Aksi Komprehensif untuk Transisi Energi Indonesia

Jakarta, 12 Desember 2023 – Perjalanan transisi energi Indonesia pada tahun 2023 memasuki fase konsolidasi, yang berarti sejumlah kebijakan yang muncul dalam kurun waktu 2020-2023 perlu untuk disinkronisasi agar pelaksanaannya dapat mempercepat langkah menuju satu tujuan besar yaitu membatasi peningkatan suhu bumi pada level 1,5 derajat celcius sesuai Persetujuan Paris.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam media briefing (12/12) yang diselenggarakan oleh IESR secara daring menyatakan terdapat sejumlah kondisi pendukung (enabling condition) yang menentukan keberhasilan transisi energi.

“Ada 4 enabling condition supaya transisi energi sukses yaitu, kerangka kebijakan dan regulasi, dukungan pendanaan dan investasi, aplikasi teknologi, serta dampak sosial dan dukungan masyarakat,” kata Fabby.

Fabby juga menambahkan bahwa terdapat sejumlah inisiatif transisi energi sejak tahun 2020 seperti RUPTL 2021, kesepakatan Energy Transition Mechanism (ETM), hingga Just Energy Transition Partnership (JETP). Adanya berbagai kesepakatan ini baik mengingat hingga 2020, tidak ada aturan terkait transisi energi, namun yang paling penting adalah implementasi dari berbagai kebijakan tersebut.

Pintoko Aji, analis energi terbarukan IESR, menyampaikan bahwa transisi energi (Indonesia) harus dilakukan secara menyeluruh pada semua sektor tidak terbatas pada sektor ketenagalistrikan saja.

“Tujuan akhir (ultimate goal) dari transisi energi ini adalah penurunan emisi maka upaya transisi energinya harus menyeluruh tidak terbatas pada sektor energi saja. Industri dan transportasi misalnya juga perlu mulai digarap karena saat ini belum banyak kebijakan yang konkret (actionable) pada sektor tersebut,” kata Pintoko.

Yunus Saefulhak, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan, Dewan Energi Nasional (DEN), dalam forum yang sama juga menjelaskan bahwa saat ini pihaknya sedang mengerjakan revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) untuk menyelaraskan berbagai target nasional dengan perkembangan komitmen transisi energi secara internasional dan strateginya.

“Revisi ini urgent untuk dilakukan karena kebijakan energi perlu selaras dengan kebijakan perubahan iklim, juga telah tersusun grand strategi energi nasional sebagai masukan pembaruan KEN & RUEN,” kata Yunus.

Salah satu poin pembaruan KEN adalah bauran energi baru terbarukan di tahun 2025 mencapai 17 – 19 persen, dan tahun 2060 mencapai 70-72 persen.

Berbagai perkembangan kebijakan maupun target-target yang disesuaikan perlu untuk terus dipantau dan dikawal. Institute for Essential Services Reform melakukan pemantauan berbagai perkembangan di sektor energi Indonesia sejak tahun 2017 dan menuangkannya dalam laporan utama bertajuk Indonesia Energy Transition Outlook. Pada tahun 2023 ini IESR kembali akan dan meluncurkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2024, pada tanggal 15 Desember 2023. Ikuti peluncurannya baik secara langsung (kapasitas terbatas) maupun melalui daring dengan melakukan registrasi di s.id/IETO2024

Menyongsong Transisi Energi di Sumatera Selatan

Podcast Ruang Redaksi RMOL Sumsel

Palembang, 6 Desember 2023 –  Sumatra Selatan (Sumsel) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi ekonomi yang besar. Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, perlu adanya transisi energi yang berfokus pada sumber energi terbarukan. Transisi ini tidak hanya akan memberikan manfaat lingkungan, tetapi juga akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan sektor ekonomi di Sumsel.

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, Indonesia perlu mengantisipasi sejak awal proses transisi energi dilakukan agar kesejahteraan masyarakat dan perekonomian tetap berjalan. Marlistya menilai, pandangan transisi energi apabila dilihat menggunakan kaca mata global, nasional maupun lokal belum tentu sama. Misalnya saja, beberapa negara di dunia telah mulai menggunakan energi terbarukan dan siap dengan pembiayaannya. Sementara itu, Indonesia baru mulai sekitar 10 tahun terakhir dalam proses transisi energi dan beberapa daerah penghasil batubara perlu melakukan perencanaan jangka panjang sehingga dalam melakukan transformasi daerah tersebut perlu melihat sudut pandang berbeda, seperti dari pengusaha, pekerja dan masyarakat di sekitarnya. 

“Salah satu keunggulan transisi energi yakni “demokrasi” energi dari sistem ekonominya. Energi terbarukan bisa diupayakan oleh banyak pihak. Seperti individu yang bisa mengupayakan penggunaan energi terbarukan (pemasangan panel surya di rumah, red). Hal ini membuka peluang banyak pihak untuk terjun ke industri energi terbarukan,” ujar Marlistya Citraningrum dalam Podcast Ruang Redaksi RMOL Sumsel pada Rabu (6/12).

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR

Lebih lanjut, Marlistya menyatakan, dalam proses transisi energi juga perlu dibahas mengenai sektor ekonomi alternatif lainnya, khususnya pada daerah penghasil batubara. Marlistya menekankan bahwa Sumatra Selatan selain disebut sebagai lumbung energi, juga lumbung pangan. Yang artinya, terdapat komoditas pertanian dan perkebunan yang dapat menjadi nilai tambahan perekonomian. Dengan kondisi tersebut, maka bisa ditingkatkan kualitas, akses pembiayaan dan modalnya. 

“Ketika melakukan diversifikasi ekonomi dalam transisi energi membutuhkan persiapan, tidak hanya dari sisi regulasi, perlu juga kesiapan dunia usaha dan bagaimana nanti masyarakat menghadapinya. Diversifikasi usaha menjadi salah satu strategi bagi dunia bisnis khususnya yang bergerak pada energi fosil. Namun demikian, kita perlu menekankan juga keadilan sosial bagi masyarakat yang terdampak. Misalnya saja, apakah perlu adanya sertifikasi atau pelatihan bagi masyarakat untuk bekerja di ekonomi hijau,” terang Marlistya. 

Brilliant Faisal, Fungsional Perencana Ahli Madya, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumatera Selatan (Sumsel) menuturkan, pihaknya berencana akan membuat berbagai jenis pelatihan baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam menghadapi proses transisi energi. Selain itu, Faisal menjelaskan pihaknya juga akan menyiapkan regulasi daerah terkait transformasi ekonomi untuk transisi energi berkeadilan. 

“Kami telah merencanakan delapan strategi utama yang akan direalisasikan pada 2024-2026. Delapan strategi tersebut di antaranya perwujudan transformasi ekonomi, peningkatan kondusifitas perekonomian wilayah, pemerataan pembangunan,serta peningkatan kualitas dan daya saing angkatan kerja. Hal ini perlu dilakukan karena Sumsel masih terpaku terhadap sektor unggulan semata, seperti batubara,” ujar Faisal.

Hermansyah Mastari, Ketua Umum Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) menerangkan, pihaknya selalu bersinergi dengan perusahaan yang akan berinvestasi di Sumatera Selatan. Namun, dukungan dari pemerintah daerah menjadi hal penting, khususnya dalam memberikan saran kepada perusahaan besar yang bergerak di energi fosil untuk mempersiapkan diri dan warga di lingkungan sekitar untuk beralih ke energi terbarukan.

“Beberapa waktu lalu ada fenomena di mana satu pabrik diserbu pencari kerja sejak subuh dan mereka rela mengantri sejak subuh. Peristiwa seperti ini seharusnya tidak terjadi. Untuk itu, sebaiknya perusahaan besar bukan hanya memberikan corporate social responsibility (CSR) semata, tetapi perlu didorong untuk bergerak membuat pelatihan kepada warga sekitar sehingga mereka memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk mencari uang serta berpartisipasi dalam menghidupkan perekonomian,” kata Hermansyah. 

Bermain Pintu Belakang di Solusi Pengurangan Emisi

Fabby Tumiwa dalam Konferensi Pers Climate Action Tracker

Jakarta, 6 Desember 2023 – Climate Action Tracker (CAT) kembali merilis laporan terbaru terkait ambisi dan aksi iklim 42 negara, termasuk Uni Eropa. Hasil penilaian CAT menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan sejak tahun lalu terhadap upaya penurunan suhu global. 

CAT memodelkan empat skenario peningkatan temperatur bumi berdasarkan kebijakan dan aksi saat ini, target penurunan emisi pada 2030, target net zero emission (NZE) dan skenario optimis. Keempat skenario tersebut berujung pada naiknya suhu bumi, sekitar 1,8℃ hingga 2,7℃ pada tahun 2100.

Bill Hare, CEO Climate Analytics mengatakan bahkan berdasarkan inventarisasi global atau global stocktake, dunia sudah keluar dari jalur untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5℃.

“Seharusnya emisi gas rumah kaca sudah menurun sekarang dan seharusnya menurun dengan cepat, tetapi justru terus meningkat. Isu utama dalam COP ini dan global stocktake adalah untuk mencapai kesimpulan tentang penghentian penggunaan bahan bakar fosil. Tanpa kesepakatan tersebut, saya ragu akan ada peningkatan terhadap upaya membatasi suhu bumi,” ungkap Bill Hare pada konferensi pers CAT di Dubai (5/12).

Senada, Claire Stockwell, Senior Climate Policy Analyst, Climate Analytics berpendapat, target penurunan emisi negara-negara pada 2030 justru sangat lemah.

“Kami memproyeksikan bahwa negara-negara yang kami analisis akan dengan sangat mudah memenuhi target tersebut dengan kebijakan yang ada saat ini, termasuk Indonesia,” tutur Claire.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan turunnya peringkat indonesia menjadi sangat tidak memadai dalam hal kebijakan dan aksi iklim, disebabkan oleh peningkatan emisi Indonesia lebih dari 21% dibandingkan tahun lalu. Fabby menjelaskan naiknya emisi ini diakibatkan pembangunan PLTU baru dan pengoperasian PLTU yang sempat terjeda akibat Covid-19.

“Pemerintah Indonesia sebenarnya telah membuat beberapa kebijakan, misalnya, tahun lalu mengeluarkan peraturan presiden yang tidak mengizinkan penambahan pembangkit listrik tenaga batubara baru untuk perusahaan listrik, tetapi masih mengizinkan pembangunan PLTU captive dengan beberapa syarat. Jadi kami pikir peraturan-peraturan ini akan memiliki dampak, tetapi tidak sekarang, tetapi mungkin dalam waktu dekat,” kata Fabby.

Niklas Höhne, Ahli di New Climate Institute mengutarakan upaya pengurangan emisi yang tidak signifikan ini terjadi karena banyak negara mengusulkan pintu belakang untuk melanggengkan penggunaan energi fosil. Ia mencontohkan beberapa terminologi yang mencerminkan solusi pintu belakang, seperti unabated tenaga fosil atau tenaga fosil tanpa teknologi CCS/CCUS, mengalihkan fokus pada hanya emisi energi fosil, dan penurunan penggunaan namun tidak menghilangkan (phasing down) energi fosil. Sementara menurutnya, berdasarkan Persetujuan Paris, negara-negara telah bersepakat untuk menyeimbangkan emisi dan sumber, dan hal ini hanya bisa terjadi jika seluruh energi fosil diakhiri pengoperasiannya.

“Jika kita terus bertahan pada sesuatu yang tidak jelas, seperti istilah unabated, mengalihkan fokus pada emisinya saja, dan phasing down, maka hanya jadi langkah mundur dalam pengurangan emisi,” imbuhnya.

Lebih jauh, ia juga menyoroti solusi-solusi teknologi yang juga bertujuan memperpanjang umur energi fosil, seperti hidrogen hijau dan menggunakannya dalam boiler gas, atau menggunakan listrik ramah lingkungan untuk menghasilkan amonia dan menggunakannya di pembangkit listrik tenaga batubara. Menurutnya pilihan teknologi tersebut  merupakan solusi yang salah, tidak efisien dan mahal.  

Tiga Prinsip Keadilan dalam Transformasi Energi di Indonesia

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan dalam Sustainability Media Academy pada Kamis (30/11).

Jakarta, 30 November 2023 – Indonesia, seperti banyak negara lain di dunia, berada di persimpangan yang krusial dalam menghadapi krisis iklim. Sebagai sebuah negara dengan sumber daya energi yang kaya, langkah menuju energi terbarukan telah menjadi keharusan, namun tak boleh terlepas dari prinsip keadilan. Transisi energi bukanlah semata soal perubahan sumber daya, tetapi juga tentang dampak sosial, ekonomi, dan keadilan bagi masyarakat yang terdampak. Di Indonesia, transisi ini bukan sekadar langkah teknis, melainkan juga kewajiban moral untuk memastikan bahwa setiap individu mendapatkan hak yang sama dalam perubahan ini.

“Kita perlu melihat tiga prinsip untuk mewujudkan prinsip keadilan dalam transisi energi. Pertama, keadilan di tingkat lokal, di mana kita perlu mengamati lebih dekat pihak mana saja yang mendapatkan manfaat langsung serta yang terdampak dari transisi energi di tingkat lokal. Misalnya, apakah masyarakat di sekitar pertambangan juga mendapatkan manfaatnya atau tidak,” ujar Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan dalam Sustainability Media Academy pada Kamis (30/11). 

Lebih lanjut,  Marlistya Citraningrum menjelaskan prinsip lainnya yakni keadilan dari perspektif kewenangan. Artinya, masyarakat perlu melihat bagaimana otoritas pemerintahan setempat dalam mengelola transisi. Hal ini berkaitan dengan kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan untuk memastikan keadilan bagi semua pihak. Ketiga, keadilan dalam jangka panjang. Artinya, bagaimana masyarakat termasuk individu berperan dalam mengelola  masa depan setelah berakhirnya industri penambangan, dimana kesejahteraan masyarakat perlu diperhatikan dan perekonomian juga harus tetap berjalan.

Selain itu, akses energi yang terjangkau, berkelanjutan serta dapat diandalkan patut diperhatikan dalam proses transisi energi. Ketidakstabilan pasokan energi dapat menjadi hambatan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam transisi energi, perlu dibangun sistem energi yang dapat diandalkan. Hal ini melibatkan investasi dalam teknologi penyimpanan energi, jaringan distribusi yang handal, dan diversifikasi sumber daya energi. 

“Untuk itu, transisi energi yang sukses memerlukan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Program pendidikan dan pelibatan masyarakat dapat meningkatkan pemahaman tentang pentingnya akses energi yang terjangkau, berkelanjutan, dan dapat diandalkan. Dengan memberdayakan komunitas untuk mengambil peran aktif dalam perubahan ini, dampak positif dapat dirasakan di tingkat lokal,” kata Marlistya. 

Marlistya juga menekankan agar pemerintah melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas, misalnya, masyarakat adat, perempuan, pemuda, dan kelompok marginal lainnya, serta memastikan keterlibatan mereka dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Kesetaraan dan inklusi sosial menjadi penting untuk memastikan bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang ditinggalkan dan kelompok rentan memiliki akses yang adil terhadap peluang yang diciptakan dalam transisi berkeadilan.

“Selain mengedepankan kebijakan berbasis bukti, perlu pula empati, pelibatan dalam proses pengambilan keputusan serta penerapan prinsip energi berkeadilan melalui  pendekatan gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI),” papar Marlistya. 

Upaya Indonesia dalam Menghijaukan Industri Kimia

Jakarta, 21 November 2023 – Industri kimia dinilai termasuk salah satu industri yang banyak mengeluarkan emisi. Di Indonesia, berbagai industri, termasuk besi & baja, kertas, semen, dan tekstil saling berhubungan dengan industri kimia. Integrasi industri kimia di Indonesia, khususnya amonia, ke dalam industri pupuk berkontribusi terhadap posisi Indonesia sebagai produsen amonia terbesar kelima di dunia. Langkah-langkah proaktif yang dilakukan Indonesia untuk menghijaukan industri amonia akan berdampak signifikan terhadap lanskap amonia global.

Faricha Hidayati, koordinator proyek dekarbonisasi industri di Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam webinar bertajuk “Penghijauan Industri Kimia: Perspektif dan Wawasan Internasional” menyoroti jumlah emisi yang dilepaskan untuk setiap ton amonia yang diproduksi.

“Untuk setiap ton amonia yang dihasilkan, rata-rata emisi langsungnya adalah 2,4 ton CO2. Ini dua kali lebih tinggi dari baja mentah dan empat kali lipat dari semen,” kata Faricha.

Mengingat besarnya jumlah emisi, industri amonia menyumbang 2% dari penggunaan energi global. Oleh karena itu, dekarbonisasi industri amonia menjadi sangat penting. Lebih lanjut Faricha menjelaskan, IESR saat ini mengusulkan empat pilar untuk melakukan dekarbonisasi industri amonia di Indonesia yaitu efisiensi material, efisiensi energi, pengembangan amonia hijau, dan pemanfaatan CCS dalam prosesnya.

Faricha menambahkan, ada peluang untuk mendorong dekarbonisasi industri amonia di Indonesia karena para pelaku industrinya sudah sadar akan emisi dan mau mencari cara untuk membatasi emisinya.

“Peluang lainnya adalah potensi besar Indonesia dalam proyek hidrogen hijau, ditambah dengan variabel energi terbarukan hingga 3.686 GW,” ujarnya.

Setelah menilai status quo saat ini, IESR mendesak pemerintah untuk menetapkan target penurunan emisi yang jelas untuk sektor industri. Meskipun saat ini Indonesia telah memiliki visi besar untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat, namun masih belum ada target dan peta jalan yang jelas bagi sektor industri dalam berkontribusi terhadap tujuan NZE.

Penerapan langkah-langkah efisiensi energi di industri amonia dianggap sebagai upaya yang mudah untuk melakukan dekarbonisasi sektor industri. Pendekatan ini memerlukan investasi awal dan adopsi teknologi yang paling sedikit, sembari terus mendorong implementasi strategi jangka panjang.

Saksikan webinar “Penghijauan Industri Kimia: Perspektif dan Wawasan Internasional” di sini.

Cerita Energi Melalui Komedi

Jakarta, 16 November 2023 – Komunikasi yang efektif penting dilakukan untuk mengubah paradigma dan menyebarkan narasi transisi energi. Isu yang cukup kompleks dan lintas sektoral membuat komunikasi transisi energi menjadi menantang. Untuk itu perlu dicari bentuk-bentuk komunikasi alternatif sebagai pembuka jalan penyebaran narasi transisi energi ini. 

Program Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia melaksanakan pagelaran komedi tunggal (standup comedy) untuk mendorong narasi transisi energi dengan cara yang lebih informal dibalut dengan komedi. Acara yang bertajuk “Ngomongin Energi Pake Komedi” ini menampilkan lima komedian tunggal dengan berbagai latar belakang.

Dalam sesi pengenalan program, Manajer Proyek CASE, Agus Tampubolon menjelaskan bahwa inisiatif ini terinspirasi dari science slam seperti di Jerman. 

“Tujuannya supaya science itu dibedah dengan bahasa yang mudah dipahami dan dikaitkan dengan topik-topik sehari-hari,” kata Agus.

Hal ini senada dengan pandangan Rahmat Mardiana, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas, yaitu perlu upaya khusus untuk mendorong komunikasi isu transisi energi di Indonesia.

“Transisi (energi) ini hal yang cukup kompleks, di mana kita perlu mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Menjadi kompleks karena berhubungan erat dengan SDM dan ketersediaan finansial, sehingga perlu kegiatan yang komunikatif supaya pemahaman ini semakin menyebar luas,” kata Rahmat.

Deputi Sarana dan Prasarana, Kementerian PPN/ Bappenas, Ervan Maksum, menambahkan bahwa narasi transisi energi dan kebutuhan untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celcius mungkin sudah menjadi pemahaman bagi sebagian orang. Namun bagi kelompok tertentu diperlukan contoh peristiwa dan bahasa yang lebih mudah dipahami.

“Masyarakat bahkan mungkin pemerintah daerah membutuhkan topik relevan yang lebih konkret seperti durasi dan pola musim yang semakin kacau untuk memahami krisis iklim dan transisi energi ini. Maka kegiatan ini sangat baik karena meski mungkin saat tampil tidak membawakan materi transisi energi atau tidak lucu, minimal saat persiapan dia (komika-red) pasti membaca atau belajar tentang transisi energi sehingga proses pembelajaran tetap terjadi,” katanya.

Acara ini menampilkan Byan Yukadar (1st Runner Up Porseni Stand-Up Comedy Bappenas), Muhammad Fadhil (2nd Runner Up Porseni Stand-Up Comedy Bappenas), Irvan S. Kartawiria, (Wakil Rektor bidang Akademik, Swiss German University (SGU) Periode 2018-2022), Hery Sutanto (Dekan Fakultas Teknik dan Ilmu Hayati, Swiss German University (SGU) dan Pandji Pragiwaksono (CEO of COMIKA & Stand-up Comedian Indonesia).

Prinsip Keadilan dalam Pembiayaan Transisi Berkeadilan Indonesia

Johor Bahru, Malaysia, 16 November 2023 – Menjelang COP28 di Uni Emirat Arab, terdapat perhatian yang meningkat terhadap upaya pembiayaan iklim. Pembiayaan iklim menjadi fokus penting untuk mendukung transisi yang adil menuju ekonomi berkelanjutan yang rendah karbon.

Transformasi menuju ekonomi rendah karbon dan pembiayaan transisi berkeadilan (just transition) memerlukan kepemimpinan pemerintah. Pemerintah dapat menangkap peluang pendanaan transisi energi dengan memastikan berjalannya transisi energi berkeadilan dan akuntabilitasnya. Sebagai contoh, pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang didukung oleh negara-negara maju untuk mempercepat transisi energi. Aspek keadilan harus menjadi prioritas dalam setiap kesepakatan pendanaan transisi energi.

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau, Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan bahwa transisi energi tidak hanya sekedar menutup PLTU batubara dan mengganti ke pembangkit energi terbarukan. Namun, diperlukan perspektif yang lebih luas dari dampak yang akan ditimbulkan oleh transisi energi.

“Pendanaan transisi energi tidak melulu terbatas pada pembangunan infrastruktur, tetapi setiap aspek dari transisi berkeadilan juga harus dipertimbangkan. Transisi berkeadilan itu sendiri juga bukan hanya tentang tenaga kerja yang terdampak, tetapi juga mengenai masyarakat luas di sekitar wilayah pertambangan batu bara,” ungkap Wira dalam Asia-Pacific Climate Week 2023.

Selain itu, Wira juga menilai bahwa pendanaan JETP masih sangat minim dan belum cukup untuk memenuhi target yang telah ditetapkan. Sumber pendanaan ini masih didominasi oleh pendanaan yang berbentuk pinjaman (loans).

“IESR adalah bagian dari kelompok kerja teknis dengan Sekretariat JETP. Pendanaan JETP masih banyak berbentuk pinjaman, dan beberapa di antaranya bukan merupakan komitmen baru dari negara-negara donor. Hanya sekitar 1,62% yang kita terima berupa hibah (grants) untuk transisi yang adil. Masih ada kekurangan dana dan hal ini cukup ironis bagi saya. Bantuan perlu ditingkatkan daripada pinjaman,” tandasnya.

Pendanaan transisi energi seharusnya mencakup pendekatan komprehensif, termasuk pensiun dini PLTU batubara, penanganan wilayah penghasil batubara, peningkatan penggunaan energi terbarukan, dan pengelolaan transisi di lokasi pertambangan. Wira menganggap bahwa JETP masih kurang memiliki pendekatan yang komprehensif dan holistik.

“Pendanaan transisi energi juga sudah semestinya menjadi titik awal. Saat ini, Indonesia sedang dalam proses implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), menggunakan komitmen domestik dan berupaya untuk menyelaraskannya dengan JETP dan Energy Transition Mechanism (ETM). Pemerintah Indonesia perlu menghadapi berbagai tantangan ada di tingkat domestik, nasional, dan internasional,” imbuh Wira.

Tiza Mafira, Direktur Climate Policy Initiative (CPI) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa perdebatan di beberapa lembaga keuangan mengenai pembiayaan transisi berkeadilan.

“Masalahnya adalah terdapat perdebatan di lembaga keuangan, apakah pembiayaan transisi berkeadilan merupakan bagian dari pembiayaan transisi energi? Ketika kita membicarakan bagian yang ‘adil’, kita berbicara tentang sejumlah proyek yang penting dalam transisi energi. Ini bukan hanya beberapa proyek, tetapi perubahan besar secara menyeluruh dalam ekonomi. Jika tidak dikelola dengan baik, ini akan berdampak pada skala yang besar,” jelas Tiza.

Inventarisasi Aksi Perubahan Iklim di Asia Tenggara

Johor Bahru, 15 November 2023 – Dalam mencapai agenda transisi energi global, berbagai pihak kawasan Asia Tenggara mengambil langkah-langkah aksi iklim termasuk aktor non-negara. Partisipasi penuh makna dari aktor non-negara sangat penting dalam mencermati kebijakan yang sedang berjalan dan memberikan masukan untuk perbaikan di masa depan.

Inventarisasi menjadi kegiatan penting untuk melihat kemajuan mitigasi dan komitmen iklim saat ini. Hasil penilaian tersebut kemudian dapat digunakan untuk merancang rekomendasi kebijakan yang kuat. Aktor non-negara dapat memperkaya nuansa inventarisasi global dengan menyelaraskan aksi iklim dengan kepentingan komunitas global.

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau di Institute for Essentials Services Reform (IESR) menyoroti hal-hal penting yang dapat diambil dari survei global pertama pada Asia Pacific Climate Week 2023 dalam sesi “Integrating the role of NSAs focused on the thematic areas–Adaptation, Finance, and Mitigation”. Ketidakseimbangan pertumbuhan emisi global dibandingkan dengan rencana mitigasi iklim membuat kebutuhan untuk bertransformasi secara sistematis menguat.

“Kita memerlukan ambisi iklim yang lebih besar yang diikuti dengan tindakan dan dukungan pada aksi mitigasi iklim di kawasan (Asia Tenggara-red),” katanya.

Wira menambahkan bahwa untuk mencapai emisi net-zero memerlukan transformasi sistematis di semua sektor, dan kita perlu memanfaatkan setiap peluang untuk mencapai output yang lebih tinggi. Sektor bisnis dan komersial merupakan aktor penting dalam mempercepat transisi energi karena mereka mengonsumsi energi dalam jumlah besar. Selain itu, beberapa industri (terutama yang terlibat dalam rantai pasok berskala multinasional), mempunyai kewajiban untuk menghijaukan proses bisnisnya.

“Apa yang dapat dilakukan pemerintah bagi dunia usaha (untuk mendekarbonisasi proses bisnis mereka) adalah menyediakan lingkungan yang mendukung jika mereka ingin beralih ke proses bisnis yang lebih berkelanjutan. Misalnya, pemerintah dapat memberikan insentif dan disinsentif berdasarkan pilihan sumber energi yang digunakan untuk menggerakkan dunia usaha,” tutup Wira.

Jingjing Gao, dari UNEP Copenhagen Climate Centre, menambahkan bahwa inisiatif yang dipimpin oleh sektor swasta patut diperhatikan dan diapresiasi. Namun saat ini, masih terdapat kesenjangan dalam penggabungan data secara keseluruhan dari sektor swasta.

Menanti Kepastian Regulasi untuk Adopsi Energi Surya

Fabby Tumiwa dalam konferensi pers Smart Transportation and Energy di Indonesia pada Kamis (9/11/2023)

Jakarta, 9 November 2023 – Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia sulit berkembang walaupun berpotensi mengakselerasi energi terbarukan dalam bauran energi primer. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa menjelaskan, Indonesia memiliki potensi terbesar dalam energi surya. Mengacu studi IESR, tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3000-20.000 GWp berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan. Meski demikian, terdapat beberapa tantangan untuk perkembangan energi surya di Indonesia, seperti implementasi regulasi tentang PLTS. Berdasarkan data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, realisasi kapasitas terpasang PLTS pada 2022 ialah 271,6 MW atau jauh di bawah rencana 893,3 MW. 

“Adanya kebijakan membatasi pemanfaatan PLTS sekitar 10-15 persen dari kapasitas membuat keekonomian PLTS menjadi rendah dan tidak menarik. Sepanjang 2021-2022, kondisi PLTS atap khususnya mengalami stagnasi. Tetapi, sejak awal tahun ini sudah ada upaya untuk merevisi peraturan tersebut untuk mencegah ketidakpastian dan prosesnya cukup panjang, bahkan sudah dibahas di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) revisi tentang PLTS. Sayangnya, proses tersebut belum selesai dan masih memerlukan koordinasi lebih lanjut antar Kementerian/Lembaga,” ujar Fabby Tumiwa dalam konferensi pers Smart Transportation and Energy di Indonesia pada Kamis (9/11/2023). 

Fabby Tumiwa berharap agar kondisi ketidakpastian tersebut perlu segera diselesaikan dan memerlukan ketegasan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Terlebih, Indonesia baru saja meresmikan PLTS Terapung Cirata pada Kamis (9/11/2023) dengan kapasitas 192 MWp, menjadikan PLTS Terapung terbesar di Asia Tenggara. 

“Peresmian PLTS Terapung Cirata ini dapat dilihat sebagai komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi surya. Dalam pembangunan PLTS Terapung Cirata ini tak lepas dari teknologi dan inovasi yang canggih dari China. Mengingat, China merupakan produsen terbesar teknologi energi surya di dunia. Apabila dilihat dengan adanya rencananya Indonesia meningkatkan bauran energi terbarukan, kita mengantisipasi adanya permintaan PLTS yang cukup besar dalam beberapa tahun ke depan,” terang Fabby Tumiwa.