IKEA, Google Cs Syaratkan Listrik EBT Sebelum Investasi

Jakarta, CNBC Indonesia- Direktur Eksekutif Institute for Esesential Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, jika pembangunan dan investasi energi baru dan terbarukan (EBT) tidak berjalan lancar, dapat berdampak pada penanaman modal asing. Pasalnya, pengembangan EBT dapat menjadi daya tarik investasi.

“Perusahaan-perusahaan multinasional banyak yang mau investasi di sini, tetapi dengan syarat listriknya menerapkan EBT,” ujar Fabby kepada media saat dijumpai di Jakarta, Selasa (31/7/2018).Lebih lanjut, Fabby menjelaskan, di seluruh dunia, perusahaan-perusahaan multinasional seperti Unilever, IKEA, Microsoft, dan Google sudah punya target untuk membeli listrik 100% dari EBT. Di Indonesia, ujar Fabby, ada perusahaan produsen sepatu NIKE dan Adidas yang sudah mulai terapkan EBT.

“Bisa tidak kita Indonesia terapkan kebijakan seperti itu? Jika ke depan mau investasi, mau tambah kapasitas, mana negara yang bisa sediakan listrik dengan EBT. Saya contoh Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, mereka bisa tarik investasi dari sini, tutup pabrik juga kalau tidak ada EBT,” ungkapnya.

“Pemerintah harus concern tentang hal ini. Ini yang mau beli itu inginnya begitu. Harus ada fleksibilitas di jaringan PLN,” tandas Fabby.

Sebagai informasi, sebelumnya, melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah telah menetapkan target untuk meningkatkan bauran EBT dari 7% saat ini menjadi 23% di 2025 dan 2030, yang setara dengan 45 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan.

Sejauh ini perkembangan EBT masih terbilang lambat, dengan kapasitas terpasang saat ini baru sebesar 9 GW atau 14% dari total kapasitas terpasangan pembangkit listrik, dan baru 20% dari total kapasitas yang menjadi target RUEN.

Adapun, meski diakui sulit tercapai, Pemerintah mengklaim tetap berkomitmen untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) yang sebesar 23% pada tahun 2025.

“Komitmen 23% itu kita tidak ubah sampai hari ini, yaitu tetap di tahun 2025,” tutur Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan melalui keterangan resminya, Senin (23/7/2018).

Lebih lanjut, Jonan menjelaskan, pihaknya telah melakukan beberapa inisiatif untuk mencapai target bauran EBT tersebut, seperti  mendorong PT PLN (Persero) dan Independent Power Producer (IPP) untuk masuk ke pembangkit energi terbarukan, misalnya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).

Inisiatif lainnya, Jonan telah meminta PLN mengganti seluruh Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan total kapasitas 3.200 megawatt (MW) menggunakan 100% minyak kelapa sawit.

Upaya lainnya adalah melalui penggunaan Rooftop Solar Photovoltaic (PV) atau rooftop panel surya. Jonan mengusulkan untuk menerapkan penggunaan rooftop panel surya kepada konsumen PLN jenis tertentu, seperti rumah tangga golongan 1 (R1) hingga R4 dan juga golongan bisnis.

Sumber :cnbcindonesia

Pertamina Kelola Blok Rokan, Biaya Produksi Harus Lebih Murah

Jakarta-Tempo.co – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform atau IESR, Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah perlu memastikan setelah izin pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas (migas) di Blok Rokan di Provinsi Riau diberikan kepada PT Pertamina (Persero). Jangan sampai, pengelolaan blok Rokan yang sudah semakin tua justru tak bisa optimal bagi keuntungan negara.

“Misalnya, mampukah Pertamina mempertahankan produksinya atau bahkan menaikkannya? Karena itu menjadi concern bagi energy security,” kata Fabby usai menjadi pembicara dalam launcing Indonesia Clean Energy Forum di Hotel Double Tree di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 31 Juli 2018.

Pertamina dan Chevron sebelumnya menyampaikan proposal pengelolaan Blok Rokan ke pemerintah. Tak sedikit kalangan telah meminta pengelolaan blok yang selama ini dikelola PT Chevron Pacific Indonesia dikembalikan lagi kepada negara. Pada akhirnya, tadi malam pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM diminta memberikan izin pengelolaan Blok Rokan yang habis pada 2021 kepada Pertamina.

Menurut Fabby, kepastian kemampuan untuk memproduksi penting sebab sekarang usia blok ini semakin tua. Sehingga dibutuhkan teknologi yang relatif baru seperti ehance oil recovery untuk mempertahankan produksi. “Yang punya kemampuan ini kan Chevron, Pertamina kan ngga pernah menerapkan hal itu. Dan harus diingat biaya capital investment dan risikonya tinggi,” kata dia.

Kemudian, pemerintah juga harus memastikan bahwa dengan nantinya jika dikelola oleh Pertamina biaya produksi bisa menjadi lebih murah. Terutama bisa memberikan keuntungan bagi negara dan tentu bagi Pertamina.

Ke depan, jika memang bisa memberi keuntungan pastinya mampu memberi ruang bagi kegiatan pencarian sumur minyak baru yang juga membutuhkan biaya tidak sedikit. Hal ini penting, sebab jika Pertamina untung bisa memberikan keleluasaan untuk mencari sumber minyak lain untuk mengamankan produksi minyak dalam jangka panjang. “Sekarang dilihat aja dengan diserahkan ke Pertamina, apakah hal itu hisa dipenuhi? Ketimbang ini harus Pertamina, ini harus Chevron,” tutur Fabby.

Oleh karena itu, Fabby justru menyarankan supaya pengelolaan Blok Rokan bisa dikerjakan bersama-sama. Misalnya dalam hal ini, kombinasi antara Chevron dengan Pertamina. Kepemilikan blok oleh Pertamina tetapi teknologinya menggunakan milik Chevron. Tujuannya, supaya keuntungan bisa menjadi lebih optimal dan bisa tetap mejaga jumlah produksi serta memastikan energy security.

Fabby menuturkan, joint operation dalam industri migas adalah hal yang biasa. Dengan cara ini, juga bisa membagi beban biaya yang besar dan beban risiko yang mungkin muncul.

Apalagi dengan kondisi keuangan Pertamina, menurut Fabby, yang belum terlalu bagus untuk ekspansi. Ia menyatakan cara ini dalam mengelola Blok Rokan terlihat lebih optimal untuk memastikan jumlah produksi tak terganggu dan pasokan energi mencukupi.

Sumber Tempo.co