Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) melalui Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rabu (10/1) lalu mengumumkan tentang pencapaian rasio elektrifikasi Indonesia sepanjang tahun 2017 sebesar 94,91%. Angka ini melebihi dari dari target yang direncanakan sebesar 92,75%.
“Pencapaian target rasio elektrifikasi tahun 2017 sebesar 94,91% merupakan keberhasilan yang perlu diapresiasi. Namun pemerintah melalui Kementerian ESDM juga perlu menjelaskan bagaimana perhitungan pencapaian angka tersebut. Apakah pencapaian ini juga mengikutsertakan program Listrik Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) atau tidak” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform di Jakarta, Jum’at (12/1).
Menurut Fabby, Kementerian ESDM tidak bisa memasukan program LTSHE sebagai bagian dari pencapaian target rasio elektrifikasi karena LTSHE adalah program pra elektrifikasi dan bukan untuk pemberian akses listrik.
Sebagai bentuk transparansi dan akurasi informasi, Kementerian ESDM, ujar Fabby, perlu menyampaikan kepada publik mengenai definisi rasio elektrifikasi, tingkat pelayanan atau jam rata-rata listrik menyala, dan sumber data untuk rasio elektrifikasi. Sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang sesungguhnya mengenai kondisi ketenaga listrikan di Indonesia.
Pemerintah juga perlu bekerja lebih keras untuk mencapai target rasio elektrifikasi sesuai target RPJMN sebesar 97% pada akhir 2019. Mengingat kondisi geografis dan sebaran penduduk yang tidak merata dan lokasi yang terpencil, upaya pelistrikan hendaknya dilakukan melalui pengembangan sumber energi terbarukan setempat yang dikombinasikan dengan mini-grid.
“Metode ini jauh lebih cost-effective ketimbang opsi perluasan jaringan dan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel atau Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTD/PLTMG), sehingga dapat mengurangi biaya produksi listrik PT PLN. Pemanfaatan energi terbarukan utk penyediaan akses listrik juga penting dalam kaitannya dengan upaya penurunan emisi GRK dalam pencapaian target Pemerintah dalam NDC. IESR mendukung pemerintah dalam upaya penurunan emisi GRK melalui pengembangan energi terbarukan.” jelas Fabby.
Ketersediaan akses listrik perlu dibarengi dengan perbaikan kualitas layanan listrik untuk memaksimalkan manfaat yang diterima dan dampak yang dihasilkan. Waktu listrik menyala di masyarakat yang baru menerima listrik harus dapat dijamin ketersediaan listrik diatas 12 jam/hari yang harus ditingkatkan menjadi minimal 18 jam/hari, dan kemudian 24 jam/hari.
Pemerintah juga diharapkan untuk meningkatkan koordinasi berbagai proyek elektrifikasi yang dilakukan dengan anggaran PLN, belanja Kementerian dan Lembaga dan dana transfer seperti Dana Alokasi Khusus (DAK). Koordinasi menyangkut aspek perencanaan, pembangunan/konstruksi dan pengelolaan pasca COD untuk memastikan keberlanjutan layanan dan biaya produksi yg efektif dan efisien.
Jakarta, 12 Januari 2018
Kontak media:
Yesi Maryam |yesi@iesr.or.id | Mobile: 081212470477