Energi untuk Memasak Selama #dirumahaja: Tetap Nyaman dengan Energi Bersih Terbarukan 

PT Pertamina baru – baru ini merilis catatan adanya peningkatan konsumsi LPG nonsubsidi rumah tangga di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten secara signifikan (MOR III) dengan adanya penerapan kebijakan dan imbauan physical distancing oleh pemerintah demi mencegah penyebaran dan penularan #Covid19 lebih luas. Aktivitas di rumah, termasuk memasak, meningkat karena anjuran tersebut. Menurut catatan Pertamina, terjadi peningkatan rata-rata konsumsi hingga 23% untuk produk LPG non subsidi Bright Gas 5,5 kg, dan 12 kg di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Menyikapi hal ini, pemerintah dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa pasokan LPG dipastikan tetap terjaga untuk mengantisipasi kenaikan permintaan dari masyarakat. 

Selain LPG, adakah sumber energi lain yang bisa kita gunakan untuk keperluan memasak di rumah?

Ada alternatif bahan bakar #cleancooking yang selain bersih, juga bisa memanfaatkan sumber energi terbarukan di sekitar kita, yaitu:

Biogas

Biogas bisa didapatkan dengan memanfaatkan limbah dari kotoran ternak dan sampah/limbah organik yang kemudian difermentasi dan menghasilkan gas untuk menyalakan api pada kompor gas maupun kebutuhan penerangan. 

Mama Seni dari Sumba menggunakan biogas dari kotoran ternak dan bertani dengan slurry (produk sampingan dari biogas), beliau kini telah menjadi petani dan pengusaha perempuan yang sukses di desanya. Di Semarang, Ibu Suwanti menggunakan limbah tahu untuk usaha makanan rumahannya, yang selain menghemat biaya bahan bakar, juga membuat tetangganya senang karena tak lagi mencium bau limbah tahu yang kurang sedap. Dengan menggunakan biogas, kedua perempuan ini mampu menjadi pengusaha yang sukses dan menjadi panutan untuk masyarakat 

Jika ingin mengembangkan biogas mini rumahan yang cocok untuk Anda yang ingin punya biogas tapi tidak memiliki ternak, Yayasan Rumah Energi memberikan contoh penggunaan biogas rumah dalam skala kecil.

Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE)

TSHE merupakan teknologi tungku bersih yang menyasar 40% rumah tangga di Indonesia yang masih menggunakan biomassa tradisional untuk memasak (misalnya kayu). Dengan menggunakan kayu cacah, pelet kayu, atau pelet serbuk gergaji; TSHE didesain untuk menghasilkan asap dan partikulat yang lebih sedikit, sehingga polusi dalam ruangan dapat berkurang. Kondisi memasak yang lebih bersih berdampak positif pada perempuan dan anggota keluarga lain, yang selama ini banyak mengalami gangguan kesehatan terkait pernapasan. TSHE juga memanfaatkan bahan organik buangan dari sekitar rumah, misalnya tempurung kelapa, sehingga dapat menghemat biaya energi rumah tangga. 

Sejak 2019, mitra IESR yang tergabung dalam Strategic Partnership Green and Inclusive Energy, yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, juga telah melakukan program peningkatan kesadaran masyarakat tentang energi bersih di Jawa Tengah, termasuk salah satunya melatih dan memberdayakan rumah tangga lokal untuk memproduksi TSHE.  

Kompor Surya (Solar Cooker)

Solar cooker merupakan inovasi #cleancooking yang dikembangkan terutama untuk masyarakat di perdesaan yang kesulitan mengakses gas atau listrik, juga untuk mengurangi deforestasi atau penggunaan kayu bakar secara berlebihan. Dengan desain kompor yg memusatkan panas dari matahari, pengguna dapat memasak atau menghangatkan makanan di dalamnya. 

Kompor Listrik dan Kompor Induksi

Kedua jenis kompor ini juga merupakan salah satu pilihan #cleancooking, keduanya menggunakan listrik sebagai sumber energi. Yang perlu diperhatikan adalah daya dan kualitas listrik yang kita miliki, juga keamanan jaringan listrik di rumah; karena daya yang diperlukan kompor ini cukup besar (~1000 Watt).

Nah, lebih bagus lagi jika sumber energi listrik rumah kita berasal dari PLTS atap, agar sumber listrik untuk memasaknya juga bersih dan sekaligus hemat! Baca-baca dulu soal PLTS atap di sini ya:

Jaringan Gas Rumah Tangga (Jargas)

Jargas merupakan jaringan pipa yang dibangun dan dioperasikan untuk penyediaan dan pendistribusian gas bumi bagi rumah tangga. Jargas disalurkan ke rumah tangga dari sumber gas terdekat, sehingga meminimalkan distribusi. Selain itu, penggunaan jargas juga dapat mengurangi impor gas untuk LPG. Memang tidak setiap daerah dapat menjadi sasaran jargas. Informasi lebih lanjut bisa merujuk ke akun media sosial PT Pertamina dan PGN, yang mengoperasikan jargas di Indonesia.

Jangan lupa tetap berhemat energi di rumah ya! 

 

Salam hangat,

Institute for Essential Services Reform

 

Stimulus Akselerasi Energi Terbarukan untuk Pemulihan Ekonomi Pascapandemi #VirusCorona

Ditengah tekanan pandemi #COVID-19 ada kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk memprioritaskan strategi pembangunan rendah karbon, mendukung investasi energi terbarukan salah satunya.

Apa yang bisa dilakukan:

1) Siapkan stimulus untuk mempercepat PLN mengganti PLTD dan PLTU di luar Jawa yang sudah berusia di atas 20 tahun dengan pembangkit energi terbarukan: surya, air, biomass, angin, dan panas bumi. Ada potensi 1000 MW. berikan bunga rendah (<7%) bagi pelaku usaha lokal untuk membagun pembangkit energi terbarukan <20 MW, kombinasikan dengan kebijakan feed-in-tariff yang sedang disiapkan Permennya. Akan ada ribuan tenaga kerja yang terserap dan kredit bank yang mengucur. Sektor riil bergulir;

2) Kombinasikan dengan aktivitas ekonomi lokal dengan sistem produksi biomasa oleh masyarakat. Ini menciptakan lapangan kerja baru yang bisa jadi alternatif terhadap kebun kelapa sawit yang harga produknya mengalami tekanan;

3) Latih tenaga kerja untuk bekerja di sektor energi terbarukan sebagai teknisi, digabungkan dengan program PLTS Atap #SuryaNusantara;

4) Pasang PLTS Atap di pelanggan listrik 900 VA yang disubsidi dalam 5 tahun. Ada 8 juta pelanggan PLN pada kelompok ini. Jika setiap rumah dipasang 1 kWp maka akan didapat 8GW pada akhirnya. Pemerintah dapat menghapus subsidi listrik segera setelah PLTS Atap dipasang. Lanjutkan dengan 24 juta pelanggan 450VA. Alokasikan APBN untuk ini, lakukan bulk procurement sehingga dapat harga yang kompetitif dari produsen PV lokal dan untuk EPC. Ada ratusan kontraktor yang akan menyerap puluhan ribu tenaga kerja dalam 5 tahun;

5) Berikan insentif dan subsidi untuk membangun industri energi terbarukan: turbin air, boiler biomassa, industri PV dari hulu ke hilir dan pembuatan turbin angin, serta industri battery;

6) Berikan kredit lunak untuk rumah tangga untuk memasang PLTS Atap. Ada 4 juta rumah tangga yang berpotensi memasang 12-15 GW. Sebagian besar perlu kredit lunak.

Pemerintah bisa menciptakan “solar economy” dari sini dengan potensi investasi masyarakat $12-20 milyar. #LawanVirusCorona #StimulusEnergiTerbarukan

Kembangkan industri photovoltaic di dalam negeri, Indonesia bisa belajar dari India

Pemerintah Indonesia terkait (Kementerian Perindustrian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) bisa belajar dari India. Kita perlu kebijakan industri yang fleksible. Penerapan TKDN penting tapi jangan sampai menghambat pembentukan pasar dan perkembangan PLTS yang kompetitif. 

Sumber Berita: https://www.pv-tech.org/news/India-proposes-20-customs-duty-on-solar-imports-in-2020-2021-budget
India proposes tax cuts for new IPPs and 20% customs duty on solar imports | Sumber Berita: https://www.pv-tech.org/news/India-proposes-20-customs-duty-on-solar-imports-in-2020-2021-budget

Presiden RI Joko Widodo bisa merevolusi pemanfaatan energi surya sekaligus membangun industri surya di Indonesia dengan belajar dari India. Apa yang dilakukan pemerintah India:

1) Tetapkan target nasional PV yang ambisius; 

2) Bangun permintaan dan pasar untuk teknologi PV lewat program nasional yang dilakukan secara konsisten. India punya target PV 100 GWp sampai 2022; 

3) Ijinkan impor modul surya dan PV dalam prosesnya tapi Research & Development dan penguatan industri dalam negeri dilakukan; 

4) Setelah industri perakitan sel dan modul surya tumbuh dengan kapasitas >3 GWp per tahun, pemerintah menjamin pasar melalui mandatory policy penggunaan modul surya untuk proyek2 yang dapat subsidi/dukungan finansial pemerintah; 

5) Program solar park skala besar dikembangkan dan membuat harga listrik dari PLTS lebih murah dan kompetitif, industri PV dalam negeri “dipaksa” melakukan inovasi dan efisiensi; 

6) Setelah industri PV dalam negeri berkembang dan kompetitif, pemerintah menetapkan bea masuk 20% atas sel dan modul surya impor. Sebaliknya investasi di pembangkit PLTS diberikan insentif pengurangan pajak, untuk menjaga pertumbuhan permintaan sehingga output industri dapat diserap. 

Lewat kombinasi target energi surya, India bisa meningkatkan kapasitas industri sel surya dari 3 GWp pada 2014 menjadi 29 GWp pada 2019. 

IESR merekomendasikan Pak Jokowi ‘all out’ mendorong pengembangan energi surya. Sampai 2030, kita punya potensi 30 GWp utility scale PLTS dan 15 GWp PLTS Atap. Target RUEN hanya 6,5 GWp sampai 2025. Presiden harus menugaskan PLN untuk agresif membangun PLTS skala besar di Indonesia, diatas tanah dan diatas danau/bendungan. Dalam 5 tahun ke depan 5 GWp PLTS skala besar dapat dipasang. Kemudian dorong pemanfaatan PLTS Atap di seluruh gedung pemerintah sesuai amanat Perpres No. 22/2017 dan substitusi subsidi listrik rumah tangga miskin 450 VA dengan PLTS Atap 1-1,5 kWp per rumah. 

Untuk yang PLTS Atap bagi rumah tangga miskin, Pemerintah (Jokowi.red)  bisa prioritaskan pemakaian modul surya dalam negeri. Jika 500 ribu – 1 juta rumah tangga miskin bisa pasang PLTS Atap setiap tahun, kebutuhan modul mencapai 1-1,5 GWp, ini cukup untuk membuat industri surya yang terintegrasi dari wafer-sel-modul surya dan industri pendukungnya.

Presiden Jokowi bisa mendorong provinsi – provinsi di Indonesia untuk melakukan program PLTS dan memperkuat inisiatif seperti #JatengSolarRevolution oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dan #BaliCleanEnergyIsland oleh I Wayan Koster, Gubernur Bali, serta inisiatif Pemprov DKI Jakarta. 

Indonesia bisa mencapai 23% energi terbarukan di 2025, perlu strong leadership President Jokowi

#SuryaNusantara #1BY20 #SolarRevolution

Gunakan kendaraan listrik untuk mengurangi emisi CO2

Meski demikian pengurangan emisi dari sistem kelistrikan harus menjadi prioritas utama!

Sama seperti panel surya (Photovoltaic/PV) yang semakin populer, demikian juga halnya dengan kendaraan listrik. Bahkan laporan dari International Energy Agency (IEA) tahun 2019 yang berjudul Global EV Outlook 2019 menyebutkan, bahwa perkembangan kendaraan listrik akan semakin pesat dan pada tahun 2030, penjualan kendaraan listrik per tahun akan mencapai angka 44 juta kendaraan.  

Kendaraan listrik muncul sebagai teknologi disruptif bagi mayoritas industri otomotif. Di tengah dunia yang masih didominasi oleh kendaraan bermesin bakar yang sangat tergantung pada konsumsi bahan bakar minyak (BBM), kendaraan listrik hadir dengan terobosan baru – menggunakan tenaga listrik. Tanpa konsumsi BBM, kendaraan listrik tidak akan menghasilkan emisi. Karenanya, kendaraan listrik menjadi kendaraan yang ramah lingkungan dan menjadi salah satu solusi mengatasi perubahan iklim. 

Namun, apakah benar kendaraan listrik 100% bebas dari emisi? 

Di luar emisi yang dihasilkan saat memfabrikasi kendaraan listrik, emisi tak langsung kendaraan ini diproduksi saat kita mengisi baterai kendaraan tersebut, yakni dari emisi pembangkit tenaga listrik. 

Faktor emisi CO2 di sistem Jawa-Bali mencapai 0.817 ton CO2/MWh

Berdasarkan data dari RUPTL 2019-2028, faktor emisi pembangkit untuk Jawa-Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2019 adalah sebesar 0,817 ton CO2/MWh. Artinya, untuk tiap 1 mega-watt (MW) pembangkit yang beroperasi selama satu jam (1 hour) – berdasarkan komposisi pembangkit saat ini di Jawa dan Bali – emisi CO2 yang dihasilkan adalah sebesar 0,817 ton. Semakin banyak MW pembangkit yang beroperasi untuk jangka waktu yang lama, semakin besar pula MWh-nya sehingga total emisinya pun semakin besar. 

Faktor emisi dihitung dari total emisi CO2 yang dihasilkan oleh seluruh pembangkit energi fosil di suatu sistem dibagi dengan total energi listrik dalam MWh atau GWh yang dihasilkan oleh seluruh pembangkit di sistem tersebut, baik pembangkit fosil maupun terbarukan. Artinya, semakin banyak pembangkit energi terbarukan di suatu sistem, semakin kecil pula faktor emisinya.

Dengan menggunakan data di RUPTL 2019-2028, total emisi gas rumah kaca (GRK), komposisi pembangkit, dan faktor emisi GRK untuk sistem kelistrikan Jawa-Bali pada tahun 2019 dapat dirangkumkan sebagai berikut:

Dari faktor emisi di atas dapat dilihat bahwa emisi dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara sangat dominan dibanding dengan pembangkit-pembangkit tenaga fosil lainnya. Hal ini berarti, dengan semakin banyak PLTU yang digunakan di sistem kelistrikan Jawa-Bali, semakin besar pula total emisi CO2-nya.

Pembangkit berbahan bakar fosil masih mendominasi sistem kelistrikan Jawa-Bali

Berdasarkan RUPTL 2019-2028, pada tahun 2018, pembangkit listrik tenaga fosil memiliki total kapasitas terpasang sebesar 33,8 GW sedangkan pembangkit listrik energi terbarukan hanya sebesar 3,9 GW. Kemudian di tahun 2028, pembangkit fosil diprediksi meningkat sebesar 57,4% atau menjadi sebesar 53,2 GW, sedangkan pembangkit energi terbarukan hanya menjadi sebesar 11,9 GW, walaupun tingkat pertumbuhannya jauh lebih tinggi, yakni sebesar 205%.

Setiap pembangkit listrik memiliki daya mampu netto (DMN), yakni besarnya daya output pembangkit yang dapat dimanfaatkan untuk menyuplai beban sebab telah dikurangi dengan pemakaian sendiri pembangkit tersebut. Total DMN ini kemudian menjadi dasar bagi PLN untuk mengalokasikan pembangkit-pembangkitnya guna menyuplai permintaan listrik setiap hari. 

Kurva beban sistem Jawa-Bali tanggal 5 November 2019 dan perkiraan komposisi pembangkitnya

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Pusat Pengatur Beban (P2B) Jawa-Bali, pada tanggal 5 November 2019, beban puncak sistem Jawa-Bali mencapai 27.000 MW, sementara daya mampu netto pembangkit sebesar 27.432 MW, seperti ditunjukkan oleh kurva di bawah ini.

Untuk menyuplai beban ini, PLN mengalokasikan pembangkit-pembangkit yang ada di sistem Jawa-Bali, yang dapat diakses dari situs PLN P2B. Untuk tanggal 5 November 2019, total kapasitas pembangkit yang dialokasikan oleh PLN adalah sebesar 27.158 MW (untuk pukul 13.30) dan sebesar 27.435 MW (untuk pukul 18.00) dengan komposisi sebagai berikut: 

Pembangkit-pembangkit yang tersedia tersebut kemudian akan diatur waktu operasi dan besar pembangkitannya sesuai dengan dispatch order PLN.

Dispatch Order

Dispatch order dapat diartikan sebagai urutan pembangkit listrik mana yang harus dinyalakan guna menyuplai beban pada suatu waktu tertentu. Dispatch order ini biasanya didasarkan pada biaya kapital, biaya operasi, dan kecepatan suatu pembangkit untuk dinyalakan dan diatur daya keluarannya (ramping-up). Berdasarkan kriteria-kriteria ini, pembangkit dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok:

  1. Pembangkit yang memiliki biaya investasi besar, namun biaya operasi murah dan ramping-up lambat akan digunakan untuk menyuplai beban dasar (base load). Pembangkit base load ini umumnya memiliki capacity factor (CF) cukup tinggi dan jenis pembangkitnya antara lain pembangkit listrik tenaga uap (dengan batu bara) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi. 
  2. Pembangkit berikutnya adalah pembangkit untuk menyuplai beban menengah. Biaya kapital pembangkit ini umumnya lebih murah dan CF-nya sedang. Pembangkit combined-cycle dan pembangkit listrik tenaga gas adalah jenis pembangkit yang umumnya masuk dalam kategori ini. 
  3. Pembangkit terakhir adalah pembangkit yang dioperasikan untuk menyuplai beban puncak. Pembangkit pada kategori ini umumnya memiliki biaya kapital rendah, biaya operasi tinggi, dan CF-nya rendah. Pembangkit listrik tenaga air, minyak (diesel), dan pump storage adalah beberapa pembangkit yang masuk dalam kategori ini.

Dengan melihat jenis-jenis pembangkit yang dimiliki oleh PLN untuk sistem kelistrikan Jawa-Bali dan penjelasan sebelumnya, maka dispatch ordernya dapat diasumsikan sebagai berikut: PLTP – PLTU – PLTGU – PLTG – PLTA – PLTDG – PLTD. Namun, di tengah kondisi harga gas yang mahal, urutan dispatch pembangkit Jawa-Bali untuk contoh di atas dapat diatur ulang menjadi PLTP – PLTU – PLTGU – PLTA – PLTG – PLTDG – PLTD. Dispatach order ini kemudian disusun untuk menyuplai seluruh kebutuhan beban sehingga diperoleh kurva sebagai berikut.

Dengan melihat profil suplai pembangkit Jawa-Bali yang sangat didominasi oleh pembangkit berbahan bakar fosil, tidak heran jika faktor emisi CO2nya tinggi. Akibatnya, setiap konsumsi listrik di jaringan tersebut secara tidak langsung memiliki besaran emisi yang melekat padanya. Kita ambil misalnya mobil listrik sebagai contoh. Bila ada sepuluh ribu mobil listrik (asumsi kapasitas baterai 80 kWh dan diperlukan 1 jam untuk mengisi penuh dari kondisi kosong) melakukan pengisian bersamaan selama satu jam, maka kurang lebih 3.200 MWh listrik akan dikonsumsi. Dengan konsumsi sebesar itu, maka 2.614,4 ton CO2 akan dihasilkan sebagai akibat aktivitas pembangkitan listrik, walaupun saat beroperasi mobil-mobil listrik tersebut tidak akan menghasilkan CO2. Karena itu, agar penggunaan mobil listrik benar-benar dapat berkontribusi untuk mengurangi emisi CO2, maka emisi sistem kelistrikannya harus terlebih dahulu dikurangi, untuk sistem Jawa-Bali, bahkan diperlukan pengurangan yang drastis.


[1] Kendaraan listrik yang dimaksud di sini adalah kendaraan listrik dengan baterai, bukan kendaraan listrik plug-in (plug-in EV) ataupun kendaraan listrik hybrid

[2] Berdasarkan skenario EV30@30

[3] Lebih dari 95% kapasitas terpasang pembangkit di sistem Jawa-Bali dan Nusa Tenggara berada di Jawa-Bali, sehingga dalam kasus ini faktor emisi Jawa-Bali dan Nusa Tenggara digunakan menjadi factor emisi sistem Jawa-Bali.

[4] Dapat diakses di: https://hdks.pln-jawa-bali.co.id/app4/system.php?fnp=1&setdate=2019-11-06&sSession=TEMP-XXXXXX-DVZbLQSBFzLCOeutMNcpnrsYJtBKlrco&sys=LDC&regcode=101&setdate=2019-11-05&dl=7519

[5] Capacity Factor (CF) adalah perbandingan antara produksi energi listrik suatu pembangkit dengan maksimum produksi energi listrik pembangkit itu, dalam suatu rentang waktu tertentu (biasanya satu tahun).

**

Tulisan lain terkait emisi dari sistem kelistrikan dalam kaitannya dengan penggunaan kendaraan listrik juga dapat dibaca di laporan IESR ICEO 2020 bagian laporan khusus tentang kendaraan listrik.

 

Bagaimana Prospek Perkembangan Energi Bersih di Indonesia di 2020?

 

Pada Desember 2019 lalu, IESR meluncurkan laporan Indonesia Clean Energy Outlook 2020. Dalam laporan ini, disampaikan evaluasi perkembangan energi terbarukan dan efisiensi energi selama 2019, serta pandangan prospek pengembangan energi bersih di Indonesia pada 2020 ini. Bagaimana prospek perkembangan energi bersih, khususnya energi terbarukan di Indonesia pada 2020? Salah satu temuan dalam ICEO 2020 mengindikasikan investasi di bidang energi terbarukan mengalami penurunan.  Sejak 2015, realisasi investasi EBT terus menurun, padahal target investasi tahunan terus mengalami koreksi dari target Renstra KESDM 2015-2019. Bahkan target investasi EBT untuk 2019 sebesar $1,8 milyar hanya tercapai $1,5 milyar. Sepanjang 2015-2019 kapasitas pembangkit energi terbarukan (on-grid dan off-grid) bertambah 1,6 GW atau 11% dari total tambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik sebesar 15,5 GW. Pencapaian ini jauh lebih rendah dari realisasi pada periode 2010-2014. Pada 2020 KESDM memasang target pembangkit energi terbarukan dapat bertambah 685 MW. Angka ini jauh lebih tinggi dari realisasi penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan pada 2019 sebesar 376 MW. Walaupun lebih tinggi tetapi sesungguhnya pertambahan kapasitas ini masih lebih rendah dari penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan yang ditargetkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Untuk memenuhi target RUEN, setiap tahun sejak 2020, diperlukan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan baru sebesar 4-5 GW.

Untuk dapat mencapai target tersebut maka diperlukan investasi yang cukup, kesiapan atau kemauan off-taker dan ketersediaan proyek-proyek yang feasible. Off taker yang terbesar adalah PLN yang memasok 95% energi listrik di Indonesia. Bagaimanakah status ketiga faktor ini di 2020?

Pertama, sejauh ini Indonesia belum menjadi target utama investasi energi bersih bagi investor asing. Daya tarik investasi untuk energi terbarukan tergolong biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol. Beberapa faktor utama antara lain: iklim investasi makro, kualitas kebijakan dan regulasi, rencana dan realisasi pembangunan energi terbarukan, ketersediaan pendanaan, serta akses pada teknologi dan rantai pasok domestik memiliki daya tarik yang lebih rendah bagi investor asing dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang menjadi kompetitor kita. Investor berpandangan kebijakan dan regulasi tidak stabil, mudah berubah, kualitasnya rendah, dan ketidakjelasan dalam implementasinya. Hal-hal ini menyebabkan persepsi risiko investasi di sektor energi terbarukan sangat tinggi yang berakibat pada meningkatnya cost of money untuk investasi proyek energi terbarukan di negara kita.

Di 2020 ini, investor sepertinya akan mencermati langkah pemerintah memperbaiki iklim investasi energi terbarukan. Perubahan kebijakan dan regulasi yang menghambat perkembangan energi terbarukan selama tiga tahun terakhir ini ditunggu oleh para pelaku usaha. Rencana pemerintah menerbitkan aturan feed in tariff (FiT) untuk pembangkit listrik ET skala kecil dalam bentuk Peraturan Presiden menjadi angin segar bagi pelaku usaha swasta. Tapi FiT saja mungkin tidak cukup karena harga/tarif hanyalah sebagian dari hambatan pengembangan ET. Bagaimana pemerintah melalui instrumen regulasi mengalokasikan risiko-risiko tarif, kebijakan, teknologi, evakuasi daya secara berimbang untuk PLN dan pengembang, dan proses bisnis yang transparan juga menjadi perhatian para investor, khususnya investor asing. Sentimen positif akan terjadi di 2020 kalau ada realisasi komitmen politik dan produk perundangan yang signifikan di tahun ini. 

Kedua, PLN sebagai satu-satunya off-taker listrik swasta, perkembangan energi terbarukan sangat dipengaruhi oleh visi, minat, perencanaan, lelang dan eksekusi dari BUMN ini. Beban pencapaian target energi terbarukan pun sebagian besar harus dipikul oleh PLN. Untuk mencapai target 23% sesuai Perpres No. 22/2017 maka dalam lima tahun mendatang, minimal 75-80% penambahan pembangkit listrik baru harus berasal dari energi terbarukan. Pada prakteknya untuk dapat masuk ke dalam sistem ketenagalistrikan, maka proyek energi terbarukan harus masuk dalam perencanaan PLN, yaitu Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Pada RUPTL 2019-2028, PLN merencanakan menambah 16,7 GW pembangkit energi terbarukan dimana 8 GW direncanakan pada kurun waktu 2019-2024. Untuk mencapai target RUEN, maka kapasitas pembangkit untuk energi terbarukan harus ditambah menjadi 12-15 GW pada kurun waktu tersebut dan dilipatgandakan pada lima tahun berikutnya. Konsekuensinya untuk dapat menampung kapasitas pembangkit energi terbarukan yang lebih besar maka PLN perlu melakukan pengurangan kapasitas pembangkit-pembangkit thermal yang direncanakan atau yang telah dioperasikan 5-10 GW dalam lima tahun mendatang.

Ada perbedaan antara target KESDM untuk penambahan kapasitas terpasang pembangkit ET di 2020 sebanyak 685 MW dengan RUPTL PLN sebesar 933 MW. Perbedaan ini merupakan sinyal bahwa ada persoalan dalam perencanaan kelistrikan dan koordinasi, khususnya untuk pembangkitan ET. Bagaimana perbedaan ini akan direkonsiliasi dalam RUPTL 2020-2029 yang kemungkinan akan terbit dalam beberapa waktu kedepan juga menjadi perhatian para investor dan pengembang.

Ketiga, ketersediaan proyek-proyek energi terbarukan yang bankable dan siap didanai merupakan salah satu faktor yang penting dalam memenuhi target penambahan kapasitas pembangkit listrik. Selama ini ketersedian proyek-proyek pembangkit energi terbarukan yang bankable jumlahnya terbatas. Berbeda dengan pembangkit thermal yang berkapasitas besar, pembangkit energi terbarukan kapasitasnya bervariasi dari skala dibawah 5 MW, 5-10 MW, 10-50 MW, dan diatas 50 MW. Misalkan untuk PLTS yang direncanakan mencapai 0,9 GW, hingga 2025 nanti, dapat terdiri dari 20-50 proyek dengan ukuran rata-rata 20-50 MW per proyek. PLTB yang direncanakan hingga 0,85 GW hingga 2025 dapat terdiri dari 15-30 proyek dengan kapasitas 10-100 MW per proyek.

Jadi, prospek pengembangan energi terbarukan di 2020 sebenarnya lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan adanya komitmen politik dari Presiden, langkah-langkah merevisi kebijakan dan regulasi harga ET (FiT) oleh Menteri ESDM, dan dukungan jajaran direksi PLN untuk mengembangkan energi terbarukan untuk mencapai target RUEN. Walaupun demikian, aksi-aksi positif ini tidak serta merta langsung meningkatkan daya tarik investasi dan realisasi investasi pembangkit pada tahun ini. Apabila pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan di tahun ini, paling tidak untuk tiga aspek diatas, dampaknya pun baru akan terasa dua sampai tiga tahun mendatang, yang ditandai dengan meningkatnya minat investor dan meningkatnya stok proyek-proyek pembangkit yang siap dikembangkan secara komersial.

Pemerintah harus melihat bahwa 2020 adalah tahun untuk memulihkan kepercayaan investor, dan tahun untuk memperkokoh fondasi untuk transformasi energi yang berkelanjutan di Indonesia. Kegagalan untuk melakukan perbaikan di tahun ini dapat berujung pada hilangnya momentum positif, hengkangnya investor asing, serta hilangnya kesempatan membangun sistem energi modern yang berkelanjutan dan kompetitif secara biaya dalam jangka panjang. Kalau ini terjadi, perlu waktu lama untuk membalik keadaan.

Jakarta, 15 Januari 2020.

Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Selamat Tahun Baru 2020! Apa harapan anda di 2020? Kami di IESR berharap di tahun ini energi terbarukan dapat bangkit kembali setelah mati suri selama 3 tahun terakhir. Mengapa kebangkitan energi terbarukan menjadi harapan kami? 

Pertama, membangun energi terbarukan adalah amanat UU No. 30/2007 tentang Energi, yang kemudian diturunkan dalam PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Tujuannya adalah menjamin kemandirian dan ketahanan energi nasional. Pasal 9 butir (f) dari PP tersebut mentargetkan bauran energi baru dan terbarukan mencapai 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Ini adalah kebijakan dan target pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. 

Kedua, peningkatan bauran energi terbarukan dan pemanfaatannya dapat membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik. Hal ini sesuai dengan komitmen Indonesia yang meratifikasi Paris Agreement dengan UU No. 16/2016, yang juga memuat komitmen Indonesia menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan usaha sendiri dan tambahan 12%, menjadi 41% dengan dukungan internasional. Sektor kelistrikan adalah salah satu kontributor utama emisi GRK. Berdasarkan kajian KESDM dan UNDP (2018), emisi GRK sub-sektor pembangkitan listrik mencapai 199 MtCO2e pada 2017 dan diperkirakan hingga 2030 akan tumbuh sebesar 10,1% per tahun. Dengan demikian pada 2030, emisi GRK diproyeksikan mencapai 699 MtCO2e (BAU). Dengan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi sebesar 20% maka emisi GRK dapat turun 36% dari skenario business as usual. Dengan itu faktor emisi listrik nasional turun dari 1,005 tCO2e/MWh menjadi 0,729 tCO2e/MWh. Oleh karena itu adanya peningkatan energi terbarukan yang signifikan menunjukan Indonesia turut berperan mengurangi risiko iklim global yang akan mengancam kehidupan generasi sekarang dan generasi masa depan. 

Ketiga, dengan memperbesar pemanfaatan energi terbarukan, biaya pasokan energi jangka panjang akan semakin rendah dan terjangkau. Berbeda dengan pembangkitan energi fosil yang cenderung naik dari tahun ke tahun karena harga bahan bakar, pengaruh nilai tukar dan inflasi, biaya O&M pembangkit energi terbarukan khususnya surya, angin dan hidro relatif rendah dan kenaikan terjaga. Capital expenditure (capex) pembangkit PLTS, PLT Angin skala besar juga cenderung turun. Oleh karena itu memperbesar porsi energi terbarukan dalam pasokan tenaga listrik dalam jangka panjang dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik.   

Pengembangan pembangkit energi terbarukan selama lima tahun terakhir nyaris mandek.

Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) 2020 yang diluncurkan IESR bulan lalu mencatat penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan 2015-2019 hanya mencapai 1,6 GW, lebih rendah dari periode 2010-2014 yang mencapai 1,8 GW. Ini kabar yang kurang baik karena dibandingkan target kebijakan, penambahan kapasitas ini hanya 10-15% dari yang seharusnya terbangun sesuai target RPJMN 2015-2019.  

Praktis sejak berlakunya Permen ESDM No. 12/2017, yang kemudian digantikan dengan Permen ESDM No. 50/2017, pengembangan energi terbarukan mandek. Dari 75 PPA yang ditandatangani sepanjang 2017-2018, terdapat 5 proyek yang diterminasi dan 27 proyek lainnya belum memperoleh pendanaan. Sebagian besar proyek yang berjalan, tidak menggunakan mekanisme harga yang diatur di dua Permen tersebut dan kemungkinan bisa berjalan karena menggunakan pendanaan sendiri atau instrumen pembiayaan korporat. 

Yang lebih parah lagi adalah Permen No. 50/2017 telah menyebabkan para pelaku usaha swasta asing dan domestik kehilangan kepercayaan terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia. Para investor yang datang ke Indonesia pada 2015 dan 2016 karena melihat adanya peluang investasi di bidang energi terbarukan, secara perlahan angkat kaki dan mencoba peruntungan di negara tetangga, Vietnam, yang pada 2017 dan 2018 justru mengeluarkan kebijakan feed in tariff (FiT) untuk pembangkit listrik surya dan angin. Kebijakan ini menjadi insentif bagi para investor yang berbondong-bondong memanfaatkannya.  

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kedua, ada harapan pengembangan energi terbarukan. Sejauh ini ada sejumlah sinyal positif yang mengindikasikan pemerintah memiliki keinginan yang kuat mendorong energi terbarukan Indikasinya saat memperkenalkan Menteri ESDM yang baru pada Oktober 2019 lalu, Joko Widodo memerintahkannya untuk mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan yang dimiliki Indonesia. Selain itu, pada saat menghadiri Indonesia Mining Award pada bulan November tahun lalu, Presiden menyatakan bahwa dunia sudah bergerak menuju pada pemanfaatan energi yang ramah lingkungan ketimbang menggunakan batubara

Terlepas dari pernyataan dan sikap politik tersebut, Presiden Joko Widodo sesungguhnya menghadapi tantangan untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dari 8% menjadi 23% pada 2025 seperti yang ditargetkan dalam Perpres No. 22/2017. Ini artinya, dalam lima tahun mendatang akan jadi ajang pembuktian apakah Presiden Joko Widodo mampu membangun pembangkit energi terbarukan dari 8 GW menjadi 30-35 GW dan pemanfaatan BBN untuk mengganti BBM.

Apa saja tantangan yang dihadapi Presiden Joko Widodo dan kabinetnya dan apa yang perlu dilakukan?

Pertama, kebutuhan me-mobilisasi investasi publik dan swasta.  Diperlukan investasi $70-90 miliar (~ Rp. 1000 triliun) untuk membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan dan infrastruktur pendukungnya. Hanya 10%-15% dari kebutuhan investasi ini yang dapat dipenuhi oleh BUMN dan anggaran publik. Sisanya harus berasal dari swasta/investor asing dan domestik. Untuk menarik investasi, khususnya investasi asing, pemerintah harus meningkatkan kondisi iklim investasi dengan mengeluarkan kebijakan yang transparan, terukur, dan pasti. Kebijakan tidak transparan dan regulasi yang tidak konsisten dengan kebijakan ataupun target kebijakan menjadi penyebab investor dan perbankan menganggap investasi di sektor energi terbarukan beresiko dan tidak menarik. Regulasi Indonesia harus dapat memberikan insentif yang lebih baik, risiko yang lebih rendah dan kepastian investasi jangka panjang yang lebih baik.  

Kedua, daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia yang rendah. Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dikeluarkan oleh EY, secara konsisten menempatkan Indonesia pada peringkat bawah dari 40 negara yang dikaji. Pada RECAI edisi Oktober 2019, Indonesia berada di peringkat 38. Tiga negara Asia Tenggara, Thailand, Filipina dan Vietnam memiliki peringkat yang lebih baik dari Indonesia. 

Selain itu penilaian atas 5 indikator dan 11 sub-parameter atas daya tarik investasi yang dilakukan IESR yang dilaporkan dalam ICEO 2020 menghasilkan penilaian 6 dari 11 sub-parameter dianggap tidak memadai (insufficient). Penilaian menunjukan pemerintah harus bekerja keras dalam 1-2 tahun mendatang, tidak saja membuat kebijakan yang tepat dan regulasi yang menarik dan terukur, tapi juga melakukan reformasi fundamental yang berkaitan dengan reformasi struktur industri kelistrikan, mandatory pemanfaatan energi terbarukan yang agresif, dukungan pembiayaan dari lembaga finansial lokal dan penyiapan instrumen mitigasi risiko, serta pelaksanaan kebijakan TKDN yang rasional dan instrumen untuk memfasilitasi transfer teknologi serta peningkatan kemampuan EPC domestik. 

Ketiga, bertambahnya kapasitas pembangkit thermal, khususnya PLTU. Pada 2019-2028, direncanakan dibangun 27 GW PLTU batubara dan mulut tambang, dimana 22 GW dibangun pada 2019-2025. Dengan perkembangan laju permintaan listrik PLN saat ini yang berada di bawah 5%, jauh di bawah proyeksi laju permintaan listrik dalam RUPTL, maka diperlukan koreksi terhadap rencana pembangunan pembangkit thermal untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan. Dengan mempertimbangkan pertumbuhan listrik 5 tahun terakhir, kami memproyeksikan pertumbuhan permintaan listrik berada di kisaran ~5% per tahun dalam lima tahun mendatang sehingga tambahan pembangkit baru sekitar 4 GW per tahun (rata-rata). Oleh karena itu untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan hingga mencapai 23-30% dari total kapasitas pembangkit PLN pada 2025, sekitar 3-4,5 GW pembangkit energi terbarukan harus masuk di sistem PLN setiap tahunnya. Ini berarti setelah 2020, pembangunan PLTU batubara harus mulai dikurangi dibarengi dengan phasing out pembangkit-pembangkit thermal tua dan yang efisiensinya rendah. Tanpa melakukan ini, PLN akan kesulitan memasukan tambahan 20-22 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan. 

Mengubah rencana pembangunan pembangkit listrik terutama menunda atau membatalkan PLTU batubara tentunya bukan keputusan yang mudah bagi Menteri ESDM yang akan memutuskan RUPTL 2020-2029 dalam dua bulan mendatang. Perubahan ini dapat mengguncang berbagai macam kepentingan, terutama pemilik tambang dan pembangkit batubara yang berharap dapat mengoptimalkan aset tambang yang mereka miliki. Tapi disinilah kualitas kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan menteri-menterinya akan diuji. Menarik tentunya memperhatikan langkah dan strategi pemerintah (jika ada) dalam hal merumuskan kebijakan dan instrumen regulasi untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan politik dan bisnis dalam rangka memajukan energi terbarukan di Indonesia dan memastikan Indonesia berada di jalur transisi energi yang berkelanjutan. 

Jakarta, 2 Januari 2020

 

Lakukan mulai hari ini! Memperingati Hari Konservasi Energi Dunia

Beberapa hal yang harus mulai kita lakukan di hari ini Memperingati Hari Konservasi Energi Dunia 

World Energy Conservation Day -14 December 2019

Gimana sih cara melakukan konservasi energi dalam kehidupan sehari – hari?

Melakukan konservasi energi itu penting untuk mencegah semakin tingginya suhu bumi. 

Sebenarnya tujuan dari konservasi energi itu adalah ingin melestarikan sumber energi, sehingga kita perlu menggunakan teknologi untuk membangkitkan energi yang bersumber dari sumber energi terbarukan, dan kita harus menggunakan teknologi yang lebih efisien (hemat) energi. 

Lalu apa yang kita bisa lakukan? 

1.Sesuaikan perilaku kita sehari – hari

Ketika usaha – usaha secara individu secara kolektif di kumpulkan untuk membawa perubahan besar, setiap langkah kecil akan sangat bermakna, terutama dalam langkah konservasi energi; mematikan lampu dan peralatan elektronik saat tidak digunakan, gunakan air untuk melakukan kegiatan sehari-hari secukupnya, dan menggunakan transportasi umum ketika bepergian, atau yuk jalan kaki jika dekat!

2.Reduce, Reuse, Recycle and Repair

Hal yang sangat mendasar, konsep ini telah sering kita dengarkan atau digaungkan namun menjadi metodologi yang memiliki dampak yang sangat efektif untuk mengatasi krisis energi. Membawa tas belanja sendiri yang dapat dipakai kembali ketika berbelanja, akan mengurangi konsumsi plastik kita sehari – hari, termasuk mengurangi konsumsi kita terhadap produk – produk yang dibungkus plastik, atau menyimpannya yang dapat berdaya guna/alih fungsi lain, hal ini akan sangat signifikan mengurangi jumlah sampah anorganik yang dihasilkan dari produk – produk yang kita beli atau konsumsi. Satu hal lagi yang dapat kita lakukan, adalah selalu berusaha memperbaiki barang – barang sehari – hari yang sekiranya masih dapat diperbaiki, dan tidak secara langsung membuangnya jika rusak dan memutuskan membeli baru. 

Tahukah anda bahwa setiap setengah kilogram sampah yang dapat kita kurangi, kita telah menyelamatkan energi dan mengurangi emisi CO2 hingga 1 pon atau sekitar 450 gram?!

Doronglah selalu diri kita masing – masing untuk sebisa mungkin menggunakan produk – produk yang dapat didaur ulang, dan tidak bersifat konsumtif (yang berlebihan).

3.Mulai praktikan menggunakan peralatan hemat energi dan ramah lingkungan

Menggunakan solar power bank lampu taman menggunakan tenaga surya, sepeda listrik, motor listrik, menggunakan lampu LED dan peralatan elektronik yang efisien (hemat) energi.

Setiap hal yang kita lakukan tersebut sangat mempengaruhi bumi, bayangkan jika semua orang dapat memulainya, ini bisa menjadi efek riak: dari satu rumah, satu wilayah, hingga satu kota. Jadi bijaklah dalam menggunakan energi untuk melestarikan energi.

Cadangan Minyak Bumi Akan Habis

Selama 10 tahun terakhir, lebih dari 90% dari bauran energi final berasal dari bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara). Persediaan bahan bakar fosil diperkirakan akan habis dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, bahkan minyak bumi diperkirakan akan habis pada 2030. Jika kita tidak mulai memikirkan untuk melakukan transisi menuju energi rendah karbon dan memiliki sumber sumber energi yang lebih efisien maka dunia akan mengalami krisis energi. 

Ditambah dengan krisis ekonomi yang membayangi fluktuatifnya harga dari bahan bakar fosil serta krisis iklim yang akan diperparah dengan bertambahnya penggunaan bahan bakar fosil, Hal – hal tersebut merupakan dua alasan mengapa Indonesia perlu meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi finalnya. 

“Meskipun porsi energi terbarukan sudah meningkat dua kali dari 4,37% pada 2008 menjadi 8,55% pada 2018, Indonesia masih perlu mengoptimalkan efisiensi energi untuk mencegah kenaikan suhu bumi karena energi terbarukan yang dikombinasikan dengan efisiensi energi merupakan langkah mitigasi perubahan iklim yang tepat. Transformasi sistem perekonomian pun dibutuhkan untuk dapat membuat implementasi teknologi energi terbarukan dan optimalisasi efisiensi energi yang masif di Indonesia. Erina Mursanti, Program Manager Green Economy, IESR”


Secara global 14 Desember diperingati Hari Konservasi Energi, untuk menyoroti pentingnya konsumsi energi dan penggunaannya dalam kehidupan kita sehari-hari, kelangkaannya dan dampaknya terhadap keberlanjutan sistem eko-global. Ini memfokuskan konsentrasi kita pada masalah-masalah signifikan yang dihadapi masa depan umat manusia sehubungan dengan energi.

Ini adalah hari untuk membangun kesadaran tentang:
• Kebutuhan konservasi energi
• Efisiensi energi
• Berhemat dalam penggunaan energi

Erina Mursanti, Program Manager Green Economy
Gandabhaskara Saputra, Communications Coordinator

Tanggapan IESR mengenai langkah strategis transisi energi Indonesia

Kontributor: Jannata Giwangkara, Erina Mursanti

Merespon tiga langkah strategi transisi energi di Indonesia versi Menteri ESDM dalam Energy Action Forum “Accelerating the Energy Transition on the Road to 2020 and Beyond” yang dihelat di New York, Minggu (22/9)  (sumber: EBTKE ESDM)

Ketiga langkah yang disampaikan oleh Menteri Jonan dalam pertemuan tersebut adalah:

  1. Kemudahan akses energi dan keterjangkauan masyarakat dalam mendapatkan energi
  2. Mempercepat pengembangan energi terbarukan dan meningkatkan porsinya dalam bauran energi nasional
  3. Pemanfaatan kemajuan teknologi untuk memperluas akses energi, namun tetap mempertahankan keterjangkauan dan mengakomodasi energi terbarukan ke dalam sistem

Penulis berpendapat bahwa:

  1. Penyediaan akses energi yang terjangkau dapat dilakukan melalui pembangkit listrik berbasis energi terbarukan (misal surya, mikrohidro, biomassa atau bayu skala kecil) yang mana tidak hanya dapat memberikan akses energi yang lebih terjangkau dari pembangkit berbasis diesel, tetapi juga dapat menciptakan nilai-nilai ekonomi baru bagi masyarakat setempat. Alhasil tidak hanya bisa menyasar target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDG) #7, tetapi juga menjadi aksi untuk target TPB #13. Lebih lanjut, disamping biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan (capital cost yang tinggi tapi marginal cost yang hampir nol) yang lebih kompetitif dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa dengan membangun PLTD (capital cost yang rendah tapi marginal cost yang tinggi), membangun energi terbarukan juga akan menghindari/meminimalisir adanya polusi udara yang ditimbulkan akibat pembangunan sumber energi berbasis fosil.

Sejak 2016, CAFOD, IEED dan IESR mengembangkan model penyediaan energi berbasis perencanaan dari bawah (bottom up energy planning) yang dikenal sebagai Energy Deliver Model. Percontohan metode EDM di Desa Boafeo di Kabupaten Ende dilakukan bersama-sama dengan AMAN. Simak laporan percontohan pertama EDM di Indonesia di Desa Boafeo, Ende, NTT berikut:

2. Akselerasi pembangunan energi terbarukan nasional tidak hanya membutuhkan regulasi yang responsif dan mendukung instrumen pasar yang diperlukan dalam meningkatkan investasi energi terbarukan, tetapi juga peraturan yang konsisten dan stabil. Peranan swasta dalam membantu pemerintah mencapai target energi bauran energi terbarukan sangat krusial dan menjadi tumpuan pemerintah mengingat kapasitas fiskal pemerintah dan BUMN/BUMD dalam membangun infrastruktur energi terbarukan terbatas. Untuk itu, ekosistem pendukung dalam pengembangan energi terbarukan perlu didesain multipihak dan terintegrasi.

Ekosistem pendukung yang dibuat oleh Jerman, Tiongkok, dan India dalam menyukseskan transisi energi dinegaranya mencakup lima hal berikut: (1) Komitmen dan kepemimpinan yang kuat ditingkat nasional dan daerah; (2) Kebijakan dan regulasi yang saling mendukung dan menguatkan, serta adaptif dan fleksibel sesuai dengan tren dan kondisi pasar; (3) Sistem dan manajemen ketenagalistrikan yang dikelola secara terintegrasi; (4) Instrumen pendanaan yang mendukung bagi investor; dan (5) Konsisten dan fokus dalam meriset dan mengembangkan teknologi energi terbarukan dalam negeri. Laporan Igniting A Rapid Deployment of Renewable Energy in Indonesia: Lessons Learned from Three Countries dapat dijadikan referensi dalam mempercepat pembangunan energi terbarukan di Indonesia. Simak laporannya di:

3. Teknologi yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan tentu harus terdesentralisasi dan memanfaatkan potensi energi terbarukan setempat. Dengan kombinasi energi terbarukan dari air, panas bumi, surya, dan biomassa, yang ada potensinya di setiap desa, kabupaten, dan provinsi di Indonesia, penulis yakin bahwa kebutuhan energi daerah dapat terpenuhi dan juga dapat lebih terjangkau dalam jangka panjang. Jadi pembangkit fosil yang besar dan tersentralisasi di pusat-pusat beban sudah tidak lagi terjangkau dan relevan untuk dibangun dalam peta jalan transisi energi Indonesia kedepan dengan harga teknologi energi terbarukan dan sistem penyimpanan yang akan semakin terjangkau.

Kedepan, konsep konsumen energi dari sektor rumah tangga (yang selalu disasar oleh PLN sebagai salah satu target pendapatan listrik utamanya), tidak akan lagi relevan karena berkat adanya kemajuan teknologi energi terbarukan yang demokratis. Panel surya misalkan, sekarang konsumen listrik bisa menjadi produsen listrik pada saat yang bersamaan, dimana listrik yang dibangkitkan bisa disalurkan ke jaringan transmisi PLN setempat. Efisiensi energi di sisi pengguna juga menjadi low hanging fruit yang selama ini kurang didorong oleh pemerintah, dan dilirik oleh pengguna rakus energi sebagai first fuel dalam memenuhi kebutuhan energinya. Hal tersebut sejalan dengan tren penyediaan energi/listrik di masa depan yang terdesentralisasi, bidirectional, dan tidak mengenal base load/mengedepankan demand side management.

Infografis potensi dan kapasitas terpasang energi terbarukan Indonesia tahun 2018 bisa menjadi bahan evaluasi kita dalam mengevaluasi pembangunan energi terbarukan di Indonesia. Lihat infografisnya melalui:

https://iesr.or.id/galeri/potensi-dan-kapasitas-terpasang-energi-terbarukan-indonesia-tahun-2018/

Secara umum, melakukan #EnergyTransformation dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dapat mempercepat pengembangan energi terbarukan dan memperluas akses energi. Dengan demikian, masyarakat di daerah pedalaman dan terpencil mendapatkan keterjangkauan akses energi yang berkualitas #SustainableEnergyAccess.

Seperangkat regulasi dan peraturan yang kondusif vital dibutuhkan dalam menarik minat investor energi terbarukan untuk menempatkan sejumlah dananya dalam bentuk proyek pengembangan energi terbarukan di seluruh pelosok Indonesia. Dukungan pemerintah, baik pemerintah pusat dan daerah pun sangat berperan dalam percepatan #EnergyTransformation demi menjamin #SustainableEnergyAccess.

Pemerintah daerah dapat memberikan jaminan kepastian (contohnya kepastian skema pendanaan atau kepastian lahan) untuk investor yang akan melakukan investasi di daerahnya. Kepastian ini dapat dituangkan pemerintah dalam RUED. Seperangkat regulasi dan peraturan (baik teknis dan non teknis) serta dukungan pemerintah dapat mewujudkan #GreenEconomy di Indonesia sehingga Indonesia unggul tanpa melupakan lingkungan.

High Geothermal Potential in Indonesia and Green Trains Running on Biofuel

On 26 – 27 August 2019, IESR (represented by Julius Christian, Clean Fuel Specialist and Abdilla Alfath, Research Intern) participated in field visit to PLTP (geothermal power plant) Kamojang and PT KAI (Indonesia’s railways corporation) organized by YLKI (Indonesian Consumers’ Organization). The participants included HIVOS, AMAN (The Alliance of Indigenous Peoples of the Archipelago), Koalisi Perempuan Indonesia (Indonesia Women Coalition) and Coaction Indonesia. The field visit was a part of discussion for consumers manual on energy developed by YLKI.

On the first day, the group visited PLTP Kamojang, the oldest geothermal power plant in Indonesia. The power plant has been commercially operational since 1983 and is also one of the largest geothermal power plants in Indonesia with a total installed capacity of 235 MW from its 5 units. An interactive Q&A session with managers at the power plant was conducted, particularly regarding geothermal developments in Indonesia. It was highlighted that the potential for geothermal in Indonesia is the highest in the world and currently Indonesia is only second to the US in geothermal installed capacity. However, it was also noted that there were high risks in exploration for geothermal energy, which drives high capex and difficulty to get financing before a Power Purchase Agreement (PPA) signed. The visit also included visit to a Geothermal Information Centre (GIC), built and managed by PERTAMINA. Visitors can can learn all things about geothermal energy from an expert geologist with various exhibits on geothermal energy. The GIC also has various interesting facilities, such as a mini cinema for geothermal documentaries. The group then continued to visit one of the units of PLTP Kamojang, Unit V. Unit V has a capacity of around 35 MW.

On the second day, the group visited the head office of PT KAI in Bandung. There was a meeting and discussion with directors from various departments. Intensive discussion was centered around KAI’s progress in implementing the use of B20 biodiesel (blending program) for KAI trains. It was highlighted that KAI has so far deployed B20 in 100% of its train and is currently undergoing testing for the implementation of B30. There were several issues noted, such as subsidy for biofuel and the future projection of it (non-subsidy program). KAI has great interests in making its trains consumer-friendly and hopes that it can go greener with the use of biofuel.

The event was insightful to understand more the landscape of renewable energy in Indonesia and its use in transportation sector. It was also nice to know that the journey from and to Jakarta left less carbon footprint as the trains used were run on B20.


Written by Abdilla Alfath, Research Intern, and edited by Marlistya Citraningrum