Press Release – Pemerintah dan Perusahaan EI Indonesia diserukan untuk Serius Terapkan EITI

Jakarta, 6 Mei 2010. Pemerintah Indonesia dan Perusahaan EI (Ekstraktif Industri) diserukan untuk serius menerapkan EITI (Extractive Industri Transperency International), menyusul telah ditandatanganinya Peraturan Presiden (PerPres) No 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Daerah dari Industri Ekstraktif.

Hal ini ditandaskan oleh IESR (Institute for Essential Services Reform) dan PWYP (Publish What You Pay), dalam acara Diskusi Dengan Media: Tantangan PerPres No.26/2010, Kamis, 6 April 2010, di Jakarta, menyusul telah ditandatanganinya PerPres tersebut oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 April 2010. Hadir dalam acara Deputi Menko Perekonomian, Ir Muhammad Husen, Priyo Pribadi Sumarno (IMA/ Indonesia Mining Association).

“Ini langkah awal yang baik untuk mendorong transparasi dan akuntabilitas yang lebih luas dalam menegakkan pemberantasan korupsi serta demokratisasi lewat sektor ini. Meski ada keraguan akan implementasinya tapi upaya ini harus dihargai. Kita harapkan segera dikonkretkan,”jelas Direktur IESR, Fabby Tumiwa. Ditambahkannya, diperlukan konsensus serta pembentukan multipihak dari pemerintah, usaha EI, dan masyarakay sipil untuk memastikan keterbukan pelaporan dan pendapatan usaha EI di Indonesia.

Sebagai informasi EITI adalah Inisiatif global yang menuntut keterbukaan usaha Industri Ekstraktif (mineral, gas, minyak, batu bara, dan sejenisnya) untuk melaporkan secara terbuka pendapatan usaha EI-nya kepada publik, begitu juga pemerintah melaporkan pendapatan dari hasil setoran yang terima dari usaha EI. Inisiatif ini telah dilakukan 30 negara di seluruh dunia, dan 10 negara lainnya kini mulai berkomitment mengikuti EITI.

Di Indonesia ditandatanganinya PerPres ini adalah langkah awal Indonesia menerapkan EITI. Artinya, kini perusahaan minyak dan gas bumi atau apa pun yang dihasilkan perut bumi maka harus melaporkan segala hasil pendapatannya yang disetor ke pemerintah secara terbuka kepada publik. Instansi pemerintah yang telah terima pembayaran itu juga mengisi laporan hasil penerimaan tersebut.

Multipihak yang ditunjuk mengawasi proses pelaporan ini terutama dalam me- cross check -an laporan satu dengan lainnya. Sehingga akan jelas di sana baik pendapatan EI dan yang diperoleh (hasil setoran) pemerintah. Hasil cek silang ini kemudian dipublikasikan juga secara terbuka kepada publik.

Sementara Koordinator nasional PWYP Indonesia, Ridaya Laodengkawe menjelaskan, PerPres itu setidaknya bisa mengurai rejim ketertutupan dalam aliran pendapatan Negara dari sektor migas dan tambang. Apalagi 32-35% total penerimaan Negara dalam beberapa tahun terakhir berasal dari sektor strategis ini. Sektor ini juga selalu menjadi sumber polemik antara pemerintah puat dan pemerintah daerah, terutama tentang besaran dana bagi hasil yang merupakan salah satu elemen kunci dalam desentralisasi.

“Terdapat 7000-an kuasa pertambangan telah dikeluarkan pemerintah daerah selama Sembilan tahun masa desentralisasi, tanpa kejelasan beberapa manfaat yang telah diberikan. Kerusakan ekologis lebih menonjol sebagai akibat dari ribuan KP yang dikeluarkan tanpa kesiapan tata kelola yang baik,” jelasna.

Baik IESR dan PWYP meyakini bahwa pelaksanaan EITI secara konsukuen akan memperbaiki tatakelola aliran pendapatan Negara dari EI tetapi juga akan meningkatkan tata kelola EI secara keseluruhan.

Sedangkan Ketua IMA, Priyo Pribadi Sumarno mengatakan bahwa pihaknya telah mencoba mesosialisasikan keberadaan EITI ke perusahaan-perusahaan tambang, gas dan minyak Indonesia. Pihkanya juga menyambut baik PerPres ini.

“Sebenarnya beberapa perusahaan tambang telah melakukan pelaporan ini tiap tahunnya. Usaha EI yang menyatakan siap menjalankan EITI sementara ini hanya dari Medco dan Rio Tinto. Masyarakat akan diberikan informasi seluasnya, apakah mereka akan mendapatkan hal sepadan atau tidak,” jelasnya.

Sementara Ir Muhammad Husen menjelaskan saat ini pihaknya tengah mendorong agar Per-Pres dikonkretkan dalam implementasi yang jelas.

“Prosesnya masih panjang untuk bisa sampai ke UU. Kita fokuskan saja bagaimana menjalankan ini dengan baik. Terutama menyertakan multipihak baik dari pemerintah, usaha EI dan juga masyarakat sipil yang diwakili LSM. Saya masih bingung LSM mana yang mesti disertakan untuk masuk dalam multipihak seperti yang ditentukan EITI,”jelasnya.

Tidak tegas dan tidak ada sanksi

Sedangkan Ridaya menyayangkan Per-Pres yang ada masih dikemas dalam bahasa hukum yang halus atau tidak tegas.

“Kami sebenarnya menginginkan bahasa hukum yang tegas. Misalnya, memerintahkan kepada Pemerintah dan Perusahaan untuk menyerahkan laporan….” Namun dalam pasal 14 PerPres pemerintah memilih meformulasikan dengan tidak tegas.

Demikian juga tentang keterlibatan para pihak (multistakeholder steering group/MSG). PerPres mengatur MSG dengan sistem dua kamar (pasal 4): Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. Konsukunesi dari sistem dua kamar ini adalah rantai koordinasi yang lebih panjang daripada yang dibayangkan oleh EITI (satu kamar).

PerPres juga tidak menyatakan benchmark atau jenis data minimal yang harus dilaporkan secara eksplisit. Di satu sisi ketiadaan benchmark dapat sebagai peluang untuk memperluas lingkup pelaporan, namun di sisi lain dapat juga bearti memainkan kekuasaannya.

Kekhawatiiran ini, meskipun diharapkan tidak terjadi, namun tetap ditemukan komposisi Tim Pelaksana (pasal 10) yang tidak seimbang dan dalam PerPres ini tidak diatur tentang voting block mechanism (pengambilan keputusan berdasarkan perwakilan unsur), sehingga kelak ada keputusan yang adil.

PerPres ini juga disayangkan tidak menegaskan adanya sanksi bagi yang tidak membuat pelaporan tegas kepada publik. Hal ini diakui Husen sebagai kelemahan PerPres.

“Tidak ada hitam di atas putihnya. Jadi memang sanksi moral saja. Tapi kunci dari keberhasilan implementasi EITI lewat PerPres ini adalah komitment semua pihak. Jika salah satunya tidak menjalankan, ini jutsru menurunkan citra kesungguhan kita yang ingin terbuka terhadap pelaporan pendapatan dan penerimaan pendapatan EI yang ada,”tandas Husen.

Nomor Kontak:

Ridaya Laodengkowe (Koordinator Nasional): 0812 803 7964
Email- ridaya.lon@gmail.com
Fabby Tumiwa (Direktur IESR): 0811 949 759
Email: fabby@iesr-indonesia.org

Share on :

Leave a comment