Aspirasi Kelompok Masyarakat untuk RUU EBET

Jakarta, 19 Mei 2022 – Dekarbonisasi sektor energi sebagai salah satu penghasil emisi terbesar di Indonesia perlu dilakukan untuk mencapai target netral karbon di tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, Indonesia seharusnya menyiapkan kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan. Namun, mencermati Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang telah memasuki tahap harmonisasi di DPR RI, berbagai organisasi yang mewakili kelompok masyarakat tertentu menilai draf RUU EBET menyimpang dari tujuannya untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan yang berkelanjutan.

Institute for Essential Services Reform (IESR), Bersihkan Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Adidaya Initiative, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengadakan diskusi dan konferensi pers untuk menyampaikan aspirasinya terhadap RUU EBET tersebut.

IESR menyoroti kerancuan RUU EBET yang mencampuradukkan energi fosil, nuklir dan energi terbarukan dalam satu undang-undang. Menurut IESR, sumber energi baru yang merupakan produk hilirisasi batubara dan PLTN ini akan  memperbesar potensi aset terbengkalai serta tidak signifikan menekan emisi gas rumah kaca (GRK).

“RUU ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan status quo, yaitu industri batubara dan nuklir, yang menyelinap masuk menggunakan definisi energi baru.  Implikasinya RUU ini tidak fokus mengembangkan energi terbarukan yang sebenarnya butuh dorongan politik dan kerangka regulasi yang lebih kuat sehingga dapat berkembang cepat, mendukung cita-cita transisi energi,” tandas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Senada, Ahmad Ashov Birry, Koordinator Bersihkan Indonesia (BI) mendorong DPR RI untuk menyiapkan kebijakan yang secara jelas mendukung energi terbarukan.

“Alih-alih, RUU EBET yang diklaim mendukung energi terbarukan malah terang-terangan mengaburkan masa depan energi terbarukan yang mungkin bagi Indonesia, dengan memberi jalan bagi energi fosil dan berbahaya lainnya untuk diasosiasikan sebagai energi terbarukan. Ini dapat menjadi sinyal yang tak jelas bagi komunitas internasional yang ingin bersolidaritas mendukung Indonesia untuk bertransisi. Masih ada kesempatan untuk perubahan, dan langkah perubahan itu harus berani diambil pemerintah,” ungkap Ahmad.

Co-founder Adidaya Initiative, Aji Said Iqbal Fajri menyampaikan tiga pokok desakan bagi komisi VII DPR RI.

“Kami meminta agar Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menanggalkan segala bentuk energi tidak terbarukan sebagai sumber energi baru dalam RUU EBET. Kedua, Komisi VII DPR-RI dan pemangku kepentingan terkait untuk meregulasikan insentif bagi penggunaan energi terbarukan dalam rangka mencapai target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Ketiga, Komisi VII DPR-RI dan pemangku kepentingan terkait untuk mempertimbangkan saran saintifik dan aspirasi masyarakat dari berbagai kalangan dalam menyusun RUU EBET sebagai upaya pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan upaya dekarbonisasi di sektor energi dalam rangka mencapai keadilan ekonomi dan lingkungan di Indonesia.”

Menyoal insentif terhadap pengguna energi terbarukan, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menuturkan RUU EBET harus mengatur insentif yang signifikan baik fiskal maupun non fiskal bagi konsumen pengguna energi terbarukan. 

“Sedangkan energi yang berasal dari bahan bakar fosil tidak layak untuk diberikan subsidi bahkan perlu dikenakan cukai (disinsentif) karena mempunyai dampak eksternalitas,” jelasnya.

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Paul Butarbutar mengatakan keberadaan bahwa RUU EBET ini seharusnya menjadi dasar hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang EBET. 

“RUU ini harusnya fokus ke energi terbarukan, sehingga RUU EBET ini dapat menjadi dasar hukum yang kuat, yang memberikan kepastian hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang energi terbarukan, sebagai bagian dari transisi energi untuk mencapai net-zero emissions secepatnya. Dengan demikian, semua pasal-pasal terkait energi baru, istilah yang tidak dikenal secara internasional, dapat dihapuskan,” jelas Paul.

Sementara itu, ia juga menambahkan jika pemerintah dan industri PLTN bermaksud  untuk mendorong pemanfaatan energi nuklir, maka pemerintah sebaiknya memprioritaskan revisi UU 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Sedangkan jika terkait transisi energi, maka yang perlu dilakukan adalah merevisi UU nomor 30 tahun 2007. 

“Apabila pemerintah ingin mendorong pemanfaatan nuklir untuk pembangkitan, maka sebaiknya pemerintah memprioritaskan revisi UU 10 tahun 1997, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat untuk investasi PLTN. Lagi pula, pemanfaatan PLTN berdasarkan roadmap pemerintah, masih lama, sehingga pemerintah punya waktu yang cukup untuk merevisi UU 10 tahun 1997. Tidak ada urgensi untuk memasukkan nuklir dalam RUU ini. Terkait transisi energi, kurang tepat apabila dimasukkan dalam RUU ini. Yang perlu dilakukan adalah merevisi UU 30 tahun 2007 untuk mengakomodir isu transisi energi, net-zero emission, NDC dan Paris Agreement di sektor energi,” terang Paul.

Membawa aspirasi dari petani dan nelayan, Harmanto, Ketua Departemen Medkominfo Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) menuturkan pihaknya secara tegas menolak pengembangan PLTN. Menurutnya, petani dan nelayan di sekitar PLTN akan menjadi kelompok yang sangat dirugikan dengan pembangunan PLTN, terutama jika terjadi kecelakaan PLTN.

PLTN membutuhkan zona eksklusif yang cukup luas sehingga berpotensi mengambil lahan yang luas seperti kawasan pantai yang luas. Hal ini dapat menggusur tanah petani dan membatasi akses nelayan ke laut. Ini sudah terlihat dari sejumlah pembangunan PLTU besar di pesisir utara Jawa, yang menggusur tanah petani dan membuat akses nelayan ke laut terhambat, demikian juga wilayah tangkap nelayan berubah. Selain itu risiko kecelakaan PLTN tidak nol. Kecelakaan reaktor bisa mengakibatkan kebocoran radiasi yang berdampak pada tanah, air, dan laut. Di Fukushima, limbah air radioaktif dari PLTN Fukushima dibuang ke laut dan membuat orang takut mengkonsumsi ikan,” jelas Harmanto.

Di sisi lain, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka meminta DPR RI untuk lebih memperhatikan suara dan posisi perempuan dalam pembuatan kebijakan energi. Asas kesetaraan dan inklusi sosial harus menjadi perspektif tata kelola energi dari  hulu sampai hilir dalam kebijakan energi yang tengah disusun oleh parlemen dan pemerintah. Pasal partisipasi masyarakat dalam RUU EBET harus memastikan semua elemen masyarakat seperti perempuan, kelompok marjinal lainnya dapat terlibat secara penuh dalam akses energi bersih yang berkelanjutan, dengan memastikan keterwakilan berbasis gender. Hal ini perlu dilakukan sebab perempuan dan kelompok marjinal lainnya masih diposisikan sebagai konsumen energi yang terbatas sehingga ketika krisis energi terjadi mereka menghadapi dampak buruk yang lebih berlipat. 

“Pengarusutamaan gender tidak hanya sebatas pada penyebutan istilah dalam kebijakan energi, tetapi harus dioperasionalkan dalam kerangka kerja implementasinya. Seperti memasukkan tujuan khusus gender ke dalam desain pembangunan sektor energi, memberdayakan dan melibatkan perempuan dan kelompok marjinal melalui konsultasi, partisipasi dan pengambilan keputusan. Kemudian mengembangkan strategi khusus gender untuk memaksimalkan manfaat bagi perempuan dan kelompok masyarakat miskin mengatasi dampak pembangunan energi baru terbarukan,” tandas Mike.

Sepakat dengan aspirasi yang disampaikan, Sonny Keraf, Akademisi dari Universitas Katolik Atma Jaya,menambahkan bahwa RUU EBET ini malah mirip ‘tarian poco-poco’ yang selangkah maju- selangkah mundur, karena dibajak dan dikerangkeng pedagang fosil yang kotor untuk tetap mengamankan dan melanggengkan kepentingan mereka dengan mengorbankan kepentingan bersama umat manusia menyelamatkan krisis bumi.

“Terlalu banyak dampak negatif kalau kita tetap bertahan dengan ‘tarian poco-poco’. Kredibilitas diplomasi global pemerintah di bidang negosiasi perubahan iklim bisa tergerus. Ekspor produk industri dalam negeri bisa terhambat ketentuan standar emisi dalam seluruh rantai produksi dan rantai pasok produk kita. Komitmen mitigasi perubahan iklim kita  terganjal,” ulasnya. ***

Urgensi Peninjauan dan Pemutakhiran Kembali RUEN untuk Mempercepat Transisi Energi di Indonesia

Jakarta, Selasa, 28 September 2020 Pada hari ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan salah satu dari lima seri studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia berjudul National Energy Plan (RUEN): Existing Plan, Current Policies Implication and Energy Transition Scenario. Studi ini memodelkan ulang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017 melalui tiga skenario tambahan (skenario realisasi, program strategis, dan transisi energi) untuk mengevaluasi dan memproyeksikan capaian dari target RUEN awal berdasarkan ketiga skenario yang dibangun. Transisi energi menuju sistem energi terbarukan telah menjadi fenomena global sebagai respon untuk mengatasi ancaman perubahan iklim dan mengurangi risiko stranded asset. 

Dalam kondisi kebijakan saat ini RUEN 2017 belum mengadopsi visi transisi energi, walaupun telah mengadopsi target energi terbarukan 23% dari bauran energi total pada 2025. Target ini berkorelasi dengan jumlah kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan sebesar 45,2 GW pada 2025 dari total 136 GW kapasitas pembangkit listrik. Merujuk kepada salah satu temuan dari laporan ini, target kapasitas terpasang dari energi terbarukan sebesar 45,2 GW di tahun 2025 diindikasikan tidak akan tercapai dalam skenario realisasi dengan berbagai penurunan nilai parameter dan asumsi utama yang terjadi dalam lima tahun terakhir. Dengan kondisi dan parameter ekonomi dan energi yang telah mengalami perubahan sejak RUEN 2017 disusun lima tahun lalu, IESR menyerukan untuk diadakannya peninjauan dan pemutakhiran kembali RUEN, sebagai referensi perencanaan dan pembangunan energi nasional jangka menengah dan panjang, guna mengakomodasikan tidak hanya kemajuan dan perkembangan transisi energi global, melainkan juga untuk mengantisipasi berbagai tantangan dan peluang yang muncul dalam transformasi yang saat ini sedang terjadi.

Keekonomian dari teknologi energi terbarukan dan sistem penyimpanan energi yang terus semakin murah setiap tahunnya, dapat mengakselerasi upaya transisi energi. Bahkan, harga listrik yang dibangkitkan dari energi surya dan angin skala besar sudah mampu bersaing dengan harga pembangkitan listrik dari batu bara. Adanya revolusi digital di sektor energi, tumbuhnya kekuatan konsumen untuk menggunakan listrik dari energi bersih, bangkitnya kendaraan hibrida dan listrik, serta desentralisasi pembangkitan energi menjadi faktor pendorong lainnya dalam upaya dekarbonisasi sektor ini.

“Untuk konteks Indonesia, transisi menuju sistem energi bersih yang berkelanjutan perlu disiapkan dengan baik. Pemanfaatan energi terbarukan yang memang sudah menjadi prioritas pengembangan dan pemanfaatan energi nasional dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), belum terefleksikan dalam pencapaian RUEN hingga 2020 ini. Terlepas dari target yang ambisius, beberapa indikator dan asumsi yang digunakan untuk memodelkan supply dan demand energy dalam RUEN pun dibangun berdasarkan basis data dan informasi di tahun 2015. Padahal, dalam lima tahun terakhir ini indikator dan asumsi dari sosio-ekonomi, tekno-ekonomi sudah mengalami perkembangan yang cukup signifikan,” tutur Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam sambutan pembukaannya di acara peluncuran virtual laporan seri studi peta jalan transisi energi Indonesia.

Merujuk kepada RUEN, di tahun 2025 energi terbarukan diproyeksikan meningkat dari 7% menjadi 23%, batubara dari 26% menjadi 30%, dan bahan bakar minyak turun dari 46% menjadi 25%, dan gas relatif turun menjadi 22% dari sebelumnya 23% dalam bauran energi primer nasional. Berdasarkan target tersebut, pembangkit listrik energi terbarukan di tahun 2025 mencapai 45,2 GW dengan komposisi 20,9 GW dari air, 7,2 GW dari panas bumi, 6,5 GW dari surya, 5,5 GW dari bioenergi, dan 1.8 GW dari bayu.

Fabby menambahkan, “dengan melihat tren dekarbonisasi yang masif terjadi di tingkat global dan regional, IESR berupaya untuk menginvestigasi kontekstualisasi dari model RUEN, sebagai sebagai referensi perencanaan dan pembangunan energi nasional jangka menengah dan panjang, guna mengakomodasikan tidak hanya kemajuan dan perkembangan transisi yang terjadi, melainkan juga untuk mengantisipasi berbagai tantangan dan peluang yang muncul dalam transformasi ini.”

Penulis laporan, Agus Praditya Tampubolon, menyebutkan bahwa target kapasitas terpasang dari energi terbarukan sebesar 45,2 GW di tahun 2025 diindikasikan tidak akan tercapai dalam skenario realisasi dengan berbagai penurunan nilai parameter dan asumsi utama yang terjadi dalam lima tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena realisasi dari laju pertumbuhan konsumsi energi tahunan dan konsumsi listrik per kapita yang rendah sebagai akibat dari rendahnya pertumbuhan ekonomi pada periode 2015-2019.

“RUEN yang ditetapkan di tahun 2017, menggunakan data riil tahun 2000 hingga tahun 2015 sebagai input dan memproyeksikan data dari tahun 2016-2050. Beberapa data proyeksi ini overestimated, terutama pada pertumbuhan ekonomi dan industri serta demografi penduduknya. Hal ini menyebabkan proyeksi RUEN menjadi tidak proporsional, misalnya pada konsumsi energi primer dan listrik, termasuk pada kapasitas pembangkit. Sehingga skenario realisasi menunjukkan bahwa energi terbarukan hanya diindikasikan mencapai 22,62 GW di tahun 2025.”

Agus juga menambahkan bahwa jaringan gas kota, kendaraan listrik dan biodiesel yang dicanangkan pemerintah hanya berkontribusi terhadap bauran energi primer sekitar 3 persen (menjadi 17,9%) dari baseline baru dalam skenario realisasi sebesar 15% di tahun 2025. Hingga tahun 2050 pun, bauran energi terbarukan diproyeksikan sebesar 40,3%, lebih tinggi dari target 31% di model RUEN saat ini, namun tetap masih belum mulai mengambil alih dominasi energi fosil sebesar 59,7%. Bauran dan kapasitas terpasang energi terbarukan hanya akan meningkat signifikan dalam skenario transisi energi, khususnya mulai periode waktu saat tidak ada PLTU baru yang mulai dibangun dan semua PLTU yang berusia lebih dari 30 tahun ditutup, dengan proyeksi sebesar 408 GW di tahun 2050..

Dalam laporan yang diluncurkan, setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dilakukan sebagai rekomendasi. Pertama, parameter dan asumsi RUEN 2015-2050 perlu ditinjau kembali, khususnya pada asumsi pertumbuhan ekonomi, laju permintaan energi, dan keekonomian dari energi terbarukan. Kedua, tinjauan juga perlu dilakukan terhadap rencana penggunaan batu bara dan pembangunan PLTU sebagai respons dari tren dekarbonisasi yang menyebabkan penurunan permintaan impor batu bara dari Tiongkok, India, dan Korea Selatan. Ketiga, perlunya kajian pengembangan skenario alternatif dalam rencana penyediaan energi nasional yang mengintegrasikan porsi energi terbarukan yang lebih besar.

Oleh karena itu, IESR menyerukan untuk diadakannya peninjauan dan pemutakhiran kembali RUEN, sebagai referensi perencanaan dan pembangunan energi nasional jangka menengah dan panjang, guna mengakomodasikan tidak hanya kemajuan dan perkembangan transisi energi global, melainkan juga untuk mengantisipasi berbagai tantangan dan peluang yang muncul dalam transformasi yang saat ini sedang terjadi.

 

###

Unduh siaran pers

FACT SHEET

Menelisik Komitmen Energi Nasional dan Daerah dalam Upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Indonesia telah memiliki komitmen iklim untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sesuai Paris Agreement dan tertuang dalam NDC (nationally determined contribution). Perencanaan nasional yang selaras dengan komitmen tersebut juga telah disusun Bappenas melalui strategi pembangunan rendah karbon (low-carbon development initiative) yang diluncurkan pada 2019 lalu. Untuk menggali peran pemerintah nasional dan daerah untuk mendorong perencanaan energi berorientasi iklim yang lebih ambisius, pada 13 Mei 2020, IESR bersama ICLEI Indonesia mengadakan diskusi panel dengan mengundang delapan narasumber yang memiliki peran strategis di sektor publik.

Kedelapan narasumber yang diundang adalah Sugeng Mujiyanto, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan, Dewan Energi Nasional; Yulia Suryanti dari Sub-Direktorat Pemantauan Pelaksanaan Mitigasi, KLHK  mewakili Ruandha Agung S. selaku Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK; Niken Arumdati, Kepala Seksi Pengembangan EBT, Dinas ESDM, Pemprov NTB; Ida Bagus Setiawan, Kepala Seksi Ketenagalistrikan, Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM Pemprov Bali; Sherly Sicilia Wila Huky, Kepala Sub-Bidang Pertanian dan SDA, Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Pemprov NTT; Retno Gumilang Dewi, Kepala Pusat Kebijakan Keenergian, ITB; Saladin Islami, Project Officer 100% RE, ICLEI Indonesia dan Erina Mursanti, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR.

Dalam sambutannya, Ari Mochamad, Direktur Eksekutif ICLEI Indonesia menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 memicu turunnya emisi karbondioksida global dan di Indonesia. Hal ini menjadi sebuah momentum besar bagi Indonesia untuk memprioritaskan energi bersih dalam pemulihan ekonomi. Ari berharap bahwa diskusi panel ini bisa memberikan pencerahan dan terobosan dalam memasuki masa new normal dalam setiap aspek, khususnya aspek pemanfaatan penggunaan energi dalam kehidupan sehari-hari. 

Di sesi pertama, Sugeng Mujiyanto menjelaskan bahwa visi pengelolaan energi saat ini telah berubah ke pengelolaan energi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan dengan memprioritaskan pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi dalam rangka mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi nasional. Visi tersebut tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional, yang juga menargetkan penurunan emisi hingga 41% pada 2030 dan 58% pada tahun 2050. Menurut Sugeng, pencapaian yang diperoleh Indonesia atas upaya mitigasi emisi sektor energi pada tahun 2019 patut diapresiasi. Dalam aspek efisiensi energi, Indonesia sudah lebih efisien hingga 25%, penggunaan bahan bakar rendah kalori sebesar 14%, penggunaan teknologi pembangkit bersih sebesar 7%, juga mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 54.852.260 ton.

Pencapaian lain yang dialami oleh Indonesia juga diutarakan oleh Yulia Suryanti. Pada tahun 2018, capaian penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor energi mencapai  sekitar 8,3 juta ton CO2eq.  Yulia Susanti menambahkan contoh aksi nyata untuk mitigasi skala nasional, di antaranya adalah pemanfaatan biogas skala kecil, penyediaan dan pengelolaan EBT pada pembangkit listrik skala kecil, penggunaan tenaga surya di sektor publik, rumah tangga dan penerangan jalan umum, serta inisiatif green building di kota.

Erina Mursanti menjelaskan bahwa Indonesia berpotensi mengalami kelangkaan air, kekeringan yang parah, cuaca yang terik dan bencana-bencana lain seperti kebakaran lahan dan hutan.  Hal ini karena dipengaruhi oleh perubahan iklim yang sebenarnya juga berkaitan dengan bencana alam yang terjadi. Menurut analisa Climate Action Tracker, target NDC Indonesia yang berada dalam dokumen NDC itu masih dalam skenario kenaikan temperatur 3°C, di mana harusnya Indonesia berada pada jalur kompatibel 1,5°C. Indonesia memiliki potensi banjir lima kali lipat lebih parang dan lebih sering pada kenaikan temperatur 3°C dibanding 1,5°C.

Erina Mursanti juga mengingatkan bahwa Indonesia memiliki instrumen konkret yang jika dioptimalkan akan mampu menurunkan emisi. Potensi mitigasi yang bisa dioptimalkan yaitu moratorium PLTU baru dan penonaktifan PLTU berdasarkan usia operasi, penggantian pembangkit listrik termal dengan pembangkit energi terbarukan, peningkatan bauran energi terbarukan secara optimal di sistem ketenagalistrikan Jawa-Bali dan Sumatera tanpa mengurangi keandalan sistem, peningkatan fuel economy pada kendaraan bermotor (mobil dan motor) sesuai dengan standar GFEI, peningkatan pemanfaatan electric vehicle (EV), serta peningkatan efisiensi energi dari penerangan dan peralatan rumah tangga.

Upaya penurunan emisi yang terintegrasi dalam perencanaan energi juga sudah dilakukan dalam skala lokal. Dalam sesi kedua, perwakilan dari pemerintah daerah memaparkan peran daerah dan kontribusi mereka untuk pencapaian target iklim yang lebih ambisius. Niken Arumdati mengatakan bahwa Pemda NTB sudah mengenali pembangunan berkelanjutan dan mengimplementasikannya dalam berbagai kebijakan yang dibuat. Dalam pelaksanaannya, menurut Niken, Pemda NTB masih menemui sejumlah tantangan seperti harmonisasi RUED-P dengan dokumen lainnya, konsistensi perencanaan, pengimplementasian program sesuai dengan kemampuan fiskal daerah dan momentum politik.

Niken menjelaskan juga Pemda NTB sudah membentuk tim koordinasi lintas instansi dalam implementasi RUED-P, menyusun rencana detail implementasi RUED-P, dan harmonisasi dengan dokumentasi perencanaan yang lain, menjalin kerjasama dengan Pemerintah Kerajaan Denmark, membuat studi detail perencanaan energi, dan mengupayakan pendanaan selain dari APBN dan APBD.

Ida Bagus Setiawan dari Pemda Bali menjelaskan bahwa saat ini RUED Bali masih diproses di badan legislatif. Di sisi lain, Gubernur Bali telah mengeluarkan peraturan Gubernur Bali Energi Bersih dan pengembangan kendaraan listrik, untuk mempercepat implementasi visi Bali sebagai daerah berwawasan berkelanjutan. Gubernur Bali juga menugaskan dinas terkait untuk melakukan percepatan penyiapan dokumen RUKD Bali 2019-2039 untuk memenuhi cita-cita mandiri energi dengan mendorong energi bersih dan menurunkan emisi. Pemda Bali sendiri sudah menghentikan pembangunan pembangkit baru yang tidak berbasis energi bersih di Bali.

Lain halnya dengan Pemda Bali, Pemda NTT sudah memiliki RUED yang diproses sejak 2017 dan telah diresmikan dengan perda pada 2019. Sherly Sicilia Wila Huky menyatakan bahwa Pemda NTT memiliki cukup banyak tantangan untuk perencanaan energi yang berorientasi iklim, di antaranya tingkat ketergantungan energi fosil yang masih tinggi, akses dan infrastruktur energi terbatas, belum adanya regulasi yang mengatur pengelolaan energi, pengelolaan potensi EBT yang belum optimal, dan keterbatasan sumber daya untuk melakukan riset dan inovasi. Pemda NTT sendiri memiliki target pemanfaatan EBT 24% pada tahun 2025 dan 39% pada tahun 2050, dengan menjalankan beberapa strategi: meningkatkan eksplorasi pemanfaatan EBT sebagai energi alternatif, penguatan kelembagaan lokal dengan mengaktifkan BUMDes (badan usaha milik desa) sebagai lembaga yang mengelola pemanfaatan EBT di tingkat desa, kebijakan konservasi energi, dan kolaborasi pembangunan energi.

Retno Gumilang Dewi dari ITB melihat bahwa dalam masa pandemi Covid-19, anggaran pembangunan banyak difokuskan untuk menanggulangi dampaknya. Meski demikian, pembatasan aktivitas dan mobilitas selama pandemi juga berkontribusi pada penurunan emisi karbon. Dalam sektor transportasi misalnya, konsumsi BBM menurun secara signifikan. Menurut Retno Gumilang Dewi, ada 3 pilar dekarbonisasi, yakni energi efisiensi, renewable energy, clean power, dan fuel switching. Retno memberikan usulan kepada pemda untuk membangun smart micro-grid (dalam ukuran kecil) daripada menunggu pembangunan grid besar terpusat. Smart micro-grid dapat digunakan untuk 100% energi terbarukan, seperti biofuel, dengan investasi pengembangan yang murah. Menurut Retno, penggunaan bahan bakar nabati juga perlu dipertimbangkan karena target EBT 23% di 2025 juga mencakup BBN.

Saladin Islami dari ICLEI Indonesia mengapresiasi 16 provinsi yang sudah memiliki RUED (Rencana Umum Energi Daerah). Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dengan keunikan tiap-tiap daerah, namun sayangnya kapasitas terpasang pembangkit EBT masih rendah dan didominasi oleh PLTA dan PLTP dengan tingkat teknologi yang cukup matang. Saladin memaparkan tantangan utama pengembangan energi terbarukan, yakni finansial, teknis, dan kebijakan. Isu finansial menjadi isu yang dominan dalam pengembangan EBT di Indonesia, termasuk di dalamnya pasar, tarif, dan biaya. Tarif berkaitan dengan power purchase agreement dan biaya pokok penyediaan energi, sedangkan biaya energi menjadi tantangan karena perlu mempertimbangkan affordability dari berbagai lapisan masyarakat. Dari segi kebijakan, banyak pemerintah daerah kesulitan menerjemahkan strategi prioritas dalam program pembangunan karena kebijakan yang sering berganti-ganti. Sumber daya manusia di daerah juga menjadi tantangan pengembangkan EBT, termasuk di dalamnya kesiapan teknis dan strategi keberlanjutan.

Menurut Saladin, pemerintah harus membuat rencana strategi yang terarah, dengan melakukan inventarisasi data energi dan emisi GRK, menyesuaikan pemanfaatan energi terbarukan dan kegiatan konservasi energi dengan prioritas pembangunan daerah, misalnya pemanfaatan sektor pariwisata, pertambangan, dan remote area, memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan dengan memanfaatkan potensi daerah sesuai kearifan lokal seperti pemanfaatan sampah rumah tangga dan biogas khususnya di daerah peternakan, serta melibatkan lembaga pendidikan di daerah untuk melakukan penelitian dan pelatihan dalam bidang energi terbarukan, konservasi energi dan perubahan iklim. Selain itu, pemerintah juga perlu menciptakan kader-kader baru untuk membangun daerahnya masing-masing.

Rekaman diskusi ini dapat disaksikan melalui tautan berikut: