Jakarta, 23 Desember 2019
“Kita butuh kepastian investasi, sekian tahun ke depan ada kejelasannya,” kata Gatot S Prawiro, Chief Bussines Development Maxpower Indonesia, satu pengembang energi terbarukan di daerah terpencil, memberikan pandangan.
Dia mengingatkan, apapun regulasi yang pemerintah bikin, pengusaha dan pengembang energi terbarukan memerlukan konsistensi dan kejelasan aturan.
Serupa dikatakan pendiri Xurya, pengembang surya atap, Eka Himawan. Dia bilang, pemerintah tinggal bikin peraturan dan kalau sudah jadi jangan berubah-ubah terus.
“Karena kalo berubah-ubah, bingung. Asumsi berbeda-beda. Kalau investasi kan perlu bikin perencanaan ke depan. Perlu konsisten dengan aturan,” katanya.
Jaya Wahono pendiri dan CEO Clean Power Indonesia juga memberikan pandangan mengenai hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia, ke depan.
Pertama, memberikan insentif kepada daerah yang aktif mendorong pembangunan energi terbarukan secara masif terutama dalam menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).
Kedua, PLN perlu mendapat mandat yang jelas dalam membeli listrik dr sumber energi terbarukan terutama bila bisa menurunkan biayapokok penyediaan (BPP) jangka panjang bukan sekadar BPP tahunan.
Ketiga, PLN wajib menaikkan konsumsi listrik di wilayah-wilayah tertinggal terutama untuk mendorong investasi dan pembukaan lapangan kerja secara masif.
Keempat, bank nasional dapat mandat untuk menyalurkan pendanaan murah bagi pembangunan energi terbarukan di daerah-daerah tertinggal. Ia bisa dengan skema subsidi bunga dan prinsipal pinjaman yang dibiayai dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang baru terbentuk.
Kelima, badan usaha yang mempunyai rencana membeli listrik dari sumber energi terbarukan mendapatkan keringanan pajak dan kemudahan membeli dari pengembang langsung tanpa harus melalui PLN.
Medio Desember lalu, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO), sebuah laporan akhir tahun ketiga, mengulas kemajuan pengembangan energi bersih di tanah air, dan meninjau prospek perkembangan pada 2020.
Merujuk laporan ini, tambahan kapasitas terpasang energi terbarukan sebesar 385 MW tahun ini, tak berdampak signifikan terhadap kemajuan pembangunan energi terbarukan dalam mengejar pencapaian target kapasitas 45 GW pada 2025 sesuai target rencana umum energi nasional (RUEN).
Untuk itu, masih sangat perlu komitmen politik pemerintah yang dituangkan dalam kebijakan dan regulasi progresif serta perbaikan iklim investasi hingga mengakselerasi pembangunan energi bersih di Indonesia. Juga bertransisi menuju sistem energi lebih bersih, kompetitif, dan handal.
Tahun lalu, IESR memperkirakan prospek energi terbarukan stagnan pada 2019 dalam laporan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) kedua. Dua indikasi yang disampaikan dalam laporan itu, yakni kondisi politik dinamis selama pemilihan umum dan kebijakan serta peraturan tak kondusif. Hal itu setidaknya masih relevan untuk jadi basis penilaian kemajuan pembangunan energi bersih tahun 2020.
Fabby Tumiwa, Direktur IESR saat peluncuran di Jakarta, mengatakan, laporan ICEO tahun ketiga ini lebih rinci menyoroti dua faktor utama yang masih jadi penghambat percepatan pengembangan energi terbarukan di tanah air.
Faktor pertama, bankability dari Power Purchase Agreements (PPAs) yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 10 dan No. 50/2017. Aturan ini membuat 27 dari 75 kontrak jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) proyek energi terbarukan masih berjuang dalam mencapai financial closed. Bahkan, lima PPA sudah diterminasi pada Oktober 2019.
Kedua, skema insentif bagi proyek energi terbarukan tak kompetitif dan situasi politik serta masa transisi pemerintahan baru mengakibatkan capaian investasi energi terbarukan rendah tahun ini, sebesar US$1,17 miliar dari target US$1,8 miliar atau baru 65% per September 2019. Kontribusi proyek energi panas bumi, US$0.52 juta, jadi andalan pemerintah dari total capaian investasi itu.
“Secara umum, total investasi energi terbarukan ini masih sangat kecil untuk mencapai target bauran energi dalam RUEN tahun 2025 yang diperkirakan memerlukan investasi US$70-US$90 miliar.”
Selain itu, dalam hal investasi energi terbarukan, Indonesia berkompetisi dengan sesama negara ASEAN lain, terutama Vietnam, Malaysia, Filipina dan Thailand.
Dalam tiga tahun terakhir, negara-negara ini mengalami kenaikan kapasitas pembangkit energi terbarukan yang cukup tinggi ditandai dengan arus investasi mengalir dari luar.
“Di era energi terbarukan, semua negara punya sumber daya energi terbarukan relatif setara dan dapat dikembangkan,” kata Fabby.
Investor punya pilihan cukup banyak dan leluasa memilih negara yang memberikan pengembalian investasi menarik dan risiko kecil. Dengan kondisi ini, kualitas kebijakan dan regulasi akan menentukan daya saing Indonesia menarik investasi energi terbarukan, khusus investasi asing.
Di sektor efisiensi energi, kata Fabby, usaha-usaha mencapai target penurunan intensitas energi final sebesar 1% per tahun, harus lebih fokus kepada tiga sektor kunci yang menyumbang konsumsi energi terbesar: transportasi, industri, dan rumah tangga. Dari 2013-2018, ketiga sektor ini tercatat sebagai sektor yang mendominasi 44%, 33%, dan 15% secara berturut-turut dari konsumsi energi final.
Akselerasi penggunaan kendaraan listrik, peningkatan konservasi energi di sektor industri, dan perbaikan standar serta pelabelan energi untuk peralatan listrik rumah tangga, jadi beberapa opsi yang teridentifikasi dalam laporan ICEO dalam meningkatkan usaha-usaha di sektor ini.
2020, tahun penentu
Meskipun demikian, IESR juga mengidentifikasi tiga hal yang cukup progresif tahun ini. Pertama, ada peningkatan dan minat penggunaan pembangkit listrik surya atap yang makin dilirik oleh kementerian, lembaga, dan badan usaha di tingkat pusat dan daerah, pelaku usaha industri, bangunan komersial dan residensial.
Kedua, konsumsi biodiesel juga meningkat seiring program B20 yang digalakan sejak awal 2019. Ketiga, sektor transportasi, ada Peraturan Presiden No. 55/2019 tentang kendaraan listrik mengisyaratkan komitmen dan dukungan politik kuat dalam mengembangkan teknologi baru ini di tanah air.
Selain membahas status dan perkembangan energi bersih pada 2019, laporan ini juga menyimpulkan pada 2020 sebagai momentum penentu dan titik balik mengejar ketertinggalan. Baik dalam mencapai target-target di tanah air, maupun kemajuan energi terbarukan pada tingkat regional.
“Pemerintah perlu memperhatikan sejumlah hal,” kata Jannata Giwangkara, Manajer Program Tranformasi Energi IESR.
Pertama, kabinet dan konfigurasi posisi baru di kementerian dan lembaga terkait harus bisa mendapatkan kembali kepercayaan investor di kuartal pertama 2020.
Caranya, dengan memberikan sinyal politik dan rencana aksi terperinci yang tertuang dalam perbaikan kebijakan dan regulasi dalam mempercepat pembangunan energi terbarukan dan implementasi efisiensi energi.
Perbaikan itu, katanya, mencakup reintroduksi feed in tariff (FiT), ada instrumen pendanaan khusus untuk proyek energi terbarukan skala kecil misal di bawah 10 MW, penerapan skema lelang terbalik (reverse auction) untuk proyek energi terbarukan skala utilitas. Juga, alokasi risiko adil antara independent power producer (IPP) dan PLN, dan perbaikan-perbaikan kebijakan dalam mendorong implementasi efisiensi energi.
Perbaikan itu, katanya, seperti penerapan mandatori manajemen energi ke lebih banyak perusahaan di setiap sektor industri, transportasi, dan bangunan, dan penerapan standar kinerja energi minimum (SKEM) untuk peralatan listrik yang lebih banyak dan standar lebih tinggi.
Kedua, berbagai inisiatif terkait energi bersih oleh aktor non-pemerintah dan pemerintah daerah perlu terus didukung dan difasilitasi. Lebih 200 perusahaan multinasional, 40 beroperasi di Indonesia, adalah anggota RE100 dengan pendapatan gabungan hingga US$4,5 triliun. Mereka kini berkomitmen gunakan 100% energi terbarukan di seluruh fasilitas operasional global pada 2030.
Peraturan yang mengatur implementasi power wheeling (akses terbuka penggunaan transmisi jaringan oleh swasta), katanya, dapat jadi pilihan untuk menyelesaikan akses listrik terbarukan perusahaan RE100 dan lain-lain.
Kemudian, kata Jannata, hambatan-hambatan seperti perencanaan, pembiayaan, dan koordinasi dengan PLN dalam implementasi inisiatif-inisiatif di pemerintah daerah harus dapat tertangani. Dengan begitu, bisa merealisasikan berbagai inisiatif jadi proyek nyata.
Ketiga, perlu lebih dari sekadar peraturan untuk memulai revolusi surya dan kendaraan listrik. “Kedua teknologi ini kami proyeksikan dapat jadi pionir penggerak dalam transisi menuju energi bersih di tanah air.”
Proses akuisisi lahan cukup menyulitkan, skema pendanaan kurang atraktif, transparansi proses pengadaan kurang dan timeline tak menentu. Juga, pengembangan industri manufaktur surya yang status quo merupakan beberapa hambatan utama yang perlu mendapatkan perhatian dalam merevolusi energi surya.
Sedangkan, dalam memulai industri dan meningkatkan penetrasi kendaraan listrik dengan cepat perlu insentif fiskal, antara lain, pembebasan pajak kendaraan listrik dan pembangunan infrastruktur pengisian listrik agresif, minimal 30.000 Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) sebelum 2025.
“Presiden Jokowi harus menyadari, Indonesia sedang diamati dunia dalam memerangi krisis iklim melalui pengembangan energi terbarukan dan transisi menuju sistem energi bersih,” kata Fabby.
Lima tahun ini, katanya, Indonesia menyia-nyiakan kesempatan jadi jawara energi terbarukan di ASEAN. Saat ini, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga, padahal memiliki ragam sumber daya energi terbarukan.
“Saat ini, kita Indonesia bukan primadona investor energi bersih, tapi bisa kalau ada transformasi yang revolusioner melalui kebijakan dan regulasi serta insentif yang disediakan pemerintah,” katanya.
Untuk itu, IESR kembali mendesak Jokowi agar menunjukkan komitmen politik dan memimpin pengembangan energi bersih di Indonesia. Presiden, katanya, perlu memberikan instruksi jelas dan kuat kepada kementerian sektoral dan lembaga terkait dalam mempercepat pengembangan dan mendorong investasi energi terbarukan.
Halim Sari Wardana, Sekretaris Dirjen EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengatakan, KESDM bersungguh-sungguh mencapai target pembangunan berkelanjutan ketujuh, yakni soal pemenuhan energi merata dan adil.
Lima hal jadi sasaran pemerintah dalam mencapai pembangunan berkelanjutan itu, dengan memenuhi kebutuhan listrik lewat program 35.000 Megawatt melalui energi terbarukan, biodiesel untuk menurunkan gas rumah kaca, penggunaan gas untuk keperluan pariwisata. Juga, kebijakan batubara untuk dalam negeri dan edukasi masyarakat dalam mendukung kebijakan pemerintah.
Meski begitu, Halim membenarkan peran energi fosil dalam pemenuhan kebutuhan energi masih signifikan. “KESDM fokus pada keadilan energi dengan harga yang terjangkau,” katanya.
Saat ini, anggaran KESDM masih banyak untuk pembangunan infrastruktur jaringan gas kota, converter kit untuk nelayan dan lampu tenaga surya hemat energi. Selain untuk pembangunan sumur bor buat kebutuhan air bersih di daerah yang sulit air serta subsidi belanja sektor produktif.
Halim bilang, pemerintah juga fokus pengembangan kendaraan listrik terutama untuk Jawa yang kapasitas listrik berlebih.
Pemerintah, katanya, menyadari pengembangan energi terbarukan sangat menjanjikan di Indonesia. Untuk itu, mengacu kebijakan energi nasional (KEN), pemerintah bikin mandatori biodiesel dan bioethanol, perencanaan pembangunan 12 PLTSa di 12 daerah terpilih dan dukungan untuk PLTS.
“Reformasi di KESDM juga memberikan kemudahan lewat perizinan online yang terintegrasi dengan data sumber daya alam.”
Halim menegaskan, pemerintah menyadari meningkatan bauran energi terbaru akan meningkatkan stabilitas ekonomi karena sumber energi tak bergantung neraca perdagangan internasional.
Saat ini, katanya, pemerintah merevisi sejumlah aturan yang dinilai menghambat investasi energi terbarukan.
Menghadapi proyek energi terbarukan yang tak bankable, kata Halim, pemerintah fokus menyajikan data potensi lebih akurat dan valid.
“Jadi, peluang investasi ada dukungan data.”
Tak hanya potensi, pemerintah juga akan memfasilitasi pasar ataupermintaan, misal, dengan pembangunan eko wisata yang gunakan energi terbarukan.
Soal aturan
Harris, Direktur Aneka Energi Terbarukan KESDM, menambahkan, salah satu regulasi sedang revisi pemerintah yakni Permen 50/2017 tentang pemanfaat sumber energi terbarukan.
Meski tercatat ada 75 kontrak di bawah permen ini, kata Harris, tak semua murni hasil regulasi ini. Beberapa kontrak itu, katanya, hasil penunjukan langsung.
Setelah berjalan dua tahun, kata Harris, pemerintah menyadari ada aspek menghambat investasi dalam permen ini. Penggunaan biaya pokok pembangkitan (BPP) bermasalah untuk sejumlah daerah dengan BPP rendah.
“Untuk BPP tinggi tidak masalah,” katanya.
Untuk Jawa, misal, dengan acuan 7 sen dolar Amerika Serikat per kWh tak memungkinkan pengembangan panas bumi karena biaya pokok pembangkitan lebih mahal.
“Untuk PLTS dengan reverse auction (skema lelang terbalik berdasarkan harga terendah) bisa, tapi nggak banyak.”
Sisi lain, pemerintah juga tahu, negara tetangga makin kompetitif untuk investasi energi terbarukan. Dia sebutkan, Kamboja, bisa menetapkan harga 3,6 sen dolar AS untuk PLTS.
Kabar baiknya, lelang PLTS di Bali Barat dan Bali Timur, saat ini ada yang menawarkan harga 5,8 sen dolar AS per kWh. Selain itu, PLTS apung di Cirata juga akan memasuki jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA) bulan depan.
Kalau PLTS Cirata dengan kapasitas 145 megawatt beroperasi target 46 megawatt pada 2019 dapat tercapai bahkan tiga kali lipat.
Selain BPP, kata Harris, kontrak energi terbarukan membuat investasi energi terbarukan hingga tahun ini tak bankable.
Saat ini, KESDM sedang menyiapkan peraturan presiden yang mengatur pengembangan energi terbarukan. Dalam rancangan aturan yang digodok KESDM, pemerintah hendak kembali menerapkan skema feed in tarrif (FiT), yang pernah berlaku pada 2015-2016. FiT akan berlaku untuk pembangkit energi terbarukan dengan kapasitas hingga 10 megawatt. Khusus PLTA skema FIT juga dipakai untuk kapasitas hingga 20 megawatt.
Untuk pembangkit lebih dari kapasitas itu berlaku negosiasi antara pengembang dengan PLN. Untuk pembangkit lebih 20 mw negosiasi antara PLN pusat dengan pengembang, dan pembangkit kurang 10 megawatt negosiasi dengan PLN wilayah.
Selain itu, kata Harris, berbagai kendala teknis pembangunan pembangkit energi terbarukan juga akan terakomodir dalam regulasi baru ini, antara lain, PLTA garapan Kementerian PUPR yang mandek karena tak bisa menjual listrik ke PLN dan penyediaan lahan untuk PLTS yang kerap jadi kendala.
Dia berharap, dengan perpres ini, kendala lintas kementerian dan lembaga bisa teratasi. Hal ini luput terakomodir dalam permen.
Pemerintah optimis dengan perpres ini akan menyelesaikan kendala listrik dari energi terbarukan yang mahal. Pengalaman dari PLTB Sidrap 75 megawatt, kalau mula-mula harga jual listrik mencapai 11 sen dolar AS, karena tak ada biaya infrastruktur, tahap kedua PLTB ini bisa kurang 7 sen dolar AS.
“Proses (perpres) masih berjalan. Kami sudah komunikasikan draf-nya dengan menteri,” kata Harris.