Daya Saing RI Rendah, Investor EBT Kabur ke Vietnam

Jakarta, CNN Indonesia — Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkap alasan penyebab investor energi baru terbarukan (EBT) kabur dari Indonesia sejak 5 tahun terakhir.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai hal tersebut terjadi karena rendahnya daya saing Indonesia dalam menarik Investor Energi Baru Terbarukan (EBT).

Fabby menyebut Investor yang masuk pada 2015 pun mayoritas keluar dari Indonesia di tahun 2017 dan selanjutnya berinvestasi di negara-negara tetangga Indonesia. Salah satunya, Vietnam.

“Makanya, kalau dilihat ada investasi di Vietnam bisa bangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 4,5 GigaWatt, ada angin 300 MegaWatt lebih, itu adalah eks investor-investor yang 2015 datang ke Indonesia. Tapi karena tidak ada potensi bisnisnya di sini, mereka pergi ke negara-negara tetangga,” kata Fabby di acara Clean Energy Outlook 2020, Jakarta, Selasa (17/12).

Selain kalah dari Vietnam, sambung Fabby, daya saing Indonesia juga kalah dari Filipina, Thailand dan Malaysia.

“Itu semestinya bisa jadi peringatan ke pemerintah,” ujarnya.

Fabby kemudian menyebut beberapa faktor yang mempengaruhi minimnya daya saing, seperti kurangnya dana proyek-proyek energi baru terbarukan. Terhitung, per 2019, sebanyak 27 proyek memiliki kesulitan pendanaan.

Hal itu, sambung Fabby, tak lepas dari terlalu bergantungnya proyek-proyek Indonesia kepada pendanaan dari korporat.  Adapun proyek yang mendapatkan pendanaan itu lebih karena sponsornya cukup kuat jadi mereka mendapat pendanaan,” tuturnya.

Padahal, lanjut Fabby, sifat pendanaan di negara lain yang memiliki investasi EBT yang tinggi memiliki pendanaan tipe project finance, bukan corporate finance seperti Indonesia.

Akibat minim pendanaan, Fabby menyebut beberapa bank sudah kehilangan nafsu untuk meminjamkan modal di ranah EBT.

“Bahkan dari hasil survei kami terakhir, sejumlah bank dalam negeri mulai kehilangan appetite atas proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia,” tuturnya.

Sementara itu, salah satu faktor di project finance yang menentukan adalah kualitas dari proyek, salah satunya bankability.

Dengan larinya investor, lanjut Fabby, akan menimbulkan permasalahan terutama berkaitan target bauran energi yang dicanangkan pemerintah, yakni mencapai 23 persen di 2025.

IESR sendiri, telah memproyeksi Indonesia membutuhkan investasi sebesar US$70 miliar hingga US$90 miliar untuk mencapai tingkat bauran energi tersebut.

“Sedangkan, perkembangan EBT masih jauh di bawah ekspektasi. Kalau kita lihat hampir tidak ada proyek-proyek baru yang masuk sepanjang 2019,” ungkapnya. Sebagai catatan, hingga akhir 2019, capaian investasi EBT yang diterima pemerintah lebih rendah dari target tahunan yang telah dipasang. Tercatat, capaian investasi energi terbarukan 2019 hanya mencapai US$1,17 juta dari total target senilai US$1,8 juta.

“Investasi energi terbarukan terus turun dan ada di bawah target yang sebenarnya dicanangkan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) maupun RENSTRA (Rencana Strategis) Kementerian ESDM pada tahun 2015,” tuturnya.

Menurut Fabby, pemerintah harus segera melakukan tindakan konkret dalam mengatasi permasalahan EBT di Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan memastikan pencanangan omnibus law akan dapat berjalan dengan baik.

“Saya rasa pemerintah harus bertindak cepat, karena investor yang masih bertahan juga pasti tidak memiliki waktu yang banyak dalam wait and see kalau tidak ada perubahan nyata,” ungkapnya.

Tekan Impor Migas

Di tempat yang sama. Sekretaris Ditjen EBTKE Halim Sari Wardana mengungkapkan bauran energi baru terbarukan merupakan bagian dari upaya pemerintah menekan impor minyak dan gas bumi (migas).

Halim menegaskan bahwa potensi energi terbarukan cukup besar dalam menekan impor migas ke depan. Hal itu salah satunya tercermin dari program pencampuran biodiesel pada minyak Solar.

Ia mengatakan Indonesia sudah siap dengan penggunaan bahan bakar B30 yang akan dirilis 23 Desember 2019.

“Kita kan sudah ada B20, sebentar lagi mulai 23 Desember ini kita bisa mulai menggunakan B30, secepatnya kita kebut B40, B50 kalau bisa sampai B100,” tuturnya.


Artikel asli tayang di CNN Indonesia.com

Tambahan 385 MW Tidak Signifikan

ENERGI

JAKARTA, KOMPAS — Penambahan kapasitas terpasang listrik dari energi terbarukan sebanyak 385 megawatt pada tahun 2019 dipandang tidak signifikan. Sesuai Rencana Umum Energi Terbarukan, bauran energi terbarukan ditargetkan 23 persen pada tahun 2025 atau setara kapasitas terpasang 45,000 megawatt. Tanpa gebrakan kebijakan, target itu akan sulit dicapai. 

“Butuh komitmen politik pemerintah yang tertuang dalam regulasi ataupun kebijakan agar investasi tumbuh pesat,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa di Jakarta, Selasa (17/12/2019). 

Penambahan 385 megawatt pada tahun ini menggenapi sebanyak 8.173 megawatt total kapasitas terpasang listrik energi terbarukan pada pembangkit milik PT PLN (Persero). Investasi energi terbarukan juga dianggap kurang agresif. Dari target 1,8 miliar dollar AS tahun ini, sampai triwulan III-2019, realisasinya 1 miliar dollar AS. Menurut Faby, sejak pemerintah mencabut skema feed in tariff (biaya patokan pembelian tenaga listrik berdasarkan biaya produksi listrik) dan menetapkan harga jual listrik energi terbarukan berdasarkan biaya pokok pembangkitan listrik setempat, investasi jadi lesu. Kebijakan itu diatur dalam peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. 

“Lembaga pembiayaan kurang tertarik karena mereka melihat tidak ada prospek yang baik dan resikonya tinggi” kata Fabby. 

Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi ENergi Kementerian ESDM Halim Sari Wardana mengakui, mengatasi tantangan energi terbarukan tidaklah mudah. Beberapa penyebab beratnya pengembangan energi terbarukan adalah regulasi yang tumpang tindih atau aturan yang tak menarik investor. Begitu pula masalah kelengkapan dan keakuratan potensi energi terbarukan di Indonesia yang perlu disempurnakan. 

Beberapa tahun terakhir, nilai investasi sektor energi terbarukan fluktuatif. Pada 2014, investasi yang terealisasi mencapai 600 juta dollar AS dan naik jadi 1 miliar dollar AS pada 2015. Nilainya naik jadi 1,6 miliar dollar AS tahun 2016, lalu turun jadi 1,3 miliar dollar AS tahun 2017, dan naik lagi jadi 1,6 miliar dollar AS tahun 2018. 

Pengembangan energi terbarukan di Indonesia yang kurang agresif, menurut Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Surya Darma, disebabkan kesadaran tentang asal-muasal energi masih terbilang rendah. Harga energi yang murah dan terjangkau jadi lebih penting ketimbang kesadaran mengenai sumber energi yang harus bersih. Isu lingkungan dan keberlanjutan jadi terabaikan. (APO). 

Artikel ini tayang di Harian Kompas 18 Desember 2019, Setelah Peluncuran Studi Indonesia Clean Energy Outlook 2020 oleh IESR di The Soehanna Hall, Jakarta