Belajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Panen Energi dari Air dan Matahari

  •  Kasepuhan Ciptagelar, masih memegang tradisi dan adat istiadat dengan kuat. Meskipun begitu, mereka memanfaatkan berbagai teknologi, bahkan punya saluran televisi komunitas sendiri. Warga Ciptagelar pun tak ketinggalan informasi, karena mereka punya Wifi.
  •  Darimana sumber energi komunitas adat ini? Berbagai keperluan energi, mereka juga hasilkan sendiri dengan memanfaatkan air dan matahari.
  •  Mandiri energi dengan memanfaatkan sumber terbarukan, seperti di Kasepuhan Ciptagelar, layak dicontoh. Sayangnya, di Indonesia yang memiliki limpahan sumber energi terbarukan, pemanfaatan masih minim.
  •  Institute for Essential Services Reform mengusulkan, mengurangi jumlah pembangkit listrik tenaga batubara dan meningkatkan kontribusi energi terbarukan tiga kali lipat pada 2030. Untuk tetap berada dalam batas 1,5 derajat celcius, Indonesia harus menghentikan penggunaan batubara pada 2040.

Namanya Desa Ciptagelar, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ia berada di ketinggian 800-1.200 meter di atas permukaan laut. Dari Jakarta, berjarak sekitar 172 km. Medan cukup terjal dan meliuk-liuk, khas perjalanan menuju puncak bukit.

Di desa ini hidup masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Mereka masih memegang teguh nilai dan prinsip kasepuhan adat, walau ketika memasuki Imah Gede, atau rumah besar tempat Abah dan Emak—keluarga sepuh yang jadi pimpinan kasepuhan– tinggal, tak sulit menemukan perangkat elektronik untuk berbagai keperluan. Mulai dari komputer, sound system, berbagai alat musik hingga perangkat pemancar. Mereka punya jaringan televisi lokal sendiri! Namanya Ciga TV.

Hampir setiap rumah punya televisi dan warga Ciptagelar menonton tradisi dan ritual mereka yang didokumentasikan Ciga TV.

Ciga TV, merekam hampir semua kegiatan di desa, terutama masa tanam hingga masa panen raya yang jadi kebanggaan kasepuhan.

Abah Ugi, pemimpin ke sebelas kasepuhan, mengatakan, dengan sistem cocok tanam tradisional, organik tanpa pupuk, masyarakat Ciptagelar sudah punya cadangan pangan setidaknya untuk 95 tahun ke depan.

Di desa ini panen hanya sekali setahun dan masyarakat tak pernah merasakan gagal panen. Hasil panen disimpan dalam leuit (lumbung padi). Tak heran saat memasuki desa ini leuit-leuit berjejeran apik memenuhi desa. Satu keluarga kecil minimal harus punya satu leuit. Ada pula leuit komunal untuk kepentingan bersama.

Yoyo Yogasmana, Tetua Adat Ciptagelar yang bertugas menjembatani antara orang luar kasepuhan dengan siapapun yang hendak berkunjung ke Ciptagelar. Kang Yoyo begitu dia biasa disapa, tinggal tak jauh dari Imah Gede.

Memasuki rumahnya, seperti Imah Gede, berbagai perangkat sound system, komputer, pemancar radio, alat musik, televisi dan kulkas memenuhi hampir sebagian rumah kayu apik berlantai dua.

“Ini pemancar pertama yang dibikin Abah,” kata Yoyo, menunjukkan perangkat pemancar televisi sederhana rakitan Abah Ugi.

Abah Ugi adalah pimpinan Kasepuhan. Meski usia baru kepala tiga namun seluruh masyarakat adat kasepuhan hormat dan tunduk pada setiap perkataan abah. Masyarakat meyakini, Abah Ugi, sebagai keturunan sepuh, memiliki darah pimpinan yang mewakili leluhur mereka.

Bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar leluhur menjadi simbol pembawa kehidupan ke atas dunia. Karena itu , penghormatan masyarakat terhadap leluhur dengan berbagai ritualnya, jadi sakral.

Warga Kasepuhan Ciptagelar, menanam pagi. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Lantas dari mana kasepuhan mendapatkan energi untuk melistriki berbagai perangkat elektronik ini? Mereka juga punya pembangkit listrik tenaga air dan matahari!

Empat PLTMh terbangun untuk memenuhi kebutuhan listrik Desa Ciptagelar. Mula-mula dibangun turbin Cicemet pada 1997. Turbin kapasitas 50 kVa dibangun JICA dari Jepang.

“Saat ini turbin ini off karena sudah terlalu tua,” kata Yoyo.

Setelah turbin Cicemet, dibangun turbin Situ Murni dengan kapasitas 50 kVa oleh Pemerintah Jawa Barat pada 2006-2012. Kemudian pembanguan PLTMh Cibadak dan Ciptagelar pada 2013-2014.

Semua turbin ini memanfaatkan aliran Sungai Cisono, sepanjang 800 meter. Yoyo memperkirakan, semua PLTMh yang dibangun di Ciptagelar telah memberi akses listrik pada sekitar 1.500-1,700 keluarga di desa ini.

Energi terbarukan memang jodoh mereka dalam pemenuhan kebutuhan listrik yang ramah lingkungan.

“Air (sungai) selalu ada karena kita selalu menjaga hutan,” kata Yoyo.

Kasepuhan Ciptagelar, seperti masyarakat adat lain, punya aturan sendiri soal hutan larangan, hutan titipan dan hutan garapan. Mereka punya batas lokasi dan waktu tersendiri, kapan lahan boleh dibuka dan bagaimana ia kembalikan lagi menjadi seperti semula. Bangunan di desa ini semua berbahan natural, yang istilah Yoyo, apapun itu saat diinjak ke tanah akan tumbuh kembali.

Zonasi-zonasi hutan ini dijaga oleh Barisan Jagawana. Tugas mereka memeriksa titik-titik di dalam hutan, memastikan ekosistem tetap terjaga. Kalau ada pelanggaran, Jagawana akan melaporkan pada Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk penindakan.

Kadang, ada pelanggaran yang tidak terdeteksi. Namun menurut Yoyo, alam akan memberi pelajaran. Dia contohkan, kalau kerajinan rotan dari hutan larangan, biasa lebih sulit laku dibanding rotan yang layak ambil.

“Di dalam kasepuhan hukum negara, adat, agama dan alam semua berlaku.”

Selain PLTMh, kasepuhan ini juga mengandalkan sinar matahari dengan pembangkit listrik tenaga surya. Energi dari PLTS untuk memancarkan wifi warga desa.

Tak heran meski berada jauh di pegunungan, masyarakat adat ini melek informasi. Anak-anak terbiasa menggunakan internet tanpa meninggalkan waktu latihan silat, salah satu tradisi yang menjadi identitas masyarakat Ciptagelar.

 

Salah satu turbin pembangkit energi air di Kasepuhan Ciptagelar. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Energi terbarukan masih minim

Desa Kasepuhan Adat Ciptagelar, satu contoh bagaimana energi terbarukan memenuhi kebutuhan listrik. Sayangnya, penggunaan energi terbarukan belum optimal di Indonesia.

Pasokan energi per kapita di Indonesia masih kurang dari setengah rata-rata G20, dan intensitas energi dalam perekonomian tetap berada di bawah rata-rata. Namun, emisi CO2 terkait energi meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Perkembangan energi terbarukan di Indonesia, lambat, baru 12%, di bawah rata-rata negara G20 sekitar 25%. Sumber paling banyak digunakan air dan panas bumi.

Padahal menurut Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), peningkatan bauran energi terbarukan dan pemanfaatan dapat membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik.

Dalam Perjanjian Paris, Indonesia komitmen menurunkan 29% emisi dengan usaha sendiri atau 41% dukungan internasional.

“Sektor kelistrikan salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca,” katanya.

Berdasarkan kajian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan United Nation Development Programme (UNDP) 2018, emisi sub sektor pembangkit listrik mencapai 199 MtCO2e pada 2017. Hingga 2030, diperkirakan tumbuh 10,1% per tahun atau 699 MtCO2e.

Fabby bilang, emisi bisa turun 36% dengan penetrasi energi terbarukan lebih tinggi 20%. Dengan itu, faktor emisi listrik nasional bisa turun dari 1,005 tCO2e per MWh jadi 0,729 tCO2e per MWh.

Data Climate Action Tracker 2019, PRIMAP 2018 dan World Bank 2019 dikutip laporan IESR, Brown to Green tahun lalu, emisi gas rumah kaca per kapita Indonesia, 5 tCO2e, berada di bawah rata-rata G20 7,5 tCO2e. Tingkat emisi per kapita ini naik 17% sejak 2011- 2016.

Menurut laporan ini, Indonesia belum berada di jalur tepat untuk memenuhi target batasan suhu global 1,5 derajat celcius. Untuk itu, Indonesia harus mengurangi tingkat emisi kurang 551 MtCO2e pada 2030 dan hingga di bawah 128 MtCO2e pada 2050.

Sedang Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia hanya membatasi emisi pada 2030 di 1.817 MtCO2. Penghitungan ini dari climate action tracker ( CAT) dengan tak memperhitungkan emisi penggunaan lahan.

“NDC Indonesia makin tidak ambisius,” kata Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

IESR mengusulkan, mengurangi jumlah pembangkit listrik tenaga batubara dan meningkatkan kontribusi energi terbarukan tiga kali lipat pada 2030. Untuk tetap berada dalam batas 1,5 derajat celcius, Indonesia harus menghentikan penggunaan batubara pada 2040.

Faktanya, sekitar 67% bauran energi Indonesia, termasuk listrik dan bahan bakar transportasi, masih dari bahan bakar fosil. Penggunaan energi terbarukan tetap stabil cukup rendah selama bertahun-tahun.

Perempuan Kasepuhan Ciptagelar, sedang menumbuk padi. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Mitigasi energi

Dari segi kebijakan, Indonesia berencana membangun 16,7 gigawatt listrik energi terbarukan pada 2028. Indonesia pernah melakukan feed in tariff namun sempat berganti dengan sistem persentase biaya pokok pembangkitan (BPP) dan build-own-operater-transfer (BOOT), di mana aset pembangkit listrik tidak dapat digunakan sebagai jaminan.

Fabby bilang, Permen No 59/2017 itu membuat investasi energi terbarukan menjadi tidak menarik.

Tahun ini, pemerintah merevisi Permen 50/2017 jadi Permen No 4/2020 yang mengubah sistem BOOT menjadi build own operate (BOO) dan memberi opsi pemilihan dan penunjukan langsung untuk pengembangan energi terbarukan.

Indonesia, katanya, juga belum memiliki rencana menghapus ketergantungan terhadap batubara. Sebaliknya, berniat membangun PLTU 6 gigawatt pada 2020 dan 27,1 gigawatt pada 2028. Dengan ini kapasitas batubara akan meningkat dua kali lipat pada 2028.

Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan, setelah program 35.000 Megawatt selesai, pembangkit baru akan gunakan energi terbarukan.

Industri batubara juga masih dapat subsidi signifikan baik langsung maupun tak langsung. Secara langsung, dengan jaminan pinjaman, pembebasan pajak, pengenaan royalti dan tariff pajak. Secara tak langsung, dengan pemberlakuan batas harga batubara yang dijual.

Dengan kondisi rentan perubahan iklim, katanya, Indonesia perlu tindakan adaptasi. IESR mencatat, rata-rata setiap tahun ada 252 korban jiwa dan kerugian mencapai US$1,8 miliar karena cuaca ekstrem.

Untuk mencapai target bauran 23% pada 2025, perlu instalasi energi terbarukan 8-9 gigawatt pertahun dengan investasi US$9-10 juta per tahun.

Dengan ada pemanasan global, masyarakat dan sektor pendukung makin terpapar berbagai peristiwa iklim ekstrem. Dengan pemanasan global 3 derajat celcius, Indonesia akan mengalami 30 hari per tahun dengan suhu panas di atas 35 derajat celcius.

Secara keseluruhan semua sektor terkena dampak buruk kenaikan suhu.

“Karena itu, ada peningkatan energi terbarukan signifikan menunjukkan Indonesia turut berperan mengurangi risiko iklim global yang akan mengancam kehidupan generasi sekarang dan masa depan.”

Cara-cara pemenuhan energi seperti di Kasepuhan Ciptagelar, bisa jadi sumbangan aksi penyelamatan krisis iklim di bumi ini.

*Liputan ini didukung oleh program Story Grants Perubahan Iklim Terkait Kesehatan oleh Internews’ Earth Journalism Network Asia-Pasifik

Keterangan foto utama:  Turbin pembangkit listrik air Kasepuhan Ciptagelar. Darimana sumber energi komunitas adat ini? Berbagai keperluan energi, mereka juga hasilkan sendiri dengan memanfaatkan air dan matahari. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Artikel ini menjuarai Transisi Energi Ideathon 2020 Jurnalisme Kreatif  kategori Feature News

Energy Transition Ideathon 2020 Wall of Fame

Jakarta, 14 September 2020 – The Ideathon 2020 Energy Transition organized by the Institute for Essential Services Reform (IESR) concluded the first season on Saturday, 12 September 2020, with the 2020 Ideathon Awarding Ceremony attended by Finalists and the Judges which was broadcast live via zoom. The series of Energy Transition Ideathon activities carried the big theme of Indonesia Freedom from the ‘dirty energy’ (fossil fuels). The competition was held from 10 August 2020 to 11 September 2020.

The opportunities and threats of a global energy transition wave need to be properly anticipated and addressed by key stakeholders in the energy and electricity sector with better knowledge and understanding of current trends and their consequences. The role of the Indonesian people, especially the younger generation, plays an important role in supporting and accelerating this energy transition agenda, including in building public opinion on the importance of people’s awareness of the use of Renewable Energy technology and / or clean energy sources at the local level.

This year the Republic of Indonesia is celebrating its 75th day of independence. Independent (free) from colonialism, but not yet free from providing energy sourced from dirty energy (gas, oil, and coal). Meanwhile, at the same time, other countries, including developing countries in Southeast Asia, have responded and participated in the wave of the renewable energy transition to energy systems and low carbon economies. In commemoration of Indonesia’s 75th independence day, the Energy Transition Ideathon 2020 was held, to participate in providing ideas and thoughts for how Indonesia can transition to a low-carbon energy system, free from dirty energy. The delivery of these events, ideas and thoughts is packaged in a competition for innovative creative journalism, photography, and innovative video. With the theme of  ” Indonesia Free from Dirty Energy (fossil), IESR calls on the best works of the nation’s citizens to be able to contribute to voicing the urgency of transitioning from dirty energy.

This competition aims to provide a forum for journalists, photo and video content creator, and the Indonesian people, in general, to be able to voice their opinions and aspirations regarding the importance of the energy transition in Indonesia in the context of the 75th Independence Day of the Republic of Indonesia. Apart from that, the series of activities carried out also served as a momentum to listen to the perspectives and aspirations of the community towards energy supply and access in Indonesia.

IESR as the organizer also strives to provide a creative forum for the public (especially the younger generation) in conveying their perspectives and ideas on the status of global energy transition development and its urgency for Indonesia; get information, views, and input from the general public regarding the challenges of reporting on the topic of energy / clean energy transition as well as; increasing the participation and role of the younger generation in encouraging the discourse of an energy transition in the country so that it can be free from dirty energy, are some of the main things we want to achieve.

The competition closes on August 31, 2020, the organizing committee received more than 100 participants with photos, videos, and creative journalism that were followed by participants from the west to the east of Indonesia. All submitted works are then selected into several participants who are then announced as the Finalists in the Video and Photo Story competition

The Finalists are:

Finalists of the Innovation Video Competition
(arranged alphabetically by participant’s name)

Abiteru Sitepu, Kabanjahe
Akhmad Romadoni, Pasuruan
Epafras Freddy, Yogyakarta
Fajri Ramdjani, Makassar
Farkhana Rizkya, Mojokerto
Haritsa Taqiyya Majid, Yogyakarta
Aji Saputro, Lamongan

Photo Story Contest Finalist

Andri Muhamad Fauzi, Bandung
Arif Hermawan, Jakarta
Fitra Yogi, Padang
Giri Wijayanto, Sleman
Lilik Darmawan, Banyumas
Muhammad Awaludin, Palembang
Muhammad Iqbal, Malang
Muhammad Ikhsan, Bengkulu

Panel of Adjudicators

IESR also invited numbers professional jury who are experts in their respective fields who have experience and qualified technical backgrounds in each category, and the panel of adjudicators are:

Creative Journalism:
Aris Prasetyo, Senior Journalist of Kompas Daily
Fabby Tumiwa, Executive Director of IESR
Erina Mursanti, IESR Green Economy Program Manager

Photo Story:
Okky Ardy, Documentary Photographer of PannaFoto Institute
Priyombodo, Photographer Journalist Kompas
Kharina Dhewayani, Finance and Admin Manager of IESR

Innovation Videos:
Amanda Valani, Head of TV Narrative Content
Jannata Giwangkara, Manager of the IESR Energy Transformation Program
Gandabhaskara, IESR Communications Coordinator

Ideathon 2020 adjudication process

The adjudication process begins with an administrative selection, specifically for the Creative Journalism category, competition is intended for the Indonesian press.

Photo story

Assessment criteria
Broadly speaking, some of the criteria used as references in assessing Photostory work include Thematic, Content, and Technical.

1. Suitability of the theme (Thematic)
Namely, including the extent to which the works are related and in accordance with the themes given by the committee. In this case that is the theme of (clean) energy around us: technology, humanities, and the environment. It is hoped that at least the theme will be reflected in the photo stories sent to participate in the competition.

2. Originality
Originality in this case includes the extent to which the ideas, exploration, and visual approaches are used in the photo story.

3. Technical
Covers the basic elements of photography. Starting from the sharpness, point of view (angle), composition, etc.

 

“Creating a photo story is like creating a movie, where the audience is presented with a plot from the beginning to the end with a series of narratives that has emotions and messages, not a single photo that stands alone and differs, it’s just a photo. The story only plays on the power of the visuals, there is no motion and there is no audio, ”said Okky Ardya, one of the Adjudicators in front of the finalists at the award ceremony.

Okky Ardya, PannaFoto Institute
Okky Ardya, PannaFoto Institute

Okky Ardya, also appreciated all the works of the finalists who succeeded in presenting a strong narrative according to the theme in this competition.

Creative Journalism

The suitability of the theme, the depth/completeness of the facts and data, the logic of written, reasoning and grammar are the elements that are assessed in the judging process in this category by the panel of judges

“I salute the participants, the majority of whom are contributed by the local journalists (beyond java island) to participate in and support the campaign for the energy transition process in Indonesia, and in general these participants already understand very well the topic of renewable energy and have answered why we We must immediately transition from fossil energy to renewable energy, ”said Aris Prasetyo, a Senior Journalist from Kompas who is also one of the juries in this category.

Aris Prasetyo, Kompas

 

Innovation Videos

Assessment criteria

1. Theme relevance
The relationship between a big theme and its context for viewers
Choosing a creative perspective on a specific theme and successfully making the story relevant to the audience

2. Ideas
Have a clear message and goal-oriented
The idea is able to answer/describe the challenge – and how to handle it

3. Quality research
Data collection and presentation of ideas based on studies conducted by IESR
The level of understanding of the research and being able to communicate the data to viewers

4. Data Visualization
Creative and different presentation of data
Easy to understand

5. Impact on emotions
Provide an emotional impact on viewers
Being able to create a longer-term impression and able to invite viewers to interact or act

6. Storytelling
The ability to arrange a topic becomes a universal and inclusive problem
Stories and narratives can evoke unexpected elements, so that how a message in the story is finally revealed

7. Level of difficulty
Cinematographic quality
The complexity of animation/motion graphics
Estimated production costs

The elements above are a big picture of how the jury should look at objectively assessing the overall work in the judging process.

Joining online, Amanda Valani’s innovation video jury added that all finalists managed to convey their works in a narrative, non-patronizing and educational manner, Amanda was also very impressed with the variety of video formats that were collected, ranging from motion graphics, explainers, or vlogs. , right down to the features.

“We are trained to think simply in the context of making creative videos, for example reducing research results (IESR.red) which in my opinion are at the divine level and lowering them to the community level so that people want to change. That is an emotional impact which is an element that very important in making creative videos ”

Amanda Valani, Narasi TV

The winners

After going through a long process and being reviewed by the jury, including the public’s choice as the favorite work chosen through the official IESR social media channels, being selected as the winner in the Energy Ideathon 2020 Transition as follows:

NamaKaryaKategori Pemenang
Dhana KencanaPLTS Atap di Stasiun Batang, Energi Bersih untuk Indonesia MendatangJuara Utama Jurnalisme Kreatif -- Hard News
Della SyahniBelajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Panen Energi dari Air dan MatahariJuara Utama Features -- Jurnalisme Kreatif
Bhekti SuryaniHarga Mahal Energi Baru Terbarukan Cuma MitosJuara Utama In-depth Report, Jurnalisme Kreatif
Fajri RamdhaniIndonesia Merdeka dari Energi KotorJuara I Video Inovasi
Epafras Freddy Perda SetyawanPasar Indonesia Mandiri EnergiJuara II Video Inovasi
M. Aji SaputroEnergi Masa Depan IndonesiaJuara Favorit
Giri WijayantoPenggunaan Lampu LED UV bertenaga Surya sebagai perangkap hama tanaman bawang merahJuara Utama
Muhammad IkhsanLebong Tandai, 120 Tahun Menikmati Listrik dari Kincir SungaiJuara Favorit

The entire organizing committee and members of the jury congratulate all winners and also appreciate all participants for their enthusiasm to participate in the Ideathon Energy Transition – Indonesia Free from the Dirty Energy. We hope that your works can inspire all of us to help Indonesia so that it can soon be Free from Dirty Energy and switch to renewable energy!

Keep creating and see you at the next Energy Ideathon Transition.