Benarkah Klaim Prabowo Soal Indonesia akan Impor BBM 100% di 2025?

 

Jakarta, tirto.id – Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial. Kali ini, pidato Prabowo yang diunggah di laman Facebook resminya memicu polemik lantaran menyebut Indonesia akan sepenuhnya mengimpor bahan bakar minyak (BBM) pada 2025.

Dalam pidato bertajuk syarat “Negara Adil Makmur” itu, mantan Danjen Kopassus tersebut mengatakan bahwa masyarakat Indonesia harus bersiap-siap menghadapi krisis minyak. “Tahun 2025 Indonesia akan impor 100 persen BBM. [BBM] Kita habis 100 persen. [Kita impor] 2 juta barel sehari,” kata Prabowo.

Prabowo menekankan jika Indonesia tidak mengantisipasinya dari sekarang, maka pada 2025 akan benar-benar krisis minyak.

Namun demikian, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Djoko Siswanto membantah prediksi tersebut. Sebab, kata dia, produksi minyak Indonesia baru akan benar-benar habis 20 tahun mendatang dengan asumsi bila tidak lagi ditemukan cadangan minyak.

Saat ini, kata Djoko, lifting minyak mentah Indonesia memang terus mengalami tren penurunan dari tahun ke tahun. Menurut dia, tahun ini saja penurun diperkirakan sebanyak 775 ribu hingga 800 ribu barel per hari (bph).

Dengan estimasi penurunan 5 persen dibandingkan tahun lalu—yang sebesar 804 ribu bph—serta cadangan minyak sekitar 3 miliar barel, kata Djoko, maka minyak mentah Indonesia baru akan habis 20 tahun mendatang.

“Itu pun kalau tidak ada temuan minyak, kalau ada?” kata Djoko di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, pada Senin (31/12/2018).

Berdasarkan laporan tahunan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) 2017, cadangan terbukti minyak dan kondensat Indonesia sekitar 3,17 miliar barel, turun sebesar 4% dibandingkan 2016, yaitu 3,31 miliar barel [PDF, hal 22].

Sementara Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar dalam acara bertajuk “Kedaulatan Energi Memasuki Indonesia Emas 2045” di Jakarta, pada 25 Maret 2018 menyebut cadangan terbukti minyak bumi Indonesia sekitar 3,3 miliar barel.

Menurut Arcandra, dengan asumsi produksi konstan 800 ribu per hari tanpa adanya temuan cadangan baru, maka dalam 11 hingga 12 tahun ke depan Indonesia tidak mampu memproduksi minyak bumi lagi.

Faktor teknologi dan temuan cadangan baru, kata Arcandra, adalah kunci keberlangsungan produksi minyak bumi di Indonesia. Menurutnya, teknologi eksploitasi minyak bumi saat ini hanya dapat mengambil 40-50 persen cadangan minyak dari dalam perut bumi.

Prabowo Dinilai Terlalu Berlebihan

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai pernyataan Prabowo yang mengatakan Indonesia akan benar-benar kehabisan cadangan minyak pada 2025 kurang tepat.

Namun demikian, Fabby tak memungkiri jika posisi cadangan minyak Indonesia dapat habis dalam waktu dekat, sekitar 10 hingga 11 tahun mendatang.

“Data di pemerintah itu cadangan minyak kira-kira sekitar 10-11 tahun lagi. Jadi resource (potensi cadangan) ada reserves (cadangan), yang bisa diproduksi. Artinya, kan, ada sumber daya lainya yang belum bisa jadi reserve. Nah, untuk mengetahuinya harus eksplorasi [blok-blok minyak baru]” ujarnya.

Menurut Fabby, potensi-potensi ini belum bisa diketahui jumlahnya lantaran eksplorasi sumber-sumber migas baru Indonesia juga mengalami penurunan. Ia mencontohkan, dari 104 sumur yang direncanakan akan dieksplorasi pada tahun ini, yang terealisasi hanya sekitar 18 sumur.

“Untuk sumur eksisting realisasi 70 persen dari target, dan sumur pengembangan juga jauh dari target,” kata Fabby.

Karena itu, kata dia, kritik yang disampaikan Probowo Subianto harusnya lebih eksplisit. Misalnya, kata Fabby, mengapa eksplorasi migas di Indonesia terus menurun? Hal ini, kata Fabby, yang semestinya dikritik.

Apalagi, kata Fabby, saat ini pemerintah telah menerapkan sistem bagi hasil dengan skema gross split yang kian menyurutkan investor untuk melakukan eksplorasi migas di Indonesia. Padahal, kata Fabby, besaran investasi migas itu hampir sama dari tahun ke tahun.

“Karena investasi migas di Indonesia, kan, kurang menarik. Dari sisi return ke investor, kan, lebih kecil dibandingkan negara-negara lain,” kata Fabby menambahkan.

Hal senada diungkapkan Kepala Biro Fasilitasi Penanggulangan Krisis dan Pengawasan Energi Dewan Energi Nasional (DEN) Ediar Usman. Ia menyebut cadangan minyak Indonesia masih punya potensi untuk terus bertambah karena eksplorasi sumur-sumur baru terus berlanjut.

Berdasarkan data SKK Migas, kata Ediar, pada 2019 akan ada 12 proyek hulu migas yang akan beroperasi (on stream).

Dua proyek di antaranya, kata Ediar, adalah Full Well Steam Kedung Keris oleh ExxonMobil Cepu Ltd dengan target produksi 3.800 barel per hari (bph) dan proyek YY dengan target produksi puncak 4.605 bph dan 25,5 mmscfd oleh PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java.

Selain itu, kata Ediar, pemerintah juga telah mengarahkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk menjual hasil produksi minyaknya ke PT Pertamina (Persero). Artinya, kata dia, impor minyak mentah bisa ditekan dengan tetap mengandalkan cadangan dalam negeri.

“Tidak mungkin Indonesia mengimpor seluruh BBM pada 2025. Sekarang saja sudah ada sejumlah lapangan migas yang akan dikembangkan,” kata Ediar.

Sumber tirto.id

Jadi Program Populis, BBM Satu Harga Dikebut Rampung Sebelum Juni 2019

Jakarta, JawaPos.com – Kepala Badan Pengatur Hilir Migas Fanshurullah Asa mengatakan Program BBM Satu Harga akan selesai sebelum Juni 2019. Sebarannya tinggal 29 titik lagi. Adapun, wilayah tersebut ada di Maluku, Kalimatan, Sulawesi dan Papua.

Ifan, sapaan akrabnya menerangkan sejak dicanangkan pada 2015, BBM Satu Harga sudah menjangkau 131 titik di wilayah terdepan, terpencil dan terluar (3T). Sebanyak 122 titik dikerjakan PT Pertamina (Persero), sisanya dikerjakan oleh PT AKR Corporindo Tbk.

“Sisa 29 nanti itu bisa diresmikan sebelum Juni 2019. Jadi bisa kami kebut pengerjaannya,” ujar Fanshurullah saat konferensi pers di Kementerian ESDM, Senin (31/12).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan target capaian BBM Satu Harga di pertengahan 2019 ini menjadi mungkin lantaran ini adalah salah satu kebijakan populis pemerintah.

“Saya kira memungkinkan. Pemerintah akan berusaha all-out untuk mencapai target ini karena kebijakan ini populis dan sangat penting untuk menunjukan keberhasilan pemerintah,” kata Fabby saat dihubungi Jawapos.com, Rabu (2/1).

Dia menilai, saat ini persoalan yang sering menghambat bbm satu harga adalah logistik dan sistem distribusi. Jika belajar dari pengalaman pada 2018, ia menilai Pertamina sudah bisa lebih cepat mengatasi kendala-kendala tersebut. “Saya kira belajar dari 2018, Pertamina bisa lebih cepat mengatasi kendala-kendala tersebut,” tandasnya.

Adapun, adanya BBM Satu Harga disebut telah mendorong aktivitas perekonomian di daerah 3T, karena masyarakat semakin mudah mendapatkan akses BBM. Dimana, harga BBM di tiap pulau yang sebelumnya tinggi berkisar Rp 7.000 hingga Rp 100.000 per liter kini turun jauh menjadi Rp 6.450 (premium) dan Rp 5.150 (solar).

Sumber : jawapos.com