Jakarta (IESR), 7 November 2011. Masyarakat Sipil mendesak para pemimpin ASEAN supaya mendukung implementasi Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) di kawasan ini, serta segera menyiapkan kerangka kerja bersama untuk pengelolaan sumber daya minyak, gas dan mineral untuk peningkatan kesejahteraan setiap negara anggota ASEAN, pengurangan kemiskinan dan perbaikan kualitas pembangunan manusia untuk mencapai komunitas ASEAN yang makmur dan sejahtera. Demikian pernyataan Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR).
Kawasan Asia Tenggara memiliki potensi sumber daya minyak, gas dan mineral yang relatif besar, dan belum sepenuhnya dieksplorasi dan dieksploitasi. US Geological Survey (USGS, 2010) memperkirakan bahwa kawasan Asia Tenggara memiliki potensi cadangan minyak sebesar 26,1 milyar barrel minyak dan 299 triliun meter kubik gas alam yang belum ditemukan. Data USGS (2007) juga mengungkap adanya potensi sumber daya mineral yaitu tembaga, platina, dan potassium (potash), termasuk juga mineral-mineral lainnya seperti emas, nikel, fosfor, seng, timah yang cukup besar di hampir seluruh wilayah Asia Tenggara.
“Berbagai Kecenderungan hingga sekarang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi ASEAN ditopang oleh eksploitasi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya ekstraktif, yang berfungsi sebagai sumber pendapatan dari negara-negara kaya sumberdaya tersebut. Eksploitasi sumberdaya ekstraktif juga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku untuk produksi barang serta pasokan energi sebagaimana yang kecenderungan saat ini,” kata Fabby.
Indonesia selama bertahun-tahun mengandalkan penerimaan sektor Migas, yang saat ini mencapai 30% dari total APBN. Brunei mengandalkan 85% pendapatan dari Migas untuk pembangunan negaranya. Sementara itu, sektor migas Vietnam berkontribusi 15-20% terhadap APBN, dan terus meningkat setiap tahunnya.
Walaupun demikian, kemungkinan sumber daya ekstraktif tidak dimanfaatkan dalam upaya memberikan kesejahteraan bagi rakyat, dan peluang negara-negara ASEAN yang kaya sumber daya ekstraktif terperangkap dalam kutukan sumber daya (resource curse) masih cukup besar. Penyebabnya adalah tingkat korupsi yang masih tinggi, khususnya di negara-negara yang ekonominya mulai tumbuh, Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam, serta Indonesia dan Philippines (lihat lampiran 1).
Padahal, keberhasilan tercapainya tujuan Komunitas ASEAN 2015 akan sangat ditentukan, tidak hanya oleh kemampuan negara-negara anggota ASEAN untuk mengimplementasikan berbagai rencana yang telah disepakati dalam ke-3 pilar ASEAN (politik dan keamanan, ekonomi, sosial dan budaya), tetapi juga kemampuan untuk membiayai berbagai rencana aktivitas ekonomi dan sosial dan menciptakan kondisi untuk iklim investasi yang sehat.
Korupsi akan berdampak hilangnya peluang pendapatan bagi negara dari sektor ekstraktif, yang berakibat berkurangnya kemampuan pembiayaan pembangunan , selain daripada itu memperburuk iklim investasi di berbagai sektor ekonomi yang diperlukan oleh ASEAN untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dicanangkan.
Di sektor ekstraktif seperti migas dan pertambangan, tata kelola yang buruk tidak hanya berdampak pada berkurangnya penerimaan negara, tetapi juga menciptakan ketidakamanan energi kawasan karena penguasaan sumber daya energi oleh negara- tertentu di luar ASEAN untuk kepentingan keamanan energi negara tersebut.
Solusinya menurut IESR, dalam jangka pendek adalah diadopsinya EITI sebagai sebuah standar kualitas global untuk penerimaan negara dari industri migas dan pertambangan/mineral oleh negara-negara ASEAN, dan jika diperlukan pengembangan kapasitas bagi negara-negara tersebut dalam mengimplementasikan EITI. Di ASEAN baru Indonesia yang menerapakan EITI melalui Perpres 26/2010, serta diterima sebagai negara kandidat EITI sejak Oktober 2010 lalu.
EITI juga menciptakan ruang yang lebih luas bagi setiap pemangku kepentingan untuk terlibat memastikan bahwa penerimaan negara dari industri ekstraktif telah sesuai dengan jumlah sumber daya yang diekstraksi.
Dalam jangka menengah, para pemipin ASEAN juga dapat mulai membahas sebuah kerangka kerja dan kesepakatan ASEAN untuk pengelolaan sektor industri ekstraktif yang implementasinya mengikat negara anggota ASEAN dalam hal pengelolaan sumber daya energi dan mineral di seluruh negara anggota ASEAN paska 2015.
“Adopsi dan implementasi EITI dan penetapan sebuah Kerangka Kerja ASEAN untuk industri ekstraktif merupakan sebuah langkah awal untuk memastikan agar kutukan sumber daya alam tidak terjadi melainkan terwujudnya masyarakat yang maju dan sejahtera untuk mencapai tujuan ASEAN,” kata Fabby.