan pada 2030 dalam kerangka Just Energy Transition Partnership (JETP). Pemerintah Indonesia perlu fokus juga untuk mengejar target JETP, melakukan reformasi kebijakan dan peningkatan komitmen pembuat kebijakan untuk mengejar target JETP,” ujar Sicha di X Space IESR dengan topik “After COP28, What’s Next?pada Rabu (20/12).

Arief Rosadi, Koordinator Proyek Diplomasi Iklim, IESR menyatakan, untuk pertama kalinya COP 28 membahas hasil dari Global Stocktake atau Inventarisasi Global. Dari penilaian tersebut, Indonesia tidak bisa mencapai target pada Persetujuan Paris 2015 dan perlu mengejar ketertinggalannya. 

“Indonesia perlu melakukan penguatan komitmennya melalui  second NDC yang akan lebih ambisius dan akan lebih selaras pada upaya-upaya untuk menjaga agar kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi tidak lebih dari 1,5°C. Saya berharap NDC terbaru nantinya dapat merefleksikan untuk mengejar target kapasitas energi terbarukan global sebanyak tiga kali lipat serta meningkatkan efisiensi energi juga serta mampu mengakomodir konsep just transition secara jelas,” papar Arief Rosadi.

Arief menekankan, second NDC juga perlu merefleksikan isu lainnya berkaitan dengan perubahan iklim di tingkat tapak. Misalnya saja, gender dan inklusi sosial, indikatornya harus terukur detail dan perlu membuat peta jalan yang selaras dari kebijakan iklim serta strateginya. Lebih lanjut, berkaitan dengan sektor energi, Arief menyatakan, diperlukan komunikasi yang intens di tingkat pemerintah nasional serta harmonisasi kebijakan yang sudah ada dengan dokumen kebijakan iklim terbaru. 

“Apabila kita melihat lima tahun terakhir, proses updating kebijakan iklim di Indonesia sangat cepat. Hanya saja, tantangannya yakni proses harmonisasi di tingkat pemerintah memerlukan waktu yang lebih banyak. Semua sektor terkait perubahan iklim pasti akan diarahkan untuk pemenuhan target NDC,” ujar Arief. 

Menjelang Pemilu 2024, Arief dan Sicha berharap agar calon presiden serta calon legislatif yang terpilihnya dapat meningkatkan urgensi dalam menangani perubahan iklim. Salah satunya dengan menggencarkan isu perubahan iklim dan transisi energi. 

“Polarisasi terhadap isu perubahan iklim iklim makin parah akibat efek ruang gema (echo chamber) dalam media sosial, di mana paparan informasi hanya menggemakan satu suara penyangkalan dan kebal koreksi dari penjelasan ilmiah. Selain itu, terkadang hanya kalangan tertentu saja yang membahasnya. Kita harus bisa membuat orang awam juga mengerti urgensi perubahan iklim dan transisi energi. Selain itu, kita juga perlu mengintensifkan pendekatan bilateral untuk melakukan dekarbonisasi, tidak hanya aktif di dalam forum internasional semata,” tegas keduanya. 

Aksi Komprehensif untuk Transisi Energi Indonesia

Jakarta, 12 Desember 2023 – Perjalanan transisi energi Indonesia pada tahun 2023 memasuki fase konsolidasi, yang berarti sejumlah kebijakan yang muncul dalam kurun waktu 2020-2023 perlu untuk disinkronisasi agar pelaksanaannya dapat mempercepat langkah menuju satu tujuan besar yaitu membatasi peningkatan suhu bumi pada level 1,5 derajat celcius sesuai Persetujuan Paris.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam media briefing (12/12) yang diselenggarakan oleh IESR secara daring menyatakan terdapat sejumlah kondisi pendukung (enabling condition) yang menentukan keberhasilan transisi energi.

“Ada 4 enabling condition supaya transisi energi sukses yaitu, kerangka kebijakan dan regulasi, dukungan pendanaan dan investasi, aplikasi teknologi, serta dampak sosial dan dukungan masyarakat,” kata Fabby.

Fabby juga menambahkan bahwa terdapat sejumlah inisiatif transisi energi sejak tahun 2020 seperti RUPTL 2021, kesepakatan Energy Transition Mechanism (ETM), hingga Just Energy Transition Partnership (JETP). Adanya berbagai kesepakatan ini baik mengingat hingga 2020, tidak ada aturan terkait transisi energi, namun yang paling penting adalah implementasi dari berbagai kebijakan tersebut.

Pintoko Aji, analis energi terbarukan IESR, menyampaikan bahwa transisi energi (Indonesia) harus dilakukan secara menyeluruh pada semua sektor tidak terbatas pada sektor ketenagalistrikan saja.

“Tujuan akhir (ultimate goal) dari transisi energi ini adalah penurunan emisi maka upaya transisi energinya harus menyeluruh tidak terbatas pada sektor energi saja. Industri dan transportasi misalnya juga perlu mulai digarap karena saat ini belum banyak kebijakan yang konkret (actionable) pada sektor tersebut,” kata Pintoko.

Yunus Saefulhak, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan, Dewan Energi Nasional (DEN), dalam forum yang sama juga menjelaskan bahwa saat ini pihaknya sedang mengerjakan revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) untuk menyelaraskan berbagai target nasional dengan perkembangan komitmen transisi energi secara internasional dan strateginya.

“Revisi ini urgent untuk dilakukan karena kebijakan energi perlu selaras dengan kebijakan perubahan iklim, juga telah tersusun grand strategi energi nasional sebagai masukan pembaruan KEN & RUEN,” kata Yunus.

Salah satu poin pembaruan KEN adalah bauran energi baru terbarukan di tahun 2025 mencapai 17 – 19 persen, dan tahun 2060 mencapai 70-72 persen.

Berbagai perkembangan kebijakan maupun target-target yang disesuaikan perlu untuk terus dipantau dan dikawal. Institute for Essential Services Reform melakukan pemantauan berbagai perkembangan di sektor energi Indonesia sejak tahun 2017 dan menuangkannya dalam laporan utama bertajuk Indonesia Energy Transition Outlook. Pada tahun 2023 ini IESR kembali akan dan meluncurkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2024, pada tanggal 15 Desember 2023. Ikuti peluncurannya baik secara langsung (kapasitas terbatas) maupun melalui daring dengan melakukan registrasi di s.id/IETO2024

Jakarta Post | Seruan Dukungan Indonesia di COP28 Menunjukkan Komitmen ‘Tidak Ada yang Baru’

Seruan Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk lebih banyak dukungan dari negara-negara kaya bagi negara-negara berkembang dalam mengatasi krisis iklim telah membuat para pencinta lingkungan tidak terkesan. Mereka mengkritik pidato tersebut karena “tidak memberikan sesuatu yang baru” meskipun dunia telah memberikan tekanan kepada negara-negara untuk melakukan lebih banyak hal untuk menghindari dampak terburuk dari krisis tersebut.

Baca selengkapnya di Jakarta Post.