Gandabhaskara Saputra
Koordinator Komunikasi, IESR
ganda@iesr.or.id
Siaran Pers
Catatan dan Tinjauan Energi Bersih Indonesia:
Menunggu Titik Balik Positif dan Memanfaatkan Momentum untuk Mengejar Ketertinggalan
Jakarta, Selasa, 17 November 2019 – Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO), sebuah laporan akhir tahun yang ketiga yang mengulas kemajuan pengembangan energi bersih (energi terbarukan dan efisiensi energi) di tanah air, dan meninjau prospek perkembangannya di tahun 2020. Merujuk kepada laporan ini, tambahan kapasitas terpasang energi terbarukan sebesar 385 MW di tahun ini tidak berdampak signifikan terhadap kemajuan pembangunan energi terbarukan untuk mengejar pencapaian target kapasitas 45 GW di tahun 2025 sesuai target RUEN. Untuk masih sangat dibutuhkan komitmen politik pemerintah yang dituangkan dalam kebijakan dan regulasi yang progresif dan perbaikan iklim investasi sehingga mengakselerasi pembangunan energi bersih di Indonesia dan bertransisi menuju sistem energi yang lebih bersih, kompetitif, dan handal.
Setahun yang lalu, tepatnya pada 19 Desember 2018, IESR telah memperkirakan prospek energi terbarukan yang stagnan di tahun 2019 dalam laporan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) kedua. Dua indikasi yang disampaikan dalam laporan tersebut (kondisi politik yang dinamis selama pemilihan umum serta kebijakan dan peraturan yang tidak kondusif) setidaknya masih relevan untuk dijadikan basis penilaian kemajuan pembangunan energi bersih di tahun ini.
Secara lebih rinci, laporan ICEO tahun ketiga yang diluncurkan hari ini menyoroti dua faktor utama yang masih menjadi penghambat percepatan pengembangan energi terbarukan (ET) di tanah air. Faktor pertama adalah bankability dari Power Purchase Agreements (PPAs) yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No. 10 dan No. 50 Tahun 2017 yang membuat 27 dari 75 PPA proyek ET masih berjuang untuk mencapai tahap financial close (FC), bahkan 5 PPA sudah diterminasi pada Oktober 2019 lalu. Selanjutnya, skema insentif bagi proyek ET yang tidak kompetitif serta situasi politik dan masa transisi pemerintahan yang baru mengakibatkan capaian target investasi ET yang rendah di tahun ini (USD 1,17 dari 1,8 juta atau baru mencapai 65% per September 2019 lalu). Kontribusi proyek energi panas bumi (sebesar USD 0.52 juta) menjadi andalan pemerintah dari total capaian investasi tersebut. Secara umum, total investasi ET ini masih sangat kecil untuk mencapai target bauran energi dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) di tahun 2025 yang diperkirakan memerlukan investasi USD 70-90 milyar.
Dalam pembukaannya, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, menuturkan “dalam hal investasi energi terbarukan, Indonesia berkompetisi dengan sesama negara ASEAN lainnya, khususnya Vietnam, Malaysia, Filipina dan Thailand. Dalam tiga tahun terakhir, negara-negara ini mengalami kenaikan kapasitas pembangkit energi terbarukan yang cukup tinggi dan yang ditandai dengan mengalirnya arus investasi dari luar. Di era energi terbarukan, semua negara punya sumber daya energi terbarukan yang relatif setara dan dapat dikembangkan. Investor punya pilihan cukup banyak dan leluasa memilih negara yang memberikan pengembalian investasi yang menarik dan risiko yang kecil. Dengan kondisi ini, kualitas kebijakan dan regulasi Indonesia akan menentukan daya saing Indonesia menarik investasi energi terbarukan, khususnya investasi asing.”
Di sektor efisiensi energi, usaha-usaha untuk mencapai target penurunan intensitas energi final sebesar 1% per tahunnya, harus lebih difokuskan kepada tiga sektor kunci yang menyumbang konsumsi energi terbesar: transportasi, industri, dan rumah tangga. Dari tahun 2013 hingga 2018, ketiga sektor ini tercatat sebagai sektor yang mendominasi sebesar 44% (setara 348 juta setara barel minyak – SBM), 33% (setara 250 juta SBM), dan 15% (setara 113 juta SBM) secara berturut-turut dari total konsumsi energi final. Akselerasi penggunaan kendaraan listrik, peningkatan konservasi energi di sektor industri, serta perbaikan standar dan pelabelan energi untuk peralatan listrik untuk rumah tangga menjadi beberapa opsi yang teridentifikasi dalam laporan ICEO dalam meningkatkan usaha-usaha di sektor ini.
Meskipun demikian, IESR juga mengidentifikasi tiga hal yang cukup progresif di tahun ini. Salah satu diantaranya adalah adanya peningkatan dan minat penggunaan PV surya atap yang semakin dilirik oleh Kementerian, lembaga, dan badan usaha di tingkat pusat dan daerah, pelaku usaha industri, bangunan komersial dan residensial. Selanjutnya, konsumsi biodiesel juga meningkat seiring dengan program B20 yang digalakan sejak awal tahun 2019. Terakhir di sektor transportasi, adanya Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang kendaraan listrik mengisyaratkan komitmen dan dukungan politik yang kuat dalam mengembangkan teknologi baru ini di tanah air. Energi surya dan kendaraan listrik ini secara khusus diulas dalam ICEO 2020.
Selain membahas status dan perkembangan energi bersih di tahun 2019, laporan ini juga menyimpulkan tahun 2020 sebagai momentum penentu dan titik balik untuk mengejar ketertinggalan, baik untuk mencapai target-target di tanah air, maupun kemajuan energi terbarukan di tingkat regional. Untuk itu pemerintah perlu memperhatikan sejumlah hal: Pertama, kabinet dan konfigurasi posisi baru di kementerian dan lembaga terkait harus bisa mendapatkan kembali kepercayaan dari investor di kuartal pertama 2020, dengan memberikan sinyal politik dan rencana aksi terperinci yang dituangkan ke dalam perbaikan kebijakan dan regulasi untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan dan implementasi efisiensi energi. Perbaikan tersebut diantaranya mencakup reintroduksi feed in tariff (FiT), adanya instrumen pendanaan khusus untuk proyek ET skala kecil (dibawah 10 MW), penerapan skema lelang terbalik (reverse auction) untuk proyek ET skala utilitas, alokasi risiko yang adil antara independent power producer (IPP) dan PLN, serta perbaikan-perbaikan kebijakan untuk mendorong implementasi efisiensi energi seperti penerapan mandatori manajemen energi ke lebih banyak perusahaan di setiap sektor (industri, transportasi, dan bangunan), dan penerapan SKEM untuk peralatan listrik yang lebih banyak dan standar yang lebih tinggi.
Kedua, berbagai inisiatif terkait energi bersih yang dilakukan oleh aktor non-pemerintah dan pemerintah daerah perlu terus didukung dan difasilitasi. Lebih dari 200 perusahaan multinasional, 40 di antaranya beroperasi di Indonesia, adalah anggota RE100 dengan pendapatan gabungan hingga USD 4,5 triliun yang kini berkomitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan di seluruh fasilitas operasional globalnya pada tahun 2030. Peraturan yang mengatur implementasi power wheeling dapat menjadi pilihan untuk menyelesaikan akses listrik terbarukan yang penting yang diperlukan oleh perusahaan RE100 dan yang lainnya. Selanjutnya, hambatan-hambatan seperti perencanaan, pembiayaan, dan koordinasi dengan PLN dalam implementasi inisiatif-inisiatif di pemerintah daerah harus dapat ditangani dan diselesaikan untuk dapat merealisasikan berbagai inisiatif menjadi proyek yang nyata.
Ketiga, perlu lebih dari sekedar peraturan untuk memulai revolusi surya dan kendaraan listrik. Kedua teknologi ini kami proyeksikan dapat menjadi pionir penggerak dalam transisi menuju energi bersih di tanah air. Proses akuisisi lahan yang cukup menyulitkan, skema pendanaan yang kurang atraktif, transparansi proses pengadaan yang kurang dan timeline yang tidak menentu, serta pengembangan industri manufaktur surya yang status quo merupakan beberapa hambatan utama yang perlu diperhatikan dalam merevolusi energi surya. Sedangkan untuk memulai industri dan meningkatkan penetrasi kendaraan listrik dengan cepat diperlukan insentif fiskal (diantaranya pembebasan pajak kendaraan listrik) dan pembangunan infrastruktur pengisian listrik yang agresif (minimal 30.000 unit SPKLU sebelum tahun 2025).
“Presiden Jokowi harus menyadari bahwa Indonesia sedang diamati dunia dalam upaya memerangi krisis iklim melalui pengembangan energi terbarukan dan transisi menuju sistem energi bersih. Lima tahun ini kita menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi jawara energi terbarukan di ASEAN, saat ini kita jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga padahal Indonesia memiliki ragam sumber daya energi terbarukan. Saat ini kita Indonesia bukan primadona investor energi bersih, tapi kita bisa kalau ada transformasi yang revolusioner melalui kebijakan dan regulasi serta insentif yang disediakan pemerintah,” kata Fabby Tumiwa.
Oleh karena itu, IESR kembali mendesak Presiden Joko Widodo untuk menunjukan komitmen politik dan memimpin pengembangan energi bersih di Indonesia. Presiden perlu memberikan yang jelas dan kuat kepada kementerian sektoral dan lembaga terkait untuk mempercepat pengembangan dan mendorong investasi energi terbarukan.
Dalam diskusi panel penutup, manajer program transformasi energi IESR, Jannata Giwangkara berharap temuan, laporan, serta poin-poin diskusi dalam peluncuran studi ICEO 2020 ini dapat menjadi referensi dan masukan bagi pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan di sektor energi untuk dapat memastikan keamanan energi, daya saing ekonomi, dan transisi menuju sistem energi bersih yang berkelanjutan di tanah air dalam waktu dekat.