IESR: Posisi Dirut Definitif PLN Berikan Kepastian

Kamis, 31 Oktober 2019 01:32 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan direktur utama (dirut) dan direksi definitif akan memberikan kepastian bagi PLN dan juga mitra-mitra PLN. Fabby menyampaikan posisi Sripeni Inten Cahyani yang hingga kini masih menjabat sebagai pelaksana tugas (plt) dirut PLN dirasa belum cukup ideal dalam melakukan sejumlah program di PLN lantaran persoalan status.

Meskipun begitu, kata Fabby, penting bagi Menteri BUMN Erick Thohir mempunyai konsep untuk memperkuat tata kelola PLN dan struktur manajemen yang dapat membuat PLN efektif mengatasi tantangan ke depan. Ini termasuk mencari kriteria direksi yang dapat menghadapi tantangan tersebut.

“Jadi walaupun ada urgensi tapi sebaiknya tidak buru-buru atau grasa-grusu, tapi saya harapkan di awal 2020 sudah ada direksi (PLN) definitif,” lanjutnya.

Pantauan Republika.co.id, Plt Dirut PLN Sripeni Inten Cahyani terlihat mendatangi Kantor Kementerian BUMN pada Rabu (30/10) sekira pukul 13.00 WIB. Inten didampingi Direktur Pengadaan Strategis I PLN Djoko Rahardjo Abumanan. Inten enggan memberikan jawaban saat ditanya tentang wacana adanya dirut definitif PLN. Dia menilai kehadirannya ke Kantor Kementerian BUMN tidak ada kaitannya dengan posisi dirut PLN yang masih lowong.

“Menghadap Pak Deputi (Kementerian BUMN), mau konsolidasi, update saja,” kata Inten.

Artikel asli

Batubara Masuk Komponen Tarif Listrik

Rabu, 30 Oktober 2019/ 22:46 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Keputusan pemerintah memasukkan harga patokan batubara menjadi salah satu faktor dalam penentuan penyesuaian tarif listrik menuai tanggapan dari sejumlah pihak.

Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan ketiga atas Permen ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang tarif tenaga listrik yang disediakan oleh PT PLN (Persero).

Dengan beleid yang diteken oleh Menteri ESDM Ignatius Jonan pada 10 Oktober 2019 saat itu, PLN dapat melakukan penyesuaian tarif pada 13 golongan pelanggan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan, pemerintah perlu memperhatikan aspek transparansi.

“Perlu dijelaskan kepada publik berapa harga energi primernya, dan komponen lainnya berapa sehingga nanti bisa diawasi. Jika dalam keseluruhan biaya produksi turun ya tarif turun, dan sebaliknya,” sebut Fabby kepada Kontan.co.id, Rabu (30/10).

Lebih jauh Fabby menjelaskan, penetapan tarif biasanya didasari dengan asumsi atau acuan harga energi primer yang menyumbang terhadap produksi listrik PLN. Perubahan pada energi primer ini lah yang akan berdampak pada naik atau turunnya tarif selain komponen inflasi dan nilai tukar.

Poin tersebut yang dinilai Fabby penting untuk disampaikan kepada publik. Fabby menilai kehadiran komponen batubara akan berdampak positif bagi PLN.

Dalam catatan Kontan.co.id, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku tak lagi bersikeras meminta perpanjangan harga patokan batubara untuk kelistrikan sebesar US$ 70 per ton yang akan berlaku hingga akhir tahun ini.

Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani mengungkapkan, pihaknya mengambil langkah tersebut lantaran pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menetapkan 13 golongan tarif tenaga listrik yang akan terkena penyesuaian tarif alias tariff adjustment.

“Nggak (meminta diperpanjang harga patokan batubara US$ 70 per ton) kalau sudah ada tariff adjustment. Karena memperhitungkan bagaimana fluktuasi harga batubara acuan sebagai indikator kebijakan (penyesuain tarif),” ungkap Sripeni saat ditemui di peluncuran SPKLU di kawasan BSD, Serpong, Senin (28/10).

Tariff adjustment tersebut bisa dilaksanakan setiap tiga bulan apabila terjadi perubahan, baik peningkatan maupun penurunan salah satu dan/atau beberapa faktor yang dapat mempengaruhi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik.

Beleid tersebut menyebutkan empat faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian BPP, yakni: nilai tukar dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah (kurs), Indonesian Crude Price (ICP), inflasi, dan harga patokan batubara.

Artinya, turun atau naiknya tarif listrik untuk 13 golongan tersebut bergantung dari pergerakan harga keempat komponen tersebut.

“Jadi ini kan sebagai antisipasi karena harga patokan berakhir di tahun ini. Saat ini harga batubara sedang rendah, dan saat yang tepat untuk merumuskan kembali,” kata Sripeni.

Saat ini, harga batubara yang tercermin dari Harga Batubara Acuan (HBA) memang terus menurun di bawah harga patokan US$ 70 per ton. Bahkan, HBA Oktober 2019 telah menyentuh US$ 64,8 per ton, terendah dalam tiga tahun terakhir.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia berharap kehadiran aturan ini dapat berdampak positif bagi industri batubara.

“Kami berharap PLN dapat membeli batubara dengan harga pasar, dengan demikian akan turut mendukung perbaikan kondisi batubara nasional,” jelas Hendra kepada Kontan.co.id, Rabu (30/10).

Lebih jauh Hendra menjelaskan, harga batubara berpeluang membaik pada November mendatang kendati tidak signifikan. Menurut Hendra, jelang akhir tahun di mana memasuki musim dingin, permintaan batubara akan cenderung meningkat.

Artikel asli

Perubahan regulasi PLTS atap tingkatkan masyarakat berinvestasi

Jumat, 25 Oktober 2019 21:28 WIB

Jakarta (ANTARA) – Perubahan regulasi mengenai pembangkit listrik tenaga surya untuk atap mampu mendorong masyarakat umum dan industri untuk berinvestasi pada perangkat tersebut Institute for Essential Services Reform (IESR) memuji tindakan Menteri ESDM 2016 – 2019, Ignasius Jonan, pada akhir masa jabatannya yang melakukan revisi terhadap Permen ESDM No. 49/2018 tentang penggunaan sistem PLTS atap oleh pelanggan PLN, mengeluarkan Permen ESDM No. 12/2019 tentang kapasitas pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri berdasar izin operasi, dan Permen ESDM No. 16/2019 tentang perubahan kedua Permen ESDM No. 49/2019 tentang biaya kapasitas untuk pelanggan industri.

Analisa IESR menunjukan bahwa ketiga Permen ESDM ini dapat meningkatkan minat masyarakat umum, industri, dan bisnis untuk berinvestasi pada pembangkit listrik tenaga surya atap, berdasarkan keterangan yang diterima Antara di Jakarta, Jumat.

“Dengan potensi energi surya yang cukup tinggi dan dalam upaya mengejar pencapaian target rencana umum energi nasional (RUEN), tiga regulasi terkait PLTS atap yang dikeluarkan oleh Menteri Jonan kami yakini dapat mendorong minat konsumen PLN untuk memasang listrik tenaga surya atap dan memicu pemanfaatan energi surya di Indonesia untuk mencapai target 6,5 GW pada 2025,” kata Fabby Tumiwa, selaku Direktur Eksekutif IESR

IESR memberikan apresiasi kepada Menteri Jonan yang bersedia menerima masukan dan rekomendasi dari berbagai stakeholders dan akhirnya melakukan perbaikan regulasi PLTS atap paska keluarnya Permen ESDM No. 49/2018. Yaitu menaikkan batas kapasitas untuk ketentuan izin operasi dari 250 kVA menjadi 500 kVA dan tidak mewajibkan adanya Sertifikat Laik Operasi/SLO oleh Lembaga Inspeksi Teknik/LIT untuk instalasi sampai 500 kVA sepanjang perangkat dan pemasangan sesuai dengan standar keteknikan (Permen ESDM No. 12/2019).

Selain itu, Ignasius Jonan juga menerbitkan revisi atas ketentuan biaya kapasitas untuk pelanggan sektor industri, dengan menurunkannya dari 40 jam per bulan menjadi 5 jam (Permen ESDM No. 16/2019).

“Ignasius Jonan telah meletakkan sebuah dasar yang cukup baik untuk perkembangan listrik
surya atap selanjutnya, selain regulasi yang cukup suportif, ada pula inisiatif Peta Jalan Energi
Surya yang digagas oleh Dirjen EBTKE yang memetakan berbagai potensi untuk melakukan
akselerasi pengembangan energi surya dalam rangka mencapai target RUEN pada 2025,” kata Fabby.

Indonesia memiliki potensi energi surya yang besar. Kajian IESR (2019) menemukan potensi
PLTS atap untuk bangunan rumah di Indonesia dapat mencapai 655 GWp. Potensi pasar PLTS
atap untuk bangunan rumah di Jawa-Bali juga mencapai 12-15 GWp sampai 2030.

Perhitungan IESR atas potensi PLTS atap di berbagai gedung perkantoran milik Pemda DKI
Jakarta dan semua gedung utama kementerian Republik Indonesia, serta kantor-kantor direktorat
dan KPP milik Kementerian Keuangan yang berlokasi di Jakarta mencapai 9,3 MWp, potensi
yang cukup besar mengingat banyak gedung kantor di Jakarta yang menempati bangunan
tinggi (high-rise) dengan luasan atap terbatas.

Sementara itu, kajian IESR yang berjudul Peta Jalan untuk Sektor Kelistrikan Indonesia (2019) juga mengindikasikan bahwa sistem Jawa-Bali dan Sumatra dapat mengakomodasi 19-35 GW kapasitas PLTS (di atas atap, skala utilitas di atas tanah, dan terapung) pada 2027.

Artikel asli: Antara News

Siaran Pers 25 Oktober 2019 – Revolusi energi surya dimulai!

IESR memberikan apresiasi kepada Menteri Jonan yang bersedia menerima masukan dan rekomendasi dari berbagai stakeholders dan akhirnya melakukan perbaikan regulasi PLTS atap paska keluarnya Permen ESDM No. 49/2018 yaitu menaikkan batas kapasitas untuk ketentuan izin operasi dari 250 kVA menjadi 500 kVA dan tidak mewajibkan adanya Sertifikat Laik Operasi/SLO oleh Lembaga Inspeksi Teknik/LIT untuk instalasi sampai 500 kVA sepanjang perangkat dan pemasangan sesuai dengan standar keteknikan (Permen ESDM No. 12/2019). Selain itu, Ignasius Jonan juga menerbitkan revisi atas ketentuan biaya kapasitas untuk pelanggan sektor industri, dengan menurunkannya dari 40 jam per bulan menjadi 5 jam (Permen ESDM No. 16/2019).

Redupnya Proyek 35.000 MW Jokowi di Tengah Terseok-seoknya Industri

Oleh: Vincent Fabian Thomas – 15 Oktober 2019 | Tirto.id

Proyek 35 ribu megawatt jauh dari ekspektasi pemerintah. Asumsi pertumbuhan ekonomi dan investasi yang meleset membuat megaproyek makin tak pasti. tirto.id – Periode pertama Presiden Joko Widodo akan berakhir dalam waktu kurang dari sepekan. Per tanggal 20 Oktober 2019, ia akan memulai periode keduanya dengan limpahan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Salah satunya, pembangunan pembangkit 35 ribu megawatt (MW) yang masih jauh dari target. Diluncurkan pada Mei 2015, di Gadingsari, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, megaproyek yang semula diharapkan rampung dalam lima tahun itu molor dan mengalami penjadwalan ulang menjadi 2023-2024. Banyak problem yang membuatnya tak sesuai rencana. Salah satunya, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa, lantaran kesalahan dalam proses perencanaan. Saat diluncurkan, proyek tak bisa langsung dimulai lantaran pemerintah masih perlu mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai peta jalan atau master plan pelaksanaannya. Alhasil lelang dan pengadaan baru dilaksanakan 2016-2017 dan konstruksi di akhir 2017. Di samping itu, pasokan listrik 35 ribu MW ditetapkan dengan dengan memperhitungkan pertumbuhan rata-rata ekonomi Indonesia sebesar enam persen tiap tahun ditambah pertumbuhan konsumsi listrik 7.000 MW per tahun. Tingginya asumsi itu sejalan dengan ekpsektasi pemerintah bahwa akan banyak industri bermunculan dan permintaan listrik makin besar. Namun, hampir genap 5 tahun, tak satu pun asumsi itu terpenuhi. “Jadi perencanaannya 2 kali lebih tinggi dari kondisi riil. Pertumbuhan ekonomi sekarang di kisaran 5 persen dan permintaan listrik di bawah 5 persen,” ucap Fabby saat dihubungi reporter Tirto, Senin (14/10/2019).

Jika dilihat dengan capaian pemerintah saat ini, asumsi yang ditetapkan untuk proyek tersebut memang terlalu ambisius. Dari lima puluh target kawasan ekonomi khusus (KEK)–dalam kurun lima tahun–misalnya, pemerintah cuma sanggup memenuhi 13 KEK. Tak hanya itu, pertumbuhan industri manufaktur Indonesia juga mengalami kontraksi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2019, pertumbuhan industri terus turun dari 4,85 persen di 2017 ke 3,98 persen di 2019. Tak ayal pada Juli 2019, pemerintah mulai mengeluarkan pernyataan pesimistis. Proyek pembangkit 35 ribu MW, kata Menteri ESDM Ignasius Jonan, tetap berjalan tetapi “menyesuaikan” dengan kebutuhan masyarakat dunia usaha. Per Agustus 2019 lalu, berdasarkan catatan IESR, pembangkit yang sudah beroperasi komersial (commercial operation date/COD) baru menyentuh 3.600 MW. Sekitar 22 ribu MW masih dalam tahap konstruksi dan baru COD secara bertahap mulai 2021, sementara sekitar 9.600 MW masih dalam tahap perencanaan maupun pelelangan. Konsumsi Listrik Stagnan Lalu bagaimana dengan konsumsi masyarakat? Jika pun proyek pembangkit tersebut terealisasi, Fabby menilai rumah tangga tak akan bisa mengisi gap 35 ribu MW yang disisakan oleh industri. Pasalnya, prioritas pemerintah dalam target elektrifikasi 98 persen per 2019 umumnya ditujukan untuk masyarakat berpendapatan rendah dengan kapasitas daya terpasang 450 VA dan 900 VA. Dari total 98 persen itu, ada 1,5-2 juta rumah tangga di antaranya hanya membutuhkan listrik untuk penerangan. Dan itu pun bisa tercukupi lewat penggunaan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE). Belum lagi, selama ini konsumsi listrik dalam produk yang efisien dan hemat energi juga tidak bisa dipungkiri terus berkembang. IESR dan Universitas Monash University Australia pada Maret 2019 pun sempat membuat kajian soal akibat perbedaan asumsi kebutuhan listrik ini. Hasilnya menunjukkan adanya surplus kapasitas listrik sebesar 13 GW.

Lantaran itu pula, IESR pernah mengusulkan agar pemerintah meninjau ulang target 35 ribu MW. Sebab jika tidak, PLN akan kelimpungan untuk menjual listrik yang dibeli mahal dari swasta. “Jadi bagus itu dimundurkan. Kalau tidak PLN akan kesulitan membeli listriknya. Dia enggak akan bisa jual,” ucap Fabby. Peneliti Ekonomi-Energi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan, megaproyek 35 ribu MW bisa saja dilanjutkan pemerintah. Asalkan, kata dia, realisasinya harus diundur atau paling tidak harus berbarengan dengan pesatnya pertumbuhan foreign direct investment atau penanaman modal asing. Sebab, industri juga butuh kepastian ketersediaan energi agar ongkos bahan bakar yang mereka gunakan tidak terlampau mahal. “Kalau asumsinya enggak tercapai, cukup undur waktunya aja. Kalau listrik enggak tumbuh saat industri bertambah bisa ada keterlambatan,” ucap Fahmy saat dihubungi reporter Tirto Senin (14/10/2019). Terlepas ada kekeliruan membuat prediksi di awal, Fahmy berpandangan lembaga terkait seperti Kemenperin, Kemendag, dan BKPM perlu ikut bertanggung jawab. Menurutnya jika pertumbuhan industri Indonesia terjaga dan pesat maka proyek ini seharusnya tidak mengalami masalah realisasi. “Periode kedua Jokowi harus bisa benahi kerja kementerian terkait untuk mendorong investasi di industri. Jadi ada permintaan listrik,” ucap Fahmy. “Soal ini memang bukan urusan PLN tapi kementerian terkait yang harus bisa genjot investasi dan industri,” pungkasnya.

Artikel asli: https://tirto.id/ejJH

Siaran Pers 25 September 2019: Pidato JK di KTT PBB Iklim – Indonesia sedang bermain-main dengan krisis iklim

Respon IESR terhadap pidato Wakil Presiden (Jusuf Kalla) di KTT PBB Iklim (UN Climate Action Summit) di New York, USA
_____
“Kita sedang dalam keadaan darurat iklim. Kebakaran hutan dan lahan yang telah terjadi di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan semakin memburuk sebagai dampak dari perubahan iklim. Indonesia sudah melakukan beberapa pendekatan untuk mengatasi tantangan yang sangat besar ini, untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan mitigasi demi meningkatkan ambisi perubahan iklim, untuk melakukan aksi iklim yang konkrit dan realistis untuk dapat dilakukan saat ini.”

ENGLISH VERSION

Siaran Pers 18 September 2019 – Peluncuran IETD Ke-2

The 2nd Indonesia Energy Transition Dialogue:

Memfasilitasi Diskursus Transisi Menuju Energi Bersih di Indonesia

Jakarta, Rabu, 18 September 2019Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) kedua yang akan diselenggarakan pada 13-14 November 2019 di Tribrata Meeting & Convention Center, Jakarta. Dialog tahun kedua ini diharapkan dapat memperkuat konsep dan memfasilitasi diskursus transisi menuju energi bersih di tanah air untuk memastikan transisi energi yang lancar.

 

Siaran Pers 17 September: Jawa Tengah Solar Revolution 2019

Jawa Tengah Siap Menjadi Provinsi Energi Surya

Provinsi Jawa Tengah memiliki potensi energi surya 4,05 kWh/kWp per hari, di atas rata-rata Indonesia (3,75 kWh/kWp). Apabila potensi ini dimanfaatkan dalam bentuk pembangkit listrik surya atap yang diharapkan dapat membantu Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam mencapai target Rencana Umum Energi Daerah (RUED) tahun 2020 sebesar 11,60%. Jawa Tengah juga merupakan provinsi pertama yang menyelesaikan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dan pengembangan energi surya menjadi salah satu bagian rencana strategis (renstra) Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah.

 

Siaran Pers 05 September 2019: Investor asing lari ke Vietnam

Investor lari ke Vietnam: Kerangka kebijakan dan regulasi di Indonesia tidak menarik. Presiden Jokowi perlu evaluasi kebijakan dan regulasi sektoral yang menghambat investasi di bidang energi  

Menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (4/9/2019) yang kecewa bahwa investasi yang pindah dari Tiongkok masuk ke Vietnam bukan ke Indonesia, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyarankan agar pemerintah Jokowi melakukan introspeksi dan evaluasi atas kebijakan dan peraturan di tingkat sektoral yang dibuat beberapa tahun terakhir yang justru membuat risiko investasi di Indonesia meningkat dan membuat investor menunda berinvestasi di Indonesia.

Menurut Fabby, minimnya Foreign Direct Investment (FDI) di bidang energi dalam 3 tahun terakhir karena kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan tidak mempertimbangkan persepsi risiko investor.

Selain itu ada ketidakselarasan antara regulasi teknis dengan kebijakan utama juga membuat investor ragu-ragu.

Dalam konteks Investasi di sektor Energi, sejumlah investor energi terbarukan sebenarnya bersiap berinvestasi di Indonesia pada 2014-2016. Pada saat itu mereka melihat peluang investasi dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 79/2014 yang mematok target energi terbarukan 23%. Pengalaman Indonesia dengan adanya kebijakan feed in tariff sebelumnya dinilai sebagai faktor positif oleh investor. Sayangnya adanya pergantian Menteri ESDM pada 2016 lalu sebanyak 4 kali dan diikuti dengan lahirnya berbagai kebijakan Menteri ESDM yang berkaitan dengan energi terbarukan melalui Permen ESDM No. 10/2017, 12/2017 jo 50/2017, Permen No. 49/2018 dan peraturan lainnya yang bertolak belakang dengan kebijakan sebelumnya, justru mematikan minat investasi dari investor-investor asing dan domestik.

Menurut analisa IESR, peraturan-peraturan ini justru meningkatkan ketidakpastian, menambah risiko, ketidakpastian proses bisnis untuk merealisasikan proyek yang memberikan tingkat pengembalian investasi yang wajar, serta membuat lembaga keuangan enggan membiayai proyek-proyek tersebut.

“Hasil dari regulasi yang dibuat oleh Menteri ESDM seperti yang kita lihat adalah pertumbuhan jumlah pembangkit energi terbarukan di era 2014-2019 lebih rendah dari periode sebelumnya. Itu pun berasal dari proyek-proyek yang sudah disiapkan sebelum 2014 dan 2015, yang kemudian berhasil COD dalam 1 dan 2 tahun belakangan ini. Sementara itu proyek-proyek baru justru mengalami kendala bankability,” kata Fabby.

Investor-investor yang awalnya melirik Indonesia sejak 2016 menjadi hijrah ke Vietnam. Dengan kebijakan dan regulasi yang lebih menarik, Vietnam mengalami booming dalam investasi energi terbarukan. Kualitas kebijakan dan regulasi di Vietnam memberikan kepastian usaha yang lebih baik, proses bisnis yang lebih jelas dan tingkat pengembalian ekonomi proyek yang lebih baik dibandingkan proyek di Indonesia. Menurut Fabby, faktor-faktor ini membuat investor lebih nyaman berinvestasi di Vietnam ketimbang di Indonesia.

Hasilnya, sejak 2017 hingga Juni 2019, energi surya bertumbuh menjadi 4,5 GW. Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Angin (wind power) dari 0 menjadi 228 MW pada akhir 2018. Saat ini pemerintah Vietnam sedang mempersiapkan proyek baru untuk  mengejar target kapasitas PLTB menjadi 800 MW pada 2020.

IESR mendesak pemerintah Jokowi melakukan evaluasi yang serius atas kebijakan dan regulasi di bidang energi untuk merevitalisasi minat investor, khususnya regulasi-regulasi di bidang energi terbarukan. Hasil perhitungan IESR menunjukan untuk mencapai target energi terbarukan sebanyak 23% dari bauran energi pada 2025, dibutuhkan investasi sebesar $70-120 miliar. Sekitar 80-85% dari kebutuhan investasi ini diperkirakan berasal dari investor swasta domestik dan asing.

Jika Presiden serius menarik investasi energi terbarukan yang berasal dari Foreign Direct Investment (FDI) yang dibutuhkan Indonesia saat ini, maka perlu ada upaya untuk merombak total arah kebijakan dan regulasi serta instrumen pendukung untuk energi terbarukan kata Fabby Tumiwa.

Jakarta, 5 September 2019

Unduh versi PDF