Begini Progres Kapasitas Pembangkit & Pertumbuhan Konsumsi Listrik di Tanah Air

Bisnis.com, JAKARTA —Pemerintah terus berupaya untuk menambah kapasitas listrik seiring dengan pertumbuhan konsumsi listrik di Tanah Air. Oleh karena itu, pemerintah membuat program Megaproyek Pembangkit 35 Gigawatt (GW) dalam periode 2015-2019.

Program pembangkit dengan total kapasitas 35 GW itu dengan asumsi pertumbuhan konsumsi listrik di atas 10% selama 2015-2019. Namun, realisasi pertumbuhan konsumsi listrik di bawah target tersebut, yaitu hanya di kisarran 5%. Hal itu membuat pemerintah menunda beberapa pembangkit.

Realisasi kapasitas terpasang pembangkit listrik hingga akhir 2018 sebesar 62,6 gigawatt (GW) lebih rendah dari target awal 77.873 GW. Namun, tidak tercapainya target kapasitas pembangkit itu dinilai justru menguntungkan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan bahwa kebutuhan listrik periode 2018—2019 sekitar 68,0 GW. Hal itu disebabkan oleh pertumbuhan konsumsi listrik pada 2017 dan 2018 melambat, yaitu rerata di bawah 5%, sedangkan target awal sebesar 7%.

Pada awal 2018, pemerintah memangkas target kapasitas pembangkit listrik yang akan beroperasi karena pertumbuhan konsumsi listrik di bawah target.

“Jadi menurut saya, justru suatu keuntungan untuk PLN jika kapasitas listrik terpasang lebih rendah dari yang direncanakan karena reserve margin [cadangan listrik] bisa dibuat lebih terkendali di bawah 30%,” katanya kepada Bisnis, Senin (7/1).

Selain itu, menurutnya, secara finansial juga akan lebih menguntungkan bagi PLN karena tidak perlu membayar kelebihan pasokan listrik dari pembangkit milik swasta.

Fabby mengungkapkan bahwa tugas pemerintah selanjutnya adalah menjaga keamanan pasokan listrik supaya tidak kekurangan pasokan listrik pada 2020.

Dia menambahkan, tidak ada penambahan proyek baru pembangkit listrik secara signifikan sepanjang tahun ini. Proyek pembangkit listrik dengan total kapasitas 15—16 GW masih terus dilanjutkan dari total target awal 35 GW.

Selain itu, lanjutnya, sejumlah proyek energi terbarukan akan masuk tahap konstruksi pada 2019. “Kami kira tidak akan banyak proyek-proyek baru [pembangkit listrik] pada 2019.”

Berdasarkan hasil riset IESR, sepanjang 2018 tidak ada kemajuan yang berarti untuk pengembangan energi terbarukan. Hal itu terlihat dari penambahan kapasitas terpasang pembangkit hijau yang relatif stagnan dalam 3 tahun terakhir.

Menurut catatan IESR, hingga kuartal II/2018, penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik energi terbarukan baru mencapai 320 megawatt (MW). Total kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan saat ini mencapai 9,4 GW di bawah target Kementerian ESDM sebesar 15,5 GW.

Fabby mengatakan bahwa laporan tersebut memberikan peringatan kepada pemerintah bahwa pengelolaan dan pelaksanaan program pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan tidak berada dalam jalan yang benar.

Pemerintah menargetkan kapasitas pembangkit listrik terpasang pada 2019 mencapai 68—70 GW melalui sejumlah program seperti megaproyek 35 GW, Fast Track Program (FTP) Tahap 1 dan 2 serta program reguler.

Menteri ESDM Ignasius Jonan menuturkan bahwa sejak 2014—2018, kapasitas pembangkit yang dibangun oleh PLN dan swasta naik menjadi 62,6 GW. Kapasitas listrik terpasang pada 2014 masih sebesar 53 GW.

“Akhir 2019 [kapasitas listrik] mungkin jadi 68—70 GW termasuk FTP 1-2 dan program 35 GW.”

Berdasarkan data kementerian ESDM, pembangkit listrik yang telah beroperasi hingga akhir 2018 sebesar 8% atau 2.899 MW dari total program 35.000 MW.

Proyek pembangkit listrik yang telah masuk tahap konstruksi sebesar 52% atau 18.207 MW, 11.467 MW belum konstruksi, sisanya 1.683 MW dalam proses pengadaan, serta 954 MW dalam tahap perencanaan.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM Rida Mulyana menyebut bahwa tahun ini akan menjadi fokus pada penuntasan persoalan kelistrikan dan juga merevitalisasi sambungan listrik bagi sejumlah wilayah yang terkena dampak bencana alam. (Anitana W. Puspa)

Sumber: ekonomi.bisnis.com.

Pengamat Usul Pemerintah Kerek Tarif Listik demi Keuangan PLN

Jakarta, CNN Indonesia — Pemerintah perlu menyesuaikan tarif listrik pelanggan PT PLN (Persero). Hal itu dilakukan untuk menjaga kondisi keuangan perseroan yang hingga kuartal III 2018 lalu mencatatkan rugi buku Rp18,48 triliun akibat pelemahan kurs. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, perseroan masih mencetak laba Rp3,05 triliun.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan jika mempertimbangkan faktor penyusun penyesuaian tarif, seperti inflasi, kurs rupiah, dan harga minyak, pemerintah seharusnya sudah melakukan penyesuaian harga sejak 2017 lalu Bahkan, jika mempertimbangkan margin wajar yang berkisar 8 persen harusnya tarif lebih mahal 10 hingga 15 persen dari tarif yang berlaku saat ini.

Kendati demikian, sejak 2016, pemerintah masih menahan tarif listrik setidaknya sampai kuartal I 2019.

“Tarif seharusnya merefleksikan biaya. Untuk kasus PLN, sebenarnya biaya seharusnya ditambah margin atau tingkat investasi yang wajar sehingga PLN bisa ekspansi,” ujar Fabby kepada CNNIndonesia.com, Senin (7/1)

Menurut Fabby, tarif listrik di Indonesia sebenarnya tak jauh dari biaya operasionalnya. Namun, prinsip penyusunan tarif PLN belum memperhitungkan rencana tambahan investasi jangka panjang (long term marginal cost) perseroan seperti yang dilakukan perusahaan listrik lain di beberapa negara.

Kondisi ini sebelumnya telah ditangkap Bank Dunia dalam laporan bertajuk Program Penilaian Sektor Infrastruktur (Infrastructure Sector Assestment Program) Bank Dunia yang dirilis pada Juni 2018 lalu. Laporan tersebut diakui Bank Dunia disusun bekerja sama dengan pemerintah, tetapi belum final.

Saat ini, penentuan tarif baru memperhitungkan biaya yang telah terjadi sesuai kontrak yang dilakukan. Padahal, PLN memiliki kebutuhan untuk melakukan ekspansi ke depan.

“Tarif PLN kan basisnya Biaya Pokok Pembangkitan yang investasinya sudah dilakukan sebelumnya,” ujarnya.

Sebenarnya, lanjut Fabby, jika dibandingkan negara lain, tarif listrik di Indonesia yang rata-rata berkisar 10 sen dolar AS hingga 11 sen dolar AS per kiloWatthour (kWH) tidak bisa dibilang terlalu rendah. Beberapa negara ada yang bisa menerapkan tarif listrik di kisaran 8 sen dolar AS.

Fabby memahami latar belakang pemerintah menahan tarif listrik yang utamanya untuk menjaga daya beli. Tak ayal, legislatif pun juga mendukung keputusan tersebut yang tak lepas dari pertimbangan politis, tidak hanya pertimbangan ekonomis.

“Kalau ingin tarif listrik merefleksikan biaya, tidak boleh dicampuradukkan politis. Subsidi boleh politis tetapi penentuan tarif tidak boleh politis,” ujarnya.

Di sisi lain, pemerintah juga membantu dari sisi efisiensi biaya PLN dengan memberikan harga khusus batu bara yang merupakan sumber energi primer terbesar. Selain itu, pemerintah juga menyuntikkan subsidi dan Penyertaan Modal Negara (PMN).

Namun, kondisi ini sebenarnya tidak sehat bagi keuangan PLN. Dengan susbsidi listrik mencapai Rp50 triliun, artinya PLN menggantungkan seperempat pendapatannya yang ada di kisaran Rp200 triliun per tahun.

Karenanya, penyesuaian tarif tetap perlu dilakukan setidaknya pada pertengahan tahun 2019. Jika tidak, pada 2020 atau 2021 kondisi keuangan PLN akan kolaps dan berimbas negatif pada pengembangan sektor ketenagalistrikan di Indonesia.

Pengamat Energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmi Radhi menilai sebagai perusahaan negara tarif PLN memang tak bisa lepas dari pengaruh pemerintah.Terlebih sektor ketenagalistrikan bersifat monopoli.

Namun, penentuan tarif PLN sebenarnya sudah cukup baik dengan mempertimbangkan tarif murah bagi golongan yang tidak mampu. Tarif golongan tersebut, mendapatkan subsidi dari pemerintah setiap tahun. Sementara, tarif listrik untuk golongan lain relatif mencerminkan biaya operasional PLN.

Di saat bersamaan, lanjut Fahmi, pemerintah tidak tinggal diam untuk membantu PLN dengan memberikan harga khusus batu bara yang lebih murah dari pasar yaitu maksimal US$70 per ton untuk kalori 6332 kcal.

Ke depan, Fahmi menilai pemerintah tidak bisa menahan tarif listrik PLN secara terus menerus. Senada dengan Fahmi, tarif seharusnya mencerminkan biaya operasional PLN.

“Kebijakan yang paling tepat adalah menerapkan penyesuaian tarif. Saat harga batu bara dan minyak naik kemudian rupiah melemah PLN bisa menaikkan dan berlaku sebaliknya,” ujarnya.

CNNIndonesia.com telah mencoba menghubungi PLN. Namun, hingga berita ini diturunkan PLN belum memberikan tanggapan. (sfr/agi)

Sumber: cnnindonesia.com.

Realisasi investasi EBTKE hanya US$ 1,60 miliar atau 79,60% dari target

 

Dirjen EBTKE, Rida Mulyana –PLTS Nunukan Terangi Wilayah Perbatasan

JAKARTA-KONTAN.CO.ID. Realisasi investasi di subsektor Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) tak memenuhi target. Sepanjang tahun 2018, Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hanya mencatatkan realisasi investasi sebesar US$ 1,60 miliar atau 79,60% dari target yang dipatok diangka US$ 2.01 miliar.

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Rida Mulyana beralasan, target tersebut terlalu ambisius sehingga sulit tercapai. Sebab, Rida menjelaskan bahwa target investasi di EBTKE sangat tergantung dengan porsi pembangkitan listrik yang tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), sedangkan target investasi sebesar US$ 2,01 miliar dipatok dengan asumsi akan ada percepatan pembangunan yang dilakukan pada tahun 2018.

“Investasi (EBTKE) yang ditargetkan itu berdasarkan RUPTL. Target US$ 2,01 miliar itu sifatnya ada percepatan pembangunan, berarti kan ditarik ke sini (2018), nah itu tidak terealisasi,” kata Rida dalam pemaparan capaian EBTKE tahun 2018 di Kantor Ditjen EBTKE, Selasa (8/1).

Rida menekankan, investasi di subsektor EBTKE dinilai menarik oleh investor. Buktinya, kata Rida, realisasi investasi tahun ini masih lebih tinggi jika dibandingkan tahun 2017 yang hanay mencapai US$ 1,3 miliar.

Investasi di subsektor EBTKE pun ikut berkontribusi dalam menarik aliran modal dari investor luar negeri ke dalam negeri. Namun, Rida kembali menegaskan, berbeda dengan subsektor mineral dan batubara (minerba) serta minyak dan gas (migas) yang realisasi investasinya sangat dipengaruhi oleh harga komoditas, di EBTKE ini, patokannya adalah pembangkitan dalam RUPTL.

“Investor banyak yang tunggu, Alhamdulillah lebih besar dari tahun sebelumnya. Jadi kita tidak mandeg, banyak masuk juga dari luar negeri, aliran (dana) masuk ke dalam negeri, tapi itu berdasarkan rencana, RUPTL” ujar Rida.

Selain itu, Rida menambahkan karakteristik investasi di EBTKE pun memiliki perbedaan dari segi jangka waktu, dimana masa perencanaan proyek EBTKE bisa memakan waktu 2-3 tahun. “Apalagi panas bumi malah 6-7 tahun, listrik baru bisa dirasakan,” imbuhnya.

Adapun, pada tahun 2019 ini, Kementerian ESDM mematok target investasi di subsektor EBTKE lebih kecil dibanding tahun lalu. Yakni sebesar US$ 1,79 miliar dengan rincian investasi di panas bumi sebesar US$ 1,23 miliar, bio energi US$ 0.051 miliar, aneka energi EBT US$ 0,511 miliar, dan konservasi energi US$ 0,007 miliar.

Rida berdalih, penurunan besaran investasi itu tidka terkait dengan realisasi tahun 2018 yang tidak mencapai target, melainkan mengikuti panduan dalam RUPTL. “Bukan diturunkan, mengikuti RUPTL-nya aja. Kita berbasis rencana,” katanya.

Di sisi lain, Rida tak menampik bahwa banyak pihak yang menilai Peraturan Menteri (Permen) Nomor 50 Tahun 2017 menjadi penghambat investasi. Terutama terkait dengan skema penyerahan aset ketika kontrak berakhir atau build, own, operate, and transfer (BOOT).

Rida mengatakan sudah banyak yang memberikan masukan terkait dengan Permen dan skema BOOT tersebut. Ia pun mengaku bahwa pihaknya bersikap terbuka dan alergi dengan perubahan regulasi.

Namun, pada akhirnya perubahan Permen itu tergantung pada pertimbangan dan keputusan dari Menteri ESDM Ignatius Jonan. “Pak Menteri sudah menerima masukan. Jadi karena itu Permen, kita tunggu arahan dari Pak Menteri. Yang jelas kita tidak alergi dengan perubahan,” tutur Rida.

Kendati demikian, pada kesempatan yang sama, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Harris, meyakinkan bahwa Permen 50 Tahun 2017 dan skema BOOT bukan menjadi kendala utama yang menghambat investasi. Harris memberikan gambaran bagaimanan investasi dalam pembangunan pembangkit listrik EBT terus berjalan.

Berdasar data terkini yang dipaparkannya, dari 70 proyek pembangkit EBT yang sudah menandatangani kontrak jua beli listrik atau Power Purchase Agreement (PPA), sudah ada empat proyek yang telah Commercial Operation Date (COD) dengan kapasitas total 27 Megawatt (MW) dan nilai investasi sebesar Rp. 718,9 miliar.

Sedangkan 29 proyek lainnya sedang dalam masa konstruksi dengan total kapasitas 282 MW dan nilai investasi Rp. 21,1 triliun. Sisanya, sebanyak 37 proyek masih dalam proses untuk mendapatkan kepastian pendanaan (financial close/FC) dengan total kapasitas 404 MW dan nilai investasi yang diperlukan sebesar Rp. 13,3 triliun.

Per pagi tadi, kata Harris, pihaknya baru mendapatkan kabar dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bahwa ada tambahan 10 proyek yang sudah tanda tangan dan masuk tahap konstruksi. Namun, Harris mengaku belum mendapatkan laporan detailnya.

“Konstruksi itu yang saya catat tadi pagi masih 29. Tapi karena ada tambahan dari PLN, berati ini jadi 39. 10 tambahan itu saya belum dapat datanya. Jadi total 27 (yang masih menuju FC),” ujarnya.

Adapun, selama tahun 2018, Harris mengatakan, ada lima proyek yang PPA. Yakni satu telah COD, satu sedang konstruksi dan tiga masih mencari pendanaan. Sehingga, Harris meyakini bahwa Permen Nomor 50 tahun 2017 dan skema BOOT tidak menjadi penghambat investasi. Tapi, Harris mengungkapkan bahwa yang bisa menghambat investasi adalah persoalan teknis dalam feasibility studies (FS) dan pengajuan proposal dalam pengajuan pendanaan.

Jadi, menurut Harris, para pengembang harus mampu untuk menunjukkan keberlanjutan proyek serta perhitungan resiko dan keekonomian yang jelas. “Bukan BOOT-nya, tadi dari aspek teknis proposal, kaitannya dengan sustainability project. Kalau salah hitung kan resikonya besar, itu yang harus dibenahi, selama in banyak bermasalah” jelasnya.

Namun, menurut Ketua Asosiasi Perusahaan Pengembang Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni, Permen Nomor 50 tahun 2017 khususnya skema BOOT yang ada di dalamnya, sangat tidak ideal bagi investasi. Terutama untuk proyek pembangkit kecil di bawah 10 MW, karena tidak menarik bagi perbankan.

Riza pun meminta supaya pengembang dalam negeri diberikan insentif, sebab proyek pembangkitan listrik mini ini rentan diakuisisi oleh perusahaan asing. “Sangat tidak ideal. Yang di bawah 10 MW, karena aturannya tidak bankable akhirnya ada beberapa yang jalan karena diakuisisi perusahaan asing. Investor China suka yang skala kecil,” kata Riza kepada KONTAN, Selasa (8/1).

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Menurutnya, Permen No.50/2017 dan skema BOOT masih menjadi tantangan untuk investasi kelistrikan EBT.

“Tergantung pada pengembang, tapi Permen itu masih menjadi hambatan untuk mendapatkan pembiayaan secara umum. Selain itu kapasitas pengembang dan kemampuan finansial juga masih jadi tantangan pengembangan energi terbarukan,” terangnya.

Fabby pun memproyeksikan, investasi dan pengembangan EBT pada tahun ini akan stagnan. Ia memperkirakan, potensi investasi pembangkit EBT yaang sudah PPA dengan PLN pada tahun lalu dan telah FC, akan di bawah 200 MW.

Menurut Fabby, mayoritas investor akan wait and see di tahun ini, meningat ada resiko politik dan kualitas regulasi yang menjadi pertimbangan. Sehingga, ia memprediksikan bahwa realisasi investasi di tahun ini hanya berkisar di angka US$ 1,4 miliar. “Itu estimasi saya, dari proyek-proyek yang potensi masuk di 2019. Saya kira target (investasi EVT 2019 yang dipatok pemerintah) itu juga moderat,” katanya.

Adapun, pada ahun 2019 ini, Ditjen EBTKE menargetkan akan ada lima Wilayah Kerja Panas Bumi yang akan dilelang. Sedangkan kapasitas terpasang sepanjang tahun ini ditargetkan bisa mencapai: 2.128,50 MW untuk panas bumi, 1.881,90 MW untuk bio energi, 318,07 MW untuk pembangkit tenaga air, 15 MW untuk tenaga surya, dan 60 MW untuk tenaga angin.

Sumber: kontan.co.id.