IESR-Publikasi-Cover-small

“Pengentasan Kemiskinan Energi di Indonesia : Tantangan Pendanaan untuk Peningkatan Akses Energi “

Rangkaian acara dialog kebijakan yang keempat mengenai Kemiskinan Energi ini diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) pada hari Selasa, 3 Juli, 2012 yang lalu di Hotel Grand Cemara, Jakarta dengan judul; “Pengentasan Kemiskinan Energi di Indonesia: Tantangan Pendanaan untuk Peningkatan Akses Energi”. Latar belakang tema dialog kebijakan kali ini mengenai faktor pendanaan dalam implementasi kebijakan dan program dalam mengentaskan kemiskinan energi di Indonesia.

Salah satu tujuan diselenggarakannya acara dialog kebijakan ini adalah untuk mengetahui situasi anggaran dan jenis-jenis pendanaan yang ada di Indonesia untuk meningkatkan akses pada energi pedesaan dan daerah tertinggal, informasi mengenai potensi sumber-sumber pendanaan, serta meninjau efektifitas penggunaan berbagai mekanisme pendanaan terhadap implementasi kegiatan penyediaan akses energi. Tiga narasumber yang berpartisipasi untuk menyampaikan materi dalam acara dialog kebijakan ini yaitu; Leonard Panjaitan (Manager Corporate Sustainability Bank BNI), Hanan Nugroho (Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Bappenas), dan Dedi (PNPM Mandiri Perdesaan, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Kementerian Dalam Negeri).

Penyampaian materi pertama yang disampaikan oleh Bapak Leonard Panjaitan bertujuan untuk mengetahui bagaimana sektor swasta atau perbankan dapat berkontribusi pada peningkatan akses pada energi di Indonesia, dan bagaimana cara untuk memastikan bahwa fasilitas energi tersebut akan berkelanjutan. Bapak Leonard Panjaitan menjelaskan mengenai “BNI Go Green; Green Banking and Energy Financing” yang memiliki 4 misi, yaitu; meningkatkan kesadaran pegawai akan pentingnya prinsip berkelanjutan, menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan, keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat lokal, serta meningkatkan kinerja bisnis yang berkelanjutan. Keempat misi tersebut juga dapat diambil dari teori; Economy, Nature, Wellbeing, Society (Alan Atkisson). Bapak Leonard Panjaitan juga menjelaskan bahwa dengan semakin parahnya kondisi alam di Indonesia maka Bank BNI membentuk suatu unit bernama Sustainability Organization. Pada acara kegiatan Rio+20 yang diadakan pada bulan Juni lalu di Brazil, Bank BNI pun ikut berperan serta dan menyampaikan saran bahwa perusahaan-perusahaan saat ini wajib menerbitkan sustainability report untuk mendukung transparasi.

Bank BNI memiliki program yang bernama Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) sebagai Green Mapping. Bank Indonesia pun memiliki peraturan mengenai green banking yang diharapkan akan diluncurkan tahun ini, atau tahun depan yang bertujuan membuat audit lingkungan hidup bagi perbankan dari LSM atau lingkungan hidup. PKBL BNI saat ini memiliki “Kampoeng BNI” yang terdapat di 17 titik di Indonesia, seperti kampung nelayan Muara Angke, dan minimal kredit lunaknya di satu cluster. Menurut Bapak Leonard Panjaitan, saat ini wajib hukumnya untuk memberikan CSR sebesar 4% dari laba bersih yang harus disalurkan dan bukan lagi aset-nya perusahaan melainkan menjadi hak-nya rakyat.

Penyampaian materi yang kedua disampaikan oleh Bapak Dedi yang bertujuan untuk mengetahui mekanisme yang diterapkan dalam Green PNPM untuk pembangunan fasilitas energi, serta lingkup dari pendanaan yang disediakan oleh Green PNPM dalam pembangunan fasilitas energi. Bapak Dedi menjelaskan bahwa Green PNPM terbentuk karena latar belakang semakin langkanya bahan bakar di Indonesia, dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan. PNPM lingkungan mandiri perdesaan muncul dikarenakan selama ini banyak sekali usulan-usulan masyarakat yang kurang tertampung, dan lebih terfokus pada infrastruktur tapi kurang pada isu lingkungan. Mengenai PNPM Mandiri Perdesaan saat ini mendapatkan dana dari bantuan atau hibah luar negeri, dan sampai saat ini terdapat di 29 Kabupaten dan 78 Kecamatan. Green PNPM memiliki beberapa program, diantaranya; pembangunan PLTMH, biogas, dan pembangkit listrik tenaga surya.

PLTMH yang dibangun oleh Green PNPM sudah berdasarkan pada kriteria-kriteria yang telah disusun oleh CSO sendiri. BLM untuk PLTMH itu didasarkan oleh form (form A) yang diusulkan oleh masyarakat yang akan dievaluasi oleh TSU, sehingga tidak semua lokasi mendapatkan dana untuk membangun PLTMH. Salah satu sebab lambatnya pembangunan PLTMH adalah lokasinya yang sulit untuk dijangkau. Menurut Bapak Dedi, kendala lainnya dalam program pembangunan PLTMH berkenaan dengan studi awal yang kurang karena proses perencanaannya yang membutuhkan waktu. Selain itu, keterbatasan manufaktur lokal untuk turbin juga menjadi kendala sendiri selain dari keterbatasan fasilitator teknik di tingkat kabupaten.

Materi ketiga disampaikan oleh Bapak Hanan Nugroho dengan tujuan untuk mengetahui perkiraan kebutuhan anggaran untuk meningkatkan rasio elektrifikasi Indonesia sesuai dengan RJPM/RPJP, dan mengetahui bagaimana perencanaan atau penganggaran fasilitas energi di Indonesia dilakukan. Menurut Bapak Hanan, untuk menuntaskan masalah kemiskinan energi, pendekatannya adalah untuk memberikan energi yang lebih banyak pada masyarakat dengan cara-cara yang lebih tepat. Kendala yang sering dihadapi, yaitu koordinasi, dan strategi yang masih kurang dipahami bersama oleh pemerintah ataupun kementerian-kementerian terkait. Bapak Hanan pun menyampaikan dengan mengklasifikasi jenis sumber pembiayaan dan permasalahan atau tantangannya. Salah satu sumber pembiayaan yang ada adalah oleh Pemerintah Pusat (APBN), seperti DIPA, DAK, dan Subsidi. Namun, beberapa masalah lain kemudian timbul dikarenakan sulitnya mengidentifikasi program-program yang besar, pemerintah eksekutif masih kurang independen, dan subsidi yang terjadi selama ini bisa dikatakan cukup besar yang masih dinikmati oleh orang-orang yang jauh lebih mampu untuk membeli energi.

Salah satu kesimpulan dari Dialog Kebijakan ini , yaitu pengadaan energi di Indonesia harus dilakukan bersama-sama oleh berbagai aspek tidak hanya dari pemerintah saja. Bahkan negara yang lebih miskin dari Indonesia, seperti Banglades, mampu membuat akses pada listrik sampai ke desa-desa. Perbedaan antara Indonesia dengan negara-negara berkembang lainnya terletak keinginan suatu bangsa tersebut untuk maju. Sejauh ini Indonesia belum memiliki peta jalan (road map) yang jelas untuk menyelesaikan masalah kemiskinan energi. Pemerintah Indonesia pun selama ini menggunakan anggaran publik, lalu bagaimana pemerintah bisa mempertanggungjawabkan uang yang dikeluarkan.

Menurut Fabby Tumiwa (IESR), bahwa Indonesia sebenarnya tidak kekurangan dana untuk melakukan peningkatan akses elektrifikasi. Pertanyaannya adalah bagaimana dana yang ada dapat dialokasikan dan bagaimana efektivitas dari penggunaan pendanaan tersebut.