Berawal dari ajakan seorang rekan untuk mendaftar menjadi Sobat Esensial, berlanjut dengan mencari tahu tentang isu perubahan iklim –untuk modal membuat essay 500 kata yang menjadi syarat pendaftaran Sobat Esensial-, dan diujung tenggang waktu akhirnya memberanikan diri untuk mengajukan diri menjadi Sobat Esensial. Hingga akhirnya mendapat kabar untuk mengikuti pelatihan selama dua hari. Hanya dua hari, tapi sungguh ada banyak hal yang terjadi. Menuju tempat pelatihan, kantor IESR -lembaga nirlaba yang menaungi Sobat Esensial-, menjadi awal petualangan ini. Tak pernah menjelajah daerah Mampang, akhirnya berhasil membuat –agak- tersesat. Namun, Alhamdulillah, dengan modal bertanya sampai juga disana.
Hari pertama pelatihan disambut dengan berbagai materi tentang semua hal yang terkait dengan isu perubahan iklim. Materi yang pada intinya sanggup membuat pusing sekaligus ternganga, karena perubahan iklim memang benar nyata terjadi. Hal biasa yang dilakukan banyak orang di bumi ini, misalnya membeli air mineral botol, menghasilkan sampah plastik yang bila diurai akan menimbulkan emisi karbon yang membuat temperatur bumi meningkat, pemanasan global pun terjadi, perubahan iklim pun tak bisa dihindari. Akhirnya intensitas hujan semakin tinggi, permukaan air laut naik, ditambah angin yang bertiup seperti badai. Banjir pun terjadi, pohon, rumah, hingga papan iklan raksasa pun tumbang. Kita, manusia, akhirnya berusaha beradaptasi -misalnya memperbaiki infrastruktur, meninggikan rumah karena terjadi banjir- agar mampu menghadapi perubahan iklim yang terjadi. Namun apakah cukup sampai pada tahap beradaptasi?
Di hari pertama itu pula terjawab, untuk menghadapi perubahan iklim bukan hanya adaptasi yang harus dilakukan. Tindakan mitigasi -misalnya mengubah gaya hidup- juga harus dipraktekkan. Aktivitas sehari-hari yang dapat meningkatkan emisi karbon -yang membuat temperatur bumi semakin panas, yang melahirkan pemanasan global hingga berujung pada perubahan iklim- harus dikurangi, bila tak mungkin dihindari. Memang bukan hal yang mudah mengubah hal yang biasa dilakukan, apalagi bila sudah menjadi kebiasaan dan dianggap hal yang wajar. Namun, mengapa tidak menobanya dari hal yang sederhana –misalnya dengan mulai mengisi ulang air mineral dan memakai tempat minum sendiri, mengurangi kebiasaan ditonton televisi-, mulai secara bertahap, dan yakini hal kecil yang dilakukan akan berarti besar untuk kelangsungan hidup di bumi ini.
Di hari kedua, Lobbi Epicentrum Walk menjadi saksi bisu, bagi kami -Sobat Esensial batch ketiga- melakukan kegiatan campaign untuk pertama kalinya. Kami yang baru saja belajar memahami isu perubahan iklim, diberikan kesempatan untuk menyebarkan ilmu kami ke orang lain. Merupakan pengalaman yang luar biasa, bertemu dengan berbagai ragam orang dengan segala tingkah polahnya, ada yang antusias namun ada juga yang tak peduli. Tapi ada harapan yang terhembus, semoga ini menjadi awal langkah kecil kami untuk memulai langkah-langkah kami selanjutnya dalam menghadapi isu perubahan iklim ini.
Ada satu cara yang ditawarkan oleh IESR -yang berujung pada upaya perubahan gaya hidup, sehingga tercipta masyarakat rendah karbon- agar masyarakat awam mengetahui emisi karbon yang dihasilkan oleh mereka dalam aktivitas sehari-hari. Dalam situsnya -www.iesr.or.id- terdapat satu aplikasi yang disebut kalkulator jejak karbon. Dengan aplikasi tersebut, akan diperoleh angka emisi karbon per individu per hari hingga per tahun. Harapan pun tumbuh, semoga ada komitmen yang muncul dari relung jiwa untuk mulai mengurangi memberikan “sumbangan” karbon emisi, agar bumi tetap nyaman untuk ditempati hingga anak cucu kita nanti. Merupakan hal yang sulit untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim, namun rasanya masih cukup waktu untuk memperlambatnya. Jadi, sudahkah anda menghitung jejak karbon hari ini?