Sesuai dengan mandat dari COP 18 di Doha yang lalu, program kerja yang membahas mengenai Long-term Finance diperpanjang 1 tahun, hingga COP 19. Program kerja ini diharapkan dapat memberikan masukan yang lebih tajam untuk Konferensi Para Pihak (COP) untuk keluar dengan keputusan sehubungan dengan Long-term Finance.
Di tahun 2013 ini, program kerja ini merencanakan untuk mengadakan pertemuan para ahli sebanyak 2 kali, di bulan Juli 2013, serta akhir Agustus 2013, yang dilanjutkan dengan pertemuan terakhir di Song Do, Korea, pada bulan September 2013. Paska September 2013, para co-chair akan menuliskan laporannya mengenai apa yang telah di bahas di dalam setiap pertemuan tersebut.
Long-term Finance memiliki 2 pilar : yang pertama adalah pathways to mobilize US$ 100 billion, yang kedua adalah enabling environment. Keduanya harus memiliki sinergi dan saling terkait, sehingga dana perubahan iklim yang telah disepakati untuk disediakan oleh negara maju secara kolektif, dapat mencapai angka US$ 100 milyar per tahun.
Pertemuan para ahli pertama yang berlangsung di Makati, Manila, pada tanggal 16-27 Juli 2013 yang lalu, diisi oleh beberapa presenter dengan studi kasus masing-masing, yang diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pihak yang hadir, untuk dapat meramu paket-paket untuk mencapai US$ 100 milyar sebagaimana yang tercantum di dalam Copenhagen Accord. Institute from Essential Services Reform (IESR) merupakan salah satu dari 2 perwakilan Environmental NGO dalam pertemuan pertama ini.
Dalam komponen pathways, Dr. Mattia Romani dari Global Green Growth Institute menyampaikan mengenai bagaimana memobilisasi pendanaan perubahan iklim. Beberapa sumber pendanaan publik disebutkan seperti revenue dari pasar karbon, transportasi internasional (maritim dan aviasi), revenue yang berhubungan dengan karbon (pajak atas karbon, biaya transfer, subsidi, royalti), pajak transaksi keuangan, serta kontribusi langsung dari anggaran. Dr. Mattia menyatakan, bahwa dengan menetapkan harga karbon sebesar US$ 20 – US$ 25, maka dana yang bisa terkumpul akan mencapai US$ 50 milyar rupiah. Potensi ini cukup besar, karena setidaknya telah menutupi setengah dari yang diperlukan. Ada juga pendanaan dari subsidi bahan bakar fosil di negara maju, yang biasanya diberikan di sisi produsen.
Untuk pilar kedua, enabling environment, mengenai kebijakan dan instrumen finansial yang mungkin berlaku, Nathan Fabbian menceritakan bagaimana peran investor dalam long-term finance; salah satunya jelas untuk menanamkan investasinya. Walau demikian, Nathan menyatakan bahwa untuk hal-hal seperti pembangunan rendah karbon, pengetahuan teknis menjadi salah satu kendala utamanya, seperti struktur investasi yang tidak dikenal, biaya investasi, serta rendahnya pengalaman investor untuk investasi sejenis.
Sesi berikutnya yang juga terkait dengan enabling environment mengenai kerangka kebijakan, Daniel Buckley dari UNDP menjelaskan mengenai sebuah tool yang disebut sebagai Climate Public Expenditure and Review (CPEIR) sebagai salah satu alat untuk melakukan pelacakan penggunaan dana iklim hingga ke implementasinya. Beberapa contoh kasus yang dipaparkan adalah Nepal, Bangladesh, Thailand, Kamboja, Samoa, dan Indonesia. Dari penerapan di negara-negara tersebut, beberapa pelajaran dapat diambil, seperti :
- Untuk keperluan NAMAs dan NAPs, CPEIR dapat membantu untuk membuat baseline untuk pendanaan.
- Perlu pemahaman ekonomi lebih lanjut, terutama untuk cost-benefit dari adaptasi dan cost-effectiveness.
- Kualitas pengeluaran yang harus diperbaiki dan dimonitor, pada saat yang bersamaan memaksimalkan sinergi, terkait dengan pengarusutamaan perubahan iklim dalam pembangunan dan rencana mitigasi resiko bencana