Menuju COP 26: Perubahan iklim dan peran publik untuk melestarikan bumi

Siaran Tunda


Indonesia meratifikasi Persetujuan Paris pada 22 April 2016 melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 dan menyusun rencana penurunan emisi dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia telah berjanji untuk mengurangi emisinya sebesar 29% dengan usaha sendiri dan sebesar 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Indonesia juga menyatakan komitmen untuk mengatasi perubahan iklim dan mencegah kenaikan suhu di bawah 2°C pada rata-rata global atau 1,5° C di atas tingkat pra-industri. Selain itu agar dapat memenuhi target suhu yang ditetapkan dalam Persetujuan Paris, semua negara di dunia diharapkan agar dapat mencapai net zero emission di tahun 2050 termasuk Indonesia.

Dalam pemutakhiran NDC dan dokumen 2050 LTS-LCCR (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience), Indonesia menyatakan baru akan mencapai net zero emission di tahun 2060. Hal ini menunjukkan Indonesia akan mundur 10 tahun dari target netral karbon yang telah ditetapkan oleh Perjanjian Paris. Berdasarkan laporan IPCC Sixth Assessment Report (AR-6), kesempatan untuk menstabilkan iklim menjadi semakin sempit. Hal ini terlihat dari beberapa dampak krisis iklim yang sering terjadi. Peningkatan kejadian cuaca ekstrim mempengaruhi frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan  siklon tropis. Akibatnya sejumlah infrastruktur rusak dan menimbulkan kerugian baik secara fisik maupun secara finansial. Berdasarkan hasil studi Bappenas, pada tahun 2023 kerugian ekonomi dari dampak perubahan iklim mencapai 112.2 triliun rupiah.

Selain itu, adanya risiko iklim mulai menimbulkan ketimpangan dimana negara maju sebagai kontributor emisi terbesar mengalami dampak yang lebih sedikit dibandingkan negara berkembang yang menghasilkan emisi lebih rendah. Kenaikan muka air laut mengancam mata pencaharian mereka yang bergantung pada daerah pesisir. Kekeringan dapat menimbulkan kelangkaan pasokan makanan dan sulitnya mencari sumber air yang berakibat pada munculnya konflik sosial. Wanita, anak-anak, lansia dan disabilitas menjadi kelompok rentan yang akan mengalami dampak krisis iklim akibat kurangnya akses pendidikan, finansial dan informasi yang mereka dapatkan. Adanya pemahaman bahwa isu perubahan iklim merupakan konsep ‘dunia barat’ dan hanya merupakan konsumsi organisasi elit yang digerakkan oleh penggiat lingkungan dapat menghambat percepatan aksi mitigasi perubahan iklim.

Mendorong pemerintah untuk meningkatkan ambisi iklim diperlukan upaya dari seluruh masyarakat untuk meningkatkan aksi mitigasi dari pemerintah serta menambah kemawasan diri dari sisi masyarakat sendiri sehingga mewujudkan masyarakat yang berketahanan iklim. Selain itu, keterbukaan akses informasi juga penting bahwa partisipasi masyarakat terutama para pemimpin komunitas dan pemuka kelompok dalam melihat langkah konkrit untuk mendorong peningkatan ambisi yang lebih serius dari pemerintah Indonesia.

Peluncuran Daring Laporan Climate Transparency 2021

Dua minggu sebelum KTT G20 di Roma dan COP26 di Glasgow, Climate Transparency meluncurkan edisi 2021 dari tinjauan komprehensif tahunan aksi iklim G20 – Laporan Transparansi Iklim. Kami mengundang Anda ke acara peluncuran online internasional kami pada 14 Oktober 2021 pukul 14:00-15:00 CEST (19:00-20:00 WIB) yang akan dilakukan melalui Zoom. Selama acara, Anda akan memiliki kesempatan untuk mempelajari tentang temuan-temuan kunci dari aksi iklim G20 menuju net-zero serta perspektif regional dan politik.

14 Oktober 2021 (Kamis)
19:00-20:00 WIB

Dikembangkan oleh para ahli dari 16 organisasi mitra dari mayoritas negara-negara G20, laporan ini menginformasikan para pembuat kebijakan dan memicu diskursus nasional. Berkat informasi yang sebanding dan ringkas yang disajikan dalam bentuk yang menarik secara visual, Laporan Climate Transparency berfungsi sebagai referensi yang berguna bagi para pembuat keputusan dan aktor terkait.

Pembangunan Rendah Karbon: Kunci Mengatasi Darurat Iklim dan Krisis Ekonomi

Jakarta, 28 April 2021 – Pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Leader Summit on Climate Change yang menyatakan akan serius menangani isu krisis iklim dinilai kurang progresif oleh sejumlah pihak. Pasalnya, dalam pernyataan Presiden Jokowi menitikberatkan sektor FOLU (penggunaan dan alih guna lahan), sementara sektor energi yang akan menjadi penyumbang terbesar emisi di masa mendatang tidak dibahas sama sekali. Sementara, dalam kesempatan yang sama, sejumlah pemimpin negara juga menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi dan target untuk menjadi netral karbon. Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah merilis dokumen Strategi Jangka Panjang (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. yang menargetkan  bahwa Indonesia akan menjadi netral karbon pada tahun 2070. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa target ini dinilai kurang ambisius dan menunjukkan upaya pemerintah yang tampak setengah hati menangani krisis iklim.

Merespon hal ini, IESR melanjutkan seri diskusi #Sebelum2070 untuk melihat peluang Indonesia dalam mencapai netral karbon sebelum 2070. Webinar ini merupakan bagian kedua dari seri webinar #Sebelum2070 yang bertujuan mendorong pemerintah untuk membuat target kebijakan iklim yang lebih ambisius. Target Indonesia untuk menjadi netral karbon pada 2070 dinilai tidak sejalan dengan komitmen Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang ditandatangani Indonesia pada tahun 2015 dan diratifikasi melalui UU No. 16 tahun 2016. 

Menyiapkan Strategi Jangka Panjang untuk menuju karbon netral pada 2050 adalah kewajiban tiap-tiap negara yang menandatangani Paris Agreement. Hanya saja, dokumen LTS-LCCR 2050  yang dimiliki pemerintahmenjadi perdebatan dan menimbulkan kontroversisl bahkan di kalangan pemerintah sendiri. Hal ini terlihat dari inkonsistensi dokumen dan pemaparan antar lembaga pemerintahan mengenai target netral karbon Indonesia.

Sebagai contoh Kementerian Bappenas sebelumnya memaparkan tentang  Pembangunan Rendah Karbon di Indonesia (LCDI) yang menawarkan beberapa skenario jika Indonesia menjadi netral karbon pada 2045, 2050, 2060, atau 2070. Berbagai skenario ini menunjukkan korelasi target menjadi netral karbon yang diwujudkan melalui pembangunan rendah karbon dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Komitmen iklim haruslah diintegrasikan dengan program pembangunan nasional. Komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission telah tertuang dalam RPJMN,” jelas Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas. Dia juga menekankan bahwa tidak boleh ada trade-off antara pertumbuhan ekonomi dengan upaya penurunan emisi. Menurutnya, untuk mencapai netral karbon, diperlukan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, selain kerja sama dan komitmen multipihak, Indonesia perlu mendapat dukungan yang kuat dari negara internasional. 

Dari sektor energi, Agus Cahyono Adi, Kepala Pusdatin Kementerian ESDM menyatakan bahwa pihaknya tengah bersiap untuk mendukung Indonesia mencapai net-zero emission memenuhi kebutuhan energi dengan berbagai upaya. 

“Sektor energi menjadi sektor penting dalam rencana net zero emission karena kita sebagai salah satu kontributor emisi. Selain penurunan emisi kita juga sedang berusaha menaikkan demand (permintaan), peningkatan energi terbarukan dan penggunaan bahan bakar bersih berperan penting dalam meningkatkan permintaan energi,” ucap Agus. 

Namun demikian pihaknya belum berani mengumumkan target angka atau batas  waktu untuk menjadi netral karbon dari sektor energi.

“Untuk setiap pilihan yang akan kami ambil, kami perlu mempertimbangkan sisi ketersediaan (available), kemudahan untuk diakses (accessible), dan keterjangkauan (affordable),” jelasnya. 

Untuk mencapai netral karbon perlu upaya yang lebih inovatif terutama melalui pengembagan iklim investasi seperti melakukan perdagangan karbon (carbon trading). Kus Prisetiahadi, Asisten Deputi Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) memaparkan bahwa saat ini RPerpres untuk nilai ekonomi karbon sebagai pedoman penurunan emisi GRK dan pembangunan nasional yang rendah karbon  masih dirancang. Ada setidaknya 8 komponen pengaturan dalam RPerpres ini dan sektor kelautan menjadi salah satu sektor yang akan dikembangkan untuk upaya menuju mitigasi.  

Dian Afriyanie, peneliti senior Lokahita, menyoroti kurangnya integrasi lintas sektor dan lintas skala dalam pembuatan kebijakan. Hal ini berakibat pada produk kebijakan yang kerapkali  terasa tidak sinkron antara satu kementerian/lembaga dengan kementerian/lembaga lainnya. 

Lebih lanjut, Eka Melissa, Penasihat Senior The Partnership for Governance Reform (Kemitraan), menegaskan bahwa pembangunan rendah karbon mestinya dilihat sebagai suatu kesempatan untuk membangun negeri, menjadi ramah lingkungan sekaligus memenuhi target perjanjian internasional. 

“Saya melihat Bappenas sudah melihatnya begitu (sebagai suatu kesempatan) namun kementerian lain sepertinya masih memandangnya sebagai tantangan terbukti dari berbagai dokumen yang dihasilkan, pembangunan rendah karbon masih dilihat sebagai ganjalan dan tantangan,” tuturnya. 

Sinkronisasi sudut pandang ini harus pertama-tama dilakukan supaya produk kebijakan yang dihasilkan tiap-tiap lembaga mengarah pada satu muara yang sama. Jika sudut pandang masing-masing lembaga pada satu isu sudah berbeda, maka hasil akhir pada produk kebijakannya pasti tidak akan berjalan searah. 

Peran pemerintah daerah dinilai sangat penting dalam mencapai pembangunan dengan netral karbon. Andy Simarmata, Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) memberikan pandangan agar pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya dapat mengkampanyekan netral karbon sampai ke tingkat daerah sehingga dapat ditranslasikan ke dalam RPJMD. Insentif terhadap dunia usaha terutama pola perilaku usaha bisnis juga perlu diberikan selain mendorong teknologinya. 

Untuk komitmen iklim terutama target untuk menuju netral karbon, masing-masing pihak terkait perlu melihat situasi iklim saat ini sebagai suatu krisis yang memerlukan strategi penanganan yang cepat dan tepat. Semakin kita menunda penanganan krisis iklim ini, semakin besar biaya yang harus dikeluarkan dan semakin berat upaya yang harus dilakukan di kemudian hari. 

 

High Call to Global Leaders: Indonesia Civil Society View on Climate Crisis

Laporan Sintesis IPCC yang diterbitkan pada tahun 2018, secara gamlang menyatakan kita hanya punya waktu sekitar 10 tahun (2020-2030) untuk mentransformasikan pembangunan agar suhu permukaan bumi rata-rata samapai 2100 berada pada kisaran dibawah 2 derajat agar kehidupan terjaga keberlangsungannya.

Komitmen dari berbagai negara yang dituangkan dalam kesepakatan Paris masih jauh dari harapan. Laporan agregat global komitmen negara yang dilaporkan dalam Nationally Ditermined Contribution (NDC) berada di sekitar 3.3 derajat Celsius. Karenanya mobilisasi pemangku kepentingan termasuk publik menjadi penting untuk mendorong agar komitmen yang dijalankan ambisius dan progresif.

Pemerintah Indonesia sendiri telah menerapkan target penurunan emisi pada tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan 41% dengan dukungan internasional yang sudah disampaikan sebagai komitmen Nationally Ditermine Contributions (NDC) ke UNFCCC sebagai bagian dari kesepakatan global Paris Agreement (2015). Selanjutnya komitmen ini secara nasional diterjemahkan dalam kebijakan ke berbagai sektor baik energi, transportasi, industri, lahan dan kehutanan maupun pengelolaan limbah.

Dialog yang dilaksanakan oleh IESR, Yayasan Madani Berkelanjutan, ICLEI Indonesia, WALHI dan Thamrin School pada tanggal 9 April yang lalu menunjukkan bahwa aksi yang ambisius mungkin dilakukan oleh Indonesia sebelum tahun 2050. Berbagai kemungkinan yang digulirkan bersama dengan negara lainnya dan aktor-non negara untuk mentranformasikan ekonominya yang rendah karbon, inklusif berkeadilan dan berkelanjutan sejalan dengan apa yang telah disetujui dalam Persetujuan Paris.

Keseriusan dan keberpihakan akan urgensi terhadap krisis iklim dan berbagai solusinya ke berbagai pemangku kepentingan merupakan upaya yang harus dijalankan dan ditunjukan oleh para pemimpin dunia secara konsisten dengan muatan yang mudah dipahami oleh publik sekalipun. Hal ini penting karena pada akhirnya keberhasilan agar kita keluar dari krisis bergantung pada perubahan perilaku rendah emisi yang dijalankan secara konsisten baik pada tingkat kebijakan dan implementasinya, maupun dalam kegiatan keseharian warga.

Dialog ini dirancang secara komprehensif dengan alur yang runut yang ditujukan kepada seluruh pemimpin dunia dan para pemangku kepentingan, khususnya empat puluh pemimpin dunia yang akan hadir pada “Biden Summit”, 22-23 April 2021. Secara khusus TS Climate Summit ini bertujuan untuk:

(1). Menyampaikan pandangan dari masyarakat sipil Indonesia yang direpresentasikan oleh empat puluh representasi organisasi, komunitas dan individu masyarakat sipil Indonesia akan urgensi krisis iklim dan pentingnya keberpihakan pemimpin negara didunia.
(2). Mengajak pemangku kepentingan lainnya untuk menjadi bagian dari gerakan untuk terus menerus menyuarakan aspirasinya

PESERTA

Kegiatan ini akan menyasar para penentu kebijakan, peneliti, para praktisi baik lembaga pemerintah maupun non-pemerintah, dan individu yang tertarik pada isu krisis iklim dan berbagai kebijakan lainnya yang terkait.

LINGKUP & MEKANISME PEMBAHASAN

Dialog ini akan dilaksanakan dalam enam sesi yang akan dikelompokkan kepada dua kelompok pembahasan: pertama, pembahasan pandangan tentang pentingnya strategi jangka panjang (LTS) yang ambisius, progresif dan dilakukan melalui proses yang transparan dan inklusif kepada seluruh pemangku kepentingan. Pembahasan ini akan mengundang para narsumber yang mumpuni khususnya yang terkait dengan sektor energi, tataguna lahan, perubahan lahan dan kehutanan serta perkotaan.

Kedua, pernyataan dan komitmen dari aktor negara yang direpresentasikan oleh organisasi, komunitas dan individu dalam merespon krisis iklim. Pernyataan yang akan disampaikan menyangkut pandangan, komitmen dan harapan yang dilanjutkan dengan merespon pertanyaan yang dipandu oleh moderator.


AGENDA

Pengantar Summit

  1. Farhan Helmy, Thamrin School of Climate Change and Sustainability
  2. Kementerian Luar Negeri*
  3. Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia*
Sesi 1
PANDANGAN SOAL STRATEGI JANGKA PANJANG (LTS) & AMBISI

Narasumber :
1. Fabby Tumiwa (IESR)
2. Hariadi Kartodiharjo (Guru Besar Fakultas Kehutanan, IPB)
3. Nur Hidayati (WALHI)
4. Andri Wibisana (Guru Besar Fakultas Hukum UI)
5. Ahmad Arif (Kompas)
6. Dino Patti Djalal, TBC

Chair: Mas Achmad Santosa*


Sesi 2
PANDANGAN & PERNYATAN PERNYATAAN SIKAP TENTANG KRISIS IKLIM

Sesi ini akan menampilkan para narsum yang Akan memberikan pandangan dan pernyataan yang dikelompokkan kedalam berbagai isu dan pemangku kepentingan: kelompok rentan, sains keberlanjutan dan peran perguruan tinggi, resiliensi dan pengurangan resiko bencana, ekonomi, investas dan peran Aktor non-negara; Agama, keyakinan dan Kebudayaan.

(1). PERNYATAAN KELOMPOK RENTAN

Persetujuan Paris yang disepakati oleh seluruh pemimpin dunia pada pertemuan tinggkat tinggi ke-21 (COP) pada tahun 2015 menyatakan secara tegas upaya pengurangan emisi global pada batas yang tidak membahayakan harus juga menaruh perhatian pada kelompok rentan: anak-anak, perempuan, masyarakat adat/lokal, penyandang disabilitas dan berbagai kelompok lainnya. Kelompok rentan ini adalah yang paling terkena dampak karena keterbatasan akses ekonomi dan kapasitas dalam menghadapi berbagai disrupsi, termasuk perubahan iklim.

Narasumber:
1. Aden Muhamad (Aktivis Disabilitas)
2. Atnike Sigiro (Jurnal Perempuan)
3. Melisa Kowara (Representasi Extinction Rebellion)
4. Ina Juniarti (Bandung System Dynamic Boothcamp/BSDB)
5. Mina Setra (Masyarakat Adat Nusantara/AMAN)
6. Didi Yakub (phi-LAB for social movement and innovation)
7. Anis Hidayah (Migran Care), TBC

Chair: Sita Supomo (Thamrin School of Climate Change and Sustainability)
Co-chair: Pardi Pay, (Forest Watch Indonesia)*


(2). SAINS KEBERLANJUTAN & PERAN PERGURUAN TINGGI

Sains memegang penting didalam menjaga agar berbagai pengambilan kuputusan mengenai respon terhadap dampak maupun peluang adanya krisis iklim didasarkan kepada sains. Peran perguruan tinggi dan berbagai lembaga penelitian sangat signifikan dan strategik untuk terus menerus men

Narasumber:
1. Edvin Adrian (Anggota IPCC)
2. Jan Sopaheluwakan (LIPI)
3. Riyanti Jalante (ASEAN Secretariat)*
4. Perdinan (IPB University)
5. Hendra Gunawan (Guru Besar Matematika ITB)
6. Yanuar Nugroho (ALMI)*
7. Karlina Soepeli (STF Drikarya)*
8. Mia Siskawati*
9. Akhmad Riqqi (Geodesi dan Geomatik, ITB)

Chair: Giorgio Indarto
Co-Chair: Farah Sofa*


(3). RESILIENSI & PENGURANGAN RESIKO BENCANA

Akumulasi kegiatan pembangunan yang eksploitatif dan ekstraktif dimasa lalu telah berdampak secara perlahan dan pasti. Cuaca ekstrim, curah hujan dengan intensitas dan frekuensi yang tinggi, banjir, kekeringan, berbagi penyakit yang dipicu karena temperatur permukaan bumi yang berubah adalah diantara dampak yang sudah kita rasakan beberapa waktu ini. Aksi yang harus dilaksanakan semestinya merupakan suatu kesatuan yang komorehensif baik mitigasi, adaptasi maupun pembangunan kapasitas kelembagaan dan kesiapan warga terutama di kawasan perkotaan. Hampir lebih dari 50 persen penduduk tinggal di kawasan perkotaan, dan diperkirakan akan terus bertambah. Fokus kepada kawasan perkotaan merupakan intervensi yang strategik baik dalam penurunan emisi sekaligus membangun resiliensi.

Narasumber:
1. Andi Simarmata (IAP)
2. Ari Mochmad (ICLEI Indonesia)
3. Ahmad Safrudin (KPBB)
4. Gita Syahrani (Lingkar Temu Kabupaten)
5. Dian Afriyanie (Lokahita)
6. Irma Hidayana (Kawal Covid)*
7. Jonathan Lassa (Charles Darwin University)*
8. Laode Syarief (Kemitraan)

Chair: Eka Melisa (Thamrin School)
Co-chair: Torry Kuswandono (Perkumpulan Pikul)


(4). EKONOMI, INVESTASI & PERAN NON-STATE ACTORS

Berbagai riset yang kredibel menunjukkan bahwa kerugian ekonomi dan sosial sangatlah signifikan. Laporan WEF(2019) bahkan menempatkan dampak dari krisis iklim merupakan peringkat kedua dari sisi resiko global. Disisi lain, berbagai aksi melalui berbagai program dan proyek telah menunjukkan adanya harapan bahwa praktek ekonomi rendah emisi karbon memberikan peluang baru terhadap ekonomi yang punya daya tahan, tidak boros material dan berkelanjutan. Kerangka ekonomi yang menempatkan kegiatannya dalam batasan sumberdaya alam adalah suatu keniscayaan. Tentunya menjalankannya secara konsisten harus juga didukung oleh pengembangan berbagai instrumen pendanaan yang membuka ruang yang luas pada investasi hijau dan didukung oleh suatu tatakelola yang baik.

Narasumber :
1. Sonny Mumbunan (WRI Indonesia)
2. Timer Manurung, (Auriga)
3. Jaya Wahono (CPI)
4. Fitrian Andiansyah (IDH)
5. Heliyanti Hilman (Javara)*
6. Tiza Mafira (Diet Plastik)*
7. Misi Misiah (Kapal Perempuan)*
8. Urip Haryanto (Poros Nusantara)
9. Gema Minang (Setali Indonesia)
10. Tri mumpuni (IBEKA)*

Chairs: Jalal (TS Reader on Good Corporate Governance and Political Ecology)
Co-chairs: Anggalia Putri (Madani)*

(5). AGAMA, KEYAKINAN & KEBUDAYAAN

Peran agama dan keyakinan dalam mendorong literasi yang membumi tentang krisis iklim kepada umatnya sangatlah relevan dan penting agar berbagai norma yang diyakininya dapat dipraktekan dalam keseharian.

Narasumber:
1. Amanda Katili Niode (Climate Reality Indonesia)
2. Nana Firman (GreenFaith, USA)
3. Andri Hernandi (Komunitas Penghayat Aliran Kebatinan Perjalanan)
4. John Muhammad (Partai Hijau)*
5. Andar Manik (Jendela Ide)
6. The Habibie Center*

Chair: Victor Rembeth (Komisi PRB PGI)
Co-chairs: Hening Parlan (PP Aisyiah)

*To be confirmed

Pertumbuhan Rendah Karbon yang Berkualitas dan Peluang Indonesia untuk Mencapai Netral Karbon Sebelum 2070

Dapatkan informasi dari sisi pemangku kebijakan mengenai potensi Indonesia untuk memenuhi target Persetujuan Paris dan mencapai net zero emission di 2050 dan pertumbuhan rendah karbon yang berkualitas, serta mengundang seluruh pemangku kepentingan terkait agar dapat berpartisipasi dalam mengambil langkah nyata untuk mengatasi masalah perubahan iklim.

Panelis

1. Dr. Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
2. Ir. Agus Cahyono Adi, Kepala Pusdatin, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
3. Ir. Emma Rachmawati, M.Sc, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
4. Dr. Nani Hendiarti, M.Sc, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves)

Moderator

Lisa Wijayani (Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR)


Materi Paparan

IESR 2070 Tayang 2

Unduh

Final Dir LH-IESR-Net Zero Emission_V1

Unduh

28042021 Paparan Asdep PPIK - Kemenko Marves fix

Unduh

210428-- Komitmen Indonesia Menuju Netral Karbon melalui Transisi Energi 3

Unduh

Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2060

Jakarta, 24 Maret 2021- Sebagai upaya memenuhi mandat Persetujuan Paris, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku national focal point untuk UNFCCC, mengumumkan Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR)) 2050.  Pertemuan ini dihadiri pula oleh kementerian terkait. 

Meski terdapat kemajuan yang positif, namun Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang peta jalan Indonesia menuju rendah karbon di 2050, seperti yang tercantum dalam pemaparan dokumen LTS-LCCR 2050, masih kurang ambisius dan tidak sesuai dengan target Persetujuan Paris. 

Beberapa hal yang tercantum dalam dokumen LTS-LCCR 2050 tersebut, yaitu:

  1. Pencapaian NDC pertama Indonesia ditargetkan pada tahun 2030, lalu Indonesia akan menuju net zero emission di tahun 2070;
  2. Dalam upaya mitigasi, skenario LCCP (low carbon scenario compatible with Paris Agreement target) yang menunjukkan target ambisius akan diterapkan di sektor AFOLU (pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan), energi, proses industri dan penggunaan produk (IPPU), serta limbah; 
  3. Pada arah kebijakan yang rendah karbon dan memiliki ketahanan iklim, diperkirakan Indonesia akan mencapai puncak tertinggi (peaking) pada emisi GRK di tahun 2030 di sektor AFOLU dan energi sebelum akhirnya mencapai net zero emission di 2070. Dalam perhitungan emisi, peak di tahun 2030 akan mencapai 1163 juta ton dan emisi ini akan turun menjadi sekitar 766 juta ton CO2e di tahun 2050;
  4. Untuk sektor energi, skenario transisi dan LCCP akan menjadi pilihan untuk diterapkan. Dalam target LCCP yang lebih ambisius, bauran energi primer akan diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8%, EBT 33% di tahun 2050. Penggunaan batubara akan turun menjadi 205 juta toe (293 juta ton batubara);
  5. Tambahan EBT untuk pembangkit sekitar 38 GW di tahun 2035 dan akan diprioritaskan untuk PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dikarenakan biaya investasi yang semakin rendah. Selain itu penurunan emisi akan didorong melalui aksi berikut:
  • Penyediaan listrik melalui pembangkit EBT, 
  • Penerapan efisiensi energi seperti pada bangunan dan penerangan jalan umum (PJU), 
  • Penggunaan Bahan Bakar Nabati;
  • Implementasi Co firing biomassa untuk mengurangi konsumsi batu bara di 52 PLTU, 
  • Pemanfaatan kendaraan listrik dengan target 2 juta mobil dan 13 juta motor di 2030,
  • Transisi menuju bahan bakar rendah karbon dan teknologi pembangkit bersih seperti penggunaan CCUS/CCS (carbon capture, utilisation and storage/carbon capture and storage) dan hidrogen.

Menyikapi pemaparan mengenai Indonesia LTS-LCCR 2050, berikut  tanggapan dari IESR:

  1. IESR menanggapi positif mengenai target peak emission di tahun 2030. Hal ini akan memberikan target jangka menengah yang jelas bagi rencana aksi mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Namun, perlu kejelasan mengenai dukungan kebijakan dan regulasi yang memungkinkan setiap sektor untuk melakukan transisi secara cepat dan mencapai peak emission di tahun 2030;
  2. Pencapaian net zero emission di tahun 2070 terlalu lama dan tidak sesuai dengan Persetujuan Paris. Agar selaras dengan Persetujuan Paris dan mendukung pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1.50C, maka emisi GRK Indonesia harus sudah turun mencapai 622 juta ton CO2e di tahun 2030 (di luar sektor AFOLU) dan mencapai net zero pada tahun 2050;
  3. Perlu adanya upaya yang lebih kuat terutama untuk dapat beralih (shifting away) dari penggunaan batu bara. Indonesia perlu secara bertahap berhenti menggunakan batu bara pada tahun 2037 dan meningkatkan target energi terbarukannya setidaknya menjadi 50% pada tahun 2030;
  4. Setiap sektor perlu menetapkan ukuran mitigasi yang kredibel, transparan, dan terukur agar dapat sesuai (on-track) dengan Persetujuan Paris. Berdasarkan beberapa pemodelan global, seperti Integrated Assessment Models (IAMs), Deep Decarbonisation Pathway Project, Energy Watch Group/LUT University, terdapat beberapa parameter yang bisa jadi acuan bagi Indonesia dalam mengukur kesesuaian capaian penurunan emisi GRK dengan target Persetujuan Paris. Untuk sektor ketenagalistrikan dan transportasi, parameter tersebut antara lain:
    1. Ketenagalistrikan
      1. Intensitas emisi dari sektor ketenagalistrikan; harus berada di kisaran 50-255 gCO2/kWh di tahun 2030 dan 0 di tahun 2050
      2. Bauran pembangkitan listrik dari energi terbarukan; mencapai 50-85% di tahun 2030 dan 98-100% di tahun 2050
      3. Bauran pembangkitan listrik dari PLTU batubara; turun menjadi 5-10% di tahun 2030
    2. Transportasi
      1. Intensitas emisi dari sektor transportasi penumpang darat; berada di kisaran 25-30 g CO2/pkm pada tahun 2030
      2. Bauran dari bahan bakar rendah karbon; mencapai 20-25% dari total permintaan energi di sektor transportasi pada tahun 2030
  5. Studi IESR mengenai skenario transisi energi Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia dapat mencapai bauran primer energi terbarukan sebesar 69% pada tahun 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 GW pada tahun 2025, membangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan pada tahun 2050, dan menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025 serta mempensiunkan PLTGU lebih awal
  6. Perlu adanya peningkatan investasi dan dorongan riset ke arah pengembangan inovasi dan teknologi ET seperti hidrogen agar dapat segera diimplementasikan dan dioptimalkan untuk mencapai net zero emission. 
  7. IESR mendukung penggunaan bahan bakar nabati berkelanjutan dan kendaraan listrik. Climate Transparency Report 2020 menjelaskan bahwa bahan bakar nabati berkelanjutan yang tidak meninggalkan jejak karbon (carbon footprint), penggunaan kendaraan listrik, serta standar efisiensi bahan bakar yang lebih ketat akan mengurangi emisi GRK terutama dari sektor transportasi secara signifikan. Selain itu, persentase bahan bakar rendah karbon dalam bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada tahun 2050. 

 

Narahubung Media:

Lisa Wijayani

Program Manajer Ekonomi Hijau, IESR, lisa@iesr.or.id, 08118201828

Deon Arinaldo

Program Manajer Transformasi Energi, IESR, deon@iesr.or.id, 081318535687

Uliyasi Simanjuntak

Koordinator Komunikasi IESR, uliyasi@iesr.or.id, 081236841273

LTS-LCCR KLHK – IESR: Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2060

Jakarta, 25 Maret 2021 — Sebagai upaya memenuhi mandat Persetujuan Paris, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku national focal point untuk UNFCCC, mengumumkan Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. Pertemuan ini dihadiri pula oleh kementerian terkait. Meski terdapat kemajuan yang positif, namun Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang peta jalan Indonesia menuju rendah karbon di 2050, seperti yang tercantum dalam pemaparan dokumen LTS-LCCR 2050, masih kurang ambisius dan tidak sesuai dengan target
Persetujuan Paris.

  1. Beberapa hal yang tercantum dalam dokumen LTS-LCCR 2050 tersebut, yaitu: Pencapaian NDC pertama Indonesia ditargetkan pada tahun 2030, lalu Indonesia akan menuju net zero emission di tahun 2070;
  2. Dalam upaya mitigasi, skenario LCCP (low carbon scenario compatible with Paris Agreement target) yang menunjukkan target ambisius akan diterapkan di sektor AFOLU (pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan), energi, proses industri dan penggunaan produk (IPPU), serta limbah;
  3. Pada arah kebijakan yang rendah karbon dan memiliki ketahanan iklim, diperkirakan Indonesia akan mencapai puncak tertinggi (peaking) pada emisi GRK di tahun 2030 di sektor AFOLU dan energi sebelum akhirnya mencapai net zero emission di 2070. Dalam perhitungan emisi, peak di tahun 2030 akan mencapai 1163 juta ton dan emisi ini akan turun menjadi sekitar 766 juta ton CO2e di tahun 2050;
  4. Untuk sektor energi, skenario transisi dan LCCP akan menjadi pilihan untuk diterapkan. Dalam target LCCP yang lebih ambisius, bauran energi primer akan diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8%, EBT 33% di tahun 2050. Penggunaan batubara akan turun menjadi 205 juta toe (293 juta ton batubara);
  5. Tambahan EBT untuk pembangkit sekitar 38 GW di tahun 2035 dan akan diprioritaskan untuk PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dikarenakan biaya investasi yang semakin rendah. Selain itu penurunan emisi akan didorong melalui aksi berikut:
    ● Penyediaan listrik melalui pembangkit EBT,
    ● Penerapan efisiensi energi seperti pada bangunan dan penerangan jalan umum (PJU),
    ● Penggunaan Bahan Bakar Nabati;
    ● Implementasi Co firing biomassa untuk mengurangi konsumsi batu bara di 52 PLTU,
    ● Pemanfaatan kendaraan listrik dengan target 2 juta mobil dan 13 juta motor di 2030,
    ● Transisi menuju bahan bakar rendah karbon dan teknologi pembangkit bersih seperti penggunaan CCUS/CCS (carbon capture, utilisation and storage/carbon capture and storage) dan hidrogen.

Menyikapi pemaparan mengenai Indonesia LTS-LCCR 2050, berikut tanggapan dari IESR:

  1. IESR menanggapi positif mengenai target peak emission di tahun 2030. Hal ini akan memberikan target jangka menengah yang jelas bagi rencana aksi mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Namun, perlu kejelasan mengenai dukungan kebijakan dan regulasi yang memungkinkan setiap sektor untuk melakukan transisi secara cepat dan mencapai peak emission di tahun 2030;
  2. Pencapaian net zero emission di tahun 2070 terlalu lama dan tidak sesuai dengan Persetujuan Paris. Agar selaras dengan Persetujuan Paris dan mendukung pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1.50 C, maka emisi GRK Indonesia harus sudah turun mencapai 622 juta ton CO2e di tahun 2030 (di luar sektor AFOLU) dan mencapai net zero pada tahun 20501;
  3. Perlu adanya upaya yang lebih kuat terutama untuk dapat beralih (shifting away) dari penggunaan batu bara. Indonesia perlu secara bertahap berhenti menggunakan batu bara pada tahun 2037 dan meningkatkan target energi terbarukannya setidaknya menjadi 50% pada tahun 20302;
  4. Setiap sektor perlu menetapkan ukuran mitigasi yang kredibel, transparan, dan terukur agar dapat sesuai (on-track) dengan Persetujuan Paris. Berdasarkan beberapa pemodelan global, seperti Integrated Assessment Models (IAMs), Deep Decarbonization Pathway Project, Energy Watch Group/LUT University, terdapat beberapa parameter yang bisa jadi acuan bagi Indonesia dalam mengukur kesesuaian capaian penurunan emisi GRK dengan target Persetujuan Paris. Untuk sektor ketenagalistrikan dan transportasi, parameter tersebut antara lain3:
    a. Ketenagalistrikan
    i. Intensitas emisi dari sektor ketenagalistrikan; harus berada di kisaran 50-255 gCO2/kWh di tahun 2030 dan 0 di tahun 2050
    ii. Bauran pembangkitan listrik dari energi terbarukan; mencapai 50-85% di tahun 2030 dan 98-100% di tahun 2050
    iii. Bauran pembangkitan listrik dari PLTU batubara; turun menjadi 5-10% di tahun 2030
    b. Transportasi
    i. Intensitas emisi dari sektor transportasi penumpang darat; berada di kisaran 25-30 g CO2/pkm pada tahun 2030
    ii. Bauran dari bahan bakar rendah karbon; mencapai 20-25% dari total
    permintaan energi di sektor transportasi pada tahun 2030
  5. Studi IESR mengenai skenario transisi energi Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia dapat mencapai bauran primer energi terbarukan sebesar 69% pada tahun 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 GW pada tahun 2025, membangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan pada tahun 2050, dan menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025 serta mempensiunkan PLTGU lebih awal.
  6. 7. IESR mendukung penggunaan bahan bakar nabati berkelanjutan dan kendaraan listrik.

Climate Transparency Report 2020 menjelaskan bahwa bahan bakar nabati berkelanjutan yang tidak meninggalkan jejak karbon (carbon footprint), penggunaan kendaraan listrik, serta standar efisiensi bahan bakar yang lebih ketat akan mengurangi emisi GRK terutama dari sektor transportasi secara signifikan. Selain itu, persentase bahan bakar rendah karbon dalam bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada tahun 2050.

Narahubung Media:
Lisa Wijayani
Program Manajer Ekonomi Hijau, IESR, lisa@iesr.or.id, 08118201828
Deon Arinaldo
Program Manajer Transformasi Energi, IESR, deon@iesr.or.id, 081318535687
Uliyasi Simanjuntak
Koordinator Komunikasi IESR, uliyasi@iesr.or.id, 08123684127

Referensi:

1 CAT (n.d.). Indonesia country summary
2 Climate Transparency (2020).The Climate Transparency Report 2020
3 CAT (2020). Paris Agreement Compatible Sectoral Benchmark
4 IESR (2020). National Energy General Plan (RUEN): Existing Plan, Current Policies Implication and Energy Transition
Scenario6. Perlu adanya peningkatan investasi dan dorongan riset ke arah pengembangan inovasi dan
teknologi ET seperti hidrogen agar dapat segera diimplementasikan dan dioptimalkan untuk
mencapai net zero emission.

Peluncuran Laporan Climate Transparency 2020 dan Diskusi Virtual

Pulihkan perekonomian bangsa pasca COVID19 dengan Program Pemulihan hijau serta tak abai Krisis Iklim, IESR Ingatkan kembali komitmen Indonesia dalam NDC Paris Agreement

 

  • Indonesia telah menyatakan tidak akan memperbaharui atau meningkatkan target ambisinya dikarenakan masih harus fokus terhadap penanganan Covid-19 dan penanganan dampak dari resesi ekonomi pada perekonomian Indonesia.
  • Indonesia juga masih memiliki tugas lain yang tertunda akibat pandemi Covid-19 yaitu mengatasi masalah perubahan iklim serta mencapai target iklim NDC
  • Program pemulihan hijau dapat mengembalikan pertumbuhan ekonomi dan mencegah pemanasan global

Jakarta, 3 Desember 2020 – Indonesia saat ini telah masuk ke dalam jurang resesi dimana pertumbuhan ekonomi telah dua kali berturut-turut negatif di kuartal II (- 5.32%) dan di kuartal III (- 3.49%).  Untuk mengatasi krisis ekonomi dikarenakan pandemi Covid-19, pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan konsumsi dan belanja negara, mendorong iklim investasi, serta memberikan stimulus kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) demi menggeliatkan aktivitas perekonomian Indonesia yang ditopang oleh industri kecil dan UMKM. 

Namun selain masalah kesehatan dan ekonomi yang harus segera diatasi, Indonesia juga masih memiliki tugas lain yang tertunda akibat pandemi Covid-19 yaitu mengatasi masalah perubahan iklim serta mencapai target iklim NDC (Nationally determined contributions) sebagai komitmen terhadap Perjanjian Paris. Di tahun 2020 ini semua negara yang ikut menandatangani Perjanjian Paris diminta untuk memperbaharui target NDC-nya. Indonesia telah menyatakan tidak akan memperbaharui atau meningkatkan target ambisinya dikarenakan masih harus fokus terhadap penanganan Covid-19 dan penanganan dampak dari resesi ekonomi pada perekonomian Indonesia. 

“Perubahan iklim akan menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia jika kita tidak mulai mengambil tindakan nyata untuk melakukan pemulihan ekonomi hijau dari sekarang” Ucap Fabby dalam pidato pembukaannya.

Momen ini sejatinya merupakan saat yang sangat tepat untuk melaksanakan pemulihan ekonomi hijau untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi sekaligus mencegah kenaikan emisi gas rumah kaca untuk mengatasikrisis iklim.  Indonesia mempunyai banyak peluang untuk menjadikan pemulihan hijau sebagai pedoman kebijakan dan pelaksanaan program di masa setelah pandemi Covid-19. Stimulus untuk proyek ekonomi hijau mampu menciptakan banyak lapangan kerja baru terutama pekerjaan yang berbasis keberlanjutan (green jobs) serta mempercepat transisi energi Indonesia ke arah energi terbarukan yang rendah dan bahkan netral karbon (carbon neutral).  

Hal ini selaras dengan pesan utama yang tertera dalam Climate Transparency Report (Laporan Transparansi Iklim) 2020 yang memberikan proyeksi emisi dan data untuk tahun berjalan, analisis penanganan Covid-19, program stimulus, serta rekomendasi untuk pemulihan hijau di negara G20. Pada laporan ini, pemulihan hijau digalakkan sebagai upaya untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan penurunan emisi CO2 sehingga dapat membantu negara-negara G20 untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris. 

Pengurangan emisi CO2 global yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 telah terjadi dan pengurangan emisi ini telah mencapai puncaknya pada awal April, ketika turun ke level 17% lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Namun emisi CO2 harian di beberapa negara sudah kembali atau bahkan melebihi level 2019. 

Peluncuran Climate Transparency Report 2020 dan Profil Indonesia dilakukan secara virtual dengan pemaparan laporan profil Indonesia yang di sampaikan oleh Lisa Wijayani, Manajer Program untuk Ekonomi Hijau, IESR pada 3 Desember 2020 yang turut hadiri oleh Agustaviano Sofjan, Direktur Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Climate Transparency Report 2020 menekankan pentingnya upaya pemulihan ekonomi hijau di negara-negara G20, khususnya di Indonesia. terutama sektor transportasi melalui penggunaan kendaraan listrik dan bahan bakar nabati (biofuel), menerapkan pajak  karbon, serta menghentikan penggunaan batubara pada tahun 2037 agar sesuai dengan target 1,5 °C dan mampu menghasilkan lapangan kerja yang selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. 

Membahas upaya pemulihan hijau di Indonesia dan kaitannya terhadap upaya pemulihan ekonomi, pengurangan emisi karbon, mendukung transisi energi, serta pencapaian target NDC Indonesia. IESR turut menghadirkan Cristina Martinez (Spesialis Senior untuk Lingkungan dan Pekerjaan yang Layak); Dr. Noor Syaifudin (Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal); Lucia Karina (Direktur Public Affairs, Communications & Sustainability, Coca-Cola Amatil Indonesia); dan Kuki Soejachmoen (Pendiri Lembaga Penelitian Dekarbonisasi Indonesia). Dalam kesempatan ini, perwakilan Kedutaan Besar Republik Federal Jerman di Indonesia yang mendanai kegiatan ini akan memberikan kata penutup. 

Dilanjutkan pada sesi yang berbeda diskusi ini membahas peluang dalam menciptakan lapangan kerja dengan mendukung pemulihan hijau pada masa pemulihan ekonomi pasca Covid-19. Melalui peluncuran laporan Climate Transparency, masyarakat dan pemerintah diharapkan dapat memahami konsep pemulihan hijau dengan baik serta menerapkannya dalam kebijakan, program, dan kegiatan sehari-hari. 

Turut berdialog dalam diskusi ini adalah Andhyta Firselly Utami (Ekonom Lingkungan dan Salah Satu Pendiri Think Policy Society); Gita Syahrani (Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari); dan Sean Nino L. (pendiri & CEO Eco-Mantra). 

IESR kembali menekankan usaha Pemerintah Indonesia untuk dapat memanfaatkan momentum ini lebih bijak dengan mengadopsi program pemulihan ekonomi dengan tidak abai akan komitmennya dalam pencapaian target NDC yang masih jauh dari realisasi.

Kendaraan Listrik dan Dekarbonisasi Sektor Transportasi Darat Indonesia

Siaran Pers

Transportasi darat sumbang emisi tertinggi dari total emisi gas rumah kaca sektor transportasi di Indonesia

  • Kurangi emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi, Indonesia perlu menerapkan instrumen kebijakan untuk meningkatkan jumlah kendaraan listrik dalam menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil
  • Di saat harga minyak dunia sedang turun saat ini, pajak karbon yang diterapkan pada bahan bakar fosil merupakan suatu instrumen yang dapat diterapkan di Indonesia untuk meningkatkan jumlah kendaraan listrik sebagai upaya penurunan emisi gas rumah kaca

Jakarta— 29 Maret 2020 — Institute for Essential Services Reform sebagai anggota dari Climate Transparency melakukan kajian mengenai dekarbonisasi sektor transportasi, dengan menganalisis rangkaian instrumen kebijakan yang diperlukan untuk meningkatkan peran kendaraan listrik dalam mendorong ambisi negara mencapai Persetujuan Paris, agar dapat berada di jalur untuk mencapai batasan target kenaikan suhu 2/1,5°C.

Julius C. Adiatma, Clean Fuel Specialist IESR, memaparkan laporan “The Role of Electric Vehicles in Decarbonizing Indonesia’s Road Transport Sector” yang di luncurkan dalam kegiatan Webinar pada Minggu 29 Maret 2020 dan juga melibatkan panelis secara daring, Dr. Mohammad Mustafa Sarinanto, Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi, BPPT, dan Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah Jakarta.

“Hasil pemodelan dari studi kami menunjukkan bahwa masuknya kendaraan listrik pada pasar mobil penumpang dan sepeda motor memiliki potensi menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi darat, terutama dari penggunaan kendaraan pribadi. Untuk mewujudkan potensi tersebut, dibutuhkan berbagai dukungan kebijakan dari pemerintah, baik kebijakan fiskal maupun non fiskal seperti penyediaan infrastruktur pengisian kendaraan listrik umum. Yang tidak kalah penting adalah mengganti pembangkit batubara dengan energi terbarukan supaya emisi gas rumah kaca tidak berpindah dari transportasi ke pembangkit” menurut Julius.

Di Indonesia, emisi dari sektor transportasi hampir mencapai 30% dari total emisi CO2, dimana emisi tertinggi terutama berasal dari transportasi darat, yang berkontribusi pada 88% dari total emisi di sektor ini (IEA, 2015). Termasuk di dalamnya adalah mobil penumpang dan sepeda motor, yang tumbuh dengan pesat seiring dengan penggunaannya sebagai moda perjalanan utama di daerah perkotaan. Misalnya, penjualan mobil domestik telah bertumbuh lebih dari dua kali lipat dalam 15 tahun terakhir (dari 480 ribu unit pada tahun 2004 menjadi di atas 1 juta unit pada tahun 2019). Tren ini diprediksi akan terus meningkat, dan dengan demikian, sektor transportasi akan terus menjadi salah satu penghasil emisi utama di negara ini. Namun, rencana mitigasi dari pemerintah untuk sektor transportasi yang tercantum dalam NDC, masih terbatas pada pengalihan bahan bakar menjadi bahan bakar nabati dan perluasan stasiun pengisian bahan bakar gas bumi. Sementara itu, peran kendaraan listrik (termasuk hibrida, hibrida plug-in, dan kendaraan listrik baterai), yang banyak dilihat oleh beberapa pakar sebagai kunci dalam mengurangi emisi GRK di sektor ini, masih belum dimasukkan dalam NDC Indonesia.

Indonesia harus mengambil tindakan mitigasi perubahan iklim secara drastis di sektor transportasi. Menurut proyeksi The Climate Action Tracker, total emisi Indonesia (tidak termasuk LULUCF) setara dengan 3,75 – 4% dari total emisi global pada tahun 2030. Agar sejalan dengan 1,5°C, proporsi bahan bakar rendah karbon di bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada tahun 2050.

Climate Action Tracker menjabarkan skenario 1,5°C yang kompatibel untuk Indonesia, yang membatasi emisi dari sektor transportasi menjadi 2 MtCO2e pada tahun 2050. Skenario ini mencakup peningkatan penggunaan transportasi umum, peningkatan ekonomi bahan bakar kendaraan konvensional, dan elektrifikasi 100% kendaraan penumpang darat (mobil, motor, dan bus) pada tahun 2050. Untuk mencapai 100% elektrifikasi kendaraan pada tahun 2050, Indonesia perlu menghentikan penjualan kendaraan berbahan bakar fosil antara tahun 2035 s.d. 2040, dengan asumsi masa pakai kendaraan 15 tahun. Dengan penetrasi pasar kendaraan listrik yang sangat rendah saat ini, maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang mendukung untuk mencapai target ini.

Di sisi lain, dengan bauran listrik saat ini, penetrasi kendaraan listrik akan meningkatkan emisi karbon di Indonesia. Peningkatan emisi ini, sebagian besar terkait dengan pembangkitan listrik dari sumber bahan bakar fosil. Selain itu, emisi juga berasal dari produksi komponen dalam kendaraan listrik, terutama baterai. Namun, sekalipun Indonesia dapat mencapai daya bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025, penggunaan mobil listrik diprediksi akan menghasilkan emisi karbon sekitar 2,6% lebih rendah dibanding mobil konvensional.

Erina Mursanti, Program Manager Green Economy IESR, mengatakan, dalam situasi rendahnya harga minyak dunia saat ini yang turun hingga lebih dari 50% (dari harga acuan yang tertera pada Nota Keuangan APBN 2020), pemerintah sebaiknya menerapkan pajak karbon pada pemakaian bahan bakar fosil, alih-alih menurunkan harga bahan bakar minyak dalam negeri; dimana hasil penerimaan pajak ini dapat digunakan untuk pengembangan industri kendaraan listrik.

Unduh siaran pers


Narahubung Pers:

Gandabhaskara Saputra, ganda@iesr.or.id