Kompas- Dunia lelah, semua lelah—akibat perundingan bertele-tele di tingkat Kerangka Kerja PBB atas Konvensi Perubahan Iklim. Tidak heran jika gerakan sukarela dari negara pihak kini kian marak. Bahkan, ada ide untuk meninggalkan dua raksasa pelepas emisi gas rumah kaca, Amerika Serikat dan China.
Kompas- Dunia lelah, semua lelah—akibat perundingan bertele-tele di tingkat Kerangka Kerja PBB atas Konvensi Perubahan Iklim. Tidak heran jika gerakan sukarela dari negara pihak kini kian marak. Bahkan, ada ide untuk meninggalkan dua raksasa pelepas emisi gas rumah kaca, Amerika Serikat dan China.
Secara sains, jika dihitung berapa jumlah emisi gas rumah kaca yang bisa diturunkan dengan kiprah sendiri-sendiri ini, jawabnya: memang tidak (akan) memadai.
Target penurunan emisi yang diajukan Panel Ahli Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC), yaitu emisi global, harus turun sebesar 50 persen pada 2050 agar kenaikan temperatur dapat dibatasi di bawah 2 derajat celsius dan harus ada pula komitmen negara maju untuk mereduksi emisi sekurang-kurangnya 80 persen pada 2050 dari level tahun 1990.
Ketika menunggu komitmen tersebut tak kunjung disepakati, saat ini sejumlah negara dengan lebih dari 80 persen emisi GRK dunia telah berkomitmen secara sukarela untuk mengurangi emisi mereka.
Sejumlah negara kunci telah membuat peraturan yang telah diterapkan, kebijakan, dan program-program nyata. Yang pasti aksinya benar-benar nyata. Mereka sedang meletakkan fondasi untuk pembangunan rendah karbon mereka.
Negara-negara tersebut, antara lain:
Emiter GRK terbesar, China, kini secara internal menerapkan target efisiensi penggunaan energi demi pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jangka lima tahun ke depan, 2010-2015. Targetnya adalah pengurangan intensitas karbon 40-45 persen pada 2020 dari level pada 2005.
Negara lainnya, yaitu India, yang menargetkan penurunan emisi GRK-nya dengan, antara lain, memberikan subsidi, feed in tariffs—di mana masyarakat bisa menjual listriknya kepada negara dan berbagai kebijakan soal penggunaan energi matahari, juga kebijakan bagi industri yang menerapkan program efisiensi energi. Kebijakan itu dikenal dengan ”Perform, Achieve, and Trade”. Selain itu juga ada pajak energi bersih bagi pengguna bahan bakar batu bara sebagai pendanaan proyek-proyek energi baru dan terbarukan.
Sementara AS sebagai emiter GRK terbesar kedua di dunia kini bergerak dengan Undang-Undang Udara Bersih (Clean Air Act). Target mereka yaitu penurunan emisi GRK sebesar 17 persen dari level emisi tahun 2005. Negeri Paman Sam ini menerapkan standar emisi baru bagi kendaraan penumpang dan kendaraan berat serta menerapkan pengurangan emisi pada pabrik baru—mulai tahun depan. Belum lagi Negara Bagian California yang lebih dulu memulai pembangunan rendah karbonnya.
Sementara negara-negara anggota Uni Eropa secara bersama-sama dan sendiri-sendiri juga menerapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan target penurunan emisi GRK hingga 30 persen di bawah level emisi tahun 1990 pada 2020.
Sementara Brasil terus berupaya memerangi deforestasi dan menerapkan targetnya pada tahun 2020. Demikian pula Afrika Selatan, bakal tuan rumah Pertemuan Para Pihak ke-17 (COP-17) Kerangka Kerja PBB atas Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), sudah merancang program penurunan emisinya. Belum lagi Indonesia yang tahun lalu berjanji mengurangi emisi GRK hingga 26 persen pada 2020—walau rincian programnya belum dipublikasikan.
Mengajak bergerak
Sejalan dengan aksi sukarela tersebut, Presiden Meksiko Felipe Calderon pada hari pertama COP-16 UNFCCC menyatakan sikap tegasnya. Dunia harus berjalan terus ”dengan atau tanpa China dan Amerika Serikat”—keduanya adalah emiter GRK nomor satu (18,72 persen) dan nomor dua (18,33 persen).
Sejak diratifikasinya Protokol Kyoto pada 1997 oleh 147 negara—minus China dan AS—pertentangan kepentingan kedua negara terus menjadi penghambat kesepakatan global.
AS menolak kewajiban mengurangi emisi dengan alasan akan memperlambat pertumbuhan ekonominya, sementara di sisi lain akan mendorong pertumbuhan ekonomi China dan India. Sementara China dan India beralasan masih miskin sehingga perlu meningkatkan pembangunan untuk pertumbuhan ekonominya.
Selama ini muncul persepsi bahwa ancaman pemanasan global akan bisa diselesaikan jika AS ”memimpin” dunia untuk bergerak. Pertarungan melawan pemanasan global disetarakan dengan Perang Dunia II saat AS memimpin negara-negara Sekutu.
Calderon menepis persepsi tersebut.
”Jika tidak bisa mendapatkan komitmen mereka, apa perlu menunggu 10 tahun atau lima tahun atau 20 tahun lagi untuk mengawali langkah? Kita harus memulainya dengan atau tanpa mereka dan mari kita mulai dengan memberikan contoh dari diri sendiri ke mana kita menuju,” ujar Calderon. Meksiko berencana meninggalkan puluhan juta bohlam lampu dan menggantinya dengan lampu hemat energi.
(AFP/NRDC Switchboard/ISW)