Kehadiran PLTB Sidrap dan PLTB Janeponto Sinyal Positif Perkembangan Energi Terbarukan

Jakarta-Tribunnews.com. IESR menyambut baik peresmian kebun angin pertama di Indonesia,

yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap 75 MW dan PLTB Jeneponto 70 MW di Provinsi Sulawesi Selatan, oleh Presiden Joko Widodo pada Senin, 2 Juli 2018.

IESR menilai beroperasinya dua pembangkit ini merupakan indikasi positif yang menunjukan bahwa Indonesia memiliki potensi energi bayu (angin) yang cukup besar.

Kementerian ESDM memperkirakan potensi PLTB di Indonesia mencapai 100 GW.

Dalam acara peresmian tersebut, Presiden Jokowi menyatakan bahwa pemerintah tidak perlu melakukan intervensi dan mengatur harga jual listrik dari pembangkit energi terbarukan.

Selain itu presiden juga menyampaikan tidak perlu diberikan insentif. Alasan presiden karena energi terbarukan adalah sektor yang banyak diminati oleh para investor dan adanya kompetisi diantara investor akan mendorong proses kompetisi sehingga harga menjadi murah.

“Ada banyak, ngapain diberikan insentif kan yang antre banyak. Izinnya saja yang masih ruwet, itu yang perlu diselesaikan agar izin lebih mudah dan gampang,” kata Jokowi.

IESR menyesalkan pernyataan presiden tersebut. Pernyataan tersebut justru kontra produktif dengan upaya menarik investasi untuk energi terbarukan.

Menurut IESR, presiden tidak mendapatkaninformasi yang akurat mengenai situasi sebenarnya tentang investasi di sektor energi terbarukan. Walaupun ada sejumlah investor asing dan domestik yang tertarik berinvestasi di energi terbarukan, tetapi realisasi investasi tidak optimal.

Data Kementerian ESDM menunjukan nilai investasi di sektor energi terbarukan tahun 2017 sebesar Rp 11,74 triliun. Nilai ini turun dari tahun-tahun sebelumnya yang mencapai Rp 21,25 triliun (2016), Rp. 13,96 triliun (2015) dan Rp 8,63 triliun (2014).

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyatakan energi terbarukan merupakan sektor yang masih muda dan belum tumbuh mapan di Indonesia.

Pemerintah seharusnya menyiapkan kebijakan yang dapat mendorong iklim investasi yang sehat sehingga harga ekonomi energi terbarukan dapat terbentuk.Sehingga nantinya bisa sejajar atau lebih rendah dari harga energi fosil.

“Kedua PLTB yang diresmikan oleh Presiden Jokowi adalah proyek yang telah dikembangkan sejak lima tahun yang lalu, dengan tingkat kepercayaan yang lebih baik dan kondisi regulasi untuk PLTB yang lebih flexible dan memungkinkan adanya negosisasi dalam mekanisme perjanjian jual beli tenaga listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) antara pengembang dan PT PLN. Sehingga terjadi optimalisasi harga dan expected return of investment para investor dan pengembang dapat terpenuhi,” jelas Fabby.

Dia juga mengingatkan bahwa meski potensi energi terbarukan di Indonesia berlimpah dan minat investasi sangat tinggi, namun hingga kini ada banyak kendala yang dihadapi para pengembang, khususnya investasi untuk proyek pembangkit listrik di bawah skala 10 megawatt (skala menengah).

Di akhir tahun 2017 sebanyak 70 pengembang listrik energi terbarukan yang telah melakukan tanda tangan PPA dengan PT PLN. Namun hingga Juni 2018, baru empat pembangkit yang sudah masuk dalam tahap pengoperasian secara komersil atau COD (Commercial Operation Date), sementara 45 proyek lainnya terpaksa mandek karena pengembang kesulitan untuk mencari pendanan dari perbankan, dan hingga sampai batas waktu yang ditentukan dalam PPA belum juga mencapai financial closing.

Selain itu, kendala yang juga dihadapi para investor energi terbarukan adalah regulasi pemerintah yang tidak konsisten dan menurunkan minat investasi seperti Permen ESDM No 12/ 2017 dan Permen No 50/2017, kedua kebijakan ini telah yang mencabut insentif feed-in tariff dan menggantinya dengan aturan harga listrik berbasis energi terbarukan maksimal 85% dari biaya pokok produksi (BPP) PT PLN di masing-masing wilayah.

Permen No. 50/2017 juga membuat proyek-proyek energi terbarukan menjadi tidak bankable karena adanya ketentuan harga beli dengan referensi BPP PLN dan adanya ketentuan BOOT (Build, Own, Operate, Transfer).

“Banyak pengembang yang kesulitan untuk mendapatkan pendanaan di dalam negeri karena bank beranggapan proyek energi terbarukan dinilai beresiko tinggi dan suku bunga pinjaman yang masih dua digit. Tidak semua pengembang memiliki akses atas pendanaan dengan bunga rendah di luar negeri,” ujar Fabby.

Sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada 2025 nanti kapasitas pembangkit energi terbarukan ditargetkan mencapai 45000 MW atau masih 36000 MW yang harus dibangun dalam 7 tahun mendatang.

Sumber: Tribunnews.com

Pemerintah Dianggap Hambat Penggunaan Panel Surya di Industri

Jakarta, CNN Indonesia — Aturan pemerintah dianggap menghambat pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia, khususnya teknologi surya atap. Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM) No.1 /2017, seperti diungkap Direktur Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa.

Menurutnya, beleid ini menghambat pemanfaatan teknologi atap surya. Khususnya pemanfaatan panel surya untuk bangunan komersial dan industri serta fasilitas publik. Pasalnya, peraturan ini secara tidak langsung membuat pemilik gedung harus membayar biaya kapasitas kepada PLN apabila produksi listrik mereka lebih dari 25 kVA.

“Nah, dengan kebijakan ini tentu membuat para pemilik gedung menjadi berpikir ulang untuk menyediakan listrik dari energi terbarukan. Padahal kalau mereka bisa memproduksi cukup besar, mereka sebetulnya bisa menawarkan kepada penyewa gedung, apakah akan menggunakan listirik dengan sumber energi konvesional atau dari energi terbarukan,” jelas Yesi Maryam, dari IESR saat dikontak CNNIndonesia.com, Selasa (3/7).

Selain itu, Fabby juga menyebut bahwa regulasi ini secara tidak langsung menghambat pemilik gedung dan pabrik serta kawasan industri (untuk) memasang pembangkit listrik tenaga surya di atap bangunannya. Adanya bayaran tersebut membuat pengelolaan listrik mandiri tersebut menjadi lebih mahal.

Oleh karena itu Fabby mengatakan Kementerian ESDM harus segera merumuskan beleid yang bisa mendorong penggunaan teknologi listrik surya secara ekonomis. Fabby menilai adanya regulasi yang memadai bisa mendorong pasar teknologi photovoltaic di Indonesia.

“Seperti yang kita lihat di banyak negara, aplikasi teknologi listrik surya atap secara besar-besaran yang didukung pemerintah dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik surya. Bahkan di sejumlah negara listrik dari surya lebih murah dari listrik yang diproduksi PLTU batubara” kata Fabby

Hal ini akan menurunkan biaya teknologi dan investasi yang bersanding dengan peningkatan penggunaan teknologi dan investasi. Tentu saja hal ini dibarengi dengan pembukaan lapangan kerja.

“Dengan biaya investasi yang semakin rendah, listrik surya justru dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik secara keseluruhan,” kata Fabby.
Potensi Energi Surya di Indonesia

Fabby melanjutkan, Indonesia memiliki potensi surya atap yang cukup besar. Data laporan dari International Renewable Energy Agency (IRENA) 2017 menunjukkan potensi tenaga surya mencapai 3,1 GW per tahun.

“Rincian IRENA menghasilkan dimana sekitar 1 GW merupakan potensi dari listrik surya atap dan 2,1 GW untuk PLTS (ground mounted solar),” kata Fabby.

Fabby mengatakan tentu potensi ini bisa memenuhi Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menargetkan adanya peningkatan dari lima persen pada tahun 2015 menjadi 23 persen pada tahun 2025.

Target pencapaian energi ini secara lebih rinci juga dijabarkan dalam Perpres No. 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Oleh karena itu Fabby menilai baik KEN dan RUEN bisa dicapai dalam waktu yang lebih cepat “Target ini mengindikasikan kapasitas pembangkitan listrik dari energi terbarukan sebesar 45 GW, atau diperlukan tambahan sekitar 36 GW dari kapasitas pembangkit yang ada saat ini. Pembangkit Listrik Tenaga Surya ditargetkan mencapai 6,4 GW,” kata Fabby

Keterangan rilis menuliskan saat ini kapasitas pembangkit energi terbarukan baru mencapai 9 GW. Total kapasitas pembangkit listrik energi surya masih di bawah 100 MWp, potensi nasional yang tersedia mencapai 560 GWp.

Ketua Umum Asosiasi Ekonomi Surya Indonesia (AESI) Andhika Prasatawa mengatakan Perpres tersebut sejalan dengan yang komitmen Pemerintah Indonesia pada Conference of Parties (COP) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Khususnya CO2 sebesar 29 persen pada tahun 2030.

Andhika mengatakan solusi listrik surya atap ini berkontribusi pada komitmen penurunan emisi yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam COP pada tahun 2015 di Paris.

“Solusi listrik surya atap juga menjadi bagian dari upaya konservasi energi dan mengurangi pemakaian listrik yang bersumber dari bahan bakar fosil,” ujar Andhika.

Sumber: CNN Indonesia

Energi Terbarukan Masih Perlu Insentif

Jakarta-Kompas — Pengembangan pembangkit listrik dari energi terbarukan di Indonesia masih membutuhkan insentif dari pemerintah. Selain kemudahan perizinan, pengembang menginginkan harga jual beli tenaga listrik yang menarik dan kemudahan mendapat pendanaan. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menjamin listrik dari energi terbarukan akan dibeli selama memenuhi sejumlah persyaratan.

Presiden Joko Widodo, saat meresmikan pembangkit listrik tenaga bayu di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (2/7/2018), menyatakan bahwa investasi sektor energi terbarukan di Indonesia tak memerlukan insentif. Hal itu disebabkan tingginya minat investor yang tertarik untuk mengembangkan listrik dari energi terbarukan di Indonesia. Menurut Presiden, hal terpenting pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah penyederhanaan izin.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, mengatakan, meskipun investasi asing dan domestik banyak yang tertarik mengembangkan energi terbarukan di Indonesia, realisasi investasi belum optimal. Sektor energi terbarukan di Indonesia adalah sektor yang masih muda dan belum tumbuh mapan. Pemerintah seharusnya menyiapkan kebijakan yang dapat mendorong investasi energi terbarukan tumbuh lebih cepat.

“Untuk beberapa investor, insentif berupa pemotongan pajak atau pengurangan bea masuk barang impor bisa menaikkan keekonomian proyek. Khusus investor lokal, akses pendanaan selalu jadi kendala akibat tingginya suku bunga kredit yang kadang di atas 12 persen. Mereka butuh suku bungan pinjaman yang rendah, sekitar 7-8 persen, utnuk mencapai keekonomian proyek,” ujar Fabby, Kamis (5/7/2018), di Jakarta.

Fabby menyinggung soal kontrak jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan yang ditandatangani pada 2017 lalu. Saat itu, terdapat 70 kontrak yang diteken antara PLN dengan pengembang. Namun, tercatat ada 46 kontrak yang kesulitan mendapat pendanaan. Apabila sampai tenggat waktu yang ditentukan belum mendapat pendanaan, PLN berhak memutus secara sepihak kontrak tersebut.

“Insentif untuk energi terbarukan tidak bisa dibuat seragam. Tetapi, perlu mempertimbangkan jenis teknologi yang dipakai pada pembangkit listrinya,” kata Fabby.

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, realisasi investasi sektor energi terbarukan di Indonesia pada 2017 mencapai 1,3 miliar dollar AS. Capaian itu lebih rendah dari realisasi investasi 2016 yang mencapai 1,6 miliar dollar AS. Tahun ini, pemerintah menargetkan realisasi investasi energi terbarukan sebesar 2,01 miliar dollar AS.

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni, mengatakan, Presiden Joko Widodo tampaknya mendapat informasi keliru mengenai tidak diperlukannya insentif bagi pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Menurut dia, untuk listrik dari tenaga air, insentif yang dibutuhkan adalah penyederhanaan proses perizinan.

SUMBER: KEMENTERIAN ESDM
Grafis realisasi dan target investasi sektor ESDM dari 2014-2018.

Sementara itu, Direktur Utama PLN Sofyan Basir, sesaat sebelum menghadiri rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR di Jakarta, mengatakan sependapat dengan Presiden bahwa belum perlu insentif untuk pengembangan listrik dari energi terbarukan. Namun, pihaknya berkomitmen siap membeli tenaga listrik dari energi terbarukan selama memenuhi persyaratan.

“Listrik dari energi terbarukan harus sesuai kebutuhan. Kalau ada jaringan atau transmisi, dan ada pembelinya, ya kami beli,” ucap Sofyan.

Kementerian ESDM terus berupaya mempermudah perizinan untuk investasi di sektor ESDM. Untuk investasi ketenagalistrikan, pemerintah telah mencabut 20 peraturan yang dianggap menghambat investasi. Pencabutan itu merupakan bagian dari 90 regulasi di sektor ESDM yang dicabut.

Data Kementerian ESDM menyebutkan, bauran energi primer untuk pembangkit listrik pada 2017, kontribusi energi terbarukan sebesar 12,15 persen. Kontribusi terbesar masih didominasi oleh batubara yang mencapai 57,22 persen. Adapun gas menyumbang bauran sebesar 24,82 persen dan bahan bakar minyak sebesar 5,81 persen.

KOMPAS/NINA SUSILO
Tenaga Angin – Presiden Joko Widodo meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap, Senin (2/7/2018). PLTB dengan 30 turbin ini adalah yang terbesar di Indonesia dan mampu menghasilkan 75 Mega Watt. Dengan kapasitas itu, PLTB bisa menyalurkan listrik ke 140.000 rumah pelanggan dengan 450 Watt di Provinsi Sulawesi Selatan.

Permudah izin

Presiden Joko Widodo meyakini energi baru terbarukan adalah jawaban untuk penyediaan energi listrik di Indonesia. Potensi cukup besar. Namun, kebijakan penunjang untuk mendorong kencang pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan tak terasa. Insentif tak ada. Hanya dijanjikan perizinan lebih mudah.

“Ke depan, akan dikembangkan pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan seperti yang kita lihat. PLTB tak hanya di Kabupaten Sidrap, tetapi juga dikerjakan dan sudah 80 persen selesai untuk PLTB Jeneponto. Sekarang juga sudah dikerjakan PLTB di Kabupaten Tanah Laut dan tahun depan diharapkan juga mulai pembangunan PLTB di Sukabumi,” tutur Presiden Joko Widodo dalam sambutannya ketika meresmikan PLTB Sidrap, di Desa Lainungan, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (2/7/2018).

Kendati mengakui besar potensi Indonesia untuk energi baru terbarukan, kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan PLT ramah lingkungan tak terasa. Seperti potensi panas bumi diakui mencapai 29.000 Mega Watt, tetapi yang mulai dikerjakan belum mencapai 10 persennya. Demikian pula matahari dan air sebagai pembangkit listrik disebut berpotensi besar.

Seusai meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap, salah seorang wartawan sempat menanyakan kemungkinan pemberian insentif untuk investor yang bergerak di tenaga listrik ramah lingkungan ini. Presiden Joko Widodo menjawab, banyak yang antre untuk investasi di bidang ini. Karenanya, tak perlu memberi insentif.

“Ngapain harus diberi insentif kalau yang antre saja banyak. Izinnya saja yang masih ruwet. Itu yang perlu diselesaikan, dipermudah,” tuturnya kepada wartawan.

Terkait harga pun, Presiden Jokowi menilai hal tersebut adalah harga pasar. Intervensi tak bisa dilakukan terlalu banyak. “Nggak mungkin investor ditekan-tekan kalau tidak untung, nggak mungkin. Tapi, semakin banyak kompetisi, harga akan semakin baik,” katanya.

Menteri ESDM Ignasius Jonan yang ditanyakan mengenai kebijakan pemerintah terkait pengembangan pembangkit listrik panas bumi yang relatif berbiaya tinggi berkilah, peminat investasi di bidang ini sangat banyak. “Tidak ada biaya tinggi, ‘kan yang minat banyak. Kalau tender saja, handphone saya sampai panas,” ujarnya.

Label: Presiden Joko Widodo, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu, PLTB Sidrap, Investasi Energi Terbaruka, Regulasi ESDM

Sumber: Kompas