IESR Sesalkan Pernyataan Jokowi Soal Pengembangan EBT

Jakarta-Sindonews.com – Institute for Essential Service Reform (IESR)menyambut baik peresmian kebun angin pertama di Indonesia, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap 75 MW dan PLTB Jeneponto 70 MW di Provinsi Sulawesi Selatan yang baru diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) awal pekan ini.

IESR menilai beroperasinya dua pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) ini merupakan indikasi positif upaya pengembangan energi terbarukan di dalam negeri.

Namun, IESR menyesalkan pernyataan Presiden Jokowi bahwa pemerintah tidak perlu melakukan intervensi dan mengatur harga jual listrik dari pembangkit energi terbarukan serta tidak perlunya insentif untuk sektor ini.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai, pernyataan tersebut kontra produktif dengan upaya menarik investasi untuk energi terbarukan. Fabby menilai presiden tidak mendapatkan informasi yang akurat mengenai situasi sebenarnya tentang investasi di sektor energi terbarukan.

“Walaupun ada sejumlah investor asing dan domestik yang tertarik berinvestasi di energi terbarukan, realisasi investasinya tidak optimal,” kata Fabby dalam siaran pers, Rabu (4/7/2018).

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, nilai investasi di sektor energi terbarukan tahun 2017 sebesar Rp11,74 triliun. Nilai ini turun dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai Rp21,25 triliun (2016), Rp13,96 triliun (2015). Fabby mengatakan, energi terbarukan merupakan sektor yang masih muda dan belum tumbuh mapan di Indonesia. “Pemerintah seharusnya justru menyiapkan kebijakan yang dapat mendorong iklim investasi yang sehat,” tegasnya.

Fabby menambahkan, kedua PLTB yang baru diresmikan Presiden Jokowi tersebut adalah proyek yang telah dikembangkan sejak lima tahun yang lalu, dengan tingkat kepercayaan yang lebih baik dan kondisi regulasi untuk PLTB yang lebih fleksibel dan memungkinkan adanya negosisasi dalam mekanisme perjanjian jual beli tenaga listrik antara pengembang dan PT PLN (Persero).

“Hal itu memungkinkan terjadinya optimalisasi harga dan expected return of investment para investor dan pengembang dapat terpenuhi,”
jelas Fabby.

Dia juga mengingatkan bahwa meski potensi energi terbarukan di Indonesia berlimpah dan minat investasi sangat tinggi, namun hingga kini ada banyak kendala yang dihadapi para pengembang, khususnya investasi untuk proyek pembangkit listrik di bawah skala 10 Megawatt (skala menengah).

Di akhir tahun 2017 sebanyak 70 pengembang listrik energi terbarukan yang telah melakukan tanda tangan penjualan tenaga listrik dengan PLN. Namun hingga Juni 2018, baru empat pembangkit yang sudah masuk dalam tahap pengoperasian secara komersial. Sementara, 45 proyek lainnya terpaksa mandek karena pengembang kesulitan untuk mencari pendanan dari perbankan, dan hingga sampai batas waktu yang ditentukan dalam PPA belum juga mencapai financial closing.

Selain itu, kata dia, kendala yang juga dihadapi para investor energi terbarukan adalah regulasi pemerintah yang tidak konsisten dan menurunkan minat investasi seperti Permen ESDM No. 12/ 2017 dan Permen No. 50/2017, kedua kebijakan ini telah yang mencabut insentif feed-in tariff dan menggantinya dengan aturan harga listrik berbasis energi terbarukan maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) PLN di masing-masing wilayah.

Permen No. 50/2017 menurutnya juga membuat proyek-proyek energi terbarukan menjadi tidak bankable karena adanya ketentuan harga beli dengan referensi BPP PLN dan adanya ketentuan BOOT (Build, Own, Operate, Transfer).

“Banyak pengembang yang kesulitan mendapatkan pendanaan di dalam negeri karena bank beranggapan proyek energi terbarukan berisiko tinggi dan suku bunga pinjaman yang masih dua digit. Tidak semua pengembang memiliki akses atas pendanaan dengan bunga rendah di luar negeri,” ujar Fabby

Karena itu, tegas dia, jika pemerintah serius mengembangkan energi terbarukan secara massif dalam kurun waktu 3-5 tahun ke depan, maka pemerintah justru perlu memperbaiki kerangka regulasi, mencabut Permen ESDM No. 50/2017, memberikan insentif fiskal dan non-fiskal secara selektif, serta menyediakan mekanisme khusus yang inovatif untuk memenuhi kebutuhan pendanaan

Sumber: Sindonews.com

Regulasi Listrik Surya Atap Diperlukan

Jakarta-Warta Ekonomi.co.id. Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) berpendapat bahwa target pencapaian Pembangkit Listrik Tenaga Surya sebesar 6,4 GW sebenarnya dapat terpenuhi.

Salah satunya dengan mendorong pengembangan listrik surya atap (solar rooftop) dengan memanfaatkan atap bangunan rumah pribadi, gedung pemerintah, gedung komersil, rumah ibadah, atap pabrik dan kawasan industri, serta fasilitas publik lainnya.

Sebelumnya pada September 2017, AESI, PPLSA, IESR, bersama dengan Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, dan berbagai organisasi lainnya meluncurkan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA), dengan tujuan mendorong pemanfaatan teknologi surya atap sehingga dapat mencapai kapasitas terpasang satu gigawatt pada 2020.

Ketua Umum AESI, Andhika Prastawa, mengatakan, sejak GNSSA diluncurkan, terdapat animo yang tinggi dari masyarakat dan ini ditandai dengan meningkatnya jumlah listrik surya atap yang tersambung dengan jaringan PLN (grid-tief) lebih dari dua kali lipat dalam enam bulan.

“Selain itu, tren yang sama juga dapat dilihat pada pemasangan listrik surya atap di gedung perkantoran, bangunan komersial, serta perumahan yang dikembangkan oleh developer,” kata Andhika di Jakarta, Senin (2/7/2018).

Direktur IESR, Fabby Tumiwa, menyampaikan, potensi surya atap di Indonesia cukup besar. Berdasarkan laporan IRENA (2017), potensi tenaga surya mencapai 3,1 GW per tahun, di mana sekitar 1 GW merupakan potensi dari listrik surya atap dan 2,1 GW untuk PLTS (ground mounted solar).

“Berdasarkan perkiraan potensi ini, target PLTS surya dalam KEN dan RUEN dapat tercapai dengan cepat,” ujarnya.

Perpres Nomor 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kata Fabby, telah menetapkan untuk mendukung pencapaian target listrik surya. Maka dari itu, diberlakukan kewajiban pemanfaatan sel surya minimum 25% dari luas atap bangunan mewah, kompleks perumahan, dan apartemen, dan 30% dari atap bangunan pemerintah.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada regulasi yang memadai untuk mendorong pengembangan listrik surya atap, bahkan Permen ESDM Nomor 1/2017 justru menghambat pemanfaatan teknologi listrik surya atap, khususnya untuk bangunan komersial dan industri serta fasilitas publik.

“Regulasi ini secara tidak langsung menghambat pemilik gedung dan pabrik serta kawasan industri memasang pembangkit listrik tenaga surya di atap bangunannya karena secara ekonomi menjadi lebih mahal dengan adanya ketentuan untuk membayar biaya kapasitas kepada PLN,” ujarnya.

Fabby menyarankan, Kementerian ESDM segera merumuskan regulasi yang mendorong pemanfaatan teknologi listrik surya atap secara ekonomis. Adanya regulasi yang memadai dapat mendorong perkembangan pasar teknologi photovoltaic di Indonesia yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya teknologi dan investasi serta membuka lapangan kerja.

“Seperti yang kita lihat di banyak negara, aplikasi teknologi listrik surya atap secara besar-besaran yang didukung pemerintah dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik surya. Bahkan, di sejumlah negara listrik dari surya lebih murah dari listrik yang diproduksi PLTU batu bara. Dengan biaya investasi yang semakin rendah, listrik surya justru dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik secara keseluruhan,” ujarnya.

Sumber: wartaekonomi.co.id

IESR Sesalkan Pernyataan Jokowi Terkait Sektor Energi Terbarukan

Presiden Joko Widodo meresmikan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Provinsi Sulawesi Selatan, pada Senin (2/7). | Sekretariat Negara

Jakarta-Akurat.co. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai beroperasinya dua pembangkit listrik yang memiliki potensi listrik tenaga bayu (angin), PLTB Sidrap, dengan kapasitas 75 MW dab PLTB Janeponto dengab kapasitas 70 MW, merupakan sinyal postif berkembangnya energi baru dan terbarukan di Indonesia.

IESR memprediksi potensi-potensi PLTB di Indonesia akan mencapai 100 GW. Namun IESR menyesalkan pernyataan Presiden tersebut yang mengatakan bahwa Pemerintah sebenarnya tidak perlu melakukan intervensi dan tidak perlu memberikan insentif tambahan terhadap sektor energi terbarukan.

Presiden beralasan energi terbarukan adalah sektor yang banyak diminati oleh para investor. Karenanya dengan adanya kompetisi diantara investor akan mendorong proses kompetisi sehingga harga menjadi murah.

Data Kementerian ESDM menunjukan nilai investasi di sektor energi terbarukan tahun 2017 sebesar Rp 11,74 triliun. Nilai ini turun dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai Rp 21,25 triliun (2016), Rp13,96 triliun (2015) dan Rp 8,63 triliun (2014).

“Kedua PLTB yang diresmikan oleh Presiden Jokowi adalah proyek yang telah dikembangkan sejak lima tahun yang lalu, dengan tingkat kepercayaan yang lebih baik dan kondisi regulasi untuk PLTB yang lebih flexible dan memungkinkan adanya negosisasi dalam mekanisme perjanjian jual beli tenaga listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) antara pengembang dan PT PLN,” kata Fabby dalam keterangan tertulisnya di Jakarta (4/7).

Fabby mengingatkan bahwa meski potensi energi terbarukan di Indonesia berlimpah dan minat investasi sangat tinggi, namun hingga kini ada banyak kendala yang dihadapi para pengembang, khususnya investasi untuk proyek pembangkit listrik di bawah skala 10 Megawatt (skala menengah).

Akhir tahun 2017 sebanyak 70 pengembang listrik energi terbarukan yang telah melakukan tanda tangan PPA dengan PT PLN. Namun hingga Juni 2018, baru empat pembangkit yang sudah masuk dalam tahap pengoperasian secara komersil atau COD (commercial operation date), sementara 45 proyek lainnya terpaksa mandek karena pengembang kesulitan untuk mencari pendanaan dari perbankan, dan hingga sampai batas waktu yang ditentukan dalam PPA belum juga mencapai financial closing.

Sementara itu, kendala lainnya yang juga dihadapi para investor energi terbarukan adalah regulasi pemerintah yang tidak konsisten dan menurunkan minat investasi. Fabby mencontohkan Permen ESDM No. 12/ 2017 dan Permen No. 50/2017, kedua kebijakan ini telah yang mencabut insentif Feed-in Tariff dan menggantinya dengan aturan harga listrik berbasis energi terbarukan maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) PT PLN di masing-masing wilayah.

Permen No. 50/2017 juga membuat proyek-proyek energi terbarukan menjadi tidak bankable karena adanya ketentuan harga beli dengan referensi BPP PLN dan adanya ketentuan BOOT (Build, Own, Operate, Transfer).

Sumber: Akurat.co