Rabu, 30 Oktober 2019/ 22:46 WIB
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Keputusan pemerintah memasukkan harga patokan batubara menjadi salah satu faktor dalam penentuan penyesuaian tarif listrik menuai tanggapan dari sejumlah pihak.
Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan ketiga atas Permen ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang tarif tenaga listrik yang disediakan oleh PT PLN (Persero).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan, pemerintah perlu memperhatikan aspek transparansi.
“Perlu dijelaskan kepada publik berapa harga energi primernya, dan komponen lainnya berapa sehingga nanti bisa diawasi. Jika dalam keseluruhan biaya produksi turun ya tarif turun, dan sebaliknya,” sebut Fabby kepada Kontan.co.id, Rabu (30/10).
Lebih jauh Fabby menjelaskan, penetapan tarif biasanya didasari dengan asumsi atau acuan harga energi primer yang menyumbang terhadap produksi listrik PLN. Perubahan pada energi primer ini lah yang akan berdampak pada naik atau turunnya tarif selain komponen inflasi dan nilai tukar.
Poin tersebut yang dinilai Fabby penting untuk disampaikan kepada publik. Fabby menilai kehadiran komponen batubara akan berdampak positif bagi PLN.
Dalam catatan Kontan.co.id, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku tak lagi bersikeras meminta perpanjangan harga patokan batubara untuk kelistrikan sebesar US$ 70 per ton yang akan berlaku hingga akhir tahun ini.
Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani mengungkapkan, pihaknya mengambil langkah tersebut lantaran pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menetapkan 13 golongan tarif tenaga listrik yang akan terkena penyesuaian tarif alias tariff adjustment.
“Nggak (meminta diperpanjang harga patokan batubara US$ 70 per ton) kalau sudah ada tariff adjustment. Karena memperhitungkan bagaimana fluktuasi harga batubara acuan sebagai indikator kebijakan (penyesuain tarif),” ungkap Sripeni saat ditemui di peluncuran SPKLU di kawasan BSD, Serpong, Senin (28/10).
Tariff adjustment tersebut bisa dilaksanakan setiap tiga bulan apabila terjadi perubahan, baik peningkatan maupun penurunan salah satu dan/atau beberapa faktor yang dapat mempengaruhi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik.
Beleid tersebut menyebutkan empat faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian BPP, yakni: nilai tukar dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah (kurs), Indonesian Crude Price (ICP), inflasi, dan harga patokan batubara.
Artinya, turun atau naiknya tarif listrik untuk 13 golongan tersebut bergantung dari pergerakan harga keempat komponen tersebut.
“Jadi ini kan sebagai antisipasi karena harga patokan berakhir di tahun ini. Saat ini harga batubara sedang rendah, dan saat yang tepat untuk merumuskan kembali,” kata Sripeni.
Saat ini, harga batubara yang tercermin dari Harga Batubara Acuan (HBA) memang terus menurun di bawah harga patokan US$ 70 per ton. Bahkan, HBA Oktober 2019 telah menyentuh US$ 64,8 per ton, terendah dalam tiga tahun terakhir.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia berharap kehadiran aturan ini dapat berdampak positif bagi industri batubara.
“Kami berharap PLN dapat membeli batubara dengan harga pasar, dengan demikian akan turut mendukung perbaikan kondisi batubara nasional,” jelas Hendra kepada Kontan.co.id, Rabu (30/10).
Lebih jauh Hendra menjelaskan, harga batubara berpeluang membaik pada November mendatang kendati tidak signifikan. Menurut Hendra, jelang akhir tahun di mana memasuki musim dingin, permintaan batubara akan cenderung meningkat.