Belajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Panen Energi dari Air dan Matahari

  •  Kasepuhan Ciptagelar, masih memegang tradisi dan adat istiadat dengan kuat. Meskipun begitu, mereka memanfaatkan berbagai teknologi, bahkan punya saluran televisi komunitas sendiri. Warga Ciptagelar pun tak ketinggalan informasi, karena mereka punya Wifi.
  •  Darimana sumber energi komunitas adat ini? Berbagai keperluan energi, mereka juga hasilkan sendiri dengan memanfaatkan air dan matahari.
  •  Mandiri energi dengan memanfaatkan sumber terbarukan, seperti di Kasepuhan Ciptagelar, layak dicontoh. Sayangnya, di Indonesia yang memiliki limpahan sumber energi terbarukan, pemanfaatan masih minim.
  •  Institute for Essential Services Reform mengusulkan, mengurangi jumlah pembangkit listrik tenaga batubara dan meningkatkan kontribusi energi terbarukan tiga kali lipat pada 2030. Untuk tetap berada dalam batas 1,5 derajat celcius, Indonesia harus menghentikan penggunaan batubara pada 2040.

Namanya Desa Ciptagelar, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ia berada di ketinggian 800-1.200 meter di atas permukaan laut. Dari Jakarta, berjarak sekitar 172 km. Medan cukup terjal dan meliuk-liuk, khas perjalanan menuju puncak bukit.

Di desa ini hidup masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Mereka masih memegang teguh nilai dan prinsip kasepuhan adat, walau ketika memasuki Imah Gede, atau rumah besar tempat Abah dan Emak—keluarga sepuh yang jadi pimpinan kasepuhan– tinggal, tak sulit menemukan perangkat elektronik untuk berbagai keperluan. Mulai dari komputer, sound system, berbagai alat musik hingga perangkat pemancar. Mereka punya jaringan televisi lokal sendiri! Namanya Ciga TV.

Hampir setiap rumah punya televisi dan warga Ciptagelar menonton tradisi dan ritual mereka yang didokumentasikan Ciga TV.

Ciga TV, merekam hampir semua kegiatan di desa, terutama masa tanam hingga masa panen raya yang jadi kebanggaan kasepuhan.

Abah Ugi, pemimpin ke sebelas kasepuhan, mengatakan, dengan sistem cocok tanam tradisional, organik tanpa pupuk, masyarakat Ciptagelar sudah punya cadangan pangan setidaknya untuk 95 tahun ke depan.

Di desa ini panen hanya sekali setahun dan masyarakat tak pernah merasakan gagal panen. Hasil panen disimpan dalam leuit (lumbung padi). Tak heran saat memasuki desa ini leuit-leuit berjejeran apik memenuhi desa. Satu keluarga kecil minimal harus punya satu leuit. Ada pula leuit komunal untuk kepentingan bersama.

Yoyo Yogasmana, Tetua Adat Ciptagelar yang bertugas menjembatani antara orang luar kasepuhan dengan siapapun yang hendak berkunjung ke Ciptagelar. Kang Yoyo begitu dia biasa disapa, tinggal tak jauh dari Imah Gede.

Memasuki rumahnya, seperti Imah Gede, berbagai perangkat sound system, komputer, pemancar radio, alat musik, televisi dan kulkas memenuhi hampir sebagian rumah kayu apik berlantai dua.

“Ini pemancar pertama yang dibikin Abah,” kata Yoyo, menunjukkan perangkat pemancar televisi sederhana rakitan Abah Ugi.

Abah Ugi adalah pimpinan Kasepuhan. Meski usia baru kepala tiga namun seluruh masyarakat adat kasepuhan hormat dan tunduk pada setiap perkataan abah. Masyarakat meyakini, Abah Ugi, sebagai keturunan sepuh, memiliki darah pimpinan yang mewakili leluhur mereka.

Bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar leluhur menjadi simbol pembawa kehidupan ke atas dunia. Karena itu , penghormatan masyarakat terhadap leluhur dengan berbagai ritualnya, jadi sakral.

Warga Kasepuhan Ciptagelar, menanam pagi. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Lantas dari mana kasepuhan mendapatkan energi untuk melistriki berbagai perangkat elektronik ini? Mereka juga punya pembangkit listrik tenaga air dan matahari!

Empat PLTMh terbangun untuk memenuhi kebutuhan listrik Desa Ciptagelar. Mula-mula dibangun turbin Cicemet pada 1997. Turbin kapasitas 50 kVa dibangun JICA dari Jepang.

“Saat ini turbin ini off karena sudah terlalu tua,” kata Yoyo.

Setelah turbin Cicemet, dibangun turbin Situ Murni dengan kapasitas 50 kVa oleh Pemerintah Jawa Barat pada 2006-2012. Kemudian pembanguan PLTMh Cibadak dan Ciptagelar pada 2013-2014.

Semua turbin ini memanfaatkan aliran Sungai Cisono, sepanjang 800 meter. Yoyo memperkirakan, semua PLTMh yang dibangun di Ciptagelar telah memberi akses listrik pada sekitar 1.500-1,700 keluarga di desa ini.

Energi terbarukan memang jodoh mereka dalam pemenuhan kebutuhan listrik yang ramah lingkungan.

“Air (sungai) selalu ada karena kita selalu menjaga hutan,” kata Yoyo.

Kasepuhan Ciptagelar, seperti masyarakat adat lain, punya aturan sendiri soal hutan larangan, hutan titipan dan hutan garapan. Mereka punya batas lokasi dan waktu tersendiri, kapan lahan boleh dibuka dan bagaimana ia kembalikan lagi menjadi seperti semula. Bangunan di desa ini semua berbahan natural, yang istilah Yoyo, apapun itu saat diinjak ke tanah akan tumbuh kembali.

Zonasi-zonasi hutan ini dijaga oleh Barisan Jagawana. Tugas mereka memeriksa titik-titik di dalam hutan, memastikan ekosistem tetap terjaga. Kalau ada pelanggaran, Jagawana akan melaporkan pada Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk penindakan.

Kadang, ada pelanggaran yang tidak terdeteksi. Namun menurut Yoyo, alam akan memberi pelajaran. Dia contohkan, kalau kerajinan rotan dari hutan larangan, biasa lebih sulit laku dibanding rotan yang layak ambil.

“Di dalam kasepuhan hukum negara, adat, agama dan alam semua berlaku.”

Selain PLTMh, kasepuhan ini juga mengandalkan sinar matahari dengan pembangkit listrik tenaga surya. Energi dari PLTS untuk memancarkan wifi warga desa.

Tak heran meski berada jauh di pegunungan, masyarakat adat ini melek informasi. Anak-anak terbiasa menggunakan internet tanpa meninggalkan waktu latihan silat, salah satu tradisi yang menjadi identitas masyarakat Ciptagelar.

 

Salah satu turbin pembangkit energi air di Kasepuhan Ciptagelar. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Energi terbarukan masih minim

Desa Kasepuhan Adat Ciptagelar, satu contoh bagaimana energi terbarukan memenuhi kebutuhan listrik. Sayangnya, penggunaan energi terbarukan belum optimal di Indonesia.

Pasokan energi per kapita di Indonesia masih kurang dari setengah rata-rata G20, dan intensitas energi dalam perekonomian tetap berada di bawah rata-rata. Namun, emisi CO2 terkait energi meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Perkembangan energi terbarukan di Indonesia, lambat, baru 12%, di bawah rata-rata negara G20 sekitar 25%. Sumber paling banyak digunakan air dan panas bumi.

Padahal menurut Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), peningkatan bauran energi terbarukan dan pemanfaatan dapat membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik.

Dalam Perjanjian Paris, Indonesia komitmen menurunkan 29% emisi dengan usaha sendiri atau 41% dukungan internasional.

“Sektor kelistrikan salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca,” katanya.

Berdasarkan kajian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan United Nation Development Programme (UNDP) 2018, emisi sub sektor pembangkit listrik mencapai 199 MtCO2e pada 2017. Hingga 2030, diperkirakan tumbuh 10,1% per tahun atau 699 MtCO2e.

Fabby bilang, emisi bisa turun 36% dengan penetrasi energi terbarukan lebih tinggi 20%. Dengan itu, faktor emisi listrik nasional bisa turun dari 1,005 tCO2e per MWh jadi 0,729 tCO2e per MWh.

Data Climate Action Tracker 2019, PRIMAP 2018 dan World Bank 2019 dikutip laporan IESR, Brown to Green tahun lalu, emisi gas rumah kaca per kapita Indonesia, 5 tCO2e, berada di bawah rata-rata G20 7,5 tCO2e. Tingkat emisi per kapita ini naik 17% sejak 2011- 2016.

Menurut laporan ini, Indonesia belum berada di jalur tepat untuk memenuhi target batasan suhu global 1,5 derajat celcius. Untuk itu, Indonesia harus mengurangi tingkat emisi kurang 551 MtCO2e pada 2030 dan hingga di bawah 128 MtCO2e pada 2050.

Sedang Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia hanya membatasi emisi pada 2030 di 1.817 MtCO2. Penghitungan ini dari climate action tracker ( CAT) dengan tak memperhitungkan emisi penggunaan lahan.

“NDC Indonesia makin tidak ambisius,” kata Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

IESR mengusulkan, mengurangi jumlah pembangkit listrik tenaga batubara dan meningkatkan kontribusi energi terbarukan tiga kali lipat pada 2030. Untuk tetap berada dalam batas 1,5 derajat celcius, Indonesia harus menghentikan penggunaan batubara pada 2040.

Faktanya, sekitar 67% bauran energi Indonesia, termasuk listrik dan bahan bakar transportasi, masih dari bahan bakar fosil. Penggunaan energi terbarukan tetap stabil cukup rendah selama bertahun-tahun.

Perempuan Kasepuhan Ciptagelar, sedang menumbuk padi. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Mitigasi energi

Dari segi kebijakan, Indonesia berencana membangun 16,7 gigawatt listrik energi terbarukan pada 2028. Indonesia pernah melakukan feed in tariff namun sempat berganti dengan sistem persentase biaya pokok pembangkitan (BPP) dan build-own-operater-transfer (BOOT), di mana aset pembangkit listrik tidak dapat digunakan sebagai jaminan.

Fabby bilang, Permen No 59/2017 itu membuat investasi energi terbarukan menjadi tidak menarik.

Tahun ini, pemerintah merevisi Permen 50/2017 jadi Permen No 4/2020 yang mengubah sistem BOOT menjadi build own operate (BOO) dan memberi opsi pemilihan dan penunjukan langsung untuk pengembangan energi terbarukan.

Indonesia, katanya, juga belum memiliki rencana menghapus ketergantungan terhadap batubara. Sebaliknya, berniat membangun PLTU 6 gigawatt pada 2020 dan 27,1 gigawatt pada 2028. Dengan ini kapasitas batubara akan meningkat dua kali lipat pada 2028.

Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan, setelah program 35.000 Megawatt selesai, pembangkit baru akan gunakan energi terbarukan.

Industri batubara juga masih dapat subsidi signifikan baik langsung maupun tak langsung. Secara langsung, dengan jaminan pinjaman, pembebasan pajak, pengenaan royalti dan tariff pajak. Secara tak langsung, dengan pemberlakuan batas harga batubara yang dijual.

Dengan kondisi rentan perubahan iklim, katanya, Indonesia perlu tindakan adaptasi. IESR mencatat, rata-rata setiap tahun ada 252 korban jiwa dan kerugian mencapai US$1,8 miliar karena cuaca ekstrem.

Untuk mencapai target bauran 23% pada 2025, perlu instalasi energi terbarukan 8-9 gigawatt pertahun dengan investasi US$9-10 juta per tahun.

Dengan ada pemanasan global, masyarakat dan sektor pendukung makin terpapar berbagai peristiwa iklim ekstrem. Dengan pemanasan global 3 derajat celcius, Indonesia akan mengalami 30 hari per tahun dengan suhu panas di atas 35 derajat celcius.

Secara keseluruhan semua sektor terkena dampak buruk kenaikan suhu.

“Karena itu, ada peningkatan energi terbarukan signifikan menunjukkan Indonesia turut berperan mengurangi risiko iklim global yang akan mengancam kehidupan generasi sekarang dan masa depan.”

Cara-cara pemenuhan energi seperti di Kasepuhan Ciptagelar, bisa jadi sumbangan aksi penyelamatan krisis iklim di bumi ini.

*Liputan ini didukung oleh program Story Grants Perubahan Iklim Terkait Kesehatan oleh Internews’ Earth Journalism Network Asia-Pasifik

Keterangan foto utama:  Turbin pembangkit listrik air Kasepuhan Ciptagelar. Darimana sumber energi komunitas adat ini? Berbagai keperluan energi, mereka juga hasilkan sendiri dengan memanfaatkan air dan matahari. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Artikel ini menjuarai Transisi Energi Ideathon 2020 Jurnalisme Kreatif  kategori Feature News

Energy Transition Ideathon 2020 Wall of Fame

Jakarta, 14 September 2020 – The Ideathon 2020 Energy Transition organized by the Institute for Essential Services Reform (IESR) concluded the first season on Saturday, 12 September 2020, with the 2020 Ideathon Awarding Ceremony attended by Finalists and the Judges which was broadcast live via zoom. The series of Energy Transition Ideathon activities carried the big theme of Indonesia Freedom from the ‘dirty energy’ (fossil fuels). The competition was held from 10 August 2020 to 11 September 2020.

The opportunities and threats of a global energy transition wave need to be properly anticipated and addressed by key stakeholders in the energy and electricity sector with better knowledge and understanding of current trends and their consequences. The role of the Indonesian people, especially the younger generation, plays an important role in supporting and accelerating this energy transition agenda, including in building public opinion on the importance of people’s awareness of the use of Renewable Energy technology and / or clean energy sources at the local level.

This year the Republic of Indonesia is celebrating its 75th day of independence. Independent (free) from colonialism, but not yet free from providing energy sourced from dirty energy (gas, oil, and coal). Meanwhile, at the same time, other countries, including developing countries in Southeast Asia, have responded and participated in the wave of the renewable energy transition to energy systems and low carbon economies. In commemoration of Indonesia’s 75th independence day, the Energy Transition Ideathon 2020 was held, to participate in providing ideas and thoughts for how Indonesia can transition to a low-carbon energy system, free from dirty energy. The delivery of these events, ideas and thoughts is packaged in a competition for innovative creative journalism, photography, and innovative video. With the theme of  ” Indonesia Free from Dirty Energy (fossil), IESR calls on the best works of the nation’s citizens to be able to contribute to voicing the urgency of transitioning from dirty energy.

This competition aims to provide a forum for journalists, photo and video content creator, and the Indonesian people, in general, to be able to voice their opinions and aspirations regarding the importance of the energy transition in Indonesia in the context of the 75th Independence Day of the Republic of Indonesia. Apart from that, the series of activities carried out also served as a momentum to listen to the perspectives and aspirations of the community towards energy supply and access in Indonesia.

IESR as the organizer also strives to provide a creative forum for the public (especially the younger generation) in conveying their perspectives and ideas on the status of global energy transition development and its urgency for Indonesia; get information, views, and input from the general public regarding the challenges of reporting on the topic of energy / clean energy transition as well as; increasing the participation and role of the younger generation in encouraging the discourse of an energy transition in the country so that it can be free from dirty energy, are some of the main things we want to achieve.

The competition closes on August 31, 2020, the organizing committee received more than 100 participants with photos, videos, and creative journalism that were followed by participants from the west to the east of Indonesia. All submitted works are then selected into several participants who are then announced as the Finalists in the Video and Photo Story competition

The Finalists are:

Finalists of the Innovation Video Competition
(arranged alphabetically by participant’s name)

Abiteru Sitepu, Kabanjahe
Akhmad Romadoni, Pasuruan
Epafras Freddy, Yogyakarta
Fajri Ramdjani, Makassar
Farkhana Rizkya, Mojokerto
Haritsa Taqiyya Majid, Yogyakarta
Aji Saputro, Lamongan

Photo Story Contest Finalist

Andri Muhamad Fauzi, Bandung
Arif Hermawan, Jakarta
Fitra Yogi, Padang
Giri Wijayanto, Sleman
Lilik Darmawan, Banyumas
Muhammad Awaludin, Palembang
Muhammad Iqbal, Malang
Muhammad Ikhsan, Bengkulu

Panel of Adjudicators

IESR also invited numbers professional jury who are experts in their respective fields who have experience and qualified technical backgrounds in each category, and the panel of adjudicators are:

Creative Journalism:
Aris Prasetyo, Senior Journalist of Kompas Daily
Fabby Tumiwa, Executive Director of IESR
Erina Mursanti, IESR Green Economy Program Manager

Photo Story:
Okky Ardy, Documentary Photographer of PannaFoto Institute
Priyombodo, Photographer Journalist Kompas
Kharina Dhewayani, Finance and Admin Manager of IESR

Innovation Videos:
Amanda Valani, Head of TV Narrative Content
Jannata Giwangkara, Manager of the IESR Energy Transformation Program
Gandabhaskara, IESR Communications Coordinator

Ideathon 2020 adjudication process

The adjudication process begins with an administrative selection, specifically for the Creative Journalism category, competition is intended for the Indonesian press.

Photo story

Assessment criteria
Broadly speaking, some of the criteria used as references in assessing Photostory work include Thematic, Content, and Technical.

1. Suitability of the theme (Thematic)
Namely, including the extent to which the works are related and in accordance with the themes given by the committee. In this case that is the theme of (clean) energy around us: technology, humanities, and the environment. It is hoped that at least the theme will be reflected in the photo stories sent to participate in the competition.

2. Originality
Originality in this case includes the extent to which the ideas, exploration, and visual approaches are used in the photo story.

3. Technical
Covers the basic elements of photography. Starting from the sharpness, point of view (angle), composition, etc.

 

“Creating a photo story is like creating a movie, where the audience is presented with a plot from the beginning to the end with a series of narratives that has emotions and messages, not a single photo that stands alone and differs, it’s just a photo. The story only plays on the power of the visuals, there is no motion and there is no audio, ”said Okky Ardya, one of the Adjudicators in front of the finalists at the award ceremony.

Okky Ardya, PannaFoto Institute
Okky Ardya, PannaFoto Institute

Okky Ardya, also appreciated all the works of the finalists who succeeded in presenting a strong narrative according to the theme in this competition.

Creative Journalism

The suitability of the theme, the depth/completeness of the facts and data, the logic of written, reasoning and grammar are the elements that are assessed in the judging process in this category by the panel of judges

“I salute the participants, the majority of whom are contributed by the local journalists (beyond java island) to participate in and support the campaign for the energy transition process in Indonesia, and in general these participants already understand very well the topic of renewable energy and have answered why we We must immediately transition from fossil energy to renewable energy, ”said Aris Prasetyo, a Senior Journalist from Kompas who is also one of the juries in this category.

Aris Prasetyo, Kompas

 

Innovation Videos

Assessment criteria

1. Theme relevance
The relationship between a big theme and its context for viewers
Choosing a creative perspective on a specific theme and successfully making the story relevant to the audience

2. Ideas
Have a clear message and goal-oriented
The idea is able to answer/describe the challenge – and how to handle it

3. Quality research
Data collection and presentation of ideas based on studies conducted by IESR
The level of understanding of the research and being able to communicate the data to viewers

4. Data Visualization
Creative and different presentation of data
Easy to understand

5. Impact on emotions
Provide an emotional impact on viewers
Being able to create a longer-term impression and able to invite viewers to interact or act

6. Storytelling
The ability to arrange a topic becomes a universal and inclusive problem
Stories and narratives can evoke unexpected elements, so that how a message in the story is finally revealed

7. Level of difficulty
Cinematographic quality
The complexity of animation/motion graphics
Estimated production costs

The elements above are a big picture of how the jury should look at objectively assessing the overall work in the judging process.

Joining online, Amanda Valani’s innovation video jury added that all finalists managed to convey their works in a narrative, non-patronizing and educational manner, Amanda was also very impressed with the variety of video formats that were collected, ranging from motion graphics, explainers, or vlogs. , right down to the features.

“We are trained to think simply in the context of making creative videos, for example reducing research results (IESR.red) which in my opinion are at the divine level and lowering them to the community level so that people want to change. That is an emotional impact which is an element that very important in making creative videos ”

Amanda Valani, Narasi TV

The winners

After going through a long process and being reviewed by the jury, including the public’s choice as the favorite work chosen through the official IESR social media channels, being selected as the winner in the Energy Ideathon 2020 Transition as follows:

NamaKaryaKategori Pemenang
Dhana KencanaPLTS Atap di Stasiun Batang, Energi Bersih untuk Indonesia MendatangJuara Utama Jurnalisme Kreatif -- Hard News
Della SyahniBelajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Panen Energi dari Air dan MatahariJuara Utama Features -- Jurnalisme Kreatif
Bhekti SuryaniHarga Mahal Energi Baru Terbarukan Cuma MitosJuara Utama In-depth Report, Jurnalisme Kreatif
Fajri RamdhaniIndonesia Merdeka dari Energi KotorJuara I Video Inovasi
Epafras Freddy Perda SetyawanPasar Indonesia Mandiri EnergiJuara II Video Inovasi
M. Aji SaputroEnergi Masa Depan IndonesiaJuara Favorit
Giri WijayantoPenggunaan Lampu LED UV bertenaga Surya sebagai perangkap hama tanaman bawang merahJuara Utama
Muhammad IkhsanLebong Tandai, 120 Tahun Menikmati Listrik dari Kincir SungaiJuara Favorit

The entire organizing committee and members of the jury congratulate all winners and also appreciate all participants for their enthusiasm to participate in the Ideathon Energy Transition – Indonesia Free from the Dirty Energy. We hope that your works can inspire all of us to help Indonesia so that it can soon be Free from Dirty Energy and switch to renewable energy!

Keep creating and see you at the next Energy Ideathon Transition.

Kementerian ESDM dan Badan Energi Internasional memperdalam kerja sama untuk memajukan transisi energi di Indonesia

Jakarta — 8 Juli, 2020, IESR. Institute for Essential Services Reform menyambut baik dan mendukung rencana kerjasama Kementerian ESDM bersama dengan International Energy Agency (IEA) dalam sebuah proyek baru tentang ketenagalistrikan dan energi terbarukan. Rencana peluncuran kerjasama ini secara resmi diumumkan oleh IEA, yang dirilis melalui laman resminya pada hari Selasa lalu, 7 Juli 2020. Peluncuran proyek ini dilakukan menjelang KTT Transisi Energi Bersih IEA pada Selasa 9 Juli yang akan mempertemukan sekitar 40 menteri dan tokoh – tokoh penting dari negara-negara yang mewakili sekitar 80% dari permintaan energi global. 

IESR menilai kerja sama ini sangat relevan dengan situasi dunia dan situasi Indonesia yang sedang melakukan pemulihan ekonomi pasca-Covid-19 dan pada saat yang bersamaan menghadapi tantangan untuk memulihkan investasi di sektor energi, khususnya energi terbarukan untuk mencapai target 23% bauran energi pada 2025.Continue reading

Pojok E-Nergi: Jaring Pengaman Sosial Sektor Energi di Masa Pandemi Virus Corona

Pada 14 April 2020, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Seri Diskusi Daring (online) Pojok E-Nergi perdana, mengangkat topik jaring pengaman sosial sektor energi di masa pandemi virus corona. Pojok Energi adalah seri diskusi isu energi untuk umum yang dilakukan reguler oleh IESR sejak 2017, dan kali ini diselenggarakan secara daring.

Dalam Pojok E-Nergi kali ini narasumber yang hadir adalah Hendra Iswahyudi (Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM), Tulus Abadi (Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia/YLKI), dan Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR). 

Sejak penetapan status darurat kesehatan masyarakat dengan anjuran berkegiatan di rumah dan membatasi aktivitas yang melibatkan banyak orang, ekonomi Indonesia juga turut melemah dan mempengaruhi banyak kelompok masyarakat; utamanya kelompok masyarakat rentan yang kebanyakan dari sektor informal. Pemerintah menanggapi kondisi ini dengan memberikan paket jaring pengaman sosial, termasuk sektor energi, menyasar masyarakat yang termasuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Jaring pengaman sosial sektor energi tersebut berupa penggratisan biaya listrik pelanggan 450 VA (sekitar 23 juta pelanggan) selama tiga bulan mulai April hingga Juni 2020, sementara pelanggan 900 VA (sekitar 7 juta pelanggan) berhak mendapatkan potongan harga sebesar 50%. Hendra Iswahyudi menyatakan dalam paparannya, dibutuhkan sedikitnya Rp 3 triliun untuk kompensasi PLN demi menjawab kebijakan diskon tarif ini.

Dalam pelaksanaannya, pemberian keringanan tarif tenaga listrik ini telah diatur melalui Surat Dirjen Ketenagalistrikan Nomor 707/26/DJL.3/2020 dan Kementerian ESDM telah menginstruksikan kepada PT PLN untuk pelaksanaan pemberian diskon tarif.

Skema keringanan tarif tenaga listrik untuk RT 450VA dan 900VA

Menurut Hendra, tantangan yg muncul di lapangan di antaranya adalah sosialisasi untuk masyarakat yg belum paham teknologi informasi (IT) dan panjangnya proses penerbitan voucher. Selain itu, Kementerian ESDM juga membahas penggantian pendapatan daerah (PAD) yg hilang dari penggratisan biaya listrik (termasuk penerangan jalan umum) dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian Dalam Negeri.

Hendra juga menggarisbawahi bahwa proses evaluasi jaring pengaman sosial ini sedang dilakukan. Kementerian ESDM juga terus mengkaji insentif dan stimulus untuk kelompok pelanggan lain, termasuk sektor UMKM dan komersial/bisnis yang juga terdampak pandemi. Untuk sementara ini sebagai respon cepat, stimulus diberikan pada kelompok masyarakat paling rentan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif, menilai kebijakan keringanan tagihan listrik tersebut merupakan langkah yang tepat oleh pemerintah di tengah pandemi COVID19. Respon cepat ini diperlukan untuk memastikan kelompok masyarakat terdampak segera terbantu. Fabby juga memberikan beberapa catatan terkait tindakan pemerintah ini. Menurutnya, pemerintah belum memiliki skema jaring pengaman sosial energi yg komprehensif, mengingat Indonesia belum memiliki standar dan mekanisme pengukuran kemiskinan energi.

Hingga saat ini, akses energi di Indonesia masih berdasar prinsip ketersambungan, belum mengukur kualitas dan standar konsumsi minimal untuk kegiatan produktif.  Secara kualitas dan dalam klasifikasi tier menurut kerangka multi-tier framework (MTF) yang dikembangkan oleh ESMAP dan Bank Dunia, banyak daerah di Indonesia yang akses energinya masih berada di tier rendah, yaitu tersambung atau ada listrik namun ketersediaan dan kualitas listriknya minim. Studi IESR di 2 provinsi menunjukkan hal serupa, rumah tangga yang menjadi sasaran distribusi Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) otomatis masuk dalam tier rendah mengingat listriknya hanya tersedia terbatas dan hanya untuk penerangan dan pengisian daya telepon genggam.

Fabby mengatakan, masa pandemi ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan evaluasi penyediaan akses energi dan mengintegrasikan “kemiskinan energi” dalam penentuan kelompok rumah tangga miskin, sehingga jaring pengaman sosial energi dapat dirancang secara efektif. Dengan adanya standar kualitas akses energi, maka jaring pengaman sosial energi di masa darurat dapat dirancang dengan mempertimbangkan aktivitas produktif masyarakat dan tidak sekadar memberikan penerangan atau sambungan listrik sementara. Contoh sederhananya, jika aspek standar konsumsi listrik dimasukkan, maka pemberian keringan tarif listrik untuk masyarakat miskin dan rentan bisa didasarkan pada konsumsi tersebut sehingga aktivitas ekonomi dapat berjalan normal. 

Tulus Abadi juga mengapresiasi langkah pemerintah untuk memberikan jaring pengaman sosial bagi kelompok masyarakat rentan. Di sisi lain, Tulus merekomendasikan kelompok rumah tangga 1300 VA untuk mendapatkan stimulus serupa. Di kawasan perkotaan, kelompok 1300 VA ini adalah terdiri dari pekerja informal, dirumahkan, atau kehilangan pendapatan sehingga mereka memerlukan stimulus energi; karena energi adalah kebutuhan utama dan mendasar. Meski tidak termasuk dalam kelompok masyarakat miskin, mereka kehilangan pendapat sehingga menjadi kelompok masyarakat yang memerlukan bantuan pemerintah.

Tulus mengharapkan pemerintah menjaga pasokan LPG 3 kg dan harganya. Menurutnya, subsidi energi memasak yang diberikan pemerintah untuk LPG 3 kg sudah cukup, yang perlu dipastikan adalah ketersediaannya secara merata dan pengawasan harga eceran tertinggi sehingga tetap terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan.  

Dua orang perwakilan masyarakat, yaitu Ibu Mariyam dari Jakarta dan Pak Ismono dari Demak (Jawa Tengah) merespon dengan baik tindakan pemerintah memberikan jaring pengaman sosial energi ini. Menurut mereka, sosialisasi di lapangan yang belum menyeluruh masih menjadi kendala, juga adanya keluarga yg menurut pengamatan mereka sebenarnya membutuhkan namun tidak mendapatkannya. Ibu Mariyam dan Pak Ismono berharap penyebaran informasi dilakukan dengan lebih masif dan lebih jelas, benar-benar diberikan untuk yang membutuhkan, dan diberikan sepanjang dampak pandemi COVID19 dirasakan — bisa jadi lebih dari 3 bulan seperti skema jaring pengaman sosial saat ini.

Rekaman diskusi daring ini dapat dilihat secara utuh di:

Energi untuk Memasak Selama #dirumahaja: Tetap Nyaman dengan Energi Bersih Terbarukan 

PT Pertamina baru – baru ini merilis catatan adanya peningkatan konsumsi LPG nonsubsidi rumah tangga di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten secara signifikan (MOR III) dengan adanya penerapan kebijakan dan imbauan physical distancing oleh pemerintah demi mencegah penyebaran dan penularan #Covid19 lebih luas. Aktivitas di rumah, termasuk memasak, meningkat karena anjuran tersebut. Menurut catatan Pertamina, terjadi peningkatan rata-rata konsumsi hingga 23% untuk produk LPG non subsidi Bright Gas 5,5 kg, dan 12 kg di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Menyikapi hal ini, pemerintah dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa pasokan LPG dipastikan tetap terjaga untuk mengantisipasi kenaikan permintaan dari masyarakat. 

Selain LPG, adakah sumber energi lain yang bisa kita gunakan untuk keperluan memasak di rumah?

Ada alternatif bahan bakar #cleancooking yang selain bersih, juga bisa memanfaatkan sumber energi terbarukan di sekitar kita, yaitu:

Biogas

Biogas bisa didapatkan dengan memanfaatkan limbah dari kotoran ternak dan sampah/limbah organik yang kemudian difermentasi dan menghasilkan gas untuk menyalakan api pada kompor gas maupun kebutuhan penerangan. 

Mama Seni dari Sumba menggunakan biogas dari kotoran ternak dan bertani dengan slurry (produk sampingan dari biogas), beliau kini telah menjadi petani dan pengusaha perempuan yang sukses di desanya. Di Semarang, Ibu Suwanti menggunakan limbah tahu untuk usaha makanan rumahannya, yang selain menghemat biaya bahan bakar, juga membuat tetangganya senang karena tak lagi mencium bau limbah tahu yang kurang sedap. Dengan menggunakan biogas, kedua perempuan ini mampu menjadi pengusaha yang sukses dan menjadi panutan untuk masyarakat 

Jika ingin mengembangkan biogas mini rumahan yang cocok untuk Anda yang ingin punya biogas tapi tidak memiliki ternak, Yayasan Rumah Energi memberikan contoh penggunaan biogas rumah dalam skala kecil.

Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE)

TSHE merupakan teknologi tungku bersih yang menyasar 40% rumah tangga di Indonesia yang masih menggunakan biomassa tradisional untuk memasak (misalnya kayu). Dengan menggunakan kayu cacah, pelet kayu, atau pelet serbuk gergaji; TSHE didesain untuk menghasilkan asap dan partikulat yang lebih sedikit, sehingga polusi dalam ruangan dapat berkurang. Kondisi memasak yang lebih bersih berdampak positif pada perempuan dan anggota keluarga lain, yang selama ini banyak mengalami gangguan kesehatan terkait pernapasan. TSHE juga memanfaatkan bahan organik buangan dari sekitar rumah, misalnya tempurung kelapa, sehingga dapat menghemat biaya energi rumah tangga. 

Sejak 2019, mitra IESR yang tergabung dalam Strategic Partnership Green and Inclusive Energy, yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, juga telah melakukan program peningkatan kesadaran masyarakat tentang energi bersih di Jawa Tengah, termasuk salah satunya melatih dan memberdayakan rumah tangga lokal untuk memproduksi TSHE.  

Kompor Surya (Solar Cooker)

Solar cooker merupakan inovasi #cleancooking yang dikembangkan terutama untuk masyarakat di perdesaan yang kesulitan mengakses gas atau listrik, juga untuk mengurangi deforestasi atau penggunaan kayu bakar secara berlebihan. Dengan desain kompor yg memusatkan panas dari matahari, pengguna dapat memasak atau menghangatkan makanan di dalamnya. 

Kompor Listrik dan Kompor Induksi

Kedua jenis kompor ini juga merupakan salah satu pilihan #cleancooking, keduanya menggunakan listrik sebagai sumber energi. Yang perlu diperhatikan adalah daya dan kualitas listrik yang kita miliki, juga keamanan jaringan listrik di rumah; karena daya yang diperlukan kompor ini cukup besar (~1000 Watt).

Nah, lebih bagus lagi jika sumber energi listrik rumah kita berasal dari PLTS atap, agar sumber listrik untuk memasaknya juga bersih dan sekaligus hemat! Baca-baca dulu soal PLTS atap di sini ya:

Jaringan Gas Rumah Tangga (Jargas)

Jargas merupakan jaringan pipa yang dibangun dan dioperasikan untuk penyediaan dan pendistribusian gas bumi bagi rumah tangga. Jargas disalurkan ke rumah tangga dari sumber gas terdekat, sehingga meminimalkan distribusi. Selain itu, penggunaan jargas juga dapat mengurangi impor gas untuk LPG. Memang tidak setiap daerah dapat menjadi sasaran jargas. Informasi lebih lanjut bisa merujuk ke akun media sosial PT Pertamina dan PGN, yang mengoperasikan jargas di Indonesia.

Jangan lupa tetap berhemat energi di rumah ya! 

 

Salam hangat,

Institute for Essential Services Reform

 

Lakukan mulai hari ini! Memperingati Hari Konservasi Energi Dunia

Beberapa hal yang harus mulai kita lakukan di hari ini Memperingati Hari Konservasi Energi Dunia 

World Energy Conservation Day -14 December 2019

Gimana sih cara melakukan konservasi energi dalam kehidupan sehari – hari?

Melakukan konservasi energi itu penting untuk mencegah semakin tingginya suhu bumi. 

Sebenarnya tujuan dari konservasi energi itu adalah ingin melestarikan sumber energi, sehingga kita perlu menggunakan teknologi untuk membangkitkan energi yang bersumber dari sumber energi terbarukan, dan kita harus menggunakan teknologi yang lebih efisien (hemat) energi. 

Lalu apa yang kita bisa lakukan? 

1.Sesuaikan perilaku kita sehari – hari

Ketika usaha – usaha secara individu secara kolektif di kumpulkan untuk membawa perubahan besar, setiap langkah kecil akan sangat bermakna, terutama dalam langkah konservasi energi; mematikan lampu dan peralatan elektronik saat tidak digunakan, gunakan air untuk melakukan kegiatan sehari-hari secukupnya, dan menggunakan transportasi umum ketika bepergian, atau yuk jalan kaki jika dekat!

2.Reduce, Reuse, Recycle and Repair

Hal yang sangat mendasar, konsep ini telah sering kita dengarkan atau digaungkan namun menjadi metodologi yang memiliki dampak yang sangat efektif untuk mengatasi krisis energi. Membawa tas belanja sendiri yang dapat dipakai kembali ketika berbelanja, akan mengurangi konsumsi plastik kita sehari – hari, termasuk mengurangi konsumsi kita terhadap produk – produk yang dibungkus plastik, atau menyimpannya yang dapat berdaya guna/alih fungsi lain, hal ini akan sangat signifikan mengurangi jumlah sampah anorganik yang dihasilkan dari produk – produk yang kita beli atau konsumsi. Satu hal lagi yang dapat kita lakukan, adalah selalu berusaha memperbaiki barang – barang sehari – hari yang sekiranya masih dapat diperbaiki, dan tidak secara langsung membuangnya jika rusak dan memutuskan membeli baru. 

Tahukah anda bahwa setiap setengah kilogram sampah yang dapat kita kurangi, kita telah menyelamatkan energi dan mengurangi emisi CO2 hingga 1 pon atau sekitar 450 gram?!

Doronglah selalu diri kita masing – masing untuk sebisa mungkin menggunakan produk – produk yang dapat didaur ulang, dan tidak bersifat konsumtif (yang berlebihan).

3.Mulai praktikan menggunakan peralatan hemat energi dan ramah lingkungan

Menggunakan solar power bank lampu taman menggunakan tenaga surya, sepeda listrik, motor listrik, menggunakan lampu LED dan peralatan elektronik yang efisien (hemat) energi.

Setiap hal yang kita lakukan tersebut sangat mempengaruhi bumi, bayangkan jika semua orang dapat memulainya, ini bisa menjadi efek riak: dari satu rumah, satu wilayah, hingga satu kota. Jadi bijaklah dalam menggunakan energi untuk melestarikan energi.

Cadangan Minyak Bumi Akan Habis

Selama 10 tahun terakhir, lebih dari 90% dari bauran energi final berasal dari bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara). Persediaan bahan bakar fosil diperkirakan akan habis dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, bahkan minyak bumi diperkirakan akan habis pada 2030. Jika kita tidak mulai memikirkan untuk melakukan transisi menuju energi rendah karbon dan memiliki sumber sumber energi yang lebih efisien maka dunia akan mengalami krisis energi. 

Ditambah dengan krisis ekonomi yang membayangi fluktuatifnya harga dari bahan bakar fosil serta krisis iklim yang akan diperparah dengan bertambahnya penggunaan bahan bakar fosil, Hal – hal tersebut merupakan dua alasan mengapa Indonesia perlu meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi finalnya. 

“Meskipun porsi energi terbarukan sudah meningkat dua kali dari 4,37% pada 2008 menjadi 8,55% pada 2018, Indonesia masih perlu mengoptimalkan efisiensi energi untuk mencegah kenaikan suhu bumi karena energi terbarukan yang dikombinasikan dengan efisiensi energi merupakan langkah mitigasi perubahan iklim yang tepat. Transformasi sistem perekonomian pun dibutuhkan untuk dapat membuat implementasi teknologi energi terbarukan dan optimalisasi efisiensi energi yang masif di Indonesia. Erina Mursanti, Program Manager Green Economy, IESR”


Secara global 14 Desember diperingati Hari Konservasi Energi, untuk menyoroti pentingnya konsumsi energi dan penggunaannya dalam kehidupan kita sehari-hari, kelangkaannya dan dampaknya terhadap keberlanjutan sistem eko-global. Ini memfokuskan konsentrasi kita pada masalah-masalah signifikan yang dihadapi masa depan umat manusia sehubungan dengan energi.

Ini adalah hari untuk membangun kesadaran tentang:
• Kebutuhan konservasi energi
• Efisiensi energi
• Berhemat dalam penggunaan energi

Erina Mursanti, Program Manager Green Economy
Gandabhaskara Saputra, Communications Coordinator

Sunny Days: Powering Indonesia with Solar Energy (Only!)

In 2017, Institute for Essential Services Reform (IESR), together with Ministry of Energy and Mineral Resources, Ministry of Industry, Indonesia Solar Association, Indonesia Renewable Energy Society, others associations and university; launched One Million Rooftop Solar Initiative (Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap). Since then, we have been working intensively to take active part in accelerating solar deployment in the country.

On Tuesday (30 July), we have launched our 4 major reports on solar energy, highlighted below:

1. For utility-scale solar power plants, we recommend the government to adopt reverse auction scheme. The effectiveness of the scheme has been proven by 4 countries with record-low solar generation cost (auction should be designed well to create competition and high-quality bids!)

Read more: Under The Same Sun (in English)

2. How massive of solar energy is massive? We decided to show how massive solar energy potential in Indonesia is by calculating technical potential for households in 34 provinces. With 4 scenarios used, Indonesia has 194 – 655 GWp of solar power, residential only. How much of that is feasible to achieve, market wise?

Read more: Residential Rooftop Solar Technical Potential in 34 Provinces in Indonesia (in English)

3. With that potential, why rooftop solar penetration for residential is so low? We asked people in Greater Jakarta and Surabaya to find out. Well, they are aware of the technology, with different perceptions. Those living in Greater Jakarta care more on the savings and ease of use, while people in Surabaya consistently mentioned good impact of solar energy for the environment and its high technology, apart from savings.

Three out of ten people in Greater Jakarta are willing to buy, 1 in 3 people in Surabaya also conveys the same intention. But what makes them reluctant to do it?

Also, the market potential for Greater Jakarta and Surabaya amounts to 13% and 19%, respectively. Assuming 2 kWp installation capacity, the numbers equal to 1,1 – 1,2 GWp and 170 – 186 MWp. Not small numbers compared to Indonesia’s solar energy target (6,5 GW by 2025).

Read more: Market Analysis of Rooftop Solar in Greater Jakarta and Surabaya (in Indonesian), Market Potential of Rooftop Solar PV in Surabaya (in English)

4. Powering the Cities, our latest series. We believe the role of local governments is crucial in accelerating solar deployment in Indonesia. Thus, we calculated technical potential of government and commercial buildings in Jakarta and Surabaya to understand more the solar energy landscape in those cities and how we can work together with local governments to establish solar cities in Indonesia.

Jakarta has 22 MWp rooftop solar potential, while Surabaya has 36 MWp. We encourage Government of Jakarta and Government of Surabaya to tap this potential and start transitioning to low-carbon development.

Read more: Powering the Cities: Technical Potential of Rooftop Solar for Public and Commercial Buildings (Jakarta and Surabaya) (in English)

Powering Indonesia with 100% renewables, or even solar energy only, perhaps no longer a faraway dream.


Warm (pun intended) regards,

Marlistya Citraningrum
Program Manager – Sustainable Energy Access

 

Ranpergub Bali tentang Energi Bersih: IESR Mendukung Peran Aktif Pemerintah Daerah dalam Mempercepat Pengembangan dan Pemanfaatan Energi Bersih dan Terbarukan

Dalam kerangka percepatan pengembangan dan pemanfaatan energi bersih dan terbarukan, pemerintah daerah dan kota memiliki peran yang penting. Kebijakan energi nasional yang menjadi acuan dapat didukung pemerintah daerah dan kota melalui kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kewenangan pemerintah lokal dan pemahaman mereka yang lebih mendalam terhadap potensi dan keunggulan daerah. Misalnya, beberapa provinsi atau kota memiliki lahan yang lebih luas dibanding lainnya, yang cocok untuk digunakan sebagai lokasi pembangkitan listrik energi terbarukan. Pemanfaatan energi surya dalam bentuk rooftop solar juga sangat terkait dengan pemerintah daerah, di mana pemerintah daerah memiliki kewenangan terkait izin dan pengaruh pada sektor-sektor yang berpotensi menjadi pengguna, hingga pemberian insentif untuk penggunaannya. Selain itu, pengembangan energi bersih dan terbarukan di daerah juga memiliki peluang ekonomi dan industri untuk daerah tersebut.

Meningat pentingnya peran pemerintah daerah, Institute for Essential Services Reform (IESR) secara aktif mendorong dan mendukung pemerintah daerah di Indonesia untuk mengambil peran lebih signifikan dalam mempercepat pengembangan dan pemanfaatan energi bersih dan terbarukan di Indonesia. Untuk pemanfaatan rooftop solar, misalnya, IESR telah melakukan dua studi pasar terhadap rumah tangga di kawasan Jabodetabek dan Kota Surabaya. Masyarakat di dua wilayah ini menunjukkan minat yang cukup tinggi untuk menggunakan rooftop solar, terdapat potensi early adopters dan early followers sebesar 13% untuk Jabodetabek dan 19% untuk Kota Surabaya. Persentase ini menunjukkan bahwa masyarakat dapat menjadi aktor penting dalam agenda percepatan pemanfaatan energi terbarukan, juga dengan telah dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM No. 49/2018 yang mengatur penggunaan rooftop solar tersambung jaringan (grid-tie).

Hasil temuan ini disampaikan oleh IESR sebagai rekomendasi pada Pemerintah Provinsi Bali dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur Bali (ranpergub) tentang Energi Bersih; bahwa masyarakat dan publik memiliki peran besar dalam agenda pembangunan energi terbarukan. Ranpergub ini merupakan salah satu strategi Gubernur Bali Wayan Koster dalam mewujudkan visi dan misi “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”, yang terfokus pada program pembangunan yang sesuai dengan nilai-nilai kesucian dan keharmonisan alam Bali. Produk hukum mengenai energi bersih ini disusun mandiri oleh Pemerintah Provinsi Bali dan merupakan langkah progresif untuk menjawab kebutuhan energi Bali dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan setempat. Dalam ranpergub ini, pembangkitan listrik tidak hanya difokuskan pada pembangkit skala besar, melainkan juga perlu menitikberatkan pada pembangkit berskala komunal atau individu. Selain rumah tangga (residensial), sektor industri dan komersial juga merupakan target yang potensial, simulasi IESR menunjukkan adanya potensi rooftop solar hingga 25,9 MWp hanya untuk hotel bintang 5 di kawasan Nusa Dua dan Kuta. Potensi rooftop solar untuk bangunan publik dan fasilitas umum di Bali berdasarkan simulasi IESR juga terbilang tinggi, mencapai 15,6 MWp. Ranpergub tersebut telah memuat pewajiban bangunan dengan luasan tertentu, baik bangunan publik atau swasta, untuk memasang rooftop solar. Dengan target pengembangan energi surya sebesar 50 MW pada tahun 2025 sesuai Rancangan Umum Energi Daerah Bali, rooftop solar dapat berkontribusi secara signifikan.

Hasil studi pasar ini dan kajian serta simulasi IESR juga menunjukkan bahwa minat masyarakat dapat ditingkatkan dengan pemberian insentif, mengingat biaya awal pemasangan rooftop solar masih dianggap tinggi. Pemberian insentif yang berada dalam lingkup kewenangan pemerintah daerah, misalnya dengan diskon Pajak Bumi dan Bangunan selama periode waktu tertentu atau pemberian subsidi untuk pemasangan awal dapat mengurangi jangka waktu pengembalian investasi pembelian instalasi rooftop solar (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Simulasi insentif untuk penggunaan rooftop solar (IESR, 2018)

Rekomendasi insentif ini juga disampaikan IESR pada Pemerintah Provinsi Bali, yang telah dimasukkan sebagai salah satu skema insentif dalam ranpergub tersebut. Pemerintah Provinsi Bali telah menggelar uji publik ranpergub pertama pada tanggal 11 Juni 2019 di Denpasar, yang dihadiri oleh perangkat daerah, dinas-dinas pemerintahan dan lembaga-lembaga terkait di Bali, akademisi, praktisi, serta media. Dalam kesempatan ini, Institute for Essential Services Reform turut hadir dan mengapresiasi langkah strategis dan inovatif Pemerintah Provinsi Bali sebagai pionir pemerintah daerah yang memiliki kepedulian dan kebijakan terfokus pada energi bersih dan terbarukanPemerintah Provinsi Bali membuka ruang untuk menerima masukan-masukan dari beragam kalangan sehingga peraturan ini dapat disempurnakan. Dalam kerangka mendorong minat masyarakat dan sektor lain untuk berpartisipasi, IESR juga menyampaikan bahwa kemudahan akses pendanaan bagi masyarakat dapat didukung pemerintah dengan pelibatan lembaga keuangan untuk mengeluarkan skema pembiayaan cicilan dan/atau bunga rendah. Studi pasar IESR yang dilakukan di Jabodetabek dan Bali menunjukkan bahwa pelanggan rumah tangga lebih memilih skema pembiayaan cicilan dengan tenor kurang dari 5 tahun.

Ranpergub ini juga mencantumkan pengembangan baterai sebagai salah satu media penyimpan energi untuk mengantisipasi intermittency energi terbarukan. Berdasarkan hasil studi Australian National University, Bali sebenarnya memiliki potensi penyimpanan energi dalam bentuk pumped-hydro energy storage (PHES) lebih dari 2 TWh. Karenanya menurut IESR, Pemerintah Provinsi Bali perlu mempertimbangkan potensi ini selain pengembangan penyimpan energi kimiawi seperti baterai.

Ranpergub ini merupakan salah satu contoh konkret bagaimana pemerintah daerah dapat berperan aktif dalam pembangunan energi terbarukan yang sesuai dengan konteks lokal. Pemerintah Provinsi Bali dapat menjadi contoh bagi pemerintah daerah lain di Indonesia untuk mulai menggali potensi energi terbarukan setempat, mendorong keterlibatan semua pihak dalam agenda ini, dan mengintegrasikan visi pembangunan rendah karbon dalam sistem pembangunan daerah.


Marlistya Citraningrum
Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan

 

Dukungan IESR dalam Musyawarah Nasional Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Ke-1

Institute for Essential Services Reform (IESR) memberikan dukungan dalam Musyarawah Nasional (Munas) Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) ke-1 yang diselenggarakan pada tanggal 25 Januari 2018 di Jakarta. Munas AESI ini bertema “Konsolidasi Asosiasi Energi Surya Indonesia untuk Mendukung Pencapaian Target Kebijakan Energi Nasional dalam Rangka Mewujudkan Energi Berkeadilan Hingga Pelosok Negeriâ€. Dalam acara ini juga dilakukan peluncuran portal “Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap“ dan pameran INDOSOLAR 2018.

AESI diresmikan pendiriannya pada 15 Desember 2016. Sejarah pendirian AESI diawali pada saat Luluk Sumiarso menerima undangan dari Asosiasi Energi Surya di Jerman untuk berbicara mengenai berbagai sumber energi dan berdialog di sebuah konferensi. Sebelum datang ke Jerman, Luluk Sumiarso bertemu dengan beberapa pegiat energi terbarukan lain dan menginisiasi berdirinya Indonesia Solar Association (ISA).

IESR mendukung deklarasi AESI secara resmi dan juga berperan aktif dalam menfasilitasi beragam diskusi AESI dengan fokus pada pengembangan energi surya di Indonesia. Dari beberapa diskusi yang diselenggarakan tersebut, kemudian disepakati adanya kolaborasi beragam pemangku kepentingan untuk mencapat target gigawatt pertama energi surya di Indonesia dengan pemanfaatan listrik surya atap. Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) ini dideklarasikan secara resmi dalam acara IndoEBTKEConnex tahun 2017 lalu.

Rida Mulyana sebagai Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM menyampaikan pemerintah sangat mengapresiasi AESI dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Rida menyampaikan adanya beberapa kendala untuk pengembangan energi surya, misalnya teknologi baterai, sifat yang intermitent dan tergantung cuaca, serta ketersediaan lahan. Harus dipikirkan mengenai solusi untuk mengatasi tantangan ini, tentunya kerjasama dengan berbagai pihak, melihat permasalahan secara holistik dan tidak saling menyalahkan. Rida juga menyoroti ragam pemangku kepentingan di AESI yang diharapkan dapat berkontribusi secara positif untuk mewujudkan cita-cita bersama.

Selanjutnya Arthur Panggabean sebagai konsultan GNSSA memberikan pemaparan mengenai portal GNSSA yang dapat diakses secara publik. Portal ini dirancang sebagai portal informasi mengenai pengetahuan, pertanyaan dan jawaban, juga forum untuk pelaku bisnis dan konsumen listrik surya atap untuk berjejaring.

Setelah pembukaan Munas AESI, dilakukan diskusi panel dengan tema “Towards the First Gigawatt Solar Energy in Indonesia†dengan moderator Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa. Duduk sebagai panelis adalah Harris, Direktur Aneka Energi Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Zakiyudin, Direktur Mesin dan Alat Mesin Pertanian Ditjen ILMATE Kementerian Perindustrian, Dewanto, Deputi Manager Alternatif PT PLN, dan Ahmad Masyuri, Head of Engineering PT Sampoerna.

Fabby Tumiwa menerangkan bahwa GNSSA dirancang dan dideklarasikan untuk berkontribusi terhadap target kebijakan energi nasional, yaitu 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Dari target tersebut,  6,5 GW disumbang oleh listrik tenaga surya. Pembahasan tentang bagaimana rencana GNSSA ke depan terbilang penting, karena target GNSSA yaitu tercapainya 1 GW listrik surya atap dapat memiliki efek yang sangat luar biasa terhadap industri dan terhadap perkembangan pasar energi surya di Indonesia.

Harris menyampaikan bahwa tren kebijakan pengembangan EBT berubah sangat cepat, sehingga dibutuhkan upaya-upaya sinergi internal eksternal, termasuk kolaborasi dalam GNSSA. Energi terbarukan, terutama energi yang dibangkitkan dari energi surya juga dianggap sangat mampu menyikapi perubahan dengan inovasi-inovasinya, sehingga mampu mengurangi biaya investasi dan harga.

Kesiapan industri Indonesia terkait pasar dan manufaktur komponen listrik tenaga surya ditanggapi oleh Zakiyudin. Peningkatan daya saing industri pendukung proyek ketenagalistrikan telah diatur oleh Kementerian Perindustrian, seperti pemberian fasilitas BMDTP (Bea Masuk Ditanggung Pemerintah) untuk impor bahan baku industri pendukung proyek ketenagalistrikan. Pemerintah juga memberikan tax holiday untuk investasi baru  industri permesinan pendukung proyek ketenagalistrikan, dan mengajukan usulan pemberian fasilitas tax allowance.

Dewanto sebagai perwakilan PT PLN menjelaskan bahwa PLN tidak menghalangi keberadaan PV rooftop. Secara kebijakan, sudah ada keputusan direksi tentang aturan penyambungan energi baru terbarukan, termasuk pemasangan instalasi listrik surya atap untuk pelanggan dan integrasi ke jaringan PLN. Saat ini PLN sedang berada dalam kondisi yang sulit, dikarenakan adanya penurunan penjualan, di samping berlebihnya pasokan di Jawa Bali karena turunnya permintaan dan banyaknya industri yang masih menggunakan pembangkit listrik sendiri.

Pengalaman pelaku sektor industri dalam menggunakan energi terbarukan disampaikan oleh Ahmad Masyuri dari PT HM Sampoerna. Saat ini Sampoerna memiliki dua fasilitas di Sukorejo (Jawa Timur) dan Karawang yang membangkitkan listrik dari tenaga surya. Sampoerna memiliki komitmen intenasional untuk mengurangi emisi karbon dari penggunaan energi, yang dilakukan dengan penggunaan listrik surya atap, penggantian lampu dengan lampu LED, dan efisiensi proses produksi.

Munas AESI ke-1 ini kemudian dilanjutkan dengan musyawarah anggota AESI yang menetapkan Ketua Dewan Pengurus, Ketua Dewan Pembina, dan Ketua Dewan Pakar. Untuk tahun 2018 – 2021, terpilih Ketua Dewan Pengurus Dr. Andhika Prastawa, Ketua Dewan Pembina Luluk Sumiarso, dan Ketua Dewan Pakar Nur Pamudji.