Siaran Berita – IESR dan CSF Kampanyekan Seruan Keadilan Iklim Kepada Negara Maju

Jakarta, 26 Juli 2010,

Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim Indonesia mengkhawatirkan bahwa penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) secara global dengan drastis untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata permukaan di atas 2 derajat celcius, dalam negosiasi perubahan iklim di Bonn, pada 2-4 Agustus nanti, tidak dapat tercapai.

Sementara itu guna mempermudah masyarakat Indonesia menyuarakan pesan-pesannya kepada pemimpin dunia agar mereka menegakkan keadilan iklim dan serius dalam menurunkan emisi GRK secara global dan drastis, IESR (Institute for Essential Services Reform) dan Civil Society forum (CSF) meluncurkan kartu: “Dukung Seruan Keadilan Iklim Kepada Pemimpin Dunia,” Kartu ini telah dirancang khusus yang tersedia dalam bentuk cetak dan online (https://iesr.or.id/materi-kampanye/call-fo-climate-justice/). Pesan yang masuk akan dikirimkan kepada para pemimpin negara-negara industri, di antaranya AS, Inggris, Jepang, Australia dan Canada. Kampanye ini akan terus dilakukan hingga menjelang COP-16 di Cancun Mexico, 28 November-11 Desember 2010 mendatang.

Kartu Seruan Keadilan Iklim ini juga bisa diisi secara online melalui: https://iesr.or.id/materi-kampanye/call-fo-climate-justice/

“Kampanye ini memiliki ruang lingkup nasional dan internasional, dimana CSF dan IESR, bersama dengan relawan-relawan mengajak seluruh masyarakat yang peduli untuk menyerukan keadilan iklim dan menuntut negara-negara maju bertanggung jawab menurunkan emisi GRK secara drastis, “ jelas Giorgio Budi Indrarto, dalam press release yang dikeluarkan bersama IESR, dan Walhi.

Sementara itu terkait dengan persiapan negosiasi perubahan iklim 2-4 Agustus, di Bonn, Jerman Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, yang juga akan hadir dalam kegiatan tersebut sebagai negosiator keadilan iklim untuk Indonesia ini mengatakan, setelah COP-15 Copenhagen berakhir dengan segala kegagalan untuk mendapatkan komitmen negara-negara industri menurunkan emisi GRK paska berakhirnya Protokol Kyoto pada tahun 2012, bahkan dengan dua putaran negosiasi UNFCCC pada bulan April dan Juni lalu pun, masih belum menunjukan bahwa negara-negara maju akan memberikan komitmen mereka untuk melakukan penurunan emisi GRK sebagaimana yang disarankan oleh IPCC, yaitu 25-40% tingkat emisi 1990 pada 2020 dan lebih dari 80% pada tahun 2050.

Copenhagen Accord (CA) telah menyatakan adanya target global untuk membatasi kenaikan temperatur di bawah 2 derajat celcius, sayangnya hal ini tidak dinyatakan dalam bentuk komitmen penurunan emisi yang nyata di tingkat negara. Alih-alih membatasi kenaikan temperatur di bawah 2 celcius, komitmen penurunan emisi yang dibuat paska CA justru mengarah pada kenaikan di atas 3 celcius. Komitmen penurunan emisi dari negara-negara industri pengemisi besar seperti US, Jepang, Canada, Australia, justru sangat rendah, dibandingkan dengan penurunan yang seharusnya mereka lakukan.

“Negara maju ini yang jumlahnya hanya 20% dari penduduk dunia telah mengeluarkan gas rumah kaca lebih dari 70% untuk kegiatan industri dan pembangunan negaranya. Sudah sepantasnya negara-negara maju bertanggung jawab dan harus bersedia menurunkan emisi gas rumah kaca mereka untuk memberikan ruang yang cukup bagi negara-negara berkembang untuk memanfaatkan sisa ruang atmosfir (atmospheric space) yang tersedia, yang makin tergerus akibat peningkatan laju emisi negara-negara maju dan sedikit negara berkembang yang lebih maju (advance developing country). Negara-negara industri harus menurunkan emisi mereka secara drastis dari sekarang hingga tahun 2050 mendatang, sehingga memungkinkan negara-negara berkembang untuk tumbuh dengan mengkonsumsi ruang atmosfer yang masih tersisa,” jelas Fabby.

Antusiasme orang-orang yang ikut mendukung Seruan Keadilan Iklim kepada Negara Maju

Sementera itu Koordinator CSF (Civil Society Forum), Giorgio Budi Indrarto menyatakan bahwa keselamatan ekologi dan rakyat tarancam, tidak hanya Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Masyarakat sipil Indonesia juga dihimbaunya untuk tidak tinggal diam dan berpangku tangan menanti kesepakatan negosiasi Internasional yang akan mengancam kehidupan kita saat ini dan generasi yang akan datang.

“Untuk mendorong adanya kesepakatan internasional yang menghasilkan penurunan emisi GRK secara drastis dari negara-negara maju, memastikan agar isu keadilan iklim menjadi basis dalam negosiasi serta memastikan keselamatan manusia dan ekologis, CSF dan IESR meluncurkan kampanye “Dukung Seruan Keadilan Iklim Kepada Pemimpin Dunia, dalam bentuk kartu yang telah saya sebutkan sebelumnya,” tambah Giorgio

Giorgio menambahkan, tuntutan yang diajukan adalah Negara maju sebagai emiter di dunia mengurangi emisi gas rumah kaca dinegerinya masing-masing secara drastis. Termasuk menyediakan dana dan teknologi yang cukup bagi Negara berkembang yang memampukan mereka untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim secara efektif dan melakukan pembangunan rendah emisi serta mengentaskan kemiskinan.

Sebagai catatan emisi yang dikeluarkan oleh negara industri atau Annex1 sejak revolusi industri tahun 1750 telah melemahkan kemampuan bumi untuk menyerap gas-gas tersebut dan menyebabkan krisis iklim global. Hal ini bisa dibandingkan setimpal dengan rata-rata jejak ekologi tertinggi perkapitas penduduk Amerika Serikat (9,5 gha/global hektare), Inggris (5,45 gh). Dan itu artinya dalam kemampuan bumi, maka Amerika membutuhkan 9,5 planet yang setara dengan bumi, dan Inggris, lima planet bumi.

Jika diakumulasi sejak 1750 (revolusi industri) hingga 2006 saja maka tercatat bahwa Amerika ada di peringkat pertama dengan kontribusi karbon 337, 747.80 Cmt (carbon metric ton) CO2e atau 29% dari total emisi dunia. Disusul Jerman 80,377.00 cmt CO2e (6,99%), Inggris 68,235.00 Cmt CO2e, Jepang 44,535,20 Cmt CO2 (3,87%), dan Perancis 32,278.60 (2,81%) – sumber dari Climate Analyse Indicators Tool (CAIT) version 7,0, Washington DC, 2010).

Salah satu aspek yang sangat penting dalam tuntutan masyarakat sipil Indonesia adalah rencana bantuan pendanaan dan teknologi bagi negara-negara miskin dalam upaya mengatasi masalah pemanasan global, sebagaimana yang menjadi kewajiban negara industri sesuai konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC).

Hingga saat ini, komitmen dan realisasi pendanaan dari negara industri untuk adapatasi negara berkembang dalam mengahadapi perubahan iklim sangat rendah. Hasil CA menyebutkan negara-negara maju akan menyediakan bantuan pendanaan 30 miliyar dollar untuk jangka waktu tiga tahun ke depan (2010-20120 untuk membiayai program-program penanggulangan pemanasan global. Bantuan akan ditingkatkan sebesar 100 juta dollar per tahun sampai tahun 2020.

“Dana sebesar itu tidak cukup untuk penanggulangan masalah dampak pemanasan global, khususnya program adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang, dan tidak bisa mereka membebankan biaya adapatasi perubahan iklim kepada negara berkembang, karena bukan kita yang menyebabkan perubahan iklim,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur IESR.

Aspek yang juga menjadi sorotoan CSF dan WALHI adalah cara penurunan emisi GRK dilakukan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) secara tegas menolak cara-cara yang dilakukan negara emiter industri dengan mengalihkan dua isu tersebut dengan skema perdagangan karbon dan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. “Kami tetap akan menolak ini di Bonn, karena skema ini telah menjauhkan tanggung jawab Negara Annex 1 untuk mengurangi emisi karbon mereka secara signifikan,” jelas Teguh Surya, Kepala Departemen Kampanye Walhi.

Ditambahkannya, kendati skema yang mengaturnya belum diputuskan, namum sejumlah proyek percobaan (pilot project) sudah dijalankan di Indonesia dengan dikeluarkannya Permenhut No. 68 tahun 2008 tentang penyelenggaraan demonstration activity pengurangan emisi karbon dan dari deforestasi dan degradasi hutan. Saat ini direncanakan terdapat 26,6 juta hektar lahan di Indonesia yang diperdagangkan dalam mekanisme perdagangan karbon. Dengan nilai uang yang beredar sekitar 6,3 milyar US$ (sekitar Rp 63 triliun). Skema ini menjual murah 26,6 juta hektar hutan alam Indonesia mulai dari tegakan pohon, hewan, tumbuhan, tanah, sumber mata air, dan ruang interaksi sosial, dan entitas masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, hanya seharga Rp. 12,- per meter perseginya.

Walaupun demikian, dengan tantangan dan ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, pembangunan negara berkembang tidak mencontek model pembangunan yang dilakukan negara-negara maju selama 2,5 abad lalu. Negara-negara berkembang seperti Indonesia harus masuk dalam model jalur pembangunan rendah emisi (low carbon emission pathway) yang ditandai dengan salah satunya membatasi konsumsi tetapi meningkatkan intensitas dari sumber daya energi yang tidak terbarukan, serta secara bertahap meningkatkan pemanfaatan sumber energi yang terbarukan.

Di sisi lain, dalam tingkat masyarakat, ketidakadilan iklim juga terjadi dalam lingkup masyarakat Fabby juga mengingatkan bahwa ketidakadilan iklim juga ditimbulkan oleh emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh kelompok masyarakat berpendapatan menengah keatas, yang tinggal di kawasan perkotaan dan semi-perkotaan.

Survei sederhana yang dilakukan oleh IESR melalui perangkat Carbon Footprint Calculator yang dilakukan pada April – Juni 2010, mengindikasikan bahwa pola dan gaya hidup dari kelompok masyarakat berpendapatan menengah di perkotaan menghasilkan emisi GRK rata-rata 4-6 kali dibandingkan dengan rata-rata emisi GRK per-kapita nasional. Artinya, masyarakat perkotaan, kelas menengah (middle class) sesungguhnya merampas ruang atmosfir masyarakat miskin yang pola dan gaya hidupnya hanya menghasilkan emisi yang relatif rendah. “Jadi kami juga menyerukan sikap berkeadilan iklim di kalangan masyarakat kita sendiri melalui kampanye Ayo Kita Diet Karbon,” tandas Fabby.

No. Kontak:

Giorgio Budi Indrarto: 0813 85770196
Teguh Surya: 0811 8204 362
Fabby Tumiwa: 0811949759

Share on :

Leave a comment