Daya Saing RI Rendah, Investor EBT Kabur ke Vietnam

Jakarta, CNN Indonesia — Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkap alasan penyebab investor energi baru terbarukan (EBT) kabur dari Indonesia sejak 5 tahun terakhir.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai hal tersebut terjadi karena rendahnya daya saing Indonesia dalam menarik Investor Energi Baru Terbarukan (EBT).

Fabby menyebut Investor yang masuk pada 2015 pun mayoritas keluar dari Indonesia di tahun 2017 dan selanjutnya berinvestasi di negara-negara tetangga Indonesia. Salah satunya, Vietnam.

“Makanya, kalau dilihat ada investasi di Vietnam bisa bangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 4,5 GigaWatt, ada angin 300 MegaWatt lebih, itu adalah eks investor-investor yang 2015 datang ke Indonesia. Tapi karena tidak ada potensi bisnisnya di sini, mereka pergi ke negara-negara tetangga,” kata Fabby di acara Clean Energy Outlook 2020, Jakarta, Selasa (17/12).

Selain kalah dari Vietnam, sambung Fabby, daya saing Indonesia juga kalah dari Filipina, Thailand dan Malaysia.

“Itu semestinya bisa jadi peringatan ke pemerintah,” ujarnya.

Fabby kemudian menyebut beberapa faktor yang mempengaruhi minimnya daya saing, seperti kurangnya dana proyek-proyek energi baru terbarukan. Terhitung, per 2019, sebanyak 27 proyek memiliki kesulitan pendanaan.

Hal itu, sambung Fabby, tak lepas dari terlalu bergantungnya proyek-proyek Indonesia kepada pendanaan dari korporat.  Adapun proyek yang mendapatkan pendanaan itu lebih karena sponsornya cukup kuat jadi mereka mendapat pendanaan,” tuturnya.

Padahal, lanjut Fabby, sifat pendanaan di negara lain yang memiliki investasi EBT yang tinggi memiliki pendanaan tipe project finance, bukan corporate finance seperti Indonesia.

Akibat minim pendanaan, Fabby menyebut beberapa bank sudah kehilangan nafsu untuk meminjamkan modal di ranah EBT.

“Bahkan dari hasil survei kami terakhir, sejumlah bank dalam negeri mulai kehilangan appetite atas proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia,” tuturnya.

Sementara itu, salah satu faktor di project finance yang menentukan adalah kualitas dari proyek, salah satunya bankability.

Dengan larinya investor, lanjut Fabby, akan menimbulkan permasalahan terutama berkaitan target bauran energi yang dicanangkan pemerintah, yakni mencapai 23 persen di 2025.

IESR sendiri, telah memproyeksi Indonesia membutuhkan investasi sebesar US$70 miliar hingga US$90 miliar untuk mencapai tingkat bauran energi tersebut.

“Sedangkan, perkembangan EBT masih jauh di bawah ekspektasi. Kalau kita lihat hampir tidak ada proyek-proyek baru yang masuk sepanjang 2019,” ungkapnya. Sebagai catatan, hingga akhir 2019, capaian investasi EBT yang diterima pemerintah lebih rendah dari target tahunan yang telah dipasang. Tercatat, capaian investasi energi terbarukan 2019 hanya mencapai US$1,17 juta dari total target senilai US$1,8 juta.

“Investasi energi terbarukan terus turun dan ada di bawah target yang sebenarnya dicanangkan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) maupun RENSTRA (Rencana Strategis) Kementerian ESDM pada tahun 2015,” tuturnya.

Menurut Fabby, pemerintah harus segera melakukan tindakan konkret dalam mengatasi permasalahan EBT di Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan memastikan pencanangan omnibus law akan dapat berjalan dengan baik.

“Saya rasa pemerintah harus bertindak cepat, karena investor yang masih bertahan juga pasti tidak memiliki waktu yang banyak dalam wait and see kalau tidak ada perubahan nyata,” ungkapnya.

Tekan Impor Migas

Di tempat yang sama. Sekretaris Ditjen EBTKE Halim Sari Wardana mengungkapkan bauran energi baru terbarukan merupakan bagian dari upaya pemerintah menekan impor minyak dan gas bumi (migas).

Halim menegaskan bahwa potensi energi terbarukan cukup besar dalam menekan impor migas ke depan. Hal itu salah satunya tercermin dari program pencampuran biodiesel pada minyak Solar.

Ia mengatakan Indonesia sudah siap dengan penggunaan bahan bakar B30 yang akan dirilis 23 Desember 2019.

“Kita kan sudah ada B20, sebentar lagi mulai 23 Desember ini kita bisa mulai menggunakan B30, secepatnya kita kebut B40, B50 kalau bisa sampai B100,” tuturnya.


Artikel asli tayang di CNN Indonesia.com

Tambahan 385 MW Tidak Signifikan

ENERGI

JAKARTA, KOMPAS — Penambahan kapasitas terpasang listrik dari energi terbarukan sebanyak 385 megawatt pada tahun 2019 dipandang tidak signifikan. Sesuai Rencana Umum Energi Terbarukan, bauran energi terbarukan ditargetkan 23 persen pada tahun 2025 atau setara kapasitas terpasang 45,000 megawatt. Tanpa gebrakan kebijakan, target itu akan sulit dicapai. 

“Butuh komitmen politik pemerintah yang tertuang dalam regulasi ataupun kebijakan agar investasi tumbuh pesat,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa di Jakarta, Selasa (17/12/2019). 

Penambahan 385 megawatt pada tahun ini menggenapi sebanyak 8.173 megawatt total kapasitas terpasang listrik energi terbarukan pada pembangkit milik PT PLN (Persero). Investasi energi terbarukan juga dianggap kurang agresif. Dari target 1,8 miliar dollar AS tahun ini, sampai triwulan III-2019, realisasinya 1 miliar dollar AS. Menurut Faby, sejak pemerintah mencabut skema feed in tariff (biaya patokan pembelian tenaga listrik berdasarkan biaya produksi listrik) dan menetapkan harga jual listrik energi terbarukan berdasarkan biaya pokok pembangkitan listrik setempat, investasi jadi lesu. Kebijakan itu diatur dalam peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. 

“Lembaga pembiayaan kurang tertarik karena mereka melihat tidak ada prospek yang baik dan resikonya tinggi” kata Fabby. 

Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi ENergi Kementerian ESDM Halim Sari Wardana mengakui, mengatasi tantangan energi terbarukan tidaklah mudah. Beberapa penyebab beratnya pengembangan energi terbarukan adalah regulasi yang tumpang tindih atau aturan yang tak menarik investor. Begitu pula masalah kelengkapan dan keakuratan potensi energi terbarukan di Indonesia yang perlu disempurnakan. 

Beberapa tahun terakhir, nilai investasi sektor energi terbarukan fluktuatif. Pada 2014, investasi yang terealisasi mencapai 600 juta dollar AS dan naik jadi 1 miliar dollar AS pada 2015. Nilainya naik jadi 1,6 miliar dollar AS tahun 2016, lalu turun jadi 1,3 miliar dollar AS tahun 2017, dan naik lagi jadi 1,6 miliar dollar AS tahun 2018. 

Pengembangan energi terbarukan di Indonesia yang kurang agresif, menurut Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Surya Darma, disebabkan kesadaran tentang asal-muasal energi masih terbilang rendah. Harga energi yang murah dan terjangkau jadi lebih penting ketimbang kesadaran mengenai sumber energi yang harus bersih. Isu lingkungan dan keberlanjutan jadi terabaikan. (APO). 

Artikel ini tayang di Harian Kompas 18 Desember 2019, Setelah Peluncuran Studi Indonesia Clean Energy Outlook 2020 oleh IESR di The Soehanna Hall, Jakarta

 

Catatan dan Tinjauan Energi Bersih Indonesia

Gandabhaskara Saputra
Koordinator Komunikasi, IESR
ganda@iesr.or.id

Siaran Pers

Catatan dan Tinjauan Energi Bersih Indonesia:

Menunggu Titik Balik Positif dan Memanfaatkan Momentum untuk Mengejar Ketertinggalan

 

Jakarta, Selasa, 17 November 2019 Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO), sebuah laporan akhir tahun yang ketiga yang mengulas kemajuan pengembangan energi bersih (energi terbarukan dan efisiensi energi) di tanah air, dan meninjau prospek perkembangannya di tahun 2020. Merujuk kepada laporan ini, tambahan kapasitas terpasang energi terbarukan sebesar 385 MW di tahun ini tidak berdampak signifikan terhadap kemajuan pembangunan energi terbarukan untuk mengejar pencapaian target kapasitas 45 GW di tahun 2025 sesuai target RUEN. Untuk masih sangat dibutuhkan komitmen politik pemerintah yang dituangkan dalam kebijakan dan regulasi yang progresif dan perbaikan iklim investasi sehingga mengakselerasi pembangunan energi bersih di Indonesia dan bertransisi menuju sistem energi yang lebih bersih, kompetitif, dan handal.

Setahun yang lalu, tepatnya pada 19 Desember 2018, IESR telah memperkirakan prospek energi terbarukan yang stagnan di tahun 2019 dalam laporan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) kedua. Dua indikasi yang disampaikan dalam laporan tersebut (kondisi politik yang dinamis selama pemilihan umum serta kebijakan dan peraturan yang tidak kondusif) setidaknya masih relevan untuk dijadikan basis penilaian kemajuan pembangunan energi bersih di tahun ini.

 

Secara lebih rinci, laporan ICEO tahun ketiga yang diluncurkan hari ini menyoroti dua faktor utama yang masih menjadi penghambat percepatan pengembangan energi terbarukan (ET) di tanah air. Faktor pertama adalah bankability dari Power Purchase Agreements (PPAs) yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 10 dan No. 50 Tahun 2017 yang membuat 27 dari 75 PPA proyek ET masih berjuang untuk mencapai tahap financial close (FC), bahkan 5 PPA sudah diterminasi pada Oktober 2019 lalu. Selanjutnya, skema insentif bagi proyek ET yang tidak kompetitif serta situasi politik dan masa transisi pemerintahan yang baru mengakibatkan capaian target investasi ET yang rendah di tahun ini (USD 1,17 dari 1,8 juta atau baru mencapai 65% per September 2019 lalu). Kontribusi proyek energi panas bumi (sebesar USD 0.52 juta) menjadi andalan pemerintah dari total capaian investasi tersebut. Secara umum, total investasi ET ini masih sangat kecil untuk mencapai target bauran energi dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) di tahun 2025 yang diperkirakan memerlukan investasi USD 70-90 milyar.

Dalam pembukaannya, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, menuturkan “dalam hal investasi energi terbarukan, Indonesia berkompetisi dengan sesama negara ASEAN lainnya, khususnya Vietnam, Malaysia, Filipina dan Thailand. Dalam tiga tahun terakhir, negara-negara ini mengalami kenaikan kapasitas pembangkit energi terbarukan yang cukup tinggi dan yang ditandai dengan mengalirnya arus investasi dari luar. Di era energi terbarukan, semua negara punya sumber daya energi terbarukan yang relatif setara dan dapat dikembangkan. Investor punya pilihan cukup banyak dan leluasa memilih negara yang memberikan pengembalian investasi yang menarik dan risiko yang kecil. Dengan kondisi ini, kualitas kebijakan dan regulasi Indonesia akan menentukan daya saing Indonesia menarik investasi energi terbarukan, khususnya investasi asing.”

Di sektor efisiensi energi, usaha-usaha untuk mencapai target penurunan intensitas energi final sebesar 1% per tahunnya, harus lebih difokuskan kepada tiga sektor kunci yang menyumbang konsumsi energi terbesar: transportasi, industri, dan rumah tangga. Dari tahun 2013 hingga 2018, ketiga sektor ini tercatat sebagai sektor yang mendominasi sebesar 44% (setara 348 juta setara barel minyak – SBM), 33% (setara 250 juta SBM), dan 15% (setara 113 juta SBM) secara berturut-turut dari total konsumsi energi final. Akselerasi penggunaan kendaraan listrik, peningkatan konservasi energi di sektor industri, serta perbaikan standar dan pelabelan energi untuk peralatan listrik untuk rumah tangga menjadi beberapa opsi yang teridentifikasi dalam laporan ICEO dalam meningkatkan usaha-usaha di sektor ini.

Meskipun demikian, IESR juga mengidentifikasi tiga hal yang cukup progresif di tahun ini. Salah satu diantaranya adalah adanya peningkatan dan minat penggunaan PV surya atap yang semakin dilirik oleh Kementerian, lembaga, dan badan usaha di tingkat pusat dan daerah, pelaku usaha industri, bangunan komersial dan residensial. Selanjutnya, konsumsi biodiesel juga meningkat seiring dengan program B20 yang digalakan sejak awal tahun 2019. Terakhir di sektor transportasi, adanya Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang kendaraan listrik mengisyaratkan komitmen dan dukungan politik yang kuat dalam mengembangkan teknologi baru ini di tanah air. Energi surya dan kendaraan listrik ini secara khusus diulas dalam ICEO 2020.

Selain membahas status dan perkembangan energi bersih di tahun 2019, laporan ini juga menyimpulkan tahun 2020 sebagai momentum penentu dan titik balik untuk mengejar ketertinggalan, baik untuk mencapai target-target di tanah air, maupun kemajuan energi terbarukan di tingkat regional. Untuk itu pemerintah perlu memperhatikan sejumlah hal:  Pertama, kabinet dan konfigurasi posisi baru di kementerian dan lembaga terkait harus bisa mendapatkan kembali kepercayaan dari investor di kuartal pertama 2020, dengan memberikan sinyal politik dan rencana aksi terperinci yang dituangkan ke dalam perbaikan kebijakan dan regulasi untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan dan implementasi efisiensi energi. Perbaikan tersebut diantaranya mencakup reintroduksi feed in tariff (FiT), adanya instrumen pendanaan khusus untuk proyek ET skala kecil (dibawah 10 MW), penerapan skema lelang terbalik (reverse auction) untuk proyek ET skala utilitas, alokasi risiko yang adil antara independent power producer (IPP) dan PLN, serta perbaikan-perbaikan kebijakan untuk mendorong implementasi efisiensi energi seperti penerapan mandatori manajemen energi ke lebih banyak perusahaan di setiap sektor (industri, transportasi, dan bangunan), dan penerapan SKEM untuk peralatan listrik yang lebih banyak dan standar yang lebih tinggi. 

Kedua, berbagai inisiatif terkait energi bersih yang dilakukan oleh aktor non-pemerintah dan pemerintah daerah perlu terus didukung dan difasilitasi. Lebih dari 200 perusahaan multinasional, 40 di antaranya beroperasi di Indonesia, adalah anggota RE100 dengan pendapatan gabungan hingga USD 4,5 triliun yang kini berkomitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan di seluruh fasilitas operasional globalnya pada tahun 2030. Peraturan yang mengatur implementasi power wheeling dapat menjadi pilihan untuk menyelesaikan akses listrik terbarukan yang penting yang diperlukan oleh perusahaan RE100 dan yang lainnya. Selanjutnya, hambatan-hambatan seperti perencanaan, pembiayaan, dan koordinasi dengan PLN dalam implementasi inisiatif-inisiatif di pemerintah daerah harus dapat ditangani dan diselesaikan untuk dapat merealisasikan berbagai inisiatif menjadi proyek yang nyata.

Ketiga, perlu lebih dari sekedar peraturan untuk memulai revolusi surya dan kendaraan listrik. Kedua teknologi ini kami proyeksikan dapat menjadi pionir penggerak dalam transisi menuju energi bersih di tanah air. Proses akuisisi lahan yang cukup menyulitkan, skema pendanaan yang kurang atraktif, transparansi proses pengadaan yang kurang dan timeline yang tidak menentu, serta pengembangan industri manufaktur surya yang status quo merupakan beberapa hambatan utama yang perlu diperhatikan dalam merevolusi energi surya. Sedangkan untuk memulai industri dan meningkatkan penetrasi kendaraan listrik dengan cepat diperlukan insentif fiskal (diantaranya pembebasan pajak kendaraan listrik) dan pembangunan infrastruktur pengisian listrik yang agresif (minimal 30.000 unit SPKLU sebelum tahun 2025).

“Presiden Jokowi harus menyadari bahwa Indonesia sedang diamati dunia dalam upaya memerangi krisis iklim melalui pengembangan energi terbarukan dan transisi menuju sistem energi bersih. Lima tahun ini kita menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi jawara energi terbarukan di ASEAN, saat ini kita jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga padahal Indonesia memiliki ragam sumber daya energi terbarukan. Saat ini kita Indonesia bukan primadona investor energi bersih, tapi kita bisa kalau ada transformasi yang revolusioner melalui kebijakan dan regulasi serta insentif yang disediakan pemerintah,” kata Fabby Tumiwa.

Oleh karena itu, IESR kembali mendesak Presiden Joko Widodo untuk menunjukan komitmen politik dan memimpin pengembangan energi bersih di Indonesia. Presiden perlu memberikan yang jelas dan kuat kepada kementerian sektoral dan lembaga terkait untuk mempercepat pengembangan dan mendorong investasi energi terbarukan. 

Dalam diskusi panel penutup, manajer program transformasi energi IESR, Jannata Giwangkara berharap temuan, laporan, serta poin-poin diskusi dalam peluncuran studi ICEO 2020 ini dapat menjadi referensi dan masukan bagi pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan di sektor energi untuk dapat memastikan keamanan energi, daya saing ekonomi, dan transisi menuju sistem energi bersih yang berkelanjutan di tanah air dalam waktu dekat.

Indonesia ‘must stop building new coal plants by 2020’ to meet climate goals

2 December 2019

JAKARTA — Indonesia must stop building new coal-fired power plants by 2020 if it wants to do its part to cap global warming under the targets of the Paris climate agreement, new analysis shows.

The country is one of the few still actively planning and constructing new plants, putting it on a trajectory to miss its climate commitments, aimed at limiting global warming to 1.5 degrees Celsius (2.7 degrees Fahrenheit) above pre-industrial levels and achieving net-zero greenhouse gas emissions by 2050.

In an analysis of four scenarios, carried out by the Institute for Essential Services Reform (IESR), a Jakarta-based think tank, only one would see Indonesia contribute to those goals — and it starts with scrapping the dozens of coal-fired power plants being built or planned.

Achieving that goal, the IESR says, “would require that there are fewer coal plants installed capacity in Indonesia,” including “no more coal plants … built after 2020.”

“The 1.5 [degree] scenario would even need 2 gigawatts less of coal plant installed capacity from current existing capacity by 2020, meaning coal plant phase-out should happen this year,” it adds.

That scenario sees burning of coal phased out altogether by 2048 and the country’s total emissions peak by 2028 at 274 million tons of carbon dioxide equivalent (CO2e) before declining to zero by 2048.

A second, less stringent, scenario projects capping global warming at 2 degrees Celsius (3.6 degrees Fahrenheit) above pre-industrial levels. It too would require stopping building new coal-fired power plants by 2020.

The other scenarios are less ambitious in scope, such as retiring coal plants older than 30 years, and improving the efficiency of existing plants. But these scenarios would mean Indonesia falling short of its climate commitments and contributing to a global temperature rise of 2 to 3 degrees Celsius (3.6 to 5.4 degrees Fahrenheit).

And even then, said IESR executive director Fabby Tumiwa, “we still won’t reach net-zero emissions” by 2050.

The Cilacap coal power plant is located near a port for local fishermen. Image by Tommy Apriando/Mongabay-Indonesia.

Coal building spree

A landmark report by the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) last year warned that the world had until 2030 to cap global warming at 1.5 degrees Celsius to avoid catastrophic climate change impacts. In practice, this means global greenhouse gas emissions will have to drop by half over the next 10 years and reach net-zero around mid-century.

Much of Indonesia’s emissions to date have come from deforestation and land use change, particularly the burning of carbon-rich peatlands to make way for plantations of oil palm, pulpwood, and rubber. But under the current administration’s ambitious energy push, emissions from electricity generation are poised to dominate.

The country’s energy consumption growth is among the fastest in the world, and the government is relying mostly on coal-fired plants to feed that demand. In 2018, coal accounted for 60 percent of Indonesia’s energy mix.

Under the government’s latest electricity procurement plan, the installed capacity of coal plants in the country is expected to nearly double over the next decade from the current 28 gigawatts. Thirty-nine coal-fired power plants are currently under construction, and 68 have been announced, which will maintain coal’s dominance of the energy mix at nearly 55 percent by 2025.

Of six new power plants expected to go online this year, three are fired by coal. (The other three are small-capacity facilities powered by natural gas, hydro and solar, respectively.)

This trajectory risks trapping Indonesia in a high-carbon economy, says the IESR’s Fabby, because once a coal plant is built, it can remain in operation for up to 50 years.

“If we build fossil fuel infrastructure today, the emissions for the next half a century will be locked,” he said. “It’s estimated that our emissions from power plants will be at 700 to 800 million tons of CO2 in 2030.”

Coal spill from July 2018 along a beach in Indonesia’s Aceh province in Sumatra. Image by Junaidi Hanafiah/Mongabay-Indonesia.

Regional outlier

Indonesia’s coal plant building spree makes the country an outlier in Southeast Asia, where governments are increasingly taking a stand against the fossil fuel. Recent analysis by the Global Energy Monitor (GEM) identifies Indonesia as the only country in the region to build new coal energy infrastructure in the first half of 2019.

Thailand in January removed two major coal plants, the 800-megawatt Krabi and 2,200 MW Thepa facilities, from its energy development plan. It also shelved the 3,200 MW Thap Sakae project due to community resistance. The country’s plan also reduces the share of coal in the energy mix from 25 percent envisaged in the previous plan to just 12 percent.

Instead, Thailand is making a major pivot toward clean energy, announcing an ambitious plan to build the world’s largest floating solar farms to power Southeast Asia’s second-largest economy.

In the Philippines, which faces a similar challenge to Indonesia of meeting fast-growing demand for cheap electricity, President Rodrigo Duterte recently called on his department of energy to fast-track the development of renewable energy and reduce dependence on coal. In practice, however, the government still hasn’t issued an executive mandate that would compel the energy department to change its coal-dependent roadmap. And in October, Duterte inaugurated the country’s 21st coal-fired power plant.

And while the region as a whole is home to three of the world’s top 10 biggest networks of planned coal power plants, construction of new plants in Southeast Asia has actually fallen dramatically since peaking at 12,920 MW new installed capacity in 2016, according to the GEM. In 2018, only 2,744 MW of new coal-fired capacity entered into construction.

Christine Shearer, the director of the GEM’s coal program, said coal had become increasingly less attractive for investors in Southeast Asia.

“Coal power is facing something of a perfect storm,” she said. “Communities are rejecting it due to the high levels of pollution, renewable energy technology is undercutting it in terms of quality and cost, and financial institutions are backing away fast, making funding an increasing challenge for coal proponents.”

A worker walking by rows of solar panels at the Kayubihi Power Plant in Bangli, Bali. The Kayubihi Power Plant is the only solar-powered plant operating in Bali out of a total of three plants. Image by Anton Muhajir/Mongabay Indonesia.

Lack of renewable-friendly policies

While the IESR analysis makes clear that Indonesia must begin phasing out coal power as soon as possible if it wants to contribute to the global climate effort, Fabby said doing so will be challenging without a clear exit strategy. He noted that coal mining is an industry that generates significant revenue and jobs for several provinces.

“Of course coal power plants can’t just be closed down, because there’s going to be economic and financial consequences,” Fabby said. “We need energy transition. We also need to anticipate the economic consequences that might happen.”

While the government plans to increase the share of renewables in the energy mix from 7 percent at present to 23 percent by 2025, progress has been sluggish. There are currently no carbon disincentives to encourage investment in renewable energy, while coal-fired power plants continue to receive hefty subsidies.

The government has hitched its renewable wagon to biofuel made with palm oil — a controversial decision, given the deforestation attendant in the production of much of the country’s palm oil.

Fabby pointed to a key omission in the renewable transition for Indonesia, the only country in Asia that lies on the equator: solar power, which remains largely unexploited.

“What we need is the political will,” he said. “For example, Vietnam, in a matter of 12 months they built 4.5 GW of solar. Countries like Vietnam can do it. The key is for the government [in Indonesia] to have the political will, feed-in tariffs and [attractive] prices so that investors can enter.”

Vietnam has turned into a solar power champion in the region, hitting its solar target six years early thanks to the government’s feed-in tariff that ensures a price of 9.35 U.S. cents per kilowatt-hour — thereby giving producers a financial incentive to invest in the sector.

As a result, Vietnam is experiencing a solar boom, with energy consultant Wood Mackenzie predicting the country’s installed solar capacity will reach 5.5 GW by the end of 2019, representing 44 percent of the total for Southeast Asia.

Last year, Vietnam’s installed solar capacity was just 0.134 GW.

Indonesia can also look to India’s transition as an example, said Lauri Myllyvirta, the lead analyst at the Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA). Both countries share similar demographics and a reliance on coal in their energy mix. India, however, has had greater success developing its renewables and easing away from coal, thanks to competitive auctions, according to Myllyvirta.

“So you make renewable energy providers compete for the lowest price and scale up the industry to bring down cost,” he said.

But with no policies in place in Indonesia to bring down the cost of renewables, development of clean energy alternatives will remain expensive, he said.

“If I drink a cup of coffee or eat rice in Australia, the cost is 10 times more expensive [than in Indonesia],” Myllyvirta said. “But if I want to build a solar PV, it’s more expensive in Indonesia. So we can see that the condition [for renewables] in Indonesia isn’t optimal yet. And this isn’t caused by geographical condition, because Indonesia has a lot of sun.”

Kuntoro Mangkusubroto, a former energy adviser to the Indonesian government and now head of the IESR-affiliated Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), agreed that Indonesia risked being left behind in the global transition from coal to renewables without a drastic change in its policies.

“There needs to be a regulation that’s revolutionary,” he said as quoted by local media. “In a short time, coal will become the enemy of the world. Yet Indonesia still depends on coal for its power plants. This has to change immediately.”

Note: This article is adapted from an article published on Nov. 10, 2019, at our Indonesian website: https://www.mongabay.co.id/2019/11/10/bangun-pltu-dan-lepas-hutan-bakal-gagalkan-komitmen-iklim-indonesia-bagaimana-cara-capai-target/

 

Artikel Asli

Suhu Bumi Semakin Panas! Pesan IESR untuk Delegasi Indonesia di COP25

Pesan IESR untuk Delegasi Pemerintah Indonesia di COP UNFCCC 25 

Suhu Bumi Semakin Panas: Indonesia dapat melakukan transformasi perekonomian sebagai upaya pembatasan kenaikan suhu bumi dan pencapaian net-zero emission sesuai target Paris Agreement.

 

Jakarta, 29 November 2019 — Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB atau COP UNFCCC yang ke 25 di Madrid pada 2-13 Desember 2019, IESR mengingatkan pemerintah Indonesia untuk menunjukkan komitmen dan political will dalam peningkatan aksi mitigasi perubahan iklim demi menjaga kenaikan suhu bumi pada 1,5°C. Komitmen ini diperlukan mengingat kegiatan mitigasi yang saat ini ada di dalam NDC Indonesia akan meningkatkan kenaikan suhu bumi di antara 3-4°C. Untuk dapat menjaga kenaikan suhu bumi pada 1,5°C, pemerintah Indonesia harus merancang kegiatan mitigasi perubahan iklim yang lebih ambisius dengan strategi pelaksanaan dan lokasi serta target pelaksanaannya yang rinci. 

Asia-Pacific Climate Week di Bangkok pada September lalu menegaskan pentingnya transformasi global menuju perekonomian rendah karbon dalam upaya pembatasan kenaikan suhu bumi. Transformasi ini akan membangun perekonomian yang memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim. Lebih lanjutnya, UNFCCC pun melihat bahwa perekonomian rendah karbon merupakan suatu solusi untuk mengurangi dampak buruk dari perubahan iklim serta meningkatkan pertumbuhan perekonomian pada saat yang sama. 

Dampak dari perubahan iklim ini semakin terasa di Indonesia. Rekor temperatur terpanas dalam dua dekade terakhir sudah tercatat sebanyak 15 kali, yang berarti 15 tahun dalam dua dekade terakhir telah mencetak rekor temperatur terpanas secara global. Sejak akhir abad ke 19, temperatur global sudah naik sebanyak 1oC dan masih akan bergerak naik lagi jika kegiatan mitigasi yang cukup ambisius tidak dilakukan secara global. Bencana alam kerap terjadi di Indonesia, seperti banjir, banjir bandang, longsor, kekeringan, cuaca dan gelombang ekstrim, abrasi, serta kebakaran lahan dan hutan. Rentan terhadap perubahan iklim, Indonesia memiliki risiko banjir yang meningkat 5X pada kenaikan 3oC dibandingkan 1,5oC. Pada kenaikan 2,4oC jumlah siklon (badai) tropis kategori 4 akan meningkat 80% dan kategori 5 meningkat 120%. Dampak perubahan iklim akan lebih jauh lagi mempengaruhi kehidupan manusia di berbagai aspek seperti gagal panen akibat kekeringan, nelayan sulit melaut akibat ancaman tingginya gelombang laut, bahkan timbulnya sakit jantung dan alergi. Keterlambatan mengatasi perubahan iklim akan memberikan beban ekonomi yang lebih besar. 

Mengingat dampak perubahan iklim yang semakin meluas, diharapkan Pemerintah Indonesia segera melakukan langkah nyata dalam peningkatan ambisi iklim Indonesia. Laporan IESR, Brown to Green Report 2019, yang diluncurkan 20 November lalu di Jakarta, merekomendasikan beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah Indonesia dalam adaptasi, mitigasi dan pembiayaan perubahan iklim demi menjaga kenaikan suhu bumi 1,5oC. Secara khusus, rekomendasi untuk pemerintah Indonesia dalam melakukan pembiayaan iklim yaitu mengintegrasikan risiko perubahan iklim dalam sektor keuangan, menghapuskan subsidi bahan bakar fosil paling lambat pada 2025, menghentikan dana APBN untuk membiayai proyek bahan bakar fosil, mengharmonisasikan informasi mengenai pembiayaan iklim dalam rencana pembangunan jangka panjang.

Dari laporan ini, ditunjukkan bahwa sesungguhnya Indonesia mampu melakukan transformasi perekonomian menuju net-zero economy sesuai dengan salah satu target dari Paris Agreement. Beberapa langkah nyata yang seharusnya dilakukan pemerintah Indonesia untuk dapat meningkatkan ambisi iklim untuk mencapai 1,5°C, yaitu: 

  1. Menurunkan kontribusi dari PLTU dan meningkatkan kontribusi dari energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada sektor ketenagalistrikan pada 2030.
  2. Menaikkan tingkat efisiensi energi dari penerangan dan peralatan rumah tangga, dimana hal ini dapat mengurangi beban puncak listrik sebesar 26,5 GW pada 2030.
  3. Melakukan moratorium pembukaan hutan secara permanen termasuk hutan primer dan sekunder, serta lakukan restorasi gambut, untuk menyelamatkan 66 Mha hutan.

“Meningkatkan kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi pembangkit listrik sangat mungkin dilakukan secara teknis dan tidak akan mengurangi kehandalan dari jaringan nasional. IESR memiliki laporan yang membuktikan hal ini. Yang dibutuhkan sekarang adalah political will. Pendanaan pun tidak perlu diragukan lagi. Banyak sumber pendanaan nasional dan internasional untuk melistriki Indonesia dari energi terbarukan” kata Erina Mursanti, Manajer Program Green Economy, IESR.

Erina melanjutkan bahwa upaya penurunan emisi gas rumah kaca untuk menjaga kenaikan suhu bumi 1,5°C tidak dapat dilepaskan dari transformasi perekonomian dan transisi energi mengingat mayoritas dari emisi gas rumah kaca diproyeksikan akan berasal dari sektor energi, sedangkan, energi diperlukan untuk mendorong perekonomian dan menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi. 

Jakarta, 29 November 2019


Informasi tambahan

Konferensi Perubahan Iklim PBB COP 25 (2 – 13 Desember 2019) akan berlangsung di Madrid, Spanyol di bawah Presidensi Pemerintah Chili, Konferensi ini dirancang untuk mengambil langkah-langkah penting berikutnya dalam proses perubahan iklim PBB. Mengikuti kesepakatan tentang pedoman pelaksanaan Perjanjian Paris di COP 24 di Polandia tahun lalu, tujuan utama dari konferensi ini adalah untuk menyelesaikan beberapa hal sehubungan dengan operasionalisasi penuh Perjanjian Perubahan Iklim Paris. IESR sebagai salah satu partner global dari Climate Transparency, akan turut menghadiri COP 25 Side Events dan bertindak sebagai panelis dalam beberapa diskusi yang akan diselenggarakan mulai tanggal 2 hingga 6 Desember, bersama dengan perwakilan dari Pemerintah Indonesia, yang diwakilkan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Tentang IESR 

Institute for Essential Services Reform merupakan mitra Indonesia dari the Climate Transparency yang bermarkas pusat di Jerman, adalah institusi riset dan advokasi di bidang energi dan kebijakan lingkungan. Institusi kami mengkombinasikan studi mendalam, menganalisa kebijakan, undang – undang, dan aspek tekno-ekonomi pada sektor energi dan lingkungan dengan aktivitas advokasi kepentingan umum yang kuat untuk mempengaruhi perubahan kebijakan pada skala Nasional, sub-bangsa dan dunia. 

Narahubung Pers dan Media:

Erina Mursanti erina@iesr.or.id

Program Manager, Green Economy

 

Gandabhaskara Saputra ganda@iesr.or.id 081235563224

Communications Coordinator

Dokumen untuk di unduh

Pengamat Sebut Rudiantara Mampu Urusi PLN

Kamis, 28 November 2019//09:03 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dipandang mampu menahkodai PT PLN (Persero) oleh sejumlah pengamat energi. Anggapan mereka berikan lantaran Rudiantara pernah menjabat sebagai direktur di sejumlah perusahaan.

Pengalamannya dalam mengelola perusahaan bisa menjadi modal Rudiantara untuk memimpin PLN. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan kemampuan kepemimpinan menjadi hal utama yang dibutuhkan untuk menjadi bos di satu perusahaan, termasuk PLN.

Rudiantara, katanya, juga mampu berinteraksi cukup baik dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).

“Rudiantara kan seorang profesional, sudah oke. Itu menjadi modal dan dia (Rudiantara) juga bisa berkoordinasi dengan stakeholder, termasuk teman-teman di parlemen. Stakeholder BUMN ini kan luas,” ungkap Komaidi kepada CNNIndonesia.com, dikutip Rabu (27/11).

Diketahui, sebelum Rudiantara menjadi menteri komunikasi dan informatika pernah menjadi wakil direktur utama di PLN. Jabatan diembannya pada 2008 hingga 2009 lalu.

Pengalaman tersebut bisa menjadi nilai tambah bagi Rudiantara jika benar-benar terpilih menjadi direktur utama di PLN. Kalau pun Rudiantara tak pernah mencicipi karir di PLN, Komaidi menyatakan hal itu bukan menjadi soal.

Sebab, masing-masing perusahaan tentu memiliki tim ahli sendiri yang mengurus detail berbagai sektor usaha yang dijalankan.

“Jadi istilahnya tidak perlu tahu bisa bermain musik detail, yang penting orkestra bisa berjalan dengan baik. Kepemimpinan yang utama, untuk teknis (energinya) ada tim ahlinya lagi,” papar dia.

Selain PLN, Rudiantara juga pernah menjadi Wakil Direktur Utama PT Semen Indonesia Tbk (Persero), Direktur Utama PT Rajawali Asia Resources, Direktur Hubungan Korporat PT XL Axiata Tbk. Lalu, ia juga pernah menjadi komisaris di PT Indosat Tbk.

Senada, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan Rudiantara pantas menjadi petinggi di PLN. Kemampuannya soal korporasi akan menjadi bekal mengurus perusahaan listrik milik negara tersebut.

“Saya kira secara bisnis oke. Kemampuan bisnisnya bagus,” ujar dia.

Hanya saja, Fabby mengingatkan bahwa PLN punya tantangan besar dalam lima sampai enam tahun ke depan. Salah satunya adalah penurunan laju permintaan listrik di sejumlah wilayah.

“Ada tantangan kelebihan pasokan listrik di Jawa Bali,” kata Fabby.

Di sisi lain, pemerintah memiliki program mega proyek 35 ribu Megawatt (MW) yang harus segera diselesaikan. Jika pasokan berlebih, nantinya akan ada risiko bagi keuangan PLN.

“Makanya, menurut saya realisasi 35 ribu MW itu harus bertahap. Kalau ada kelebihan pasokan, kondisinya nanti membebani keuangan PLN,” jelasnya.

Untuk itu, Rudiantara harus memutar otaknya untuk menjaga keuangan PLN jika permintaan listrik terus menurun. Belum lagi, pemerintah sedang mendorong PLN untuk mencari pendanaan sendiri guna memenuhi kebutuhan ekspansi dan operasionalnya.

Ia menambahkan PLN juga memiliki utang jatuh tempo dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Bila keuangan perusahaan memburuk, maka akibatnya akan fatal terhadap kewajiban bayar utang PLN.

“Jadi bisa dibilang kondisi dua hingga tiga tahun ke depan mengkhawatirkan,” pungkas Fabby.

Diketahui, nama Rudiantara senter disebut-sebut sebagai direktur utama PLN baru. Pihak Istana Kepresidenan menyebut bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah meneken surat keputusan bos baru PLN.

Namun, hal itu belum dikonfirmasi oleh Kementerian BUMN. Staf Khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga menyatakan pihaknya masih menunggu surat resmi dari Jokowi kepada Menteri BUMN Erick Thohir.

Artikel asli

Indonesia’s Ahok bags top job at state energy giant Pertamina – is a return to politics next?

23 November 2019//9.00

Former Jakarta governor Basuki Tjahaja Purnama, best known as Ahok, has been named the new president commissioner of Indonesian state energy giant PT Pertamina, sparking speculation of a return to politics following his jailing in 2017 for blasphemy.

The Christian and ethnic Chinese politician, who was released in January after serving a controversial two-year term behind bars for insulting Islam, was officially awarded the position on Friday following days of rumour among Indonesia’s political elite.

He will replace outgoing president commissioner Tanri Abeng.

The appointment was met with mixed reaction among economists and analysts in Jakarta. Some praised the move, saying it would help weed out corruption at Pertamina, which as of March had assets worth at least US$65 billion.

“I think if Ahok is going to fit into a state-owned enterprise, he is going to be the top man, since I can’t see him working well with someone over him,” said Keith Loveard, an analyst at Concord Consulting. “[But it might be] difficult at one of the really big firms like Pertamina where a degree of industry knowledge is helpful.

“He has experience in managing a large organisation and has demonstrated his capacity for searching out inefficiency and corruption. As long as he doesn’t get too opinionated – and we all know he has a habit of speaking out a lot – he is going to be a credit to the organisation.”

Ahok was first floated as a likely pick for the position earlier this month, and since then Indonesian media have responded positively.

Indonesian President Joko Widodo, himself a former governor of Jakarta until he handed the position to Ahok in 2014, has recently praised his record. “We know [the quality] of his work,” he said last Saturday, referring to Ahok’s performance as vice-governor between 2012 and 2014.

Ahok became the head of the capital by default in October 2014 when Widodo became president, and he served until 2017, building a reputation as a straight talker who was keen to cut red tape.

Gunarto Myrdal, an economist at Bank Maybank Indonesia in Jakarta, said Ahok had shown professionalism and integrity in the past, and was qualified for the position.

“A key figure like him would be fit to be a leader or executive at a strategic enterprise such as Pertamina or [electricity provider] Perusahaan Listrik Negara,” he said.

Ahok’s blasphemy conviction was the result of a comment he made while campaigning for re-election as Jakarta governor. He did not appeal against the sentence and opted to serve the term at a prison in Depok just outside the capital. He subsequently lost the election.

Born in Manggar in East Belitung island, he is a member of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI), which is Widodo’s political vehicle and the party with the most seats in the Indonesian legislature. The organisation is chaired by Megawati Sukarnoputri, daughter of late president Sukarno.

Ahok’s return to public life has sparked talk in recent days of a possible political comeback, but Loveard poured cold water on that idea.

“No, I don’t think that will happen. There has been a degree of protest even over a job for him in a state-owned enterprise, and I don’t believe any political party would want to take the risk of stirring up the hornets’ nest once more.”

Mohamad Qodari, an analyst and executive director of political consulting firm Indo Barometer, said Ahok’s political future had been terminated as he was now perceived in a negative light by many Indonesians, especially Muslims.

“I don’t see Ahok having a chance of returning to the political arena if you define political life as running for mayor or regent, for example. His name is now negative to the public due to his straight-talking behaviour.”

Fabby Tumiwa, executive director of the Institute for Essential Service Reform, said Ahok’s appointment raised concerns about the lack of clear procedures and criteria for talent scouting at state enterprises, especially at the policy decision level.

“I have not seen President Widodo announce anything on the criteria for picking executives,” Fabby said.

Rini Soemarno, the former cabinet minister previously in charge of state enterprises, had failed to implement proper mechanisms for hiring and firing, Fabby added, and executives at Pertamina had been appointed in a process seen as fishy. “Not to mention that state enterprises have been cash cows for political elites and bureaucrats,” he said.

Corporate organisational structure in Indonesia differs from that in many other countries. Indonesian firms have a board of commissioners chaired by a president commissioner. The board supervises management policies and advises the company’s board of directors, which is responsible for daily management and operations. The CEO, referred to as the president director in Indonesia, chairs the board of directors.

Erick Thohir, who took over as the minister for state enterprises this month, did not respond to requests for comment. Neither did his two vice-ministers, Budi Gunadi Sadikin and Kartika Wirjoatmodjo.

Artikel asli

Waduk untuk Pembangkit, PLN Menanti Kerja Sama Kementerian PUPR

14 November 2019//19:08 WIB

Bisnis.com, JAKARTA – PT PLN (Persero) mengaku telah mengajukan permohonan kerja sama ke Kementerian PUPR untuk mendapatkan ijin memanfaatkan waduk eksisting sebagai pembangkitan.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani mengatakan pembangunan pembangkit dengan memanfaatkan waduk eksisting akan mempercepat realisasi bauran EBT. Setidaknya, produsen listrik tidak perlu membangun bendungan maupun waduk untuk membangun PLTA sehingga waktu konstruksi dapat dipersingkat.

Sripeni mengatakan dengan memanfaatkan waduk milik Kementerian PUPR, pembangunan pembangkit listrik tenaga hydro dapat dilakukan dalam waktu tiga tahun atau lebih singkat dari biasanya yang selama lima tahun. Pada satu tahun pertama pengadaan pembangkit listrik tenaga hydro, PLN akan melakukan studi kelayakan (feasibility study/FS).

Setelah itu, dua tahun selanjutnya akan dilakukan pembangunan pembangkitan. Artinya, dalam tiga tahun saja, pembangkit tersebut sudah dapat beroperasi komersial (commercial operation date/COD).

Menurutnya, selain dapat mempersingkat waktu pengadaan pembangkitan, waduk yang dibangun Kementerian PUPR juga memiliki ukuran-ukuran besar sehingga potensi listrik yang dihasilkan juga akan sebanding besarnya.

“Tiga [tahun] sudah jadi dengan memanfaatkan itu, cuma masalahnya waduk ada yang memang secara teknis bisa dimanfaatkan, masih cukup lahan untuk plant stall atau teknologi-teknologi, masih ada yang perlu kita kaji dan kita perlu detailkan,” katanya, Kamis (14/11/2019).

Sripeni menegaskan rencana memanfaatkan waduk tersebut sangat penting untuk mempercepat bauran EBT 23% pada 2025. Apabila mendorong realisasi pengadaan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) akan membutuhkan waktu tujuh tahun.

Sementara itu, jika memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) maupun pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) , diakuinya, bisa lebih cepat. Hanya saja, sifat PLTS dan PLTB adalah intermiten sehingga tetap perlu dibangun pembangkit yang mampu menjadi beban dasar (base load).

PLN juga memiliki pilihan untuk memanfaatkan sumber daya biomassa setempat. Hanya saja, listrik yang diproduksi biasanya kecil dan juga memperlukan sosialisasi ke masyarakat.

“23% pada 2025, itu mesti kita rinci, karena ebt ini relatif. Saya lagi nunggu Menteri PUPR dan PLN sudah mengajukan permohonan kerja sama,” katanya.

Direktur Perencanaan PLN Syofvi Felienty Roekman mengatakan pihaknya menarget pada tahun depan kerja sama dengan Kementerian PUPR tersebut sudah dapat dilakukan.

Rencananya, salah satu lokasi yang potensi airnya akan dimanfaatkan sebagai waduk sekaligus pembangkit listrik  berada di Kalimantan Timur. Pembangunan pembangkit listrik tenaga hidro di Kalimantan Tiur bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik ibukota baru.

Menurutnya, meskipun nota kesepahaman belum ditandatangi, pihaknya dengan Kementerian PUPR telah melakukan diskusi panjang untuk membahas rencana tersebut. Rencana tersebut dinilai harusnya bisa terealisasi tahun depan mengingat kebutuhan listrik yang cukup besar di sejumlah lokasi, terutama ibu kota baru di Kalimantan Timur.

Apalagi, rencana memanfaatkan waduk sebagai pembangkit listrik di Kalimantan Timur sejalan dengan harapan pemerintah yang menginginkan pemanfaatan energi baru terbarukan 100% sebagai sumber bahan bakar pembangkit listrik di ibu kota baru.

Adapun berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019 – 2028, potensi energi primer di Kalimantan Timur meliputi cadangan Batu Bara 25 miliar ton, Uranium, Cadangan Gas Bumi 46 triliun standard cubic feet (TSCF), cadangan Minyak Bumi 985 Million Stock Tank Barrels (MMSTB), potensi Gas Metan Batu Bara (CBM) 108 TSCF, Air 830 MW, Bioenergi 13,5 MW, dan Surya 0,7 MW.

Pemerintah melalui Kementerian ESDM memprediksi kebutuhan tambahan tenaga listrik di ibu kota baru yakni sekitar 1.196 MW. Sedangkan, untuk menjamin keandalan dengan cadangan atau reserve margin 30%, dibutuhkan pembangunan pembangkit sekitar 1.555 MW.

Sembari menunggu nota kesepahaman tersebut diteken, PLN saat ini juga sedang menyusun rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2020 -2029 yang nantinya akan memetakan sejumlah lokasi yang akan menerapkan kerja sama tersebut. Penentuan lokasi sangat penting lantaran tidak lokasi yang berpotensi dibangun waduk memiliki kebutuhan listrik yang tinggi.

PLN perlu memetakan demand atau kebutuhan listrik sebelum menentukan lokasi mana yang waduknya dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan. Hingga saat ini, lokasi yang dapat dipastikan untuk dilakukan pemanfaatan waduk sebagai pembangkitan adalah di Kalimantan Timur.

“Kemarin yang diminta Kalimantan Timur karena ingginya suplai EBT sesuai kebutuhan, ekpektasinya untuk mendukung ibu kota baru,” katanya.

PLN akan mengincar pembangunan pembangkit listrik pada waduk-waduk baru yang akan dibangun. Pasalnya, waduk-waduk eksting saat ini memiliki debit air kecil sehingga tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk pembangkitan.

Apabila kerja sama tersebut disepakati, PLN dan PUPR akan duduk bersama dalam mengembangkan desain waduk sehingga dapat sesuai untuk memenuhi kebutuhan pembangkitan.

“Waktu pertama kali bangun aduk, kita merencanakan un sudah harus duduk bersama-sama membahas berapa debiy mau bikin bendungan, desainnya sama, kita sebut joint planning,” katanya.

Terpisah, Kementerian ESDM mengaku mendukung rencana PLN melakukan kerja sama dengan Kementerian PUPR dalam membangun pembangkitan di waduk maupun bendungan.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Harris mengatakan sebenarnya kerja sama dalam pemanfaatan nilai tambah waduk telah dilakukan. Hanya saja kerja sama tersebut dilakukan antara Kementerian ESDM dengan Kementerian PUPR dengan pemanfaatan nilai tambah waduk berupa pemenuhan air baku, untuk irigasi, dan pembangkit listrik.

Dalam perjalanannya, pemanfaatan waduk untuk pembangkit listrik menjadi terkendala sejak dirilisnya peraturan menteri (Permen) ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi baru terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Beleid tersebut mewajibkan setiap pembangunan pembangkit EBT harus dilakukan melalui mekanisme pengadanaan yang memerlukan proses seleksi.

Di lain sisi, lantaran waduk yang dibangun merupakan aset Kementerian PUPR, juga dilakukan pelelangan untuk konstruksi. Dua mekanisme lelang tersebut menjadi tumpang tindih dan menghambat pengembangan waduk sebagai pembangkitan.

“Nah memang potensi itu banyak, kan ada ratusan waduk bisa dikembangkan dan melalui kementerian pupr dilakukan semacam meningkatkan nilai tambah aset dengan mengundang partispasi swasta mengembangkan PLTMH, rencana listrik jual ke PLN, konsepnya seperti itu kmren ad kendala kita lagi berproses,” katanya.

Direktur Institute For Essential Services (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan kerja sama antara PLN dan Kementerian PUPR dalam memanfaatkan waduk sebagai pembangkitan seharusnya sudah dimulai sejak lama. Setidaknya, selain dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga hydro, waduk tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai PLTS terapung maupun pump storage.

PLTA pump strorage akan menyokong atau menjadi cadangan sumber daya pembangkit energi baru terbarukan (ebt) yang bersifat intermiten atau tidak stabil. Pump Storage akan memanfaatkan air yang dibendung untuk mengerakkan turbin dalam menghasilkan listrik.

“Menurut saya ini hal yang bagus untuk diterapkan, sepanjang layak teknis dan ekonomisnya. Waduk yang dirancang multipurpose bisa saja dikembangkan menjadi pembangkit listrik ,” katanya.

Artikel asli

Solar Langka, Pengusaha Angkutan Tekor Rp800 Juta

Sabtu, 16 November 2019//10:35

FAJAR.CO.ID,SURABAYA– Dampak sulitnya mencari solar bersubsidi kian meluas. Di Surabaya, misalnya, banyak angkutan yang telat masuk Pelabuhan Tanjung Perak gara-gara bahan bakar langka. Banyaknya truk yang ketinggalan kapal menghambat arus pengiriman barang.

Ketua Organda Khusus Pelabuhan Tanjung Perak Kody Lamahayu menjelaskan, ada beberapa jenis barang yang pengirimannya sedikit terlambat. Contohnya sembako, besi, dan kayu. ”Kebanyakan diangkut ke Kalimantan dan Sulawesi,” katanya.

Kelangkaan solar, menurut Kody, membuat pengusaha angkutan yang beroperasi di kawasan pelabuhan kelimpungan. Sebagian terpaksa meliburkan armadanya. Mereka mengaku tidak mampu membeli bahan bakar jenis dexlite yang lebih mahal dua kali lipat. ”Pekan depan kami akan rapat. Jika masih langka, kami akan berhenti beroperasi,” ucap Kody. Dia mengungkapkan, banyak pemilik angkutan yang kena tegur pengguna jasa gara-gara barang yang dikirimnya molor.

Ketua DPC Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Surabaya Putra Lingga membeberkan, dalam sehari truk bisa mengangkut barang dua kali. Setelah solar langka, kendaraan hanya bisa sekali melakukan perjalanan.

”Ruginya rata-rata Rp 500 ribu sehari,” katanya. Menurut Putra, saat ini ada 1.600 anggota Aptrindo Surabaya. Jika dijumlahkan, total kerugian mencapai Rp 800 juta dalam sehari. ”Namun, perlu ditegaskan, saat ini kami masih memutuskan untuk jalan. Tidak ada stop operasi,” tambah dia.

Hal senada diungkapkan Sekjen Aptrindo Jatim Eddo Adrian Wijaya. Dia mengaku tidak pernah diberi perincian mengenai berapa solar yang bisa didistribusikan hingga akhir tahun. Karena tidak ada sosialisasi, sebagian besar pengusaha menolak pembatasan solar. Ketika saat ini stok solar menipis, mereka ingin ada komunikasi yang transparan, baik dari pemerintah maupun Pertamina.

”Karena kami ini, mau enggak mau, harus menaikkan tarif pengiriman barang 40 sampai 60 persen. Harga dexlite kan mahal lebih dari 100 persennya solar,” ujarnya. Padahal, rata-rata klien menolak kenaikan tarif tersebut. Sementara pengusaha truk tidak memiliki solusi lain selain menaikkan tarif pengiriman barang.

Eddo mengingatkan pemerintah agar memikirkan risiko inflasi yang timbul akibat menipisnya persediaan solar. Sebab, banyak pengiriman logistik yang tertunda, pembayaran sopir yang lebih mahal, dan pengeluaran untuk membeli dexlite yang membuat pengusaha tekor. Pengiriman barang untuk ekspor juga tertunda.

Akibatnya, harga barang semakin mahal. ”Ya artinya tidak hanya pengaruh ke kenaikan harga barang untuk domestik, tapi barang yang mau diekspor juga jadi lebih mahal. Belum lagi pengiriman barang ke luar negeri terlambat. Nanti bisa inflasi dan barang ekspor kita tidak bisa bersaing di pasaran,” jelasnya.

Akibat Pengurangan Kuota

Kosongnya stok solar bersubsidi di SPBU-SPBU telah menghambat aktivitas masyarakat dan pelaku bisnis. Kelangkaan solar tersebut ditengarai sebagai buntut lebih rendahnya kuota solar bersubsidi tahun ini jika dibandingkan dengan tahun lalu. Ditambah dugaan tidak optimalnya kontrol konsumsi dan distribusi.

”Hampir bisa diprediksi (kelangkaan solar, Red). Memang kuota tahun ini lebih rendah daripada tahun lalu. Padahal, seharusnya kuota tahun ini ditambah karena asumsi pertumbuhan ekonomi masih di atas 5 persen,” ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman kepada Jawa Pos kemarin (15/11).

Petugas SPBU Gunung Gedangan, Kota Mojokerto, bersantai karena stok solar kosong. (Sofan Kurniawan/Jawa Pos Radar Mojokerto)
Mengenai alasan lebih rendahnya kuota tahun ini daripada tahun lalu, Kyatmaja yang sebelumnya berdiskusi dengan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan bahwa anggaran 2019 tidak mencukupi. Karena itu, kuota solar bersubsidi diturunkan dari 15,6 juta kiloliter tahun lalu menjadi 14,5 juta kiloliter tahun ini.

”Angka tersebut sedari awal sudah disinyalir kurang. Kami mengkhawatirkan November dan Desember tersendat. Ternyata, benar-benar terjadi di lapangan,” ungkapnya.

Di samping masalah kuota tersebut, Kyat menyoroti kontrol distribusi dan konsumsi solar bersubsidi di lapangan. Pada kesempatan sebelumnya, Pertamina sempat menyinggung solar bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Dia berpendapat, memang ada berbagai kejanggalan di sejumlah titik kelangkaan solar.

”Pertamina pernah membeberkan bahwa ada dua daerah yang konsumsi solar subsidinya lebih tinggi daripada Pulau Jawa. Yaitu, Riau dan Kaltim. Ini kan aneh,” katanya.

Sebab, jumlah penduduk Jawa jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Riau dan Kaltim. Selain itu, dua daerah tersebut didominasi sektor CPO (crude palm oil) dan pertambangan yang armada truknya tidak boleh menggunakan solar bersubsidi.

Secara regulasi, memang ada kendaraan-kendaraan yang dibatasi untuk menggunakan solar bersubsidi. Antara lain, kendaraan pengangkut hasil perkebunan (perkebunan besar), kehutanan, dan pertambangan dengan roda lebih dari enam, baik dalam kondisi bermuatan maupun kosong. Selanjutnya, larangan penggunaan solar bersubsidi juga diberlakukan pada mobil tangki BBM, CPO, dump truck, truk trailer, serta truk molen (pengangkut semen).

Aptrindo sudah mendapat laporan dari anggota di tiga daerah yang mengeluhkan kesulitan mendapatkan solar. Tiga daerah yang dimaksud adalah Banten, Surabaya, dan Jambi. Menurut Kyat, tak ada pilihan selain menunggu distribusi kembali normal. Pihaknya kini menginventarisasi daerah mana saja yang kesulitan solar untuk kemudian dilaporkan ke pemerintah pusat.

Di pihak lain, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menduga kelangkaan itu memang terjadi by design. Pertamina sengaja mengendalikan volume distribusi. Terutama untuk solar. ”Solar disubsidi dengan kuota tertentu. Saya duga kuotanya sudah mau habis. Jadi, peredarannya harus dikendalikan supaya subsidinya tidak membengkak,” ulasnya.

Dalam subsidi tersebut, Pertamina memiliki perhitungan soal interval kuota yang harus diberikan. Sementara saat ini kuota itu diduga sudah melebihi ambang batas. ”Makanya dikendalikan. Terlebih, akhir tahun kan masih 1,5 bulan lagi,” ucapnya.

Karena dikhawatirkan bikin rugi dan berpengaruh ke keuangan internal, diambil langkah tersebut. Dengan begitu, diharapkan pengguna beralih ke Pertamina dex atau lainnya yang harganya lebih mahal.

Sementara itu, Pertamina tak memberikan jawaban saat dimintai konfirmasi oleh Jawa Pos. VP Corporate Communications Pertamina Fajriyah Usman hanya memberikan keterangan resmi yang berisi pernyataan bahwa Pertamina akan memastikan ketersediaan solar bersubsidi di SPBU untuk mencukupi kebutuhan konsumen.

”Untuk menjaga keandalan distribusi ke masyarakat, Pertamina menambah sekitar 20 persen suplai solar untuk memastikan pemerataan penyaluran dan percepatan distribusi,” ujar Fajriyah kemarin. (JPC)

Artikel asli