Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Selamat Tahun Baru 2020! Apa harapan anda di 2020? Kami di IESR berharap di tahun ini energi terbarukan dapat bangkit kembali setelah mati suri selama 3 tahun terakhir. Mengapa kebangkitan energi terbarukan menjadi harapan kami? 

Pertama, membangun energi terbarukan adalah amanat UU No. 30/2007 tentang Energi, yang kemudian diturunkan dalam PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Tujuannya adalah menjamin kemandirian dan ketahanan energi nasional. Pasal 9 butir (f) dari PP tersebut mentargetkan bauran energi baru dan terbarukan mencapai 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Ini adalah kebijakan dan target pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. 

Kedua, peningkatan bauran energi terbarukan dan pemanfaatannya dapat membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik. Hal ini sesuai dengan komitmen Indonesia yang meratifikasi Paris Agreement dengan UU No. 16/2016, yang juga memuat komitmen Indonesia menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan usaha sendiri dan tambahan 12%, menjadi 41% dengan dukungan internasional. Sektor kelistrikan adalah salah satu kontributor utama emisi GRK. Berdasarkan kajian KESDM dan UNDP (2018), emisi GRK sub-sektor pembangkitan listrik mencapai 199 MtCO2e pada 2017 dan diperkirakan hingga 2030 akan tumbuh sebesar 10,1% per tahun. Dengan demikian pada 2030, emisi GRK diproyeksikan mencapai 699 MtCO2e (BAU). Dengan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi sebesar 20% maka emisi GRK dapat turun 36% dari skenario business as usual. Dengan itu faktor emisi listrik nasional turun dari 1,005 tCO2e/MWh menjadi 0,729 tCO2e/MWh. Oleh karena itu adanya peningkatan energi terbarukan yang signifikan menunjukan Indonesia turut berperan mengurangi risiko iklim global yang akan mengancam kehidupan generasi sekarang dan generasi masa depan. 

Ketiga, dengan memperbesar pemanfaatan energi terbarukan, biaya pasokan energi jangka panjang akan semakin rendah dan terjangkau. Berbeda dengan pembangkitan energi fosil yang cenderung naik dari tahun ke tahun karena harga bahan bakar, pengaruh nilai tukar dan inflasi, biaya O&M pembangkit energi terbarukan khususnya surya, angin dan hidro relatif rendah dan kenaikan terjaga. Capital expenditure (capex) pembangkit PLTS, PLT Angin skala besar juga cenderung turun. Oleh karena itu memperbesar porsi energi terbarukan dalam pasokan tenaga listrik dalam jangka panjang dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik.   

Pengembangan pembangkit energi terbarukan selama lima tahun terakhir nyaris mandek.

Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) 2020 yang diluncurkan IESR bulan lalu mencatat penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan 2015-2019 hanya mencapai 1,6 GW, lebih rendah dari periode 2010-2014 yang mencapai 1,8 GW. Ini kabar yang kurang baik karena dibandingkan target kebijakan, penambahan kapasitas ini hanya 10-15% dari yang seharusnya terbangun sesuai target RPJMN 2015-2019.  

Praktis sejak berlakunya Permen ESDM No. 12/2017, yang kemudian digantikan dengan Permen ESDM No. 50/2017, pengembangan energi terbarukan mandek. Dari 75 PPA yang ditandatangani sepanjang 2017-2018, terdapat 5 proyek yang diterminasi dan 27 proyek lainnya belum memperoleh pendanaan. Sebagian besar proyek yang berjalan, tidak menggunakan mekanisme harga yang diatur di dua Permen tersebut dan kemungkinan bisa berjalan karena menggunakan pendanaan sendiri atau instrumen pembiayaan korporat. 

Yang lebih parah lagi adalah Permen No. 50/2017 telah menyebabkan para pelaku usaha swasta asing dan domestik kehilangan kepercayaan terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia. Para investor yang datang ke Indonesia pada 2015 dan 2016 karena melihat adanya peluang investasi di bidang energi terbarukan, secara perlahan angkat kaki dan mencoba peruntungan di negara tetangga, Vietnam, yang pada 2017 dan 2018 justru mengeluarkan kebijakan feed in tariff (FiT) untuk pembangkit listrik surya dan angin. Kebijakan ini menjadi insentif bagi para investor yang berbondong-bondong memanfaatkannya.  

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kedua, ada harapan pengembangan energi terbarukan. Sejauh ini ada sejumlah sinyal positif yang mengindikasikan pemerintah memiliki keinginan yang kuat mendorong energi terbarukan Indikasinya saat memperkenalkan Menteri ESDM yang baru pada Oktober 2019 lalu, Joko Widodo memerintahkannya untuk mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan yang dimiliki Indonesia. Selain itu, pada saat menghadiri Indonesia Mining Award pada bulan November tahun lalu, Presiden menyatakan bahwa dunia sudah bergerak menuju pada pemanfaatan energi yang ramah lingkungan ketimbang menggunakan batubara

Terlepas dari pernyataan dan sikap politik tersebut, Presiden Joko Widodo sesungguhnya menghadapi tantangan untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dari 8% menjadi 23% pada 2025 seperti yang ditargetkan dalam Perpres No. 22/2017. Ini artinya, dalam lima tahun mendatang akan jadi ajang pembuktian apakah Presiden Joko Widodo mampu membangun pembangkit energi terbarukan dari 8 GW menjadi 30-35 GW dan pemanfaatan BBN untuk mengganti BBM.

Apa saja tantangan yang dihadapi Presiden Joko Widodo dan kabinetnya dan apa yang perlu dilakukan?

Pertama, kebutuhan me-mobilisasi investasi publik dan swasta.  Diperlukan investasi $70-90 miliar (~ Rp. 1000 triliun) untuk membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan dan infrastruktur pendukungnya. Hanya 10%-15% dari kebutuhan investasi ini yang dapat dipenuhi oleh BUMN dan anggaran publik. Sisanya harus berasal dari swasta/investor asing dan domestik. Untuk menarik investasi, khususnya investasi asing, pemerintah harus meningkatkan kondisi iklim investasi dengan mengeluarkan kebijakan yang transparan, terukur, dan pasti. Kebijakan tidak transparan dan regulasi yang tidak konsisten dengan kebijakan ataupun target kebijakan menjadi penyebab investor dan perbankan menganggap investasi di sektor energi terbarukan beresiko dan tidak menarik. Regulasi Indonesia harus dapat memberikan insentif yang lebih baik, risiko yang lebih rendah dan kepastian investasi jangka panjang yang lebih baik.  

Kedua, daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia yang rendah. Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dikeluarkan oleh EY, secara konsisten menempatkan Indonesia pada peringkat bawah dari 40 negara yang dikaji. Pada RECAI edisi Oktober 2019, Indonesia berada di peringkat 38. Tiga negara Asia Tenggara, Thailand, Filipina dan Vietnam memiliki peringkat yang lebih baik dari Indonesia. 

Selain itu penilaian atas 5 indikator dan 11 sub-parameter atas daya tarik investasi yang dilakukan IESR yang dilaporkan dalam ICEO 2020 menghasilkan penilaian 6 dari 11 sub-parameter dianggap tidak memadai (insufficient). Penilaian menunjukan pemerintah harus bekerja keras dalam 1-2 tahun mendatang, tidak saja membuat kebijakan yang tepat dan regulasi yang menarik dan terukur, tapi juga melakukan reformasi fundamental yang berkaitan dengan reformasi struktur industri kelistrikan, mandatory pemanfaatan energi terbarukan yang agresif, dukungan pembiayaan dari lembaga finansial lokal dan penyiapan instrumen mitigasi risiko, serta pelaksanaan kebijakan TKDN yang rasional dan instrumen untuk memfasilitasi transfer teknologi serta peningkatan kemampuan EPC domestik. 

Ketiga, bertambahnya kapasitas pembangkit thermal, khususnya PLTU. Pada 2019-2028, direncanakan dibangun 27 GW PLTU batubara dan mulut tambang, dimana 22 GW dibangun pada 2019-2025. Dengan perkembangan laju permintaan listrik PLN saat ini yang berada di bawah 5%, jauh di bawah proyeksi laju permintaan listrik dalam RUPTL, maka diperlukan koreksi terhadap rencana pembangunan pembangkit thermal untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan. Dengan mempertimbangkan pertumbuhan listrik 5 tahun terakhir, kami memproyeksikan pertumbuhan permintaan listrik berada di kisaran ~5% per tahun dalam lima tahun mendatang sehingga tambahan pembangkit baru sekitar 4 GW per tahun (rata-rata). Oleh karena itu untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan hingga mencapai 23-30% dari total kapasitas pembangkit PLN pada 2025, sekitar 3-4,5 GW pembangkit energi terbarukan harus masuk di sistem PLN setiap tahunnya. Ini berarti setelah 2020, pembangunan PLTU batubara harus mulai dikurangi dibarengi dengan phasing out pembangkit-pembangkit thermal tua dan yang efisiensinya rendah. Tanpa melakukan ini, PLN akan kesulitan memasukan tambahan 20-22 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan. 

Mengubah rencana pembangunan pembangkit listrik terutama menunda atau membatalkan PLTU batubara tentunya bukan keputusan yang mudah bagi Menteri ESDM yang akan memutuskan RUPTL 2020-2029 dalam dua bulan mendatang. Perubahan ini dapat mengguncang berbagai macam kepentingan, terutama pemilik tambang dan pembangkit batubara yang berharap dapat mengoptimalkan aset tambang yang mereka miliki. Tapi disinilah kualitas kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan menteri-menterinya akan diuji. Menarik tentunya memperhatikan langkah dan strategi pemerintah (jika ada) dalam hal merumuskan kebijakan dan instrumen regulasi untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan politik dan bisnis dalam rangka memajukan energi terbarukan di Indonesia dan memastikan Indonesia berada di jalur transisi energi yang berkelanjutan. 

Jakarta, 2 Januari 2020

 

Lakukan mulai hari ini! Memperingati Hari Konservasi Energi Dunia

Beberapa hal yang harus mulai kita lakukan di hari ini Memperingati Hari Konservasi Energi Dunia 

World Energy Conservation Day -14 December 2019

Gimana sih cara melakukan konservasi energi dalam kehidupan sehari – hari?

Melakukan konservasi energi itu penting untuk mencegah semakin tingginya suhu bumi. 

Sebenarnya tujuan dari konservasi energi itu adalah ingin melestarikan sumber energi, sehingga kita perlu menggunakan teknologi untuk membangkitkan energi yang bersumber dari sumber energi terbarukan, dan kita harus menggunakan teknologi yang lebih efisien (hemat) energi. 

Lalu apa yang kita bisa lakukan? 

1.Sesuaikan perilaku kita sehari – hari

Ketika usaha – usaha secara individu secara kolektif di kumpulkan untuk membawa perubahan besar, setiap langkah kecil akan sangat bermakna, terutama dalam langkah konservasi energi; mematikan lampu dan peralatan elektronik saat tidak digunakan, gunakan air untuk melakukan kegiatan sehari-hari secukupnya, dan menggunakan transportasi umum ketika bepergian, atau yuk jalan kaki jika dekat!

2.Reduce, Reuse, Recycle and Repair

Hal yang sangat mendasar, konsep ini telah sering kita dengarkan atau digaungkan namun menjadi metodologi yang memiliki dampak yang sangat efektif untuk mengatasi krisis energi. Membawa tas belanja sendiri yang dapat dipakai kembali ketika berbelanja, akan mengurangi konsumsi plastik kita sehari – hari, termasuk mengurangi konsumsi kita terhadap produk – produk yang dibungkus plastik, atau menyimpannya yang dapat berdaya guna/alih fungsi lain, hal ini akan sangat signifikan mengurangi jumlah sampah anorganik yang dihasilkan dari produk – produk yang kita beli atau konsumsi. Satu hal lagi yang dapat kita lakukan, adalah selalu berusaha memperbaiki barang – barang sehari – hari yang sekiranya masih dapat diperbaiki, dan tidak secara langsung membuangnya jika rusak dan memutuskan membeli baru. 

Tahukah anda bahwa setiap setengah kilogram sampah yang dapat kita kurangi, kita telah menyelamatkan energi dan mengurangi emisi CO2 hingga 1 pon atau sekitar 450 gram?!

Doronglah selalu diri kita masing – masing untuk sebisa mungkin menggunakan produk – produk yang dapat didaur ulang, dan tidak bersifat konsumtif (yang berlebihan).

3.Mulai praktikan menggunakan peralatan hemat energi dan ramah lingkungan

Menggunakan solar power bank lampu taman menggunakan tenaga surya, sepeda listrik, motor listrik, menggunakan lampu LED dan peralatan elektronik yang efisien (hemat) energi.

Setiap hal yang kita lakukan tersebut sangat mempengaruhi bumi, bayangkan jika semua orang dapat memulainya, ini bisa menjadi efek riak: dari satu rumah, satu wilayah, hingga satu kota. Jadi bijaklah dalam menggunakan energi untuk melestarikan energi.

Cadangan Minyak Bumi Akan Habis

Selama 10 tahun terakhir, lebih dari 90% dari bauran energi final berasal dari bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara). Persediaan bahan bakar fosil diperkirakan akan habis dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, bahkan minyak bumi diperkirakan akan habis pada 2030. Jika kita tidak mulai memikirkan untuk melakukan transisi menuju energi rendah karbon dan memiliki sumber sumber energi yang lebih efisien maka dunia akan mengalami krisis energi. 

Ditambah dengan krisis ekonomi yang membayangi fluktuatifnya harga dari bahan bakar fosil serta krisis iklim yang akan diperparah dengan bertambahnya penggunaan bahan bakar fosil, Hal – hal tersebut merupakan dua alasan mengapa Indonesia perlu meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi finalnya. 

“Meskipun porsi energi terbarukan sudah meningkat dua kali dari 4,37% pada 2008 menjadi 8,55% pada 2018, Indonesia masih perlu mengoptimalkan efisiensi energi untuk mencegah kenaikan suhu bumi karena energi terbarukan yang dikombinasikan dengan efisiensi energi merupakan langkah mitigasi perubahan iklim yang tepat. Transformasi sistem perekonomian pun dibutuhkan untuk dapat membuat implementasi teknologi energi terbarukan dan optimalisasi efisiensi energi yang masif di Indonesia. Erina Mursanti, Program Manager Green Economy, IESR”


Secara global 14 Desember diperingati Hari Konservasi Energi, untuk menyoroti pentingnya konsumsi energi dan penggunaannya dalam kehidupan kita sehari-hari, kelangkaannya dan dampaknya terhadap keberlanjutan sistem eko-global. Ini memfokuskan konsentrasi kita pada masalah-masalah signifikan yang dihadapi masa depan umat manusia sehubungan dengan energi.

Ini adalah hari untuk membangun kesadaran tentang:
• Kebutuhan konservasi energi
• Efisiensi energi
• Berhemat dalam penggunaan energi

Erina Mursanti, Program Manager Green Economy
Gandabhaskara Saputra, Communications Coordinator

Tanggapan IESR mengenai langkah strategis transisi energi Indonesia

Kontributor: Jannata Giwangkara, Erina Mursanti

Merespon tiga langkah strategi transisi energi di Indonesia versi Menteri ESDM dalam Energy Action Forum “Accelerating the Energy Transition on the Road to 2020 and Beyond” yang dihelat di New York, Minggu (22/9)  (sumber: EBTKE ESDM)

Ketiga langkah yang disampaikan oleh Menteri Jonan dalam pertemuan tersebut adalah:

  1. Kemudahan akses energi dan keterjangkauan masyarakat dalam mendapatkan energi
  2. Mempercepat pengembangan energi terbarukan dan meningkatkan porsinya dalam bauran energi nasional
  3. Pemanfaatan kemajuan teknologi untuk memperluas akses energi, namun tetap mempertahankan keterjangkauan dan mengakomodasi energi terbarukan ke dalam sistem

Penulis berpendapat bahwa:

  1. Penyediaan akses energi yang terjangkau dapat dilakukan melalui pembangkit listrik berbasis energi terbarukan (misal surya, mikrohidro, biomassa atau bayu skala kecil) yang mana tidak hanya dapat memberikan akses energi yang lebih terjangkau dari pembangkit berbasis diesel, tetapi juga dapat menciptakan nilai-nilai ekonomi baru bagi masyarakat setempat. Alhasil tidak hanya bisa menyasar target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDG) #7, tetapi juga menjadi aksi untuk target TPB #13. Lebih lanjut, disamping biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan (capital cost yang tinggi tapi marginal cost yang hampir nol) yang lebih kompetitif dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa dengan membangun PLTD (capital cost yang rendah tapi marginal cost yang tinggi), membangun energi terbarukan juga akan menghindari/meminimalisir adanya polusi udara yang ditimbulkan akibat pembangunan sumber energi berbasis fosil.

Sejak 2016, CAFOD, IEED dan IESR mengembangkan model penyediaan energi berbasis perencanaan dari bawah (bottom up energy planning) yang dikenal sebagai Energy Deliver Model. Percontohan metode EDM di Desa Boafeo di Kabupaten Ende dilakukan bersama-sama dengan AMAN. Simak laporan percontohan pertama EDM di Indonesia di Desa Boafeo, Ende, NTT berikut:

2. Akselerasi pembangunan energi terbarukan nasional tidak hanya membutuhkan regulasi yang responsif dan mendukung instrumen pasar yang diperlukan dalam meningkatkan investasi energi terbarukan, tetapi juga peraturan yang konsisten dan stabil. Peranan swasta dalam membantu pemerintah mencapai target energi bauran energi terbarukan sangat krusial dan menjadi tumpuan pemerintah mengingat kapasitas fiskal pemerintah dan BUMN/BUMD dalam membangun infrastruktur energi terbarukan terbatas. Untuk itu, ekosistem pendukung dalam pengembangan energi terbarukan perlu didesain multipihak dan terintegrasi.

Ekosistem pendukung yang dibuat oleh Jerman, Tiongkok, dan India dalam menyukseskan transisi energi dinegaranya mencakup lima hal berikut: (1) Komitmen dan kepemimpinan yang kuat ditingkat nasional dan daerah; (2) Kebijakan dan regulasi yang saling mendukung dan menguatkan, serta adaptif dan fleksibel sesuai dengan tren dan kondisi pasar; (3) Sistem dan manajemen ketenagalistrikan yang dikelola secara terintegrasi; (4) Instrumen pendanaan yang mendukung bagi investor; dan (5) Konsisten dan fokus dalam meriset dan mengembangkan teknologi energi terbarukan dalam negeri. Laporan Igniting A Rapid Deployment of Renewable Energy in Indonesia: Lessons Learned from Three Countries dapat dijadikan referensi dalam mempercepat pembangunan energi terbarukan di Indonesia. Simak laporannya di:

3. Teknologi yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan tentu harus terdesentralisasi dan memanfaatkan potensi energi terbarukan setempat. Dengan kombinasi energi terbarukan dari air, panas bumi, surya, dan biomassa, yang ada potensinya di setiap desa, kabupaten, dan provinsi di Indonesia, penulis yakin bahwa kebutuhan energi daerah dapat terpenuhi dan juga dapat lebih terjangkau dalam jangka panjang. Jadi pembangkit fosil yang besar dan tersentralisasi di pusat-pusat beban sudah tidak lagi terjangkau dan relevan untuk dibangun dalam peta jalan transisi energi Indonesia kedepan dengan harga teknologi energi terbarukan dan sistem penyimpanan yang akan semakin terjangkau.

Kedepan, konsep konsumen energi dari sektor rumah tangga (yang selalu disasar oleh PLN sebagai salah satu target pendapatan listrik utamanya), tidak akan lagi relevan karena berkat adanya kemajuan teknologi energi terbarukan yang demokratis. Panel surya misalkan, sekarang konsumen listrik bisa menjadi produsen listrik pada saat yang bersamaan, dimana listrik yang dibangkitkan bisa disalurkan ke jaringan transmisi PLN setempat. Efisiensi energi di sisi pengguna juga menjadi low hanging fruit yang selama ini kurang didorong oleh pemerintah, dan dilirik oleh pengguna rakus energi sebagai first fuel dalam memenuhi kebutuhan energinya. Hal tersebut sejalan dengan tren penyediaan energi/listrik di masa depan yang terdesentralisasi, bidirectional, dan tidak mengenal base load/mengedepankan demand side management.

Infografis potensi dan kapasitas terpasang energi terbarukan Indonesia tahun 2018 bisa menjadi bahan evaluasi kita dalam mengevaluasi pembangunan energi terbarukan di Indonesia. Lihat infografisnya melalui:

https://iesr.or.id/galeri/potensi-dan-kapasitas-terpasang-energi-terbarukan-indonesia-tahun-2018/

Secara umum, melakukan #EnergyTransformation dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dapat mempercepat pengembangan energi terbarukan dan memperluas akses energi. Dengan demikian, masyarakat di daerah pedalaman dan terpencil mendapatkan keterjangkauan akses energi yang berkualitas #SustainableEnergyAccess.

Seperangkat regulasi dan peraturan yang kondusif vital dibutuhkan dalam menarik minat investor energi terbarukan untuk menempatkan sejumlah dananya dalam bentuk proyek pengembangan energi terbarukan di seluruh pelosok Indonesia. Dukungan pemerintah, baik pemerintah pusat dan daerah pun sangat berperan dalam percepatan #EnergyTransformation demi menjamin #SustainableEnergyAccess.

Pemerintah daerah dapat memberikan jaminan kepastian (contohnya kepastian skema pendanaan atau kepastian lahan) untuk investor yang akan melakukan investasi di daerahnya. Kepastian ini dapat dituangkan pemerintah dalam RUED. Seperangkat regulasi dan peraturan (baik teknis dan non teknis) serta dukungan pemerintah dapat mewujudkan #GreenEconomy di Indonesia sehingga Indonesia unggul tanpa melupakan lingkungan.

High Geothermal Potential in Indonesia and Green Trains Running on Biofuel

On 26 – 27 August 2019, IESR (represented by Julius Christian, Clean Fuel Specialist and Abdilla Alfath, Research Intern) participated in field visit to PLTP (geothermal power plant) Kamojang and PT KAI (Indonesia’s railways corporation) organized by YLKI (Indonesian Consumers’ Organization). The participants included HIVOS, AMAN (The Alliance of Indigenous Peoples of the Archipelago), Koalisi Perempuan Indonesia (Indonesia Women Coalition) and Coaction Indonesia. The field visit was a part of discussion for consumers manual on energy developed by YLKI.

On the first day, the group visited PLTP Kamojang, the oldest geothermal power plant in Indonesia. The power plant has been commercially operational since 1983 and is also one of the largest geothermal power plants in Indonesia with a total installed capacity of 235 MW from its 5 units. An interactive Q&A session with managers at the power plant was conducted, particularly regarding geothermal developments in Indonesia. It was highlighted that the potential for geothermal in Indonesia is the highest in the world and currently Indonesia is only second to the US in geothermal installed capacity. However, it was also noted that there were high risks in exploration for geothermal energy, which drives high capex and difficulty to get financing before a Power Purchase Agreement (PPA) signed. The visit also included visit to a Geothermal Information Centre (GIC), built and managed by PERTAMINA. Visitors can can learn all things about geothermal energy from an expert geologist with various exhibits on geothermal energy. The GIC also has various interesting facilities, such as a mini cinema for geothermal documentaries. The group then continued to visit one of the units of PLTP Kamojang, Unit V. Unit V has a capacity of around 35 MW.

On the second day, the group visited the head office of PT KAI in Bandung. There was a meeting and discussion with directors from various departments. Intensive discussion was centered around KAI’s progress in implementing the use of B20 biodiesel (blending program) for KAI trains. It was highlighted that KAI has so far deployed B20 in 100% of its train and is currently undergoing testing for the implementation of B30. There were several issues noted, such as subsidy for biofuel and the future projection of it (non-subsidy program). KAI has great interests in making its trains consumer-friendly and hopes that it can go greener with the use of biofuel.

The event was insightful to understand more the landscape of renewable energy in Indonesia and its use in transportation sector. It was also nice to know that the journey from and to Jakarta left less carbon footprint as the trains used were run on B20.


Written by Abdilla Alfath, Research Intern, and edited by Marlistya Citraningrum


 

Sunny Days: Powering Indonesia with Solar Energy (Only!)

In 2017, Institute for Essential Services Reform (IESR), together with Ministry of Energy and Mineral Resources, Ministry of Industry, Indonesia Solar Association, Indonesia Renewable Energy Society, others associations and university; launched One Million Rooftop Solar Initiative (Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap). Since then, we have been working intensively to take active part in accelerating solar deployment in the country.

On Tuesday (30 July), we have launched our 4 major reports on solar energy, highlighted below:

1. For utility-scale solar power plants, we recommend the government to adopt reverse auction scheme. The effectiveness of the scheme has been proven by 4 countries with record-low solar generation cost (auction should be designed well to create competition and high-quality bids!)

Read more: Under The Same Sun (in English)

2. How massive of solar energy is massive? We decided to show how massive solar energy potential in Indonesia is by calculating technical potential for households in 34 provinces. With 4 scenarios used, Indonesia has 194 – 655 GWp of solar power, residential only. How much of that is feasible to achieve, market wise?

Read more: Residential Rooftop Solar Technical Potential in 34 Provinces in Indonesia (in English)

3. With that potential, why rooftop solar penetration for residential is so low? We asked people in Greater Jakarta and Surabaya to find out. Well, they are aware of the technology, with different perceptions. Those living in Greater Jakarta care more on the savings and ease of use, while people in Surabaya consistently mentioned good impact of solar energy for the environment and its high technology, apart from savings.

Three out of ten people in Greater Jakarta are willing to buy, 1 in 3 people in Surabaya also conveys the same intention. But what makes them reluctant to do it?

Also, the market potential for Greater Jakarta and Surabaya amounts to 13% and 19%, respectively. Assuming 2 kWp installation capacity, the numbers equal to 1,1 – 1,2 GWp and 170 – 186 MWp. Not small numbers compared to Indonesia’s solar energy target (6,5 GW by 2025).

Read more: Market Analysis of Rooftop Solar in Greater Jakarta and Surabaya (in Indonesian), Market Potential of Rooftop Solar PV in Surabaya (in English)

4. Powering the Cities, our latest series. We believe the role of local governments is crucial in accelerating solar deployment in Indonesia. Thus, we calculated technical potential of government and commercial buildings in Jakarta and Surabaya to understand more the solar energy landscape in those cities and how we can work together with local governments to establish solar cities in Indonesia.

Jakarta has 22 MWp rooftop solar potential, while Surabaya has 36 MWp. We encourage Government of Jakarta and Government of Surabaya to tap this potential and start transitioning to low-carbon development.

Read more: Powering the Cities: Technical Potential of Rooftop Solar for Public and Commercial Buildings (Jakarta and Surabaya) (in English)

Powering Indonesia with 100% renewables, or even solar energy only, perhaps no longer a faraway dream.


Warm (pun intended) regards,

Marlistya Citraningrum
Program Manager – Sustainable Energy Access

 

Virtual Reality, hadirkan dunia energi yang lebih ‘hidup’

Kontributor: Agus Tampubolon, Researcher

Virtual Reality: Inovasi perusahaan utilitas listrik untuk mengedukasi dan melibatkan diri dengan masyarakat


Perusahaan utilitas listrik di Indonesia hanya ada satu, yakni Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang menguasai mayoritas pembangkitan listrik dan memiliki monopoli atas seluruh jaringan transmisi serta distribusi. Namun beda halnya dengan negara Jerman.

Jerman memiliki ribuan perusahaan pembangkit listrik, mulai dari skala besar hingga kecil, ratusan perusahaan distribusi, dan empat perusahaan transmisi. Salah satu dari perusahaan transmisi ini bernama TenneT yang memiliki dan mengendalikan jaringan transmisi tegangan tinggi sepanjang 23.000 km guna memastikan pasokan listrik yang handal untuk 41 juta konsumernya[1].

Energy Management Specialist, IESR – Agus Tampubolon, dalam lawatannya pada program Fellowship yang dikelola oleh Agora Energiewende dan Renewable Academy (renac) Jerman, berkesempatan berkunjung dan mengalami langsung teknologi pada perusahaan yang menawarkan inovasi ini.

TenneT memiliki kantor pusat di Bayreuth, Bayern dan memiliki kantor perwakilan di Berlin. Dan di kantor Berlin inilah terdapat salah satu inovasi TenneT terbaru yang diberi nama TenneT Virtual Vision.

Gambar 1 Papan permainan terintegrasi proyeksi visual untuk belajar tantangan-tantangan proyek-proyek infrastruktur listrik skala besar

TenneT Virtual Vision adalah konsep komunikasi interaktif menggunakan multimedia, seperti Augmented Reality dan Virtual Reality, guna menghadirkan dunia energi yang lebih hidup bagi para pengunjungnya dengan maksud tidak hanya sebagai sarana edukasi, namun juga berperan penting untuk menginspirasi khalayak umum.

TenneT Virtual Vision mengajak pengunjungnya untuk berpartisipasi aktif dan mencoba banyak hal. Selain itu ia juga memperkenalkan dunia operator sistem transmisi, yang pada umumnya terletak di lokasi laut lepas (misalnya di Laut Utara) ataupun di situs-situs yang sulit diakses masyarakat umum. TenneT Virtual Vision juga menyoroti aspek-aspek utama dari transisi energi Jerman serta pandangan-pandangan masyarakat terhadap topik itu. Dan dengan menggunakan proyeksi visual yang terintegrasi dengan papan permainan (board game), kesulitan-kesulitan yang dihadapi dari proses perencanaan proyek-proyek infrastruktur listrik besar dapat dijelaskan dengan cara yang menyenangkan dan interaktif.

Gambar 2 Sistem monitoring pembangkit-pembangkit yang terhubung ke jaringan TenneT

 

Gambar 3 Pemanfaatan teknologi Augmented Reality untuk menunjukkan proses pembangunan jaringan transmisi DC dari Utara ke Selatan Jerman

Gambar 4 Teknologi Virtual Reality yang membawa pengunjungnya ke salah satu pusat operasi PLTB lepas pantai TenneT di Laut Utara Jerman

Untuk mengetahui lebih lanjut atau ingin berkunjung langsung, silahkan kunjungi laman https://www.tennet.eu/

[1] https://www.tennet.eu/de/unternehmen/profil/ueber-tennet/

Ranpergub Bali tentang Energi Bersih: IESR Mendukung Peran Aktif Pemerintah Daerah dalam Mempercepat Pengembangan dan Pemanfaatan Energi Bersih dan Terbarukan

Dalam kerangka percepatan pengembangan dan pemanfaatan energi bersih dan terbarukan, pemerintah daerah dan kota memiliki peran yang penting. Kebijakan energi nasional yang menjadi acuan dapat didukung pemerintah daerah dan kota melalui kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kewenangan pemerintah lokal dan pemahaman mereka yang lebih mendalam terhadap potensi dan keunggulan daerah. Misalnya, beberapa provinsi atau kota memiliki lahan yang lebih luas dibanding lainnya, yang cocok untuk digunakan sebagai lokasi pembangkitan listrik energi terbarukan. Pemanfaatan energi surya dalam bentuk rooftop solar juga sangat terkait dengan pemerintah daerah, di mana pemerintah daerah memiliki kewenangan terkait izin dan pengaruh pada sektor-sektor yang berpotensi menjadi pengguna, hingga pemberian insentif untuk penggunaannya. Selain itu, pengembangan energi bersih dan terbarukan di daerah juga memiliki peluang ekonomi dan industri untuk daerah tersebut.

Meningat pentingnya peran pemerintah daerah, Institute for Essential Services Reform (IESR) secara aktif mendorong dan mendukung pemerintah daerah di Indonesia untuk mengambil peran lebih signifikan dalam mempercepat pengembangan dan pemanfaatan energi bersih dan terbarukan di Indonesia. Untuk pemanfaatan rooftop solar, misalnya, IESR telah melakukan dua studi pasar terhadap rumah tangga di kawasan Jabodetabek dan Kota Surabaya. Masyarakat di dua wilayah ini menunjukkan minat yang cukup tinggi untuk menggunakan rooftop solar, terdapat potensi early adopters dan early followers sebesar 13% untuk Jabodetabek dan 19% untuk Kota Surabaya. Persentase ini menunjukkan bahwa masyarakat dapat menjadi aktor penting dalam agenda percepatan pemanfaatan energi terbarukan, juga dengan telah dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM No. 49/2018 yang mengatur penggunaan rooftop solar tersambung jaringan (grid-tie).

Hasil temuan ini disampaikan oleh IESR sebagai rekomendasi pada Pemerintah Provinsi Bali dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur Bali (ranpergub) tentang Energi Bersih; bahwa masyarakat dan publik memiliki peran besar dalam agenda pembangunan energi terbarukan. Ranpergub ini merupakan salah satu strategi Gubernur Bali Wayan Koster dalam mewujudkan visi dan misi “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”, yang terfokus pada program pembangunan yang sesuai dengan nilai-nilai kesucian dan keharmonisan alam Bali. Produk hukum mengenai energi bersih ini disusun mandiri oleh Pemerintah Provinsi Bali dan merupakan langkah progresif untuk menjawab kebutuhan energi Bali dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan setempat. Dalam ranpergub ini, pembangkitan listrik tidak hanya difokuskan pada pembangkit skala besar, melainkan juga perlu menitikberatkan pada pembangkit berskala komunal atau individu. Selain rumah tangga (residensial), sektor industri dan komersial juga merupakan target yang potensial, simulasi IESR menunjukkan adanya potensi rooftop solar hingga 25,9 MWp hanya untuk hotel bintang 5 di kawasan Nusa Dua dan Kuta. Potensi rooftop solar untuk bangunan publik dan fasilitas umum di Bali berdasarkan simulasi IESR juga terbilang tinggi, mencapai 15,6 MWp. Ranpergub tersebut telah memuat pewajiban bangunan dengan luasan tertentu, baik bangunan publik atau swasta, untuk memasang rooftop solar. Dengan target pengembangan energi surya sebesar 50 MW pada tahun 2025 sesuai Rancangan Umum Energi Daerah Bali, rooftop solar dapat berkontribusi secara signifikan.

Hasil studi pasar ini dan kajian serta simulasi IESR juga menunjukkan bahwa minat masyarakat dapat ditingkatkan dengan pemberian insentif, mengingat biaya awal pemasangan rooftop solar masih dianggap tinggi. Pemberian insentif yang berada dalam lingkup kewenangan pemerintah daerah, misalnya dengan diskon Pajak Bumi dan Bangunan selama periode waktu tertentu atau pemberian subsidi untuk pemasangan awal dapat mengurangi jangka waktu pengembalian investasi pembelian instalasi rooftop solar (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Simulasi insentif untuk penggunaan rooftop solar (IESR, 2018)

Rekomendasi insentif ini juga disampaikan IESR pada Pemerintah Provinsi Bali, yang telah dimasukkan sebagai salah satu skema insentif dalam ranpergub tersebut. Pemerintah Provinsi Bali telah menggelar uji publik ranpergub pertama pada tanggal 11 Juni 2019 di Denpasar, yang dihadiri oleh perangkat daerah, dinas-dinas pemerintahan dan lembaga-lembaga terkait di Bali, akademisi, praktisi, serta media. Dalam kesempatan ini, Institute for Essential Services Reform turut hadir dan mengapresiasi langkah strategis dan inovatif Pemerintah Provinsi Bali sebagai pionir pemerintah daerah yang memiliki kepedulian dan kebijakan terfokus pada energi bersih dan terbarukanPemerintah Provinsi Bali membuka ruang untuk menerima masukan-masukan dari beragam kalangan sehingga peraturan ini dapat disempurnakan. Dalam kerangka mendorong minat masyarakat dan sektor lain untuk berpartisipasi, IESR juga menyampaikan bahwa kemudahan akses pendanaan bagi masyarakat dapat didukung pemerintah dengan pelibatan lembaga keuangan untuk mengeluarkan skema pembiayaan cicilan dan/atau bunga rendah. Studi pasar IESR yang dilakukan di Jabodetabek dan Bali menunjukkan bahwa pelanggan rumah tangga lebih memilih skema pembiayaan cicilan dengan tenor kurang dari 5 tahun.

Ranpergub ini juga mencantumkan pengembangan baterai sebagai salah satu media penyimpan energi untuk mengantisipasi intermittency energi terbarukan. Berdasarkan hasil studi Australian National University, Bali sebenarnya memiliki potensi penyimpanan energi dalam bentuk pumped-hydro energy storage (PHES) lebih dari 2 TWh. Karenanya menurut IESR, Pemerintah Provinsi Bali perlu mempertimbangkan potensi ini selain pengembangan penyimpan energi kimiawi seperti baterai.

Ranpergub ini merupakan salah satu contoh konkret bagaimana pemerintah daerah dapat berperan aktif dalam pembangunan energi terbarukan yang sesuai dengan konteks lokal. Pemerintah Provinsi Bali dapat menjadi contoh bagi pemerintah daerah lain di Indonesia untuk mulai menggali potensi energi terbarukan setempat, mendorong keterlibatan semua pihak dalam agenda ini, dan mengintegrasikan visi pembangunan rendah karbon dalam sistem pembangunan daerah.


Marlistya Citraningrum
Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan

 

The Original Wisdom of Energy Use

Energy Transition Blog Series #1

Energy in human civilization

Paolo Malanima, an economic historian from Italy, classifies the history of the world energy into two periods based on the utilization of energy source. The first period ranges from 7 million to 500 years ago, marked with five prime energy sources, namely food, firewood, animal feed, hydropower, and wind power. For about 5 to 7 million years ago, food is known as the only energy source by a human with other two forms of energy (i.e., kinetic and thermal). They only relied on their body and animals to perform some works with limited usage of hydro and wind power. For this reason, he then called this period as the organic vegetable economy.

The second world energy period spans from the present to last 500 years ago. In this era, the prime energy sources for human and animals have been replacing by fossil fuel-based, along with the development of machine tools and mechanization. The fossil energy sources which have been utilized are from coal, crude oil, primary electricity, natural gas, and nuclear, respectively. So, for this second period, Paolo Malanima called the era as the organic economies.

Figure 1. Paolo Malanima’s history of the world energy era classification.

From these two periods, the common principle to extract the energy remains the same: by burning the carbon. While the first period used direct timber and other traditional biomass as the carbon source, the modern period uses the “fossil” carbon from ancient plants and organisms which subject to intense heat and pressure over millions of years. The changes in the use of fuel between these periods encourage the emergence of the energy transition.

What is energy transition?

The energy transition can be interpreted simply as “changes in the system of energy production and consumption in a certain period of time.” Nowadays, the terms globally referred as the transformation process in the energy supply in which from fossil fuel-based energy system (i.e. coal, oil, and gas) towards a more efficient, low carbon, and sustainable energy system with renewables (e.g. solar, wind, bioenergy, hydro). The current transition is driven to achieve global climate mitigation goals in limiting global warming to 2oC – or even limiting to 1.5oC.

Energy transition phenomenon is actually already started a long time ago. It began in the mid 19th century by the utilization of coal as the main source of energy, followed by the introduction of oil in the 20th century, and nuclear in the 1950s. From the 1950s to date, the energy supply from renewables has been taking over the dominance of the non-renewables. It’s fairly to say that the global energy transition has undergone under four major waves (see Figure 2).

 

Figure 2. The phenomenon of the global energy transition.

The first global energy transition arguably marked when Thomas Newcomen and James Watt invented the steam engine in the late-18th century. In this era, there have been changes in the number and pattern of energy use as well as the energy-carrying substitutes – which were originally dominated by biomass (firewood) to coal and oil later in the mid-20th century. Further, the geographical distribution of energy production, the commercialization of energy resources, and the impact of energy use on the environment began to be visible in this industrial revolution era.

The era of industrialization – along with the discovery of electricity and the increasing population of the world, pushed for greater demand for energy. Coal and oil have more energy density than biomass. Hence, these two sources of energy had been used massively in the era to supply the needs. As a consequence, biomass utilization was dramatically decreased and the new type of energy, i.e. electricity, was started to increase.

High utilization of coal and oil – plus economic development, not only increased fossil fuel usage but also encouraged the development of technology towards more efficient and more environmentally friendly. That’s why the introduction of nuclear energy to generate electricity in the 1950s marked as the third wave of the global energy transition. The world’s first nuclear powerplant started operations in Obninsk, in the Soviet Union, on June 27, 1954.

The fourth wave of the global energy transition marked by the reduction in the use of fossil fuels, especially in developed countries. With the threat of climate change and its impact, countries in the world then agreed to require the transition of the current energy system towards a cleaner system by using renewables. Solar and wind energy are among the most renewable sources which have a rapid deployment around the globe.

“Back to the future past”

Maybe not many people are aware that we finally return to the original wisdom of energy use in the past. If we referring back to the Paolo Malanima’s classification, our ancestors had been evidently used the renewable energy to empower their work in the first place. With technological advancement, we can back to use past wisdom in tapping the energy from renewable energy sources, in more effective ways.

Current renewable energy technologies, combined with the storage system, can substitute the dirty fossil power plants without having the reliability. The rise of micro-power and decentralized generation globally indicates that we no longer need the big, centralized power plant. Moreover, the digital revolution in the energy sector (e.g. digitalization, internet of things) also accelerate the energy transition towards a more efficient, low carbon, and sustainable energy system with renewables.

So let’s turn, not burn!


Jannata Giwangkara,
Program Manager – Energy Transformation