Skip to content

Percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) terus dilakukan

Sejumlah petugas Pertamina melakukan pemeriksaan pengerjaan proyek Pambangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), di Rumah Sakit Pertamina Cilacap, Jawa Tengah, Senin (17/7). PT. Pertamina mengembangkan PLTS, di lingkungan Kilang Pertamina RU IV Cilacap, sebagai pilot project Energi Baru Terbarukan (EBT), dengan kapasitas 1 MW, yang terkoneksi langsung dengan jaringan listrik PLN dan mampu mengurangi emisi gas CO2 sebesar 7.430 kg per hari. ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/foc/17.

Author :

Authors

Kamis, 16 Januari 2020 / 21:00 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Upaya percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) terus dilakukan. Salah satunya dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) feed in tariff untuk menentukan harga jual EBT berdasarkan biaya produksi energi terbarukan.

Sebelumnya, Kontan sempat mendapat draf Perpres harga penjualan PLTP, PLTA, PLTB, PLTS, PLTBg, PLTBm, dan PLTSa. Di dalam draf tersebut, harga listrik yang dijual perusahaan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) akan mengalami kenaikan dibandingkan saat ini.

Sebagai contoh, harga jual listrik dari PLTP swasta untuk kapasitas 1 megawatt (MW) hingga 10 MW dari tahun ke-1 sampai tahun ke-12 ditetapkan sebesar US$ 14,50 sen per kWh. Sedangkan harga jual listrik tersebut untuk tahun ke-13 sampai tahun ke-30 ditetapkan sebesar US$ 12,90 sen per kWh.

Hingga tulisan ini dimuat, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM FX Sutijastoto belum bisa dimintai keterangan terkait draf Perpres Feed in Tariff EBT.

Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengaku, draf Perpres Feed in Tariff EBT sebenarnya belum sampai tahap final, sehingga harga jual EBT yang ditetapkan dalam draf tersebut belum tentu sama nantinya.

METI dan beberapa pelaku usaha EBT pun masih akan mengadakan rapat bersama pemerintah. “Besok kami masih akan rapat. Ada beberapa hal yang masih harus didiskusikan,” ujar dia kepada Kontan.co.id, Kamis (16/1).

Terlepas dari itu, ia menyoroti skema harga staging yang diterapkan pada draf Perpres Feed in Tariff EBT. Dengan skema tersebut, harga jual listrik berbasis EBT terdiri dari dua periode. Di periode pertama, harga EBT ditetapkan lebih tinggi dari rata-rata. Kemudian harga EBT akan mengalami penurunan di periode kedua.

Durasi masing-masing periode bervariasi, tergantung dari masing-masing jenis sumber energi. “Harga EBT juga bisa saja ditetapkan di level yang tinggi di awal untuk mempercepat pengembalian investasi dari pihak pengembang,” terang Surya Darma.

Ambil contoh pada harga jual listrik dari PLTP swasta yang disebutkan tadi. Angka US$ 14,50 sen per kWh yang tertera tentu memiliki berbagai pertimbangan. Misalnya tingkat kesulitan dan teknologi yang dibutuhkan untuk membangun PLTP sehingga mempengaruhi nilai investasi proyek tersebut.

Selama ini, harga jual listrik PLTP merujuk pada Permen ESDM No. 50 Tahun 2017. Di sana tertulis harga pembelian listrik dari PLTP ditetapkan paling tinggi sebesar biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, dengan adanya skema harga staging, selama periode pengembalian pinjaman, maka pengembang EBT akan memperoleh harga jual yang lebih tinggi. Baru setelah itu, harga akan diturunkan.

Ia pun menganggap harga EBT di dua periode tersebut dapat memberikan pemerataan tarif dengan tingkat interal rate of return (IRR) yang menarik bagi para pengembang EBT. “Harga yang tinggi membuat arus kas pengembang tidak terganggu selama masa pembayaran utang,” ujar dia, hari ini.

Terlepas dari itu, Fabby berpendapat, jika Perpres Feed in Tariff dirancang dengan benar dan tarif EBT yang ditetapkan memberikan tingkat pengembalian IRR yang cukup, maka seharusnya tidak dibutuhkan lagi insentif lain untuk merangsang investasi di bidang EBT.

Adapun Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Rizal Calvary menyampaikan, apapun skema penentuan harga EBT nantinya, ia berharap harga tersebut disesuaikan saja dengan nilai keekonomian proyek EBT. “Masing-masing proyek EBT punya keunikan dan dipengaruhi oleh beragam faktor,” tutur dia, Kamis (16/1).

Durasi masing-masing periode bervariasi, tergantung dari masing-masing jenis sumber energi. “Harga EBT juga bisa saja ditetapkan di level yang tinggi di awal untuk mempercepat pengembalian investasi dari pihak pengembang,” terang Surya Darma.

Ambil contoh pada harga jual listrik dari PLTP swasta yang disebutkan tadi. Angka US$ 14,50 sen per kWh yang tertera tentu memiliki berbagai pertimbangan. Misalnya tingkat kesulitan dan teknologi yang dibutuhkan untuk membangun PLTP sehingga mempengaruhi nilai investasi proyek tersebut.

Selama ini, harga jual listrik PLTP merujuk pada Permen ESDM No. 50 Tahun 2017. Di sana tertulis harga pembelian listrik dari PLTP ditetapkan paling tinggi sebesar biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, dengan adanya skema harga staging, selama periode pengembalian pinjaman, maka pengembang EBT akan memperoleh harga jual yang lebih tinggi. Baru setelah itu, harga akan diturunkan.

Ia pun menganggap harga EBT di dua periode tersebut dapat memberikan pemerataan tarif dengan tingkat interal rate of return (IRR) yang menarik bagi para pengembang EBT. “Harga yang tinggi membuat arus kas pengembang tidak terganggu selama masa pembayaran utang,” ujar dia, hari ini.

Terlepas dari itu, Fabby berpendapat, jika Perpres Feed in Tariff dirancang dengan benar dan tarif EBT yang ditetapkan memberikan tingkat pengembalian IRR yang cukup, maka seharusnya tidak dibutuhkan lagi insentif lain untuk merangsang investasi di bidang EBT.

Adapun Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Rizal Calvary menyampaikan, apapun skema penentuan harga EBT nantinya, ia berharap harga tersebut disesuaikan saja dengan nilai keekonomian proyek EBT. “Masing-masing proyek EBT punya keunikan dan dipengaruhi oleh beragam faktor,” tutur dia, Kamis (16/1).

Artikel asli

Share on :

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Article

IESR-Secondary-logo

Dengan mengirimkan formulir ini, Anda telah setuju untuk menerima komunikasi elektronik tentang berita, acara, dan informasi terkini dari IESR. Anda dapat mencabut persetujuan dan berhenti berlangganan buletin ini kapan saja dengan mengklik tautan berhenti berlangganan yang disertakan di email dari kami. 

Newsletter