Implikasi Keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement terhadap Agenda Perubahan Iklim Global (Bagian 1)

(Bagian 1 dari 2 tulisan)

Oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Trump vs. Publik AS

foto: media.salon.com

Akhirnya Donald Trump mengumumkan secara resmi Amerika Serikat (AS) keluar dari Paris Agreement. Keputusan ini mewarnai berita media cetak, media elektronik dan media sosial di seluruh dunia sepanjang akhir pekan lalu. Berbagai komentar dari pemimpin-pemimpin negara maju dan berkembang (minus komentar Presiden Joko Widodo), para tokoh politik, akademisi asal AS dan negara lain memenuhi berbagai kanal pemberitaan.

Keputusan ini tidaklah terlalu mengejutkan. Sejak masih menjadi calon Presiden AS, Trump dan para pendukungnya telah mengancam akan membatalkan keikutsertaan AS dalam kesepakatan iklim global ini. Apa yang dilakukan Trump adalah pelaksanaan janji kampanyenya.

Saat berpidato pada Kamis (1/06) lalu berkali-kali Trump mengatakan bahwa Paris Agreement merupakan kesepakatan yang buruk (bad deal) bagi AS Trump. Dia beralasan keikutsertaan AS dalam perjanjian ini berdampak terhadap daya saing ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Trump mengutip hasil kajian NERA Consulting yang mengatakan Amerika dirugikan $ 3 triliun dalam beberapa dekade mendatang, dan kehilangan 6,5 juta kesempatan kerja.

Kajian NERA sesungguhnya didanai oleh dua kelompok pro-bisnis yang anti regulasi di bidang lingkungan, American Chamber of Commerce dan American Council for Capital Formation, yang juga didukung secara finansial oleh Koch Brothers. Oleh karenanya klaim berdasarkan kajian tersebut sangat diragukan, apalagi kajian tersebut tidak memperhitungkan dampak bagi bisnis perusahaan AS dalam bidang energi terbarukan.

Keputusan Trump ini sesungguhnya bertentangan dengan pendapat mayoritas warga AS yang justru tidak menghendaki negaranya keluar dari Paris Agreement. Dalam survei yang dilakukan Harvard School of Public Health dan Politico pada April lalu, sekitar 62 persen warga AS menghendaki tetap ikut dalam Paris Agreement. Survei lain juga menemukan bahwa para pemilih AS mendukung untuk tetap ikut serta dalam Paris Agreement dengan rasio 5 berbanding 1 dengan pemilih yang tidak setuju.

Sejumlah kelompok bisnis, termasuk perusahaan-perusahaan raksasa AS yang masuk dalam Fortune 500, diantaranya Apple, Google, HP, Microsoft, Morgan Stanley, pun secara tegas mendukung agar AS tetap di Paris Agreement. Mereka beralasan hal tersebut dapat memperkuat daya saing, menciptakan lapangan kerja, pasar dan pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi risiko bisnis. Paska pengumuman Trump, sejumlah CEO perusahaan-perusahaan terkemuka AS seperti Tesla, Disney, General Electric, dan lembaga keuangan raksasa seperti Goldman Sachs, JP Morgan’s, dan Blackrock menyatakan penolakan mereka atas keputusan Trump tersebut. Bahkan CEO Tesla, Elon Musk dan CEO Disney, Bob Iger, menyatakan mundur dari dewan penasehat Presiden.

Jika mayoritas publik dan pimpinan-pimpinan bisnis raksasa AS menentang keputusan politik ini, mengapa Trump mengambil keputusan yang kontroversial tersebut? Bagi ekonom MIT, Paul Krugman, keputusan Trump menarik dari Paris Agreement tidak ada hubungannya dengan daya saing atau pekerjaan tetapi karena tidak suka dengan keputusan pemerintah Obama, “..mainly it’s about spite: Obama made deals liberal likes, so it must die.”

Dengan kata lain, Krugman bilang bahwa alasannya Trump keluar dari Paris Agreement cukup sepele, dia hanya ingin mematikan inisiatif apapun yang pernah dibuat oleh Obama. Kalau benar adanya, ironis sekali bahwa ego seseorang atau sekelompok orang mengalahkan kepentingan milyaran umat manusia dan mengancam keberlanjutan peradaban.

Partisipasi AS dalam Paris Agreement paska pengumuman Trump

Setelah pengumuman Trump, sesungguhnya tidak secara otomatis AS bisa langsung keluar sebagai party dari Paris Agreement. Sesuai dengan Paris Agreement pasal 28, pihak yang meratifikasi (party) baru dapat meninggalkan kesepakatan ini setelah tiga tahun sejak kesepakatan ini berkekuatan hukum tetap (entered into force) bagi pihak tersebut, dengan menyampaikan pemberitahuan (notifkasi) pengunduran diri. Paris Agreement memang disepakati pada 2015, tetapi baru berkekuatan hukum pada November 2016. Dengan demikian, jika konsisten dengan ketentuan di pasal 28, maka AS baru dapat keluar dengan resmi paling cepat di November 2020.

Jika AS tidak ingin menunggu selama itu, maka opsi yang tersedia adalah AS keluar dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang berkekuatan hukum tetap (entered into force) pada 1994. UNFCCC adalah perjanjian internasional dalam perubahan iklim, yang menjadi payung Paris Agreement. Dalam pidatonya, Trump tidak menyinggung AS akan keluar dari UNFCCC, tetapi dia menyatakan akan menegosiasikan ulang bagaimana AS akan bergabung kembali (reentered) dengan Paris Agreement, atau dengan kesepakatan yang sama sekali baru. Hingga kini tidak jelas bagaimana bentuk kesepakatan baru yang akan dinegosiasikan Trump.

Dalam situasi dimana AS masih tetap berada dalam Paris Agreement (sebagai party) sampai November 2020, maka delegasi AS masih dapat mengikuti negosiasi di Ad Hoc Working Group on Paris Agreement (APA). Jika AS ingin merusak kesepakatan ini, maka mungkin saja negosiator AS melakukan upaya-upaya yang mengganggu dan memperlambat proses negosiasi yang sedang berlangsung untuk mempersiapkan modalitas, prosedur dan peraturan sebagai instrumen operasionalisasi Paris Agreement. Sesuai dengan mandate APA, berbagai instrument ini harus diselesaikan pada 2018, sehingga dapat disahkan sebelum 2020.

Jika skenario ini terjadi dan kesepakatan tidak tercapai pada 2018, implementasi Paris Agreement dapat terlambat, dan menimbulkan situasi ketidakpercayaan diantara para negara pendukung Paris Agreement. Situasi ini dapat membuka kesempatan bagi pemerintah AS (dibawah Trump) untuk menawarkan kesepakatan alternatif kepada negara-negara tertentu.

Tindakan yang merendahkan produk kesepakatan global bukanlah hal baru bagi pemimpin AS yang berasal dari Republikan. Dalam konteks negosiasi perubahan iklim, AS pernah menolak meratifikasi Protokol Kyoto, setelah Bush menggantikan Clinton sebagai Presiden. Padahal AS merupakan salah satu pihak yang membidani lahirnya Protokol Kyoto (PK) di COP-3 tahun 1997. Konsekuensinya adalah AS tidak bisa ikut dalam track perundingan PK, tetapi ada sebagai party UNFCCC, dan merundingkan implementasi UNFCCC.

Tindakan pemerintah AS melalukan aksi unilateral sebagai bentuk penentangan terhadap kesepakatan global juga dilakuan. Pada 2002, pemerintah AS membuat instrumen dapat yang “menandingi” Millenium Development Goals (MDGs) yang disepakati di tahun 2000. Salah satu keberatan AS sehingga membentuk MCA adalah pendekatan target-setting yang dilakukan MDGs.

Untuk menekankan posisi mereka atas MDGs, pemerintah AS membuat Millenium Challenges Account (MCA) dan membentuk lembaga tersendiri, Millenium Challenge Corporation (MCC), untuk mengelola dana yang diberikan kepada negara-negara berkembang yang memenuhi kriteria kelayakan (eligibility criteria) yang ditetapkan pemerintah AS. Dana diberikan kepada proyek-proyek yang sesuai dengan prioritas dan kriteria lain yang ditetapkan oleh MCC.

Dari dua kasus diatas dapat dilihat bahwa AS tidak segan-segan mengabaikan atau keluar dari kesepakatan internasional dan berjalan sendiri, sepanjang kesepakatan atau perjanjian tersebut dianggap tidak sesuai dengan kepentingan AS.

(bersambung ke bagian 2)

Jakarta, 4 Juni 2017

Share on :