Menteri Ignatius Jonan akhirnya menandatangani dan mengeluarkan Peraturan Menteri No. 49 tahun 2018 tentang penggunaan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS Atap) oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pada tanggal 16 November 2018.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menghargai keluarnya Permen No. 49/2108 sebagai payung hukum bagi pelanggan PLN untuk menggunakan lisrik berbasis energi bersih. Namun IESR mengkritik sejumlah aturan pokok yang ditetapkan dalam Permen ini, karena lebih banyak melindungi kepentingan PLN dan melemahkan minat masyarakat dan kalangan industri untuk beralih pada energi bersih dengan memasang listrik surya atap di atas bangunan.
“Pemerintah telah membuang kesempatan dan peluang minat masyarakat dan kalangan industri untuk menggunakan energi bersih dengan berinvestasi secara mandiri dan tanpa dukungan pendanaan dari pemerintah. Permen 49/2018 ini juga melemahkan inisiatif yang telah dicanangkan oleh pemerintah sendiri bersama kalangan akademisi, asosiasi bisnis dan masyarakat melalui Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) yang mendorong Indonesia dalam memanfaatkan teknologi surya sehingga tercapai kapasitas satu Gigawatt (1 GW) pada tahun 2020,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.
Permen 49/2018 ini menurutnya, juga tidak mencerminkan semangat untuk percepatan (akselerasi) pencapaian target bauran energi terbarukan seperti yang diamanatkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dimana pada tahun 2025 target energi terbarukan mencapai 45 Gigawatt (GW) dimana 6,5 GW diantaranya berasal dari kapasitas listrik surya atap.
Fabby melihat setidaknya ada tiga aturan pokok menjadi disinsentif dan membuat pengembangan listrik surya atap (rooftop solar) akan berjalan lambat di Indonesia.
Pertama, Nilai transaksi listrik. Aturan ini menetapkan nilai transaksi ekspor listrik ke jaringan PLN sebesar 65%. Besaran ini menjadi tidak menarik secara ekonomis bagi masyarakat, karena tarif ekspor yang lebih rendah akan memperpanjang masa pengembalian investasi (payback period) dan menurunkan tingkat keekonomian menjadi 11-12 tahun dengan harga saat ini.
“Ketentuan ini tentu membuang peluang penggunaan listrik surya atap dari kalangan pelanggan rumah R1 2200 VA, R2 dan R3 yang berpotensi sebagai early followers. Berdasarkan survei potensi pasar PLST Atap yang dilakukan IESR dan GIZ pada Oktober lalu menunjukan setidaknya ada 4-4,5 juta rumah tangga di pulau Jawa yang berminat untuk memasang PLST Atap, dengan syarat, adanya potensi penghematan listrik sebesar 30%, skema kredit dan biaya investasi dapat kembali di bawah jangka waktu tujuh tahun,” jelas Fabby.
Kedua, Proses perizinan yang menimbulkan ketidakpastian dan rumit. Aturan ini menjelaskan bahwa proses perizinan diberikan oleh PLN namun tidak ada ketentuan yang jelas bahwa PLN wajib menyetujui permohonan pelanggan serta batas waktu PLN dalam menyediakan exim meter dan melakukan pergantian. Prosedur pemasangan juga dinilai lebih rumit karena mensyaratkan pelanggan untuk mengajukan izin sebelum memasang PLST Atap dan menggunakan Badan Usaha dengan sertifikasi tertentu
Ketiga, Kontradiksi untuk pelanggan sektor industri. Aturan memuat adanya pasal yang mengecualikan pelanggan industri untuk memasang PLTS Atap dari Permen ESDM No. 1/2017, namun menyebutkan adanya ketentuan mengenai capacity charge dan emergency charge untuk pelanggan industri untuk melakukan memasang PLTS Atap yang tersambung ke jaringan PLN. Ketentuan ini tentu saja akan menjadi disinsentif karena menambah biaya yang lebih besar bagi kalangan industri.
Menanggapi adanya kekhwatiran bahwa keberadaan listrik surya atap dapat mengancam bisnis PLN, Fabby menegaskan, PLN seharunya tidak perlu merasa terancam, sebab jika target 1.000 MW atau 1 GW dari pembangkit listrik surya atap terpenuhi itu hanya menggantikan 0,5% dari total produksi listrik PLN selama 1 tahun.
Dia juga menyarankan PLN sebaiknya segara melakukan adaptasi dan mulai serius untuk menekuni bisnis di sektor energi terbarukan. Keikutsertaan PLN dalam mengembangkan listrik tenaga surya, akan mendorong terjadinya kompetisi yang sehat untuk harga energi, dengan begitu harga listrik dari energi surya bisa semakin turun dan terjangkau.
“PLN seharusnya bisa berkaca dari pengalaman perusahaan listrik di negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapura yang semakin agresif berinvestasi di sektor energi surya dan melakukan upaya kampanye untuk menarik minat pelanggan untuk menggunakan listrik surya atap. Terlebih, saat ini saat ini juga gerakan global oleh perusahaan-perusahaan multinasional, untuk berkomitmen menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan hingga mencapai 100% yang dinamakan RE100[1]
“Ini merupakan peluang dan potensi bisnis yang sangat menjanjikan di masa depan.” Ujar Fabby.
Jakarta, 3 Desember 2018
###
Tentang IESR
Institute for Essential Services Reform adalah adalah sebuah lembaga riset dan advokasi kebijakan di sektor energi dan lingkungan. Dengan menggabungkan antara kajian yang mendalam mengenai analisis kebijakan, peraturan dan aspek tekno-ekonomi di sektor energi, IESR menjadi sebuah lembaga pemikir (think tank) yang unik yang meletakkan kepentingan advokasi publik untuk mempengaruhi perubahan kebijakan di tingkat nasional, sub-nasional dan global.
Kontak media:
Yesi Maryam |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477
[1] Beberapa perusahaan yang menjadi anggota RE100 yang ada di Indonesia, antara lain: AEON, Akzo Nobel, Aztra Zeneca, AXA, Citi, Coca Cola, Danone, DBS Bank, GM, Google, H&M, HP, HSBC, IKEA, Johnson & Johnson, M&S, Nestle, Nike, P&G, Prudential, Phillips, Ricoh, Schneider Electric, SGS, Starbucks, Tetra Pak, Unilever, dsb.