Mongabay | Pembangkit Nuklir Bukan Solusi, Belajar dari Tragedi Fukushima

Masih ingat dengan tragedi Fukushima Daiichi? Tahun ini sembilan tahun sudah sejak kebocoran reaktor Fukushima Daiichi unit I,II dan III pada 11 Maret 2011. Kala itu, terjadi gempa 9 SR di daerah timur Jepang yang menyebabkan tsunami setinggi 15 meter.

Tsunami ini menyebabkan jaringan listrik ke Fukushima Daiichi terputus dan menyebabkan 12 dari 13 generator cadangan di wilayah itu, mati. Reaktor yang sedang beroperasi kala itu kehilangan sistem pendingin hingga terjadi overheat pada reaktor dan kolam pendingin limbah bahan bakar.

Satrio Swandiko, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace mengatakan, bencana ini kategori level tujuh dalam International Nuclear Event Scale (INES).

Langkah awal dalam penanggulangan bencana Fukushima, adalah mendinginkan reaktor. Pada Juli 2011, sistem pendingin akhirnya bisa bekerja kembali. Perlu beberapa bulan hingga Desember 2011 Pemerintah Jepang menyatakan unit yang mengalami meltdown dalam keadaan cooling down.

Menurut The Mainichi, hingga 2019 ada lebih dari 950 tangki penyimpanan air di Fukushima Daiichi atau sekitar 1,05 juta ton air treatment yang mengandung tritium.

Japan Center for Economic Research 2017, menyebutkan, total biaya tragedi Fukushima mencapai US$626 miliar. Pasca kejadian, bahan-bahan radioaktof seperti Cs-137 terpapar ke lingkungan melalui udara dan air. Cs-137 dapat tersimpan di lapisan tanah dalam waktu panjang. Kontaminasi juga terjadi di perairan, Cs-137 dan CS-134 terdeteksi di lepas pantai hingga jarak 600 km, yang mempengaruhi kehidupan biota laut.

Pengecekan terhadap 19.594 pekerja saat kejadian, enam terpapar radiasi antara 309-678 mSv (standar maksimum 250 mSv bagi pekerja jangka pendek penanggulangan pasca bencana).

Saat itu, masyarakat dalam radius 20 km dievakuasi dan radiasi 20 mSv per tahun menjadi ambang batas untuk area dalam radius 20-30 km.

Pada 2019, Fukushima dilanda dua angin topan, topan 19 (Hagibis) dan topan 21 (Bualoi). Pemerintah Jepang menetapkan target dekontaminasi. Angin disertai hujan lebat menyebabkan rekontaminasi sebagian area.

Aksi Greenpeace peringati tragedi Fukushima sekaligus tolak PLTN di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Aksi Greenpeace peringati tragedi Fukushima sekaligus tolak PLTN di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Survei 2019

Greenpeace survei mengukur kadar radioaktivitas di beberapa titik area yakni Okuma, Naraha (J-Village) dan Kota Fukushima, dengan empat metode utama, scanning, hotspots, car scanning dan UAV scanning.

“Survei radiasi ekstensif terbaru Greenpeace Jepang telah menemukan bukti rekontaminasi yang disebabkan Topan 19 (Hagibis) dan Topan 21 (Bualoi) di 2019, yang melepaskan cesium radioaktif dari hutan pegunungan di Prefektur Fukushima,” katanya dalam diskusi peringatan tragedi Fukushima di Jakarta, baru-baru ini.

Survei selama tiga minggu pada Oktober dan November 2019, mengamati tingkat radiasi terkonsentrasi di seluruh Prefektur Fukushima. Survei dengan mengidentifikasi titik panas tingkat tinggi di seluruh Prefektur Fukushima, termasuk di Kota Fukushima.

PLTN dalam omnibus law

“Temuan perpindahan radioaktivitas yang mengkhawatirkan di Fukushima harus jadi pelajaran berharga untuk negara-negara yang masih melihat PLTN sebagai solusi energi masa depan. Indonesia, khususnya, akhir-akhir ini berkembang isu pemanfaatan energi nuklir yang belum pernah digunakan dalam skala komersial di Indonesia sebelumnya,” kata Satrio.

Pemerintah bahkan memasukkan PLTN dalam penyederhanaan aturan (omnibus law) untuk mempermudah izin usaha sektor nuklir. Pemerintah memasukkan beberapa perubahan UU No 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dalam RUU Cipta Kerja.

Dalam draf itu, katanya, pemerintah pusat berwenang memberikan perizinan dan pengawasan terkait ketenaganukliran.

“Tidak terbatas hanya pembangkitan, izin penambangan, penyimpanan limbah nuklir juga dimasukkan.”

Sebelumnya, sejak tahun lalu PLN bersama PT Thorcon International telah kajian kelayakan PLTN dengan bahan baku thorium di Indonesia.

Bob Soelaiman Effendi, Kepala Perwakilan ThorCon International Pte.Ltd mengatakan, teknologi Thorcon kompetitif dengan batubara, punya tingkat keselamatan tinggi, dibangun dengan cepat, fleksibel, dan mudah dioperasikan.

“Tidak ada regulasi yang melarang pembangunan PLTN. Bahkan amanat UU dan RPJMN,” katanya.

Thorcon ingin mengembangkan dan membangun PLT Thorium (PLTT) 500 megawatt tanpa APBN dengan investasi Rp 17 triliun. Thorcon, lanjut Bob, akan menjual listrik kepada PLN dengan target harga US$6-7 sen per kwh dengan target operasional 2027.

Thorcon, katanya, dapat memasang tambahan enam unit (3.000 megawatt) setelah unit pertama, sampai 2030. Ada dua tahap pengembangan dan pembangunan dalam rencana ini. Pertama, dalam pembangunan non-fission test bed platform yang akan dibangun 2021.

Thorcon akan bekerjasama dengan PT PAL untuk pembuatan reaktor atau beberapa komponen lain di Indonesia hingga jadi reaktor buatan dan jadi industri nuklir nasional.

Setelah beberapa unit PLTT terpasang di Indonesia, pasca 2030 Thorcon akan membangun pabrik PLTT di Indonesia dengan kapasitas 20 PLTT atau setara 10.000 megawatt per tahun yang akan mempekerjakan 5.000 orang.

Tolak nuklir. Foto:Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Tolak nuklir. Foto:Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Bukan solusi

Greenpeace tegas bilang, PLTN bukan solusi bagi ketahanan energi di Indonesia, terlebih negeri ini mega sumber energi terbarukan.

“Pembangunan PLTN dengan teknologi MSR (molten salt reactor-red) membutuhkan investasi besar. Angka Rp17 triliun bukanlah biaya final,” katanya.

Berkaca pada negara lain, pembangunan PLTN Olkiluoto-3, Finlandia, misal, awalnya perkiraan investasi Euro 3 miliar dan mampu beroperasi pada 2009. Hingga kini, katanya, belum beroperasi dan diperkirakan perlu dana Euro 8,5 miliar.

Di Amerika Serikat, proyek PLTN di Vogtle, Georgia, batal karena biaya meningkat dari US$14 miliar pada 2013 jadi US$29 miliar pada 2017.

“Teknologi generasi IV ini belum teruji secara komersial, belum ada negara yang menggunakan teknologi ini skala komersial. Pemerintah perlu meninjau ulang penambahan kapasitas yang besar saat Jawa dan Bali, kelebihan kapasitas,” katanya.

Energi terbarukan lebih menguntungkan

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) juga mengingatkan langkah drastis Kanselir Jerman Angela Merkel menghentikan operasi delapan PLTN setelah tragedi Fukushima.

Pemerintah Jerman, katanya, kemudian mendorong pengembangan energi terbarukan dengan kebijakan lebih agresif. Porsi energi terbarukan di Jerman, naik dua kali lipat sepanjang 2011-2020.

“Jerman telah menyatakan mempensiunkan nuklir pada 2020,” kata Citra.

Catatan IESR, di dunia, ada 415 PLTN masih beroperasi, 186 tutup permanen, 27 tidak beroperasi jangka panjang, 46 sedang konstruksi dan 96 konstruksi setop. Presentasi listrik di dunia dari PLTN juga turun dari 17% pada 1996 jadi 10.5% pada 2018. Uni Eropa juga menjadwalkan keluar dari nuklir.

Dengan masa konstruksi panjang dan biaya tinggi, kata Citra, kalau membandingkan levelized cost of electricity (LCOE) dengan energi lain, nuklir termasuk tinggi. Harga pembangkitan listrik PLTN, berkisar antara Rp1.628/kwh hingga Rp2.731/kWh.

“LCOE dihitung dengan masa operasi 40 tahun. Dengan tren phase out, PLTN di dunia hanya beroprasi selama 30 tahun.”

LCOE untuk energi terbarukan juga sudah bersaing dengan pembangkitan konvensional. Meski belum serendah LCOE global, namun LCOE energi terbarukan di Indonesia, sudah kompetitif.

“Dengan kerangka kebijakan dan regulasi yang tepat, LCOE energi terbarukan akan terus turun dan lebih murah dibanding konvensional. Energi terbarukan juga tidak sensitif terhadap bahan bakar. “

Citra mencontohkan, potensi energi surya di Indonesia yang sering disebut untapped alias berjalan sangat lambat dan tak tergali.

Estimasi IRENA, ada 500 gigawatt potensi energi surya di Indonesia. Menurut KESDM, 120-440 gigawatt peak. Menurut IESR, juga ada 655 GWp potensi surya untuk residensial di 24 provinsi.

Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target 65 gigawatt hingga 2025. Sampai 2019, total instalasi terpasang hanya 152 megawatt dengan 11% PLTS atap.

Kalau membandingkan nuklir dan energi terbarukan, manakah lebih ekonomis? Menurut Citra, untuk 1,2-1,6 gigawatt PLTN generasi III atau III plus, perlu biaya investasi US$7-9 miliar dengan masa pembangunan 8-10 tahun. Untuk 10-14 gigawatt PLTS dengan investasi sama dapat dibangun dalam dua tahun.

Dia bilang, LCOE energi terbarukan Indonesia juga mengalami penurunan. Berdasarkan analisa IESR, biaya pembangkitan listrik surya skala besar dapat mencapai US$58,4/MWh (batas bawah), hampir menyamai PLTU supercritical (US$57,7 MWh), PLTU ultra supercritical (US$58,3), dan PLTU mulut tambang (US$50,1/MWh).

LCOE ini akan terus turun dengan perbaikan kerangka regulasi, termasuk insentif untuk menghilangkan market barrier seperti feed-in-tariff dan penggunaan skema lelang terbalik yang didesain dengan baik.

Dengan potensi energi surya berlimpah, mencapai 655 GWp untuk bangunan residensial, sifat modular dan mudah terbangun di beragam lokasi, akan jadi ujung tombak transisi energi di Indonesia.

Tiga provinsi di Indonesia juga menginisiasi gebrakan untuk pengembangan surya, Bali dengan Pergub Energi Gersih, Jawa Tengah dengan Solar Revolution dan Instruksi Gubernur Jakarta soal Kualitas Udara.

Dwi Sawung, pengkampanye energi dan perkotaan Walhi Nasional mengatakan, Indonesia negara risiko bencana tinggi dan petugas tak disiplin. Dia mencontohkan, penemuan limbah radioaktif di Perumahan Batan membuat pembangunan PLTN di Indonesia, sama saja menyalakan bom waktu.

“Kasus limbah radioaktif oleh pegawai Batan menunjukkan, petugas kita masih lalai dan kelalaian itu dibiarkan bertahun-tahun tanpa hukuman yang tegas.”

Kemudahan dan percepatan perizinan PLTN yang tercakup dalam omnibus law, kata Sawung, juga jadi kekhawatiran tersendiri..

Keterangan foto utama:  Aksi Greenpeace tolak PLTN, dan bersegera beralih ke energi terbarukan, Jumat pekan lalu di depan Gedung DPR Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Greenpeace mengingatkan bahaya radiasi nuklir. Kala negara-negara akan menyetop pembangkit nuklir, Indonesia malah sebaliknya, malah mau bangun nuklir. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Greenpeace mengingatkan bahaya radiasi nuklir. Kala negara-negara akan menyetop pembangkit nuklir, Indonesia malah sebaliknya, malah mau bangun nuklir. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Artikel asli

The Jakarta Post | Government issues regulation to jumpstart stalled renewable energy projects

The government aims to jumpstart stalled renewable energy projects through a recently issued regulation as it races against time to catch up with Indonesia’s green energy commitments.

The Energy and Mineral Resources Ministry issued last month a regulation that scraps the unpopular build, own, operate, transfer (BOOT) scheme. Many renewable energy players have said the scheme undermined their projects’ bankability.

The new regulation also enables Indonesia’s sole off taker, state-owned PLN, to sign power purchase agreements without conducting a bid under certain conditions.

The ministry’s various renewables director, Harris, told The Jakarta Post on Wednesday that these “few changes” were meant to get stalled renewable projects going before a more powerful presidential regulation (Perpres) on renewable electricity pricing – slated to be issued this year – put new projects on the table.

“Passing the Perpres will take time but if we don’t issue regulations immediately, the growth of renewables will be stalled,” he said.

The government is aiming for renewables to contribute 23 percent of power production by 2025, yet regulatory headwinds are setting the country back from achieving its goal.  Regulation stipulates that Indonesia should have reached a 17.5 percent renewable power mix by 2019 yet the country only hit 12.36 percent that year.

Among the frequently complained headwinds is Ministerial Regulation No. 50/2017 – dubbed “Permen 50”. This was the regulation that introduced the BOOT scheme and erased a feed-in-tariff pricing policy, which is widely considered to be a very effective means of boosting green energy growth.

As a result, out of 75 renewable energy projects signed between 2017 and 2018 in Indonesia, 27 remain without financial close and five have been terminated as of October last year, according to records from Jakarta-based energy think tank Institute for Essential Services Reform (IESR).

“This revision is temporary by nature. It gives a legal basis for stalled projects and is a stop-gap measure while waiting for a new pricing scheme under the Perpres,” IESR executive director Fabby Tumiwa told the Post.

Indonesia did not sign any new renewable energy contracts last year and industry investment shortfall – the difference between actual and targeted funding – was the greatest compared to the mining, electrification and oil and gas industries.

The new regulation also introduces guarantees for government-backed renewable plants “in improving their economics.” The regulation authorizes the energy minister to order state-owned power firm PLN to buy electricity from hydropower plants attached to government-built reservoirs from state-funded waste-to-energy power plants and from state-funded renewable energy power plants.

The guarantees assume such government-backed projects operate in the best public interest. Hydropower and waste-to-power plants, for instance, serve a secondary role of providing irrigation and waste management systems, respectively.

Harris also said the energy ministry was in talks with PLN. However, the electricity company’s spokesman, Dwi Suryo Abdullah, told the Post he was unaware of the changes.

PLN, the company responsible for offtaking power under the new regulation, has been experiencing financial constraints due to competing ambitions of developing 35,000 megawatts (MW) worth of new power plants while also keeping electricity selling prices at a minimum. Both ambitions are at the behest of the government.

Artikel asli

This Week in Asia | Asia’s next clean energy battle isn’t in China or India. It’s in Indonesia

Southeast Asia’s largest economy and democracy is approaching a demographic shift.

In the next 10 years, almost half of Indonesia’s population will enter the work force. Only three in 10 people will not be of working age by 2030. Conventional poverty rates are declining, millions are moving into cities each year. The island nation’s labour force will surge, and with it, disposable income and energy demands.

The picture is similar elsewhere in Southeast Asia, but while its neighbours have spent years developing clean energy options,

Indonesia has not negotiated a new renewable energy contract in three years.

Indonesia’s room for growth means it will be the largest contributor to the region’s ballooning energy demand, joining India and China as a global hotspot for power needs. Indonesia, which is Southeast Asia’s most populous nation with more than 250 million people, expects its electricity needs to almost double in the next 10 years, tripled from 2010. But its heavy reliance on fossil fuels, the highest in the region, means it may offset the rest of the region’s positive growth toward renewable energy.

But there’s some hope in sight. Indonesia expects an end to stalled clean energy growth in March, when a ministry regulation aims to attract renewables investment that has so far preferred the welcoming arms of neighbours like Malaysia and Vietnam.

It’s the “deciding year” for Indonesian clean energy, says Fabby Tumiwa, director of the think tank Institute for Essential Services Reform in Jakarta. Indonesia’s lag behind its neighbours has made much more difficult its goal to reach 23 per cent renewables from 12 per cent in its energy mix by 2025, he says.

“If you want to accommodate this 23 per cent target by 2025, starting in 2020, 80 per cent of the new energy capacity has to come from renewables,” Tumiwa says. Currently, less than 10 per cent of annual added power capacity is renewable.

President Joko Widodo hinted last year that reducing coal would become a national policy and has indicated in public speeches that sustainability is a national goal. For the 23 per cent goal to be met, however, the country may also need to cancel coal projects already in the construction pipeline, Tumiwa says.

A worker at the Tarahan coal port in Lampung province, Indonesia. Photo: Reuters
A worker at the Tarahan coal port in Lampung province, Indonesia. Photo: Reuters

Researchers also note that some grids are already at capacity but continue to see coal development, such as the Java-Bali system seeing the addition of a Chinese-owned 2,000 MW coal plant.

The March regulation aiming to reignite the interest in renewables is expected to address previous regulations that were seen to make clean energy financially unviable. In September, parliament also has an option to advance the country’s first unified renewable energy law that would guide policies on clean development.

For Tumiwa, it was the regulations in 2017 that “killed” incentives for investors to create clean energy projects. Without a renewables law, investors await ministerial regulations that can change multiple times within a year.

“It was anticipated,” says Tumiwa. “We already said in 2018 that we didn’t expect any new [project agreements] in 2019 because the regulations are crap, so no one would really like to invest.”

In a 2018 PwC report, 94 per cent of investors believed that regulatory uncertainty was a major barrier to investing in new large-scale power generation.

In 2017, two regulations shook interest in energy investment in the country, as they mandated that the state-owned power company, PLN, buy renewable energy only up to 85 per cent of the standard price of energy.

“What renewable can meet that price?” Tumiwa asks. That, in addition to shifting risk management from PLN to private companies, made many projects unbankable.

The Indonesian government believes that as a developing country, cheap electricity takes priority over environmental concerns. Coal provides 58 per cent of the country’s power, targeted at boosting the electrification ratio, which officials say now stands at 98 per cent, although some doubt the figure. Elrika Hamdi, an energy finance analyst at think tank International Energy Economics and Finance Analysis, doubts the price of coal reflects its true cost.

A coal mine worker in Tanjung Enim, South Sumatra, Indonesia. Photo: EPA
A coal mine worker in Tanjung Enim, South Sumatra, Indonesia. Photo: EPA

“It is often heard from the ministry that coal is cheap and renewable is expensive, which means they expect renewables to play on the same level as coal. The claim is not exactly right, and coal is only cheap because there are certain costs that haven’t been included in the price calculation,” Hamdi says.

“Indonesia does not yet have any carbon tax or carbon pricing mechanism. If we had, like in OECD countries or even in developing countries like Chile and Mexico, where they make polluters pay for each ton of CO2 emitted, then all these coal power plants would be paying more.”

The March regulation will balance the interests of investors who want to build clean energy in the country and PLN, which Hamdi describes as a “big, old, heavy dinosaur”. Electricity generation falls under the purview of PLN, including off-grid power, across 17,000 islands and remote mountainous hamlets.

“Legally, PLN retains the rights to manage the end-to-end power sector in Indonesia, from power generation to transmission-distribution to retail,” Hamdi adds. “However PLN’s capital is limited. Indonesia is so big, so vast, with so many people, it needs a lot of investment.”

Micro-hydropower and solar power, research says, have the greatest potential in Indonesia of all Southeast Asia, but combined make up less than 3 per cent of the energy mix. Small, off-grid power generators may be the cheapest way to spread electrification, but PLN has focused on expanding transmission lines. Reaching 100 per cent electrification may reduce the pressure in rural areas to migrate to cities.

To ensure laws and regulations accommodate both small and large power projects, Grita Anindarini, a researcher at the Indonesian Centre for Environmental Law, says community involvement is key. The country may rush to make up for lost time and neglect the input of civil society groups that would advocate for smaller projects that would be more appropriate for Indonesia’s difficult geography, she says.

“If you look at the scope of regulations, it’s not yet apparent how they can make community-scale power available. We need to open up as much public participation as possible.”

Artikel asli

Bisnis | RUU Energi Baru Terbarukan Perlu Lekas Dibahas

29 Januari 2020  |  17:49 WIB

Bisnis, JAKARTA – Pembahasan Rancangan Undang – undang Energi Baru Terbarukan (EBT) perlu dilakukan segera untuk mengakselerasi pengembangan energi terbarukan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR ) Fabby Tumiwa mengatakan urgensi UU EBT ini penting karena selama ini UU yang ada dianggap kurang cukup dan regulasi di tingkat menteri dinilai tidak konsisten dan mudah berubah-ubah.

“Jadi dengan adanya UU EBT ini dasar hukum menjadi lebih kuat. Selain itu juga dari UU yang ada ada sejumlah kekurangan dalam membangun ekosistem energi terbarukan. Diharapkan kekurangan ini dapat ditutupi oleh UU EBT,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (29/1).

Adapun dia mengusulkan dalam RUU EBT ini perlu ada mandatori kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengembangkan energi terbarukan juga untuk badan usaha.

“Mandatori ini untuk Pemda bisa dibagi dalam bentuk Renewable Purchase Obligation,” katanya.

Lalu diberikan insentif fiskal dan finansial untuk mengembangkan energi terbarukan. Selain itu juga perlu ada ketentuan mengenai kebijakan harga energi terbarukan.

“Dalam RUU EBT perlu ada prioritas pemanfaatan sumber energi terbarukan setempat dan dibuat instrumen pendanaan untuk mendukung pendanaan proyek energi terbarukan khususnya untuk skala kecil,” ucap Fabby.

Ketua Asosiasi Daerah Penghasil Panasbumi Indonesia (ADPPI) Hasanuddin mengatakan RUU EBT harus juga mengatur pemanfaatan panas bumi sebagai salah satu sumber energi terbarukan yang potensial di masa depan.

Pengaturan secara komprehensif pemanfaatan panas bumi ini perlu dilakukan agar ada kepastian dalam pengembangan panas bumi ke depan.

Pengembangan panas bumi sifatnya khusus dan spesifik sehingga seharusnya diatur secara khusus pula dalam undang-undang yang bersifat lex spesialis.

“Perlu ada tambahan pasal berkenanan sumber daya energi terbarukan panas bumi, yaitu pemanfaatan panas bumi diatur dalam dalam UU tersendiri,” tuturnya.

Artikel asli

JawaPos | IESR Dorong Pemanfaatan Batu Bara untuk Kebutuhan Domestik

20 Januari 2020, 18:23:46 WIB

JawaPos.com – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyebutkan bahwa saat ini banyak negara yang berlomba-lomba untuk memanfaatkan cadangan batu bara. Pasalnya, saat ini sedang terjadi transisi dari pemanfaatan energi fosil menjadi energi terbarukan.

“Ada transisi dari fosil fuel ke renewable (atau) energi terbarukan. Negara-negara yang menjadi tujuan ekspor kita beberapa juga punya batu bara, seperti Tiongkok dan India. Negara-negara tersebut juga ingin memanfaatkan batu bara mereka karena mereka tahu waktu pemanfaatan batu bara itu tinggal sedikit,” jelasnya di Balai Kartini, Jakarta, Senin (20/1).

Ia menyebutkan bahwa saat ini, dua negara tersebut tengah melakukan pembatasan ekspor. Tentu mereka ingin memanfaatkan batu bara sebagai energi alternatif di luar gas ataupun liquid natural gas (LNG).

“Jadi, mereka mencoba memodifikasi sumber daya alam, makanya sekarang Tiongkok atau India mengurangi ekspornya. Ini akan menjadi tren baru menurut saya,” tuturnya.

Indonesia diketahui sebagai salah satu pemain batu bara terbesar di dunia. Pada 2019 lalu produksi yang dihasilkan lebih dari 400 juta ton. Padahal, produksi untuk batu bara telah dibatasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Paling tidak kita bisa melihat dan regulasi itu tidak konsisten, seperti rencana energi nasional itu dengan tegas mengatakan membatasi produksi batu bara 400 juta ton di 2019. Kenapa perlu dibatasi? karena dampak pertambangan itu sangat dahsyat,” terangnya.

Di sisi lain, ada negara-negara yang terus menggenjot ekspor batu bara. “Rusia yang melakukan ekspor di sejumlah bagian di Asia Selatan. Afrika Selatan dan Kolombia juga masuk ke pasar Asia. Artinya produk batu bara Indonesia menghadapi saingan di pasar-pasar yang didominasi oleh Indonesia,” katanya.

Artikel asli

The Jakarta Post | Five more years to meet renewable energy target

The new decade started with a terrifying kick-off. Extreme rainfall occurring from the west of Indonesia from Banten and Jakarta to East Nusa Tenggara, which is nearer to the ravaging bushfires of Australia, raised questions as to what has really caused this calamity.

Various factors are suspected as the culprits and climate change is one of the most mentioned. Indonesia as one of the world’s largest emitters of greenhouse gas surely needs to pay more attention to this matter.

Other than land use that contributes substantially to climate change, excessive fossil fuel consumption also plays a key role in this phenomenon. Sadly, the main solution to reduce fossil fuel usage through renewable energy has made very questionable progress in this country.

Indonesia actually has an ambitious target for its renewable energy development.

Based on the national energy policy, renewables should contribute at least 23 percent to the national energy mix by 2025. This means that hydropower, solar, wind, etc. should provide almost a quarter of the national energy needs.

The latest data from the National Energy Council show that these sources of energy only contribute around 9 percent of the total primary energy supply. Furthermore, various reports also suggest that progress in achieving the target is unsatisfactory.

The Institute for Essential Services Reform (IESR) just released an outlook in December 2019 that stated Indonesia was set to miss all of its 2019 renewable energy targets. These include the targets ratified in the National Medium-Term Development Plan, with a deficit of around 58 percent of renewable power generation capacity, while the One Million Rooftop Solar Initiative produces less than 20 megawatts of its gigawatt target.

Even from the government side, the Energy and Mineral Resources Ministry has also admitted to missing targets even though it argued that the Agency for the Assessment and Application of Technology was using impractical assumption, notably in national economic growth.

The 23 percent target was based on 7 to 8 percent growth per year while national economic growth is stagnant at around 5 percent. The ministry believes the renewable energy portion will only reach 13 percent in 2025 with current growth.

However, instead of blaming wrong assumptions and the now already official target of renewable energy, the government would better acknowledge the slow progress and address the real problems in order to increase the renewable energy portion in the energy mix. Based on numerous analyses, several issues are the most pivotal that constrain progress in national renewables development.

Among these is the pricing scheme. The International Institute for Sustainable Development stated in its report that the power purchase prices are simply too low, thus developers cannot recover their investment and turn a reasonable profit from their renewable energy business in Indonesia.

In addition, the current system of pricing does not really benefit renewable energy and even favors fossil fuels, especially coal, through subsidy and fiscal support, which diminishes the competitiveness of renewable energy.

Inconsistent regulations are considered by many stakeholders to be an important problem to solve. Recurrent policy changes, regulatory setback and erratic implementation ebb the investors’ interest to put their money into developing renewable energy projects in Indonesia. As quoted in the IESR report, investment in renewable energy has been stagnant for the past five years, which shows the low investment attractiveness in Indonesia.

Strong state control in the power sector is also considered an obstacle for renewable energy development. Research from Queensland University, Australia, has concluded that rigid state control across Asian nations including Indonesia does not necessarily lead to favorable output.

Numerous countries that perform electricity market reform to have more private party involvement in the power sector value chain have successfully increased their renewable energy portion. In another research study, many stakeholders believed strong control from the government could present conflicts of interest such as the provision of fossil fuel generators, instead of renewable energy-sourced plants in a rural area, only because the generators are owned by the state electricity company.

Beside those issues, many other studies mention more aspects to work on from political, economic, or technology perspectives, toward boosting our renewables. These findings should be a wake-up call for the government if they are really serious about at least getting closer to the target in 2025. Collaborate and listen more to other stakeholders such as developers, researchers and investors, to generate solutions that could benefit all parties.

Consistent regulation and implementation in the renewable energy sector are absolutely necessary to rebuild investors’ trust and increase attractiveness. Finally, if the government thinks renewable energy is indeed Indonesia’s future, there is no harm in following other developing countries in unbundling their electricity market to increase the renewable energy portion through transparent market dynamics.

Originally published at: The Jakarta Post, 20 January 2020, Opinion, by Huud Alam, Energy Analyst at PetroRaya Resources

Percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) terus dilakukan

Kamis, 16 Januari 2020 / 21:00 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Upaya percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) terus dilakukan. Salah satunya dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) feed in tariff untuk menentukan harga jual EBT berdasarkan biaya produksi energi terbarukan.

Sebelumnya, Kontan sempat mendapat draf Perpres harga penjualan PLTP, PLTA, PLTB, PLTS, PLTBg, PLTBm, dan PLTSa. Di dalam draf tersebut, harga listrik yang dijual perusahaan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) akan mengalami kenaikan dibandingkan saat ini.

Sebagai contoh, harga jual listrik dari PLTP swasta untuk kapasitas 1 megawatt (MW) hingga 10 MW dari tahun ke-1 sampai tahun ke-12 ditetapkan sebesar US$ 14,50 sen per kWh. Sedangkan harga jual listrik tersebut untuk tahun ke-13 sampai tahun ke-30 ditetapkan sebesar US$ 12,90 sen per kWh.

Hingga tulisan ini dimuat, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM FX Sutijastoto belum bisa dimintai keterangan terkait draf Perpres Feed in Tariff EBT.

Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengaku, draf Perpres Feed in Tariff EBT sebenarnya belum sampai tahap final, sehingga harga jual EBT yang ditetapkan dalam draf tersebut belum tentu sama nantinya.

METI dan beberapa pelaku usaha EBT pun masih akan mengadakan rapat bersama pemerintah. “Besok kami masih akan rapat. Ada beberapa hal yang masih harus didiskusikan,” ujar dia kepada Kontan.co.id, Kamis (16/1).

Terlepas dari itu, ia menyoroti skema harga staging yang diterapkan pada draf Perpres Feed in Tariff EBT. Dengan skema tersebut, harga jual listrik berbasis EBT terdiri dari dua periode. Di periode pertama, harga EBT ditetapkan lebih tinggi dari rata-rata. Kemudian harga EBT akan mengalami penurunan di periode kedua.

Durasi masing-masing periode bervariasi, tergantung dari masing-masing jenis sumber energi. “Harga EBT juga bisa saja ditetapkan di level yang tinggi di awal untuk mempercepat pengembalian investasi dari pihak pengembang,” terang Surya Darma.

Ambil contoh pada harga jual listrik dari PLTP swasta yang disebutkan tadi. Angka US$ 14,50 sen per kWh yang tertera tentu memiliki berbagai pertimbangan. Misalnya tingkat kesulitan dan teknologi yang dibutuhkan untuk membangun PLTP sehingga mempengaruhi nilai investasi proyek tersebut.

Selama ini, harga jual listrik PLTP merujuk pada Permen ESDM No. 50 Tahun 2017. Di sana tertulis harga pembelian listrik dari PLTP ditetapkan paling tinggi sebesar biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, dengan adanya skema harga staging, selama periode pengembalian pinjaman, maka pengembang EBT akan memperoleh harga jual yang lebih tinggi. Baru setelah itu, harga akan diturunkan.

Ia pun menganggap harga EBT di dua periode tersebut dapat memberikan pemerataan tarif dengan tingkat interal rate of return (IRR) yang menarik bagi para pengembang EBT. “Harga yang tinggi membuat arus kas pengembang tidak terganggu selama masa pembayaran utang,” ujar dia, hari ini.

Terlepas dari itu, Fabby berpendapat, jika Perpres Feed in Tariff dirancang dengan benar dan tarif EBT yang ditetapkan memberikan tingkat pengembalian IRR yang cukup, maka seharusnya tidak dibutuhkan lagi insentif lain untuk merangsang investasi di bidang EBT.

Adapun Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Rizal Calvary menyampaikan, apapun skema penentuan harga EBT nantinya, ia berharap harga tersebut disesuaikan saja dengan nilai keekonomian proyek EBT. “Masing-masing proyek EBT punya keunikan dan dipengaruhi oleh beragam faktor,” tutur dia, Kamis (16/1).

Durasi masing-masing periode bervariasi, tergantung dari masing-masing jenis sumber energi. “Harga EBT juga bisa saja ditetapkan di level yang tinggi di awal untuk mempercepat pengembalian investasi dari pihak pengembang,” terang Surya Darma.

Ambil contoh pada harga jual listrik dari PLTP swasta yang disebutkan tadi. Angka US$ 14,50 sen per kWh yang tertera tentu memiliki berbagai pertimbangan. Misalnya tingkat kesulitan dan teknologi yang dibutuhkan untuk membangun PLTP sehingga mempengaruhi nilai investasi proyek tersebut.

Selama ini, harga jual listrik PLTP merujuk pada Permen ESDM No. 50 Tahun 2017. Di sana tertulis harga pembelian listrik dari PLTP ditetapkan paling tinggi sebesar biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, dengan adanya skema harga staging, selama periode pengembalian pinjaman, maka pengembang EBT akan memperoleh harga jual yang lebih tinggi. Baru setelah itu, harga akan diturunkan.

Ia pun menganggap harga EBT di dua periode tersebut dapat memberikan pemerataan tarif dengan tingkat interal rate of return (IRR) yang menarik bagi para pengembang EBT. “Harga yang tinggi membuat arus kas pengembang tidak terganggu selama masa pembayaran utang,” ujar dia, hari ini.

Terlepas dari itu, Fabby berpendapat, jika Perpres Feed in Tariff dirancang dengan benar dan tarif EBT yang ditetapkan memberikan tingkat pengembalian IRR yang cukup, maka seharusnya tidak dibutuhkan lagi insentif lain untuk merangsang investasi di bidang EBT.

Adapun Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Rizal Calvary menyampaikan, apapun skema penentuan harga EBT nantinya, ia berharap harga tersebut disesuaikan saja dengan nilai keekonomian proyek EBT. “Masing-masing proyek EBT punya keunikan dan dipengaruhi oleh beragam faktor,” tutur dia, Kamis (16/1).

Artikel asli

Catatan Akhir Tahun: Energi Terbarukan Masih Terseok

Jakarta, 23 Desember 2019

“Kita butuh kepastian investasi, sekian tahun ke depan ada kejelasannya,” kata Gatot S Prawiro, Chief Bussines Development Maxpower Indonesia, satu pengembang energi terbarukan di daerah terpencil, memberikan pandangan.

Dia mengingatkan, apapun regulasi yang pemerintah bikin, pengusaha dan pengembang energi terbarukan memerlukan konsistensi dan kejelasan aturan.

Serupa dikatakan pendiri Xurya, pengembang surya atap, Eka Himawan. Dia bilang, pemerintah tinggal bikin peraturan dan kalau sudah jadi jangan berubah-ubah terus.

“Karena kalo berubah-ubah, bingung. Asumsi berbeda-beda. Kalau investasi kan perlu bikin perencanaan ke depan. Perlu konsisten dengan aturan,” katanya.

Jaya Wahono pendiri dan CEO Clean Power Indonesia juga memberikan pandangan mengenai hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia, ke depan.

Pertama, memberikan insentif kepada daerah yang aktif mendorong pembangunan energi terbarukan secara masif terutama dalam menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).

Kedua, PLN perlu mendapat mandat yang jelas dalam membeli listrik dr sumber energi terbarukan terutama bila bisa menurunkan biayapokok penyediaan (BPP) jangka panjang bukan sekadar BPP tahunan.

Ketiga, PLN wajib menaikkan konsumsi listrik di wilayah-wilayah tertinggal terutama untuk mendorong investasi dan pembukaan lapangan kerja secara masif.

Keempat, bank nasional dapat mandat untuk menyalurkan pendanaan murah bagi pembangunan energi terbarukan di daerah-daerah tertinggal. Ia bisa dengan skema subsidi bunga dan prinsipal pinjaman yang dibiayai dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang baru terbentuk.

Kelima, badan usaha yang mempunyai rencana membeli listrik dari sumber energi terbarukan mendapatkan keringanan pajak dan kemudahan membeli dari pengembang langsung tanpa harus melalui PLN.

Medio Desember lalu, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO), sebuah laporan akhir tahun ketiga, mengulas kemajuan pengembangan energi bersih di tanah air, dan meninjau prospek perkembangan pada 2020.

Merujuk laporan ini, tambahan kapasitas terpasang energi terbarukan sebesar 385 MW tahun ini, tak berdampak signifikan terhadap kemajuan pembangunan energi terbarukan dalam mengejar pencapaian target kapasitas 45 GW pada 2025 sesuai target rencana umum energi nasional (RUEN).

Energi terbarukan, salah satu sumber angin, begitu besar di Indonesia, tetapi masih minim dimanfaatkan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Untuk itu, masih sangat perlu komitmen politik pemerintah yang dituangkan dalam kebijakan dan regulasi progresif serta perbaikan iklim investasi hingga mengakselerasi pembangunan energi bersih di Indonesia. Juga bertransisi menuju sistem energi lebih bersih, kompetitif, dan handal.

Tahun lalu, IESR memperkirakan prospek energi terbarukan stagnan pada 2019 dalam laporan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) kedua. Dua indikasi yang disampaikan dalam laporan itu, yakni kondisi politik dinamis selama pemilihan umum dan kebijakan serta peraturan tak kondusif. Hal itu setidaknya masih relevan untuk jadi basis penilaian kemajuan pembangunan energi bersih tahun 2020.

Fabby Tumiwa, Direktur IESR saat peluncuran di Jakarta, mengatakan, laporan ICEO tahun ketiga ini lebih rinci menyoroti dua faktor utama yang masih jadi penghambat percepatan pengembangan energi terbarukan di tanah air.

Faktor pertama, bankability dari Power Purchase Agreements (PPAs) yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 10 dan No. 50/2017. Aturan ini membuat 27 dari 75 kontrak jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) proyek energi terbarukan masih berjuang dalam mencapai financial closed. Bahkan, lima PPA sudah diterminasi pada Oktober 2019.

Kedua, skema insentif bagi proyek energi terbarukan tak kompetitif dan situasi politik serta masa transisi pemerintahan baru mengakibatkan capaian investasi energi terbarukan rendah tahun ini, sebesar US$1,17 miliar dari target US$1,8 miliar atau baru 65% per September 2019. Kontribusi proyek energi panas bumi, US$0.52 juta, jadi andalan pemerintah dari total capaian investasi itu.

“Secara umum, total investasi energi terbarukan ini masih sangat kecil untuk mencapai target bauran energi dalam RUEN tahun 2025 yang diperkirakan memerlukan investasi US$70-US$90 miliar.”

Selain itu, dalam hal investasi energi terbarukan, Indonesia berkompetisi dengan sesama negara ASEAN lain, terutama Vietnam, Malaysia, Filipina dan Thailand.

Dalam tiga tahun terakhir, negara-negara ini mengalami kenaikan kapasitas pembangkit energi terbarukan yang cukup tinggi ditandai dengan arus investasi mengalir dari luar.

“Di era energi terbarukan, semua negara punya sumber daya energi terbarukan relatif setara dan dapat dikembangkan,” kata Fabby.

Investor punya pilihan cukup banyak dan leluasa memilih negara yang memberikan pengembalian investasi menarik dan risiko kecil. Dengan kondisi ini, kualitas kebijakan dan regulasi akan menentukan daya saing Indonesia menarik investasi energi terbarukan, khusus investasi asing.

Di sektor efisiensi energi, kata Fabby, usaha-usaha mencapai target penurunan intensitas energi final sebesar 1% per tahun, harus lebih fokus kepada tiga sektor kunci yang menyumbang konsumsi energi terbesar: transportasi, industri, dan rumah tangga. Dari 2013-2018, ketiga sektor ini tercatat sebagai sektor yang mendominasi 44%, 33%, dan 15% secara berturut-turut dari konsumsi energi final.

Akselerasi penggunaan kendaraan listrik, peningkatan konservasi energi di sektor industri, dan perbaikan standar serta pelabelan energi untuk peralatan listrik rumah tangga, jadi beberapa opsi yang teridentifikasi dalam laporan ICEO dalam meningkatkan usaha-usaha di sektor ini.

Sumber: KESDM

2020, tahun penentu

Meskipun demikian, IESR juga mengidentifikasi tiga hal yang cukup progresif tahun ini. Pertama, ada peningkatan dan minat penggunaan pembangkit listrik surya atap yang makin dilirik oleh kementerian, lembaga, dan badan usaha di tingkat pusat dan daerah, pelaku usaha industri, bangunan komersial dan residensial.

Kedua, konsumsi biodiesel juga meningkat seiring program B20 yang digalakan sejak awal 2019. Ketiga, sektor transportasi, ada Peraturan Presiden No. 55/2019 tentang kendaraan listrik mengisyaratkan komitmen dan dukungan politik kuat dalam mengembangkan teknologi baru ini di tanah air.

Selain membahas status dan perkembangan energi bersih pada 2019, laporan ini juga menyimpulkan pada 2020 sebagai momentum penentu dan titik balik mengejar ketertinggalan. Baik dalam mencapai target-target di tanah air, maupun kemajuan energi terbarukan pada tingkat regional.

“Pemerintah perlu memperhatikan sejumlah hal,” kata Jannata Giwangkara, Manajer Program Tranformasi Energi IESR.

Pertama, kabinet dan konfigurasi posisi baru di kementerian dan lembaga terkait harus bisa mendapatkan kembali kepercayaan investor di kuartal pertama 2020.

Caranya, dengan memberikan sinyal politik dan rencana aksi terperinci yang tertuang dalam perbaikan kebijakan dan regulasi dalam mempercepat pembangunan energi terbarukan dan implementasi efisiensi energi.

Perbaikan itu, katanya, mencakup reintroduksi feed in tariff (FiT), ada instrumen pendanaan khusus untuk proyek energi terbarukan skala kecil misal di bawah 10 MW, penerapan skema lelang terbalik (reverse auction) untuk proyek energi terbarukan skala utilitas. Juga, alokasi risiko adil antara independent power producer (IPP) dan PLN, dan perbaikan-perbaikan kebijakan dalam mendorong implementasi efisiensi energi.

Perbaikan itu, katanya, seperti penerapan mandatori manajemen energi ke lebih banyak perusahaan di setiap sektor industri, transportasi, dan bangunan, dan penerapan standar kinerja energi minimum (SKEM) untuk peralatan listrik yang lebih banyak dan standar lebih tinggi.

Seorang pekerja di PLTS Kayubihi, Bangli, Bali. PLTS ini merupakan yang pertama dibangun di Indonesia pada 2012. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

Kedua, berbagai inisiatif terkait energi bersih oleh aktor non-pemerintah dan pemerintah daerah perlu terus didukung dan difasilitasi. Lebih 200 perusahaan multinasional, 40 beroperasi di Indonesia, adalah anggota RE100 dengan pendapatan gabungan hingga US$4,5 triliun. Mereka kini berkomitmen gunakan 100% energi terbarukan di seluruh fasilitas operasional global pada 2030.

Peraturan yang mengatur implementasi power wheeling (akses terbuka penggunaan transmisi jaringan oleh swasta), katanya, dapat jadi pilihan untuk menyelesaikan akses listrik terbarukan perusahaan RE100 dan lain-lain.

Kemudian, kata Jannata, hambatan-hambatan seperti perencanaan, pembiayaan, dan koordinasi dengan PLN dalam implementasi inisiatif-inisiatif di pemerintah daerah harus dapat tertangani. Dengan begitu, bisa merealisasikan berbagai inisiatif jadi proyek nyata.

Ketiga, perlu lebih dari sekadar peraturan untuk memulai revolusi surya dan kendaraan listrik. “Kedua teknologi ini kami proyeksikan dapat jadi pionir penggerak dalam transisi menuju energi bersih di tanah air.”

Proses akuisisi lahan cukup menyulitkan, skema pendanaan kurang atraktif, transparansi proses pengadaan kurang dan timeline tak menentu. Juga, pengembangan industri manufaktur surya yang status quo merupakan beberapa hambatan utama yang perlu mendapatkan perhatian dalam merevolusi energi surya.

Sedangkan, dalam memulai industri dan meningkatkan penetrasi kendaraan listrik dengan cepat perlu insentif fiskal, antara lain, pembebasan pajak kendaraan listrik dan pembangunan infrastruktur pengisian listrik agresif, minimal 30.000 Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) sebelum 2025.

“Presiden Jokowi harus menyadari, Indonesia sedang diamati dunia dalam memerangi krisis iklim melalui pengembangan energi terbarukan dan transisi menuju sistem energi bersih,” kata Fabby.

Lima tahun ini, katanya, Indonesia menyia-nyiakan kesempatan jadi jawara energi terbarukan di ASEAN. Saat ini, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga, padahal memiliki ragam sumber daya energi terbarukan.

“Saat ini, kita Indonesia bukan primadona investor energi bersih, tapi bisa kalau ada transformasi yang revolusioner melalui kebijakan dan regulasi serta insentif yang disediakan pemerintah,” katanya.

Sumber: KEDSM

Untuk itu, IESR kembali mendesak Jokowi agar menunjukkan komitmen politik dan memimpin pengembangan energi bersih di Indonesia. Presiden, katanya, perlu memberikan instruksi jelas dan kuat kepada kementerian sektoral dan lembaga terkait dalam mempercepat pengembangan dan mendorong investasi energi terbarukan.

Halim Sari Wardana, Sekretaris Dirjen EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengatakan, KESDM bersungguh-sungguh mencapai target pembangunan berkelanjutan ketujuh, yakni soal pemenuhan energi merata dan adil.

Lima hal jadi sasaran pemerintah dalam mencapai pembangunan berkelanjutan itu, dengan memenuhi kebutuhan listrik lewat program 35.000 Megawatt melalui energi terbarukan, biodiesel untuk menurunkan gas rumah kaca, penggunaan gas untuk keperluan pariwisata. Juga, kebijakan batubara untuk dalam negeri dan edukasi masyarakat dalam mendukung kebijakan pemerintah.

Meski begitu, Halim membenarkan peran energi fosil dalam pemenuhan kebutuhan energi masih signifikan. “KESDM fokus pada keadilan energi dengan harga yang terjangkau,” katanya.

Saat ini, anggaran KESDM masih banyak untuk pembangunan infrastruktur jaringan gas kota, converter kit untuk nelayan dan lampu tenaga surya hemat energi. Selain untuk pembangunan sumur bor buat kebutuhan air bersih di daerah yang sulit air serta subsidi belanja sektor produktif.

Halim bilang, pemerintah juga fokus pengembangan kendaraan listrik terutama untuk Jawa yang kapasitas listrik berlebih.

Pemerintah, katanya, menyadari pengembangan energi terbarukan sangat menjanjikan di Indonesia. Untuk itu, mengacu kebijakan energi nasional (KEN), pemerintah bikin mandatori biodiesel dan bioethanol, perencanaan pembangunan 12 PLTSa di 12 daerah terpilih dan dukungan untuk PLTS.

“Reformasi di KESDM juga memberikan kemudahan lewat perizinan online yang terintegrasi dengan data sumber daya alam.”

Halim menegaskan, pemerintah menyadari meningkatan bauran energi terbaru akan meningkatkan stabilitas ekonomi karena sumber energi tak bergantung neraca perdagangan internasional.

Saat ini, katanya, pemerintah merevisi sejumlah aturan yang dinilai menghambat investasi energi terbarukan.

Menghadapi proyek energi terbarukan yang tak bankable, kata Halim, pemerintah fokus menyajikan data potensi lebih akurat dan valid.

“Jadi, peluang investasi ada dukungan data.”

Tak hanya potensi, pemerintah juga akan memfasilitasi pasar ataupermintaan, misal, dengan pembangunan eko wisata yang gunakan energi terbarukan.

Operasional Intake PLTA Singkarak di nagari Guguk Malalo, Tanah Datar. Foto : Riko Coubut

Soal aturan

Harris, Direktur Aneka Energi Terbarukan KESDM, menambahkan, salah satu regulasi sedang revisi pemerintah yakni Permen 50/2017 tentang pemanfaat sumber energi terbarukan.

Meski tercatat ada 75 kontrak di bawah permen ini, kata Harris, tak semua murni hasil regulasi ini. Beberapa kontrak itu, katanya, hasil penunjukan langsung.

Setelah berjalan dua tahun, kata Harris, pemerintah menyadari ada aspek menghambat investasi dalam permen ini. Penggunaan biaya pokok pembangkitan (BPP) bermasalah untuk sejumlah daerah dengan BPP rendah.

“Untuk BPP tinggi tidak masalah,” katanya.

Untuk Jawa, misal, dengan acuan 7 sen dolar Amerika Serikat per kWh tak memungkinkan pengembangan panas bumi karena biaya pokok pembangkitan lebih mahal.

“Untuk PLTS dengan reverse auction (skema lelang terbalik berdasarkan harga terendah) bisa, tapi nggak banyak.”

Sisi lain, pemerintah juga tahu, negara tetangga makin kompetitif untuk investasi energi terbarukan. Dia sebutkan, Kamboja, bisa menetapkan harga 3,6 sen dolar AS untuk PLTS.

Kabar baiknya, lelang PLTS di Bali Barat dan Bali Timur, saat ini ada yang menawarkan harga 5,8 sen dolar AS per kWh. Selain itu, PLTS apung di Cirata juga akan memasuki jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA) bulan depan.

Kalau PLTS Cirata dengan kapasitas 145 megawatt beroperasi target 46 megawatt pada 2019 dapat tercapai bahkan tiga kali lipat.

Selain BPP, kata Harris, kontrak energi terbarukan membuat investasi energi terbarukan hingga tahun ini tak bankable.

Saat ini, KESDM sedang menyiapkan peraturan presiden yang mengatur pengembangan energi terbarukan. Dalam rancangan aturan yang digodok KESDM, pemerintah hendak kembali menerapkan skema feed in tarrif (FiT), yang pernah berlaku pada 2015-2016. FiT akan berlaku untuk pembangkit energi terbarukan dengan kapasitas hingga 10 megawatt. Khusus PLTA skema FIT juga dipakai untuk kapasitas hingga 20 megawatt.

Untuk pembangkit lebih dari kapasitas itu berlaku negosiasi antara pengembang dengan PLN. Untuk pembangkit lebih 20 mw negosiasi antara PLN pusat dengan pengembang, dan pembangkit kurang 10 megawatt negosiasi dengan PLN wilayah.

Selain itu, kata Harris, berbagai kendala teknis pembangunan pembangkit energi terbarukan juga akan terakomodir dalam regulasi baru ini, antara lain, PLTA garapan Kementerian PUPR yang mandek karena tak bisa menjual listrik ke PLN dan penyediaan lahan untuk PLTS yang kerap jadi kendala.

Dia berharap, dengan perpres ini, kendala lintas kementerian dan lembaga bisa teratasi. Hal ini luput terakomodir dalam permen.

Pemerintah optimis dengan perpres ini akan menyelesaikan kendala listrik dari energi terbarukan yang mahal. Pengalaman dari PLTB Sidrap 75 megawatt, kalau mula-mula harga jual listrik mencapai 11 sen dolar AS, karena tak ada biaya infrastruktur, tahap kedua PLTB ini bisa kurang 7 sen dolar AS.

“Proses (perpres) masih berjalan. Kami sudah komunikasikan draf-nya dengan menteri,” kata Harris.

Sumber: KESDM
Artikel Asli

IESR welcomes new PLN’s leadership

FOR IMMEDIATE RELEASE

Contact:
Fabby Tumiwa
Executive Director, IESR
(+6221) 22323069
iesr@iesr.or.id
Gandabhaskara Saputra
Communications Coordinator, IESR
(+6221) 22323069
ganda@iesr.or.id

IESR welcomes new PLN’s leadership

IESR welcomes the appointee of the new BoD and BoC of PT PLN Persero today. According to Fabby Tumiwa, Executive Director of IESR, the appointment of Zulkifli Zaini as President Director and Synthia Roesli as Finance Director indicates that the main challenges for PLN from the perspective of government are financial issues, funding for PLN’s expansion, investment and operational efficiency. 

However, Fabby pointed out that PLN faces more significant challenges. As the business environment is changing, PLN must take a radical transformation of its business model, improve operational efficiency, and undertake serious governance overhaul to be able to survive its business. 

New BoD has to address challenges of potentially stranded assets of generation capacity, sluggish demand, and increase renewable generation to meet national policy targets amid rising thermal power capacity. 

In ICEO 2020, given the lower electricity demand in recent years and the future demand forecast for the next five years PLN generation capacity addition could only grow by 4-4.5 GW per year. To meet 23% renewables in primary energy mix target or 31% of total PLN generation capacity in 2025, +/- 75% of new capacity should come from renewables since 2020. 

Fabby explained that the consequence of this is that BoD and MEMR should postpone or cancel any new coal power project starting in 2020. 

The new BoD doesn’t have much time left. As RUPTL 2020-2029 is underway and shall be landed at Minister EMR’s desk for approval Jan/Feb 2020, adjustment of the 10-yr planning has to reflect the aforementioned situation. 

Jakarta 23 December 2019