Jakarta-BBC Indonesia. Pemerintah berencana mencabut Domestic Market Obligation (DMO), kewajiban menjual batu bara ke dalam negeri dengan harga yang dipatok pemerintah, untuk mengikuti harga pasar.
Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia, minimal 25% produksi batu bara harus dijual ke PLN, yang dipatok maksimal US$70 per ton untuk kalori 6.332 GAR atau mengikuti Harga Batu bara Acuan (HBA) jika HBA di bawah US$70 per ton.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar menjelaskan bahwa langkah itu untuk menambah devisa negara, yang ujungnya menyelamatkan nilai tukar rupiah.
Namun beberapa pakar energi tak sepakat jika penghapusan DMO itu akan menambah devisa negara.
Fahmy Radhi dari UGM menilai dengan DMO 25%, penambahan devisa dari ekspor sangat tidak signifikan, bahkan diperkirakan tidak ada tambahan devisa sama sekali untuk mengurangi defisit neraca pembayaran.
Menurut perhitungannya, jika harga DMO 25% yang sebanyak 106 juta ton dijual dengan harga pasar, hanya menambah $3,68 miliar ke pendapatan pengusaha batubara.
Jumlah itu, tidak signifikan jika dibandingkan $25 miliar defisit neraca pembayaran Indonesia menurut Bank Indonesia.
“Tidak akan ada tambahan devisa dari pendapatan ekspor, melainkan penambahan pendapatan pengusaha batu bara dari PLN,” papar Fahmy Radhi.
Pajak ekspor pengusaha
Untuk menutup tambahan beban biaya PLN, pemerintah akan memberikan tambahan subsidi kepada PLN, yang berasal dari iuran pengusaha batu bara antara $ 2-3 per ton, yang akan dikelola oleh suatu badan layaknya Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Berdasarkan perhitungan Fahmi, tambahan subsidi dari iuran itu tidak akan mencukupi untuk menutup beban biaya PLN akibat pembatalan DMO.
“Masih ada selisih yang menjadi beban PLN sebesar $2,40 miliar,” ungkap Fahmi.
Perhitungan serupa dipaparkan pakar energi Fabby Tumiwa. Ditambahkan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) itu juga bahwa perhitungan saat ini masih memperhitungkan kondisi yang baik.
“Harga batubara di dunia itu juga sangat fluktuatif. Ini kebetulan (harga) batubaranya masih cukup tinggi. Tapi bisa jadi siklusnya akan turun lagi tahun depan,” kata Fabby.
Pada akhirnya, pembatalan DMO itu dinilai dapat meningkatkan tarif listrik dan semakin memperbesar kerugian PLN yang berkepanjangan.
Pajak ekspor untuk energi terbarukan
Pajak ekspor sendiri menurut Fabby bukanlah ide yang buruk.
Menurutnya, pajak ekspor bisa ditetapkan pada perusahaan batubara yang spesifikasi batubaranya tidak memenuhi kebutuhan PLN, dan dipakai untuk mengembangkan energi terbarukan.
“Seperti pajak ekspor untuk CPO kan, dipakai untuk subsidi bahan bakar (biofuel),” ujar Fabby.
Namun, ditegaskannya bahwa skema ini hanya berlaku untuk perusahaan batubara yang tidak terimbas DMO akibat tidak sesuai dengan kebutuhan PLN. Perusahaan yang spesifikasinya sesuai dengan kebutuhan PLN, harus tetap dikenakan DMO.
“Ini supaya win-win,” pungkas Fabby.