Refleksi Perkembangan Energi Terbarukan Indonesia di 2015-2018 dan Prospeknya di 2019

Fabby Tumiwa[*]

Pengembangan pembangkit energi terbarukan sepanjang 4 tahun pemerintahan Joko Widodo nyaris jalan di tempat. Laporan Status Energi Bersih Indonesia 2018 yang diluncurkan IESR pada 19 Desember 2018 lalu mencatat dari awal 2015 hingga kuartal kedua 2018 kapasitas pembangkit energi terbarukan hanya bertambah 960 MW. Penambahan kapasitas terbesar disumbangkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebanyak 513 MW, disusul dengan mini/mikro hidro sebesar 231 MW. Di urutan ke-3 ada PLT Bionenergi bertambah 90 MW, sedangkan PLT Bayu skala utilitas pertama di Indonesia di Sidrap dengan kapasitas 75 MW berada di urutan ke-4.

Pertambahan kapasitas terbesar terjadi pada periode 2015/2016 sebesar 354 MW, kemudian di periode 2016/2017 sebesar 284 MW. Dengan melihat penambahan kapasitas pada kurun waktu ini dan dengan memperkirakan pembangunan pembangkit energi terbarukan butuh waktu minimal 3 bahkan 4 tahun dari persiapan, konstruksi hingga operasi (COD), maka bisa dikatakan pembangkit-pembangkit ini diinisiasi sejak 2012/2013 berbasis pada regulasi-regulasi pada masa-masa tersebut.

Selama 2014-2018, pembangkit energi terbarukan rata-rata bertambah 470 MW (0,47 GW) per tahun. Dengan catatan pada 2014/2015, ada penambahan kapasitas pembangkit bioenergi yang cukup besar, dimana sebagian besar pembangkit tersebut adalah off-grid. Jika penambahan 2014 ke 2015 tidak dimasukan, maka rata-rata penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan hanya 0,24 GW per tahun.

Pencapaian dan kemajuan ini sebenarnya seharusnya membuat kita cemas. Peraturan Presiden No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mencanangkan target 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025. Target ini setara dengan kapasitas pembangkit energi terbarukan sebesar 45 GW. Dengan total kapasitas yang mencapai 9 GW saat ini, diperlukan tambahan 36 GW hingga 2025 nanti, atau rata-rata 4,5-5 GW per tahun sejak 2017. Dengan demikian penambahan 0,47 GW per tahun atau 10% dari rata-rata kapasitas tambahan per tahun sesuai target RUEN, bahkan rata-rata 5% sepanjang 2015-2018 menunjukan bahwa pencapaian pemerintah sesungguhnya tidak berada di jalur yang tepat.

Pencapaian periode ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode 2010-2014 dimana kapasitas pembangkit energi terbarukan rata-rata bertambah 523 MW (0,52 GW) per tahun. Penambahan kapasitas tercepat terjadi pada 2012 dan 2013, dengan tambahan 1,1 GW dan 0,9 GW masing-masing.

Apa yang membuat pembangunan pembangkit energi terbarukan di kurun waktu 2014/2015-2018 melambat? Ada sejumlah faktor, antara lain:

Pertama, inkonsistensi komitmen dan dukungan politik atas pengembangan energi terbarukan dari pemimpin nasional dan sektoral. Dalam empat tahun ini kita melihat dua sikap yang berbeda dari Presiden menyangkut dukungan pengembangan energi terbarukan. Pada periode 2014-2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat sejumlah pernyataan positif yang mendukung pengembangan energi terbarukan, misalnya pada saat peresmian program 35 ribu MW di Samas, Bantul tahun 2015 lalu. Pada tahun yang sama saat peresmian PLTP Kamojang, Presiden Jokowi juga menyampaikan nada positif yang mendukung investasi energi terbarukan, bahkan menjanjikan insentif khusus. Pada tingkat sektoral, Menteri ESDM saat itu, Sudirman Said, juga memberikan dukungan untuk mengembangkan energi terbarukan.

Sikap Presiden terhadap energi terbarukan berubah setelah 2016. Pada saat peresmian PLTB di Sidrap, Presiden menyatakan: harga listrik energi terbarukan masih mahal dan “harus bisa lebih rendah lagi.” Presiden juga menyatakan tidak perlu memberikan insentif untuk energi terbarukan. Menteri ESDM, Ignatius Jonan juga mengungkapkan keengganan untuk memberikan insentif bagi energi terbarukan. Ada perbedaan cara pandang dan komitmen Presiden Jokowi dan pembantunya terhadap energi terbarukan pada era 2015-2016 dan paska 2016. Perubahan komitmen ini terefleksi pada kebijakan dan peraturan di bidang energi terbarukan yang terbit pada 2017 dan sesudahnya.

Kedua, inkonsistensi kebijakan dan regulasi untuk pengembangan energi terbarukan. Pada periode sebelum 2014, pengembangan energi terbarukan dipacu lewat sejumlah kebijakan yang mendorong minat investasi di pembangkit energi terbarukan, dan penerapan regulasi yang memberikan insentif harga bagi listrik energi terbarukan, khususnya untuk panas bumi, mikro/mini-hydro dan biomassa dalam bentuk kebijakan feed in tariff (FiT). Arah kebijakan ini dilanjutkan hingga pertengahan 2016, bahkan regulasi feed in tariff diperluas, dan dibuat lebih spesifik untuk pembangkit surya dan bayu (angin). Pada saat itu Kementerian ESDM juga merencanakan pembentukan Dana Ketahanan Energi (DKE) untuk mendukung pengembangan energi terbarukan.

Di akhir 2016 paska reshuffle kabinet, Menteri ESDM justru mulai berpaling dari kebijakan FiT dan menempatkan energi terbarukan untuk bersaing harganya dengan pembangkit konvensional berbasis fossil fuel. Selain itu pemerintah mulai menggunakan retorika populis “energi berkeadilan” yang ditafsirkan oleh Menteri ESDM untuk membuat harga energi, termasuk biaya produksi listrik, tetap rendah dalam jangka pendek. Arah kebijakan ini dipakai untuk menjustifikasi upaya-upaya untuk memaksakan biaya produksi energi terbarukan lebih murah daripada rata-rata harga BPP di wilayah PLN. Di awal 2017, Menteri ESDM mengeluarkan regulasi baru yang membuat tarif listrik dari pembangkit energi terbarukan dipatok setara (maksimal 100%) atau lebih rendah (maksimal 85%) dari Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) PLN yang diatur dalam Permen ESDM No. 12/2017, yang kemudian diubah menjadi Permen ESDM No. 50/2017. Selain menggunakan patokan BPP PLN, regulasi ini juga menetapkan penggunaan skema Build-Own-Operate-Transfer (BOOT) untuk pembangkit energi terbarukan yang berkontrak dengan PLN.

Ketiga, akses pendanaan yang terkendala dan semakin terbatas. Perubahan arah kebijakan dan regulasi yang sedemikian drastis menyebabkan lembaga keuangan lebih berhati-hati menyalurkan pembiayaan bagi proyek energi terbarukan karena meningkatnya profil risiko proyek akibat perubahan regulasi, serta meningkatnya tuntutan lembaga keuangan kepada pengembang proyek untuk memiliki kapasitas pendanaan yang lebih besar dalam bentuk ekuitas dan jaminan (collateral) serta kemampuan finansial untuk memitigasi risiko-risiko yang muncul akibat adanya regulasi baru, misalnya Permen ESDM No. 10/2017 tentang Pokok-Pokok Perjanjian dalam Jual Beli Tenaga Listrik.

Kapasitas dan kemampuan finansial para pengembang domestik/lokal yang membangun dan mengoperasikan pembangkit-pembangkit skala kecil (dibawah 10 MW) yang selama ini pas-pasan dan terbatas semakin terbebani dengan adanya berbagai regulasi tersebut. Terlepas dari penerapan prinsip 5C oleh lembaga keuangan, meningkatnya risiko proyek akibat regulasi yang mempengaruhi bankability sebuah proyek membuat lembaga keuangan berupaya memitigasi risiko-risiko yang muncul dan implikasinya adalah munculnya beban tambahan bagi para pengembang (lokal) yang menghambat mereka mendapatkan pendanaan.

Lalu, bagaimana prospek energi terbarukan di 2019? Laporan Indonesia Clean Energy Outlook 2019 yang diluncurkan IESR akhir bulan lalu memberikan gambaran yang pesimistis. Sampai awal tahun ini, belum terlihat adanya komitmen politik untuk memperbaiki iklim investasi dan kerangka regulasi yang selama dua tahun terakhir dianggap sebagai hambatan bagi investasi energi terbarukan. Jauh-jauh hari Menteri ESDM telah menyatakan bahwa tidak ada kenaikan tarif listrik sampai akhir 2019. Hal ini berarti biaya produksi listrik akan dikendalikan dan diregulasi walaupun terdapat volatilitas harga energi primer di pasar global.

Apa implikasi pada energi terbarukan? Arah kebijakan dan regulasi untuk “memaksa” tarif listrik dari energi terbarukan untuk tetap rendah akan tetap mainstream selama 2019 ini. Yang artinya, hanya para pengembang yang punya akses ke pemasok teknologi, kemampuan finansial dan sumber pembiayaan yang kompetitif (pinjaman dengan bunga rendah), serta yang terkoneksi dengan global supply chain serta yang berpengalaman dalam pengembangan proyek yang memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi sumber daya energi terbarukan di tanah air. Sepertinya tidak banyak pengembang yang punya berbagai kemampuan ini, selain segelintir investor asing dan sedikit perusahaan lokal.

Minimnya pengembang akan berdampak pada jumlah proyek yang dapat dikembangkan dan nilai investasi yang terjadi. Terbatasnya jumlah proyek dan pengembang akan memperlambat learning curve dari proyek-proyek energi terbarukan. Padahal faktor learning curve ini penting untuk menurunkan biaya investasi dan biaya pembangkitan listrik dari pembangkit energi terbarukan.

Prospek perkembangan investasi energi terbarukan juga akan terhambat dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum pada bulan April 2019 dan berbagai proses pra dan paska Pemilu. Aktivitas pemilu meningkatkan risiko politik dan risiko-risiko lain yang terkait dengan pelayanan publik, misalnya perijinan. Dengan demikian, investor dan pelaku usaha lainnya sepertinya cenderung menunggu sebelum melakukan investasi baru atau melanjutkan investasi yang telah direncanakan.

Dengan mempertimbangkan berbagai kondisi tersebut, perkembangan energi terbarukan sepertinya akan melandai, bahkan menurun, di tahun 2019 ini. Peluang realisasi investasi energi terbarukan di tahun ini sangat bergantung dari keberhasilan 35 proyek pembangkit listrik yang sudah PPA pada 2017 untuk mendapatkan pendanaan dan 30 proyek yang konon dilaporkan sedang konstruksi, serta realisasi proyek-proyek pembangkit listrik tenaga sampah yang ditetapkan oleh Kepres tahun lalu. Selain itu proses pengadaan pembangkit di PLN yang menggunakan skema pemilihan langsung juga menentukan realisasi investasi di 2019.

Walaupun demikian, dengan tingkat perkembangan saat ini akan sangat sukar mengejar pembangunan pembangkit energi terbarukan untujk mencapai target RUEN, yaitu 4-5 GW per tahun atau mencapai target bauran energi terbarukan dalam bauran energi primer sebesar 16% pada akhir 2019 nanti. Sudah waktunya Presiden Joko Widodo melakukan refleksi dan evaluasi terhadap pencapaian ini dan melakukan langkah-langkah koreksi. Seperti yang pernah disampaikan Presiden di Sidrap bahwa Indonesia tidak bisa bergantung pada fossil fuel selamanya serta pernyataan Presiden saat berpidato di WB-IMF Annual Meeting 2018 tentang perlunya kerjasama global untuk memerangi perubahan iklim yang membutuhkan kenaikan investasi energi terbarukan tahunan sebesar 400% kali lipat. Pernyataan Presiden Jokowi hanya akan dianggap retorika kalau Indonesia sendiri gagal memobilisasi investasi dan pendaaan energi terbarukan untuk mencapai target kebijakan dan pembangunan yang sudah dibuatnya sendiri. So, wake up Mr. President! Winter is coming and it kills renewable energy prospect in Indonesia.

Jakarta, 5 Januari 2019

[*] Direktur Eksekutif IESR. Email: fabby@iesr.or.id

Ini yang dilakukan India untuk membangun Program Nasional Listrik Surya Atap, Indonesia bisa menirunya juga

 

Pada akhir Agustus lalu, tarif listrik surya atap di India membuat rekor baru. Hasil lelang rooftop solar pv yang dilakukan oleh Madhya Pradesh Urja Vikas Nigam Limited (MPUVN), sebuah badan usaha milik pemerintah negara bagian Madhya Pradesh untuk melakukan berbagai program pengembangan dan implementasi energi terbarukan milik pemerintah negara bagian dan federal (nasional), memberikan penawaran terendah sebesar Rs. 1,58/kWh ($0,022/kwh) untuk kapasitas 2,2 MWp. Penawaran terendah ini dibuat oleh perusahaan multinasional, Amp Solar India, yang menjadi salah satu pemenang.

Pelelangan (auction) yang dilakukan oleh MPUVN Ltd ini adalah program negara bagian untuk instalasi rooftop solar PV di gedung-gedung pemerintah dan swasta dengan kapasitas total 35 MWp, diikuti oleh 31 peserta. Perangkat listrik surya atap dipasang di 643 fasilitas pemerintah, polisi, kampus, dan entitas swasta yang ada di negara bagian Madhya Pradesh. Proyek ini menggunakan skema Renewable Energy Service Company (RESCO), dimana perusahaan yang memenangkan tender melakukan perancangan, instalasi, operasi dan perawatan rooftop solar PV, dan konsumen membayar listrik yang diproduksi.

Perusahaan Amp Solar kebagian memasang di 10 lokasi milik Power Grid Corporation, BUMN India di bidang transmisi listrik. Pemenang lainnya adalah Azure Power yang menawar Rs. 2,2/kWh ($0,031/kWh) untuk memasang 5,4 MWp di 291 kampus. Sedangkan yang tertinggi adalah Renew Solar Energy dengan penawaran Rs. 4,12/kWh  ($ 0,058/kWh), dengan kapasitas 500 kWp. Tarif yang ditawarkan tidak statis tetapi ada kenaikan 3% selama masa kontrak 25 tahun.   

Sebelumnya, tarif terendah untuk rooftop solar PV dengan skema RESCO dibuat oleh Mundra Solar sebesar Rs. 2,2/kWh ($0,034/kwh) pada lelang yang dilakukan oleh SECI tahun lalu. India memiliki target ambisius untuk mencapai 100 GW kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), 60 GW dari PLTS yang terpasang di atas tanah (ground mounted) dan 40 GW dari surya atap (rooftop PV).

Sepanjang 2017 lalu, berbagai instansi pemerintah di tingkat nasional (federal) dan negara bagian (state) telah melakukan tender mencapai 10 GW dan lelang hingga 6 GW untuk listrik surya. Sebagian dari itu merupakan program pemerintah India untuk mendorong instalasi perangkat listrik surya, termasuk rooftop solar pv oleh perusahaan milik negara (central public sector undertaking atau CPSU). Target program ini ditingkatkan menjadi 12 GW, yang dibarengi dengan program penguatan industri manufaktur sel dan modul surya domestik yang dimulai awal 2018.

Pemerintah negara bagian juga aktif membuat program listrik surya atap untuk rumah tangga dengan skema RESCO dengan tujuan meningkatkan permintaan sehingga dapat menurunkan biaya modal. Pada 2018, pemerintah Delhi meluncurkan Solar Rooftop Demand Aggregation Program dengan total permintaan mencapai 40 MW. Pemerintah Delhi mentargetkan 1000 MW instalasi pada 2020 dan 2000 MW pada 2025 melalui program ini.

Pada Maret 2017, Kementerian Energi Baru dan Terbarukan India mengeluarkan biaya patokan sistem (benchmark cost) untuk perangkat solar rooftop dan PLTS skala kecil hingga 500 kWp yang tersambung dengan jaringan (grid connected). Patokan biaya sebesar Rs. 70/Wp ($1/Wp) untuk kapasitas dibawah 10 MWp, Rs. 65/Wp ($0,9/Wp) untuk kapasitas 10 – 100 kWp, dan Rs. 60/Wp ($0,85/Wp) untuk kapasitas 100 – 500 kWp. Walaupun patokan biaya ini berlaku sampai dengan 2018, hasil terbaru menunjukkan biaya dari proyek rooftop solar pv sudah lebih rendah dari itu.

Salah satu kunci keberhasilan India dalam mengembangkan energi surya adalah konsistensi kebijakan, regulasi dan program pemerintah sejak 2000-an, terutama setelah tahun 2009 melalui berbagai program nasional dan negara bagian untuk mengembangkan grid connected and off-grid solar. Sebelum 2010, kapasitas terpasang solar di India belum mencapai 10 MW, tapi lewat program Jawaharlal Nehru Solar Mission Program (JNNSM) pada 2012 kapasitas terpasang surya mencapai 1GW.

Konsistensi di sisi kebijakan, regulasi dan program didorong juga oleh penurunan harga modul surya dan komponen balance of system (BOS) secara global dalam 10 tahun terakhir membuat India berhasil membuat harga listrik surya menjadi sangat rendah dan kompetitif terhadap listrik dari PLTU batubara.  Sebagai perbandingan pada 2009, harga listrik surya dipatok Rs. 18,44/kWh (sekitar $ 0,35/kWh dengan nilai tukar waktu itu).

Salah satu regulasi yang berhasil meningkatkan permintaan terhadap teknologi surya adalah Renewable Portfolio Obligation (RPO) yang mengharuskan porsi tertentu dari bauran listrik yang dibangkitkan berasal dari pembangkit energi terbarukan di setiap negara bagian. RPO ini juga secara khusus untuk listrik dari tenaga surya. Dengan adanya kebijakan ini maka perusahaan distribusi tenaga listrik diharuskan oleh regulator kelistrikan di masing-masing negara bagian untuk membeli listrik dari surya (dan pembangkit energi terbarukan lainnya) dan memfasilitasi instalasi listrik surya atap oleh konsumen di wilayah distribusinya, dengan menyediakan sumber daya manusia untuk melakukan kajian, instalasi dan monitoring. Ketentuan RPO juga berlaku untuk konsumen listrik besar.

Kesimpulan dari pengalaman India mengembangkan solar pv adalah kemampuan pemerintah menerjemahkan target dalam berbagai program dan skema solar pv di tingkat negara bagian dan federal (nasional) dan membangun sinergi antar program dan skema tersebut melalui kebijakan, regulasi dan insentif fiskal dan finansial. Pemerintah India menggerakan badan usaha milik negara menjadi pendorong, sekaligus motor untuk mengejar target-target solar pv, dengan berbagai dukungan finansial dan insentif, serta mengembangkan industri domestik dengan menjadikan program-program tersebut sebagai jaminan untuk pasar produk domestik.

Apa pelajaran yang bisa dipetik oleh Indonesia dari pengalaman India tersebut? KEN dan RUEN memiliki target 6,5 GW listrik surya pada 2025, sebagai bagian dari target 23% bauran energi terbarukan. Target ini sepertinya kurang ambisius dan dapat ditingkatkan, dengan pertimbangan bahwa harga teknologi modul surya dan perangkat pendukung yang semakin murah dan kompetitif terhadap pembangkit konvensional, dan perlunya upaya percepatan untuk mengatasi ancaman perubahan iklim sesuai dengan kerangka kesepakatan Paris.

Untuk itu, pemerintah perlu meluncurkan program nasional “Surya Nusantara”, dengan target 10 GW pada 2025 untuk ground mounted dan rooftop solar pv. Target rooftop solar pv 1 GW pada 2020 dapat menjadi antara. Adanya program nasional dapat memberikan sinyal kepada semua pihak bahwa pemerintah serius dan membentuk pasar. Hal ini dapat menarik minat pelaku usaha dan investor.

Program ini terdiri dari beberapa skema, a.l. skema listrik surya atap untuk bangunan dan instalasi pemerintah dan BUMN; skema listrik surya atap pengganti subsidi listrik, skema listrik surya atap untuk pelanggan listrik PLN, yaitu rumah tangga dan bisnis, program industrial rooftop solar pv, dan program listrik surya skala besar (diatas 25 MW) oleh PLN dan IPP. Secara garis besar implementasinya sebagai berikut:

  1. Untuk program listrik surya atap di bangunan dan instalasi milik pemerintah yang mencakup gedung pemerintah pusat dan daerah, gedung BUMN, perguruan tinggi dan sekolah. Buatlah target secara bertahap dan lakukan auction  secara paket yang dilakukan terpusat untuk kementerian dan lembaga di tingkat pusat,  dan di setiap propinsi, misalnya 25-30 MW per paket, untuk menciptakan skala keekonomian. Pelelangan dilakukan secara bertahap sehingga bisa didapatkan harga terbaik. Wajibkan penggunaan modul surya produksi dalam negeri untuk program listrik surya atap  di bangunan dan instalasi milik pemerintah.
  2. Lakukan pemasangan listrik surya atap pada 10% pelanggan PLN yang dikategorikan sebagai rumah tangga tidak mampu sebagai pengganti subsidi listrik. Terdapat 22 juta pelanggan listrik daya 450 VA dan 900 VA yang disubsidi pemerintah. Setiap tahunnya, kelompok pelanggan ini menerima subsidi sebesar Rp. 2-2,2 juta. Dengan mentargetkan 10% maka ada 2,2 juta rumah tangga yang bisa dipasang atapnya dengan perangkat listrik surya. Dengan memasang 1 kWp di setiap rumah maka kebutuhan listrik harian sudah dapat terpenuhi. Total biaya untuk program ini diperkirakan sekitar $2-2,2 milyar, yang dapat dibagi dalam 7 tahun pelaksanaan atau $300 juta per tahun dengan rata-rata instalasi 300 ribu rumah. Penghematan subsidi sebesar $600 milyar per tahun pada tahun pertama, dan menjadi Rp. 4,2 triliun per tahun di tahun ketujuh, dengan total 2,2 GWp kapasitas terpasang surya atap.
  3. Pelanggan listrik PLN golongan rumah tangga dan bisnis atau bangunan komersial serta industri kecil dapat memasang perangkat listrik surya atap untuk pemakaian sendiri maupun menjual kelebihan listriknya ke PLN lewat skema net-metering atau feed in tariff.
  4. Untuk industrial solar rooftop diatas 1 MW dapat menggunakan sendiri listriknya atau menjual kepada PLN melalui skema auction. Untuk penggunaan sendiri, aturan mengenai daya paralel sebagaimana diatur di Permen ESDM No. 1/2017 perlu dihapuskan.
  5. Untuk rumah tangga, berikan insentif pemasang listrik Surya atap a.l.: a) potongan pajak bumi dan bangunan (PBB) selama beberapa tahun, misalnya selama lima tahun, dengan akumulasi nilai potongan mencapai 10-15% dari total biaya investasi listrik surya atap; b) sediakan kredit bunga rendah untuk listrik surya atap (setara suku bunga KUR atau lebih rendah) yang dapat diakses masyarakat secara mudah via Bank yang ditetapkan pemerintah; c) berikan potongan harga (rebate) untuk penggunaan modul surya produksi dalam negeri bekerja sama dengan produsen modul surya; dan insentif lainnya untuk menarik minat rumah tangga, bisnis dan industri. Skema insentif ini dievaluasi hasilnya secara periodik untuk ditinjau efektivitasnya.
  6. PLN diberikan target untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap utility scale (>10 MW) untuk rooftop solar PV atau diatas 25 MW untuk ground mounted solar PV.
  7. Pemerintah mendorong komersialisasi batterai penyimpan (storage) sebagai solusi utk intermitensi listrik dari pembangkit tenaga surya.

 Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR

Energi itu memang tidak murah, maka efisien dan berhematlah!

Beberapa pekan lalu sosial media sempat dihebohkan dengan berita mengenai mahalnya tarif listrik di Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) kemudian  menanggapi berita tersebut dengan menyiapkan berbagai argumentasi yang menjelaskan bahwa tarif listrik Indonesia termasuk yang termurah di dunia, bahkan paling murah jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.

Kehebohan mengenai murah tidaknya tarif listrik ini sebetulnya menimbulkan pertanyaan, benarkah harga energi seperti listrik itu harus murah? Jika murah, apa dampaknya terhadap perekonomian, terhadap keuangan negara ataupun masyarakat. Dan sebaliknya, jika harga listrik itu mahal, apa dampaknya? Apakah harga listrik yang mahal menurunkan minat investasi dan bisnis di negara tersebut? Atau sebaliknya?

Namun sebelum menjawab pertanyan-pertayan tesebut, menarik juga untuk menyimak mengenai Efisiensi Energi dan Konservasi Energi yang disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam acara IndoEBTKEConnex 2018 yang berlangsung di Jakarta, Kamis (30/08/2018).

Dalam terminologi ekonomi energi ada sebuah istilah yang dikenal dengan intensitas energi. Ini adalah parameter untuk menilai mengenai efisiensi energi disebuah negara. Jika semakin rendah intensitas energi suatu negara, itu artinya semakin efisien negara tersebut dalam penggunaan energi untuk pertumbuhan ekonominya.

Intensitas energi Indonesia terus mengalami penurunan, meskipun perlu banyak upaya yang harus dilakukan Indonesia semakin efisien dalam penggunaan energi.

Studi yang dilakukan International Energy Agency (IEA) menjelaskan bahwa efisiensi energi tak berdampak pada penghematan penggunaan energi tetapi juga penghematan biaya energi yang sangat besar.

Sebagai contoh penggunaan lampu LED yang lebih hemat energi akan mengurangi penggunaan energi sebesar 5,4 PJ (pico joules) dan menghemat biaya $ 1,2 milyar. Atau jika 25% dari penggunaan kendaraan roda dua menjadi motor listrik maka akan menghemat penggunaan BBM sebesar USD 0,8 milyar/tahun.  Penggunaan penyejuk ruangan (AC) yang hemat energi juga akan mengurangi energi sebesar 32 PJ/tahun

Salah satu tantangan untuk mendorong kebijakan mengenai efisiensi energi adalah karena tidak adanya aturan mengenai keekoomian harga bahan bakar.

Maka tak heran jika dalam sebuah survei yang dilakukan terhadap 25 negara pengkonsumsi 80% dari energi di dunia Indonesia masuk dalam peringkat ke 17, atau dinilai sangat tidak efisien. Studi ini mengukur dari sejumlah aspek diantara regulasi energi, efisiensi energi di sektor transportasi, industri dan bangunan.

Sebetulnya, apa yang menyebabkan efisiensi energi sulit diterapkan di Indonesia?

Menurut Fabby, ada beberapa faktor yang menyebabkan hal terjadi, namun yang paling utama adalah perilaku konsumen di Indonesia yang cenderung untuk memilih barang yang murah. Harga menjadi penentu utama dibandingkan dengan fungsi, kualiatas apalagi efisiensi energi

Faktor kedua, adalah keengganan industri untuk melakukan efisiensi energi, padahal 40% efisiensi energi berasal dari sektor ini. Kalangan industri lebih memilih untuk berivestasi untuk ekspansi usaha baru, ketimbang investasi untuk efisiensi

Faktor ketiga, kebijakan harga energi. Pemerintah terlalu banyak memberikan subsidi energi terutama untuk energi berbahan bakar fosil. Dan selain itu, tidak ada kebijakan terkait harga energi yang wajar dan sesuai nilai keekonomian. Akibatnya masyarakat tidak merasa terbebani dengan harga energi dan berprilaku boros energi.

Faktor keempat adalah kualitas regulasi dan implementasi kebijakan. Regulasi yang disiapkan bukan berdasarkan pertimbangan yang ilmiah dan obyektif tetapi lebih pada memenuhi kebutuhan pihak tertentu.

Faktor kelima tidak adanya sarana untuk pengujian efisiensi energi, seperti laboratorium pusat pengujian untuk efisiensi energi. Di seluruh Indonesia hanya tersedia 3 tempat untuk pengujian teknologi AC, padahal industri ini meghasilkan produksi 3 juta setiap tahunnya.

Faktor keenam, tidak adanya investasi swasta berupa dukungan pembiayaan ataupun fasilitas pendukung pendanaan.

Faktor ketujuh, lemahnya koordinasi antara lembaga pemerintah. Stadarisasi efisiensi energi yang tinggi tidak bisa karena masing-masing kementerian khawatir hal tersebut akan menganggu kepentingan sektornya. Akibatnya, industri Indonesia hanya menjadi pasar bagi produk negara lain, industri dalam negeri sendiri lemah dan lebih banyak melakukan import.

Untuk mengatasi tantangan ini semua, menurut Fabby, solusinya adalah memberi kesadaran kepada masyarakat para pihak, bahwa energi memang tidak murah. Untuk memproduksi energi dibutuhkan biaya yang sangat mahal dan teknologi yang tinggi.

Dan jika melihat lebih dekat lagi, hampir sebagian besar negara-negara maju di Asia seperti Singapura, Jepang dan Korea Selatan, bukanlah negara dengan sumber energi yang berlimpah, harga energi juga sangat tinggi, namun di sisi lain pertumbuhan ekonominya justru melampui negara-negara yang kaya dengan sumber energi dan harga energi yang murah.

Selain itu, perilaku masyarakatnya juga cenderung lebih efisien dalam penggunaan energi misalnya lebih memilih perlengkapan elektronik yang memiliki standar atau label dengan efisiensi energi yang lebih tinggi. Mereka juga lebih banyak menggunakan energi untuk keperluan yang produktif ketimbang yang konsumtif. Yah, karena mereka sadar bahwa energi memang bukan sesuatu yang murah.

Mengenal Air Conditioner (AC) yang Hemat dan Efisien Energi

Penggunaan penyejuk ruangan atau Air Conditioner (AC) sudah menjadi kebutuhan umum bagi masyarakat. Namun bagaimana memilih AC yang hemat dan efisien energi? Karena penggunaan AC tak hanya berpengaruh pada tagihan listrik pada pelanggan, tetapi bagi pemerintah dalam menghitung kebutuhan energi nasional dan anggaran belanja negara.

Dalam proses transisi energi-yaitu peralihan sistem energi dari penggunaan sumber energi berbahan bakar fosil menjadi sistem energi terbarukan-efisiensi energi menjadi salah satu unsur yang penting. Efisiensi energi bertujuan untuk mendorong perbaikan penggunaan energi menjadi lebih efisien, menghindari penggunaan energi yang tidak perlu dan pada akhirnya akan menciptakan keuntungan sosial dan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi tentunya akan mendorong peningkatan kebutuhan energi. Untuk itu, pemerintah menyiapkan sebuah regulasi berupa Peraturan Pemerintah No. 79 tentang Kebijakan Energi Nasional mewajibkan tentang standarisasi dan labelisasi untuk semua perlengkapan elektronik yang menggunakan energi [1]. Penggunaan standar dan label ini penting untuk melihat manakah produk yang lebih efisien dalam penggunaan energinya.

Mengapa efisiensi energi penting? Karena efisiensi berarti penghematan energi. Bagi masyarakat sebagai konsumen listrik, penghematan penggunaan energi berarti pengurangan biaya tagihan listrik setiap bulannya. Sementara untuk pemerintah, penghematan energi berarti pengurangan beban keuangan negara yang selama ini digunakan untuk biaya impor bahan bakar minyak (BBM) dan subsidi batubara yang diperlukan untuk memproduksi listrik di pembangkit.

Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pemerintah telah mentargetkan efisiensi energi nasional sebesar 17,4% terhadap Business as Usual (BAU) pada tahun 2025 dan 38,9% pada tahun 2050[2].

AC Hemat Energi

Namun untuk mencapai target efisien energi tidaklah mudah. Ada sejumlah tantangan yang dihadapi pemerintah. Salah satunya, tingginya tingkat permintaan konsumen terhadap piranti penyejuk ruangan atau Air Conditioner (AC). Menurut riset yang dilakukan Lawrence Berkeley National Laboratory tahun 2013, tingkat pertumbuhan penjualan AC di Indonesia mencapai 10-15% setiap tahunnya [3]. Analisis terbaru dari International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa tingkat permintaan global terhadap AC akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050 dan akan menjadi salah satu faktor penyumbang konsumsi listrik terbesar [4].

Situasi ini mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengatur tingkat pemakaian energi pada AC. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 07/2015 tentang Penerapan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) dan Pencantuman Label Tanda Hemat Energi untuk piranti AC, dan dalam rangka penyederhanaan perizinan terkait SKEM dan label, Permen ini diperbaharui dengan Permen ESDM No.57/2017.

SKEM adalah spesifikasi yang memuat sejumlah persyaratan kinerja energi minimum sebuah peralatan elektronik pada kondisi tertentu dengan tujuan untuk membatasi jumlah maksimum dari energi yang dapat dikonsumsi oleh produk tersebut. Bila sebuah produk AC telah memenuhi syarat hemat energi tertentu, maka pada produk tersebut dapat ditempelkan label tanda hemat energi.

Maksud dari label ini adalah agar konsumen mendapatkan informasi yang jelas mengenai produk-produk yang hemat energi sehingga konsumen bisa melakukan efisiensi energi dan menghemat biaya tagihan listrik setiap bulannya. Jika hal ini terjadi secara massal, tentunya akan mendukung target efisiensi energi pemerintah.

Berikut adalah bentuk label hemat energi untuk AC sesuai dengan lampiran Peraturan ESDM No.57/2017.

Gambar 1 Bentuk Label Tanda Hemat Energi pada Piranti Pengkondisi Udara [5]

Melihat label di atas, salah satu hal yang penting untuk diperhatikan oleh konsumen adalah tanda bintangnya. Semakin banyak bintang, berarti semakin hemat perangkat tersebut. Di dalam Permen yang sama diatur maksud dari masing-masing bintang sebagai berikut:

Gambar 2 Kriteria Label Tanda Hemat Energi pada Piranti Pengkondisi Udara [5]

Apa itu EER?

Sebagai perangkat elektronik, AC mengkonsumsi energi listrik. Besarnya konsumsi listrik tiap AC ditunjukkan dengan satuan Watt. Selain dalam satuan Watt, di Indonesia juga digunakan satuan PK. PK merupakan singkatan dari Paardenkracht (bahasa Belanda) atau Horse Power/HP (dalam bahasa Inggris). 1 HP setara dengan 746 watt.

Selain itu, setiap AC juga memiliki kapasitas pendinginan dalam satuan BTU (British Thermal Unit). BTU merupakan satuan untuk menyatakan banyaknya energi yang dibutuhkan guna menaikkan suhu 1 pound (sekitar 454 gram) air sebanyak 1 °F (sekitar -17,22 °C). Dalam hubungannya dengan AC, BTU digunakan sebagai ukuran banyaknya panas yang dapat dibuang atau dikurangi oleh AC dari suatu ruangan setiap jamnya.

Sebagai panduan untuk memilih kapasitas pendinginan AC yang sesuai, website United States Department of Energy – Energy Star menyediakan data-data berikut (catatan: hanya menyajikan sebagian data dari sekumpulan data):

Luas ruangan
(dalam m2)
Kebutuhan kapasitas pendinginan
(dalam BTU)
9,3 – 28 5.000 – 7.000
28 – 51 8.000 – 12.000
51 – 93 14.000 – 18.000

Sebagai tambahan, jika ruangan yang ingin dipasang AC terlindung dari kontak sinar matahari langsung, maka kapasitas BTU dapat dikurangi sebesar 10%. Sementara itu, jika mendapatkan kontak langsung, kapasitasnya dinaikkan 10%. Dan jika ruangan itu ditempati oleh lebih dua orang dalam waktu yang bersamaan, tambahkan 600 Btu untuk setiap satu orang [6].

Dengan memahami kedua properti utama AC di atas, maka EER atau Energy Efficiency Ratio dapat dijelaskan sebagai rasio antara energi pendinginan udara yang dihasilkan (dalam BTU) dengan daya listrik yang dikonsumsi setiap jam (dalam Watt hour).

Sebagai contoh, jika sebuah AC yang memiliki kapasitas pendinginan 11.900 BTU mengkonsumsi daya sebesar 1.200 watt tiap jamnya, maka EER AC tersebut adalah 9,92. Semakin tinggi nilai EER sebuah AC, semakin hemat AC tersebut. Hanya saja ini juga berarti bahwa harga jual AC tersebut akan lebih mahal.

Manfaat Hemat Energi terhadap Kehidupan Sehari-hari

Jika kita ingin membeli AC 1 PK dan ada dua pilihan sebagai berikut:

AC pertama AC kedua
Tipe Fixed speed (non-inverter) Inverter
Harga Rp 3,050,000 Rp 4,900,000
Kapasitas pendinginan 9000 Btu/h ~ 9000 Btu/h
Daya Listrik 800 Watt 690 Watt
EER 11,25 Btu/h.W 13,04 Btu/h.W

 

Kedua AC di atas memiliki kapasitas pendinginan yang hampir sama. Namun akibat perbedaan konsumsi daya diantara keduanya, nilai EER-nya menjadi berbeda. Sesuai dengan pernyataan sebelumnya, semakin tinggi nilai EER, semakin mahal harga sebuah AC. Karenanya AC kedua dari contoh di atas (merupakan AC tipe inverter) memiliki harga yang lebih mahal Rp. 1,85 juta dibandingkan dengan AC pertama yang bukan inverter.

Misalnya kita menggunakan AC setiap harinya selama 10 jam. Dengan harga listrik per kWh sebesar Rp. 1.467,28 dan asumsi 30 hari untuk tiap bulannya, maka untuk tiap sepuluh jam penggunaan AC yang hemat energi (EER 13,04), kita menghemat tagihan listrik sebesar:

((800-690)/1000) kW x 10 h x Rp. 1.467,28 /kWh = Rp 1.614,01 per hari, atau Rp 48.420,3 per bulannya.

AC dengan EER 13,04 memiliki harga pembelian yang mahal, namun biaya pengoperasian yang lebih murah. Dari contoh perhitungan di atas, dalam jangka waktu 3,18 tahun (sekitar 3 tahun 3 bulan) biaya investasi kita untuk membeli AC yang lebih mahal telah terbayarkan (break even).

Jadi, mau pilih AC yang hemat dan efisien energi, atau sekedar murah tapi boros energi?

 

Referensi

[1] Peraturan Pemerintah No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional

[2] Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional

[3] Lawrence Berkeley National Laboratory. 2015. Benefits of Leapfrogging to Superefficiency and Low Global Warming Potential Refrigerants in Room Air Conditioning. Diakses dari: http://eta-publications.lbl.gov/sites/default/files/lbnl-1003671.pdf

[4] International Energy Agency. 2018. Air conditioning use emerges as one of the key drivers of global electricity-demand growth. Diakses dari: https://www.iea.org/newsroom/news/2018/may/air-conditioning-use-emerges-as-one-of-the-key-drivers-of-global-electricity-dema.html

[5] Peraturan Menteri ESDM No. 57/2017 tentang Penerapan SKEM dan Pencantuman Label Tanda Hemat Energi untuk Peranti Pengkondisi Udara

[6] SFGATE. 2017. How to Choose the Right Size Air Conditioner. Diakses dari: https://homeguides.sfgate.com/choose-right-size-air-conditioner-24686.html

Memacu pembangunan listrik surya atap, belajarlah dari India

 

Foto: antara

Potensi dan Pemanfaatan Energi Surya

Indonesia memiliki potensi energi surya yang cukup berlimpah. Data Kementerian ESDM menyebutkan potensi energi surya Indonesia mencapai 207.898 MW. Dengan teknologi modul surya (pv module) saat ini, potensi listrik yang terbangkitkan 3,4 kWh/kWp – 4,8 kWh/kWp per hari atau setara dengan 1170 kWh/kWp – 1530 kWh/kWp per tahun (lihat gambar 1). Wilayah timur Indonesia memiliki intensitas radiasi sinar matahari yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah barat. KESDM memperkirakan potensi energi surya di Indonesia mencapai 532 GWp.

Gambar 1. Potensi daya terbangkit listrik dari tenaga surya (kWh/kWp)

Sumber: World Bank/ESMAP (2017)

[1] Direktur Eksekutif IESR, dan Wakil Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI).

Dengan potensi sumber daya yang cukup besar dan wilayah yang luas, Indonesia seharusnya dapat memimpin pengembangan energi surya di kawasan Asia Tenggara. Namun kenyataannya, Indonesia justru tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, bahkan negara kecil seperti Singapura. Hingga 2017, kapasitas terpasang solar PV di Indonesia masih kurang dari 100 MW. Sementara Thailand sudah mencapai 2700 MW, Filipina 885 MW, Malaysia yang baru mulai 2011 sudah memasang 375 MW, dan Singapura yang belum lama memulai sudah punya
130 MW.

Keberhasilan negara-negara tersebut sangat kontras dengan Indonesia yang sudah memulai memanfaatkan listrik tenaga surya untuk listrik perdesaan dan penyediaan air bersih sejak tahun 1980-an. Pengalaman Indonesia dalam menggunakan solar home system (SHS) untuk akses listrik perdesaan bahkan menjadi contoh praktek terbaik (best practice) bagi negara-negara berkembang pada tahun 1990-an. Tidak sedikit negara yang menjadikan program SHS di Indonesia sebagai model untuk direplikasi.

Transformasi Energi di Sektor Kelistrikan

Di tingkat global sektor kelistrikan tengah mengalami transformasi besar menuju sistem energi rendah karbon. Pembangkit energi surya dan angin menjadi bagian penting dalam proses transisi tersebut. Total kapasitas pembangkit energi terbarukan di seluruh dunia mencapai 2,200 GW pada akhir 2017, dimana kapasitas pembangkit angin dan surya telah mencapai 1000 MW pada pertengahan tahun ini, dan terus meningkat. Salah satu faktor dari pertumbuhan listrik tenaga surya yang cepat adalah harga teknologi dan pembangkitan listrik yang semakin rendah dan kompetitif terhadap pembangkit konvensional.

Dalam laporannya, IRENA (2018) menyatakan biaya pembangkitan listrik (levelized cost of electricity) dari teknologi surya sudah turun 73% sejak 2010 sampai 2017, yang mencapai $10 sen/kWh. Sejumlah proyek pembangkit listrik surya skala utilitas (utility scale) yang dilelang pada 2017 dan 2018 menawarkan harga pembangkitan listrik sebesar 3 – 4 sen/kWh. Harga ini lebih rendah dari listrik yang dihasilkan oleh PLTU.

Indonesia sesungguhnya dapat menjadi bagian dari trend tranformasi energi global dan secara bertahap melakukan dekarbonisasi sistem kelistrikan. Menurut IRENA (2017), Indonesia punya potensi membangun 3,1 GW pembangkit listrik tenaga surya setiap tahun sampai 2030. 1 GW untuk listrik surya atap dan 2,1 GW untuk PLTS yang dibangun diatas tanah. Hingga 2030, potensi yang dapat dipasang mencapai 37 GW untuk sistem on-grid dan off-grid (tabel 1).

Tabel 1. Potensi instalasi PLTS berdasarkan scenario IRENA (2015-2030)

Sumber: IRENA (2017), data diolah

Tantangan Indonesia

Salah satu tantangan untuk mengembangkan pembangkit surya di Indonesia adalah biaya investasi pembangkit yang lebih tinggi dari rata-rata global. Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan harga tinggi tersebut, antara lain: pasar pembangkit listrik tenaga surya yang masih kecil, pertumbuhan permintaan yang rendah (<20 MW per tahun), hambatan regulasi, dan interkoneksi dengan jaringan PLN, serta financing cost yang tinggi, dimana biaya ini juga terkait dengan tingkat risiko.

Saat ini, diperkirakan total biaya proyek untuk PLTS diatas 10 MWac (utility scale) mencapai $1,3-1,4/Wp, dengan LCOE sebesar $0,14-0,15/kWh di wilayah Jawa. Dengan kapasitas yang lebih besar dan suku bunga pinjaman yang lebih rendah dapat menurunkan biaya investasi dan harga listrik dibawah 0,1/kWh. Pada 12 Desember 2017, PLN menandatangani MoU dengan Akuo Energi untuk proyek PLTS Bali 1 di Kubu, Bali sebesar 50 MW, dan Equis untuk PLTS Bali-2 di Jembrana, dengan kapasitas 50 MW. Nilai kedua proyek ini sebesar $ 91,6 juta, atau 1,83 juta per MW. Nilai proyek ini lebih dari dua kali lipat dari biaya investasi PLTS 1,17 GW di Abu Dhabi.

Untuk listrik surya atap, harga paket di tingkat retail ditawarkan pada kisaran 15 – 20 juta per watt-peak (Wp). Dengan melihat harga yang ditawarkan saat ini dan dengan potensi yang ada, listrik surya atap sangat berpotensi dikembangkan di Indonesia.

Pengembangan Listrik Surya Atap di India

Bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan potensi listrik surya yang besar ini? Mungkin bisa belajar dari India. Salah satu negara dengan pertumbuhan pembangkit listrik surya terbesar dan tercepat di dunia, selain China dan US. Pada 2017, terdapat 863,9 MW tambahan kapasitas pembangkit listrik surya atap. Total kapasitas pembangkit listrik tenaga surya mencapai 20 GW, dimana 1,7 GW adalah listrik surya atap.

Gambar 2. Perkiraan permintaan pembangkit listrik surya 2018 – 2022

Sumber: Mercom’s Solar Installation Market Update (2018)

Apa yang membuat India berhasil membangun listrik surya atap dengan cepat dan mendapatkan harga yang semakin kompetitif? Hal ini tidak lepas dari ambisi program nasional yang didukung juga oleh pemerintah negara bagian. Pemerintah juga mentargetkan listrik surya atap dapat mencapai 40 GW pada 2022. Saat ini listrik surya atap berkembang di lebih dari 30 negara bagian di India.

Harga listrik dari pembangkit tenaga surya di India sangat kompetiitif, dan lebih murah dari PLTU Batubara. Harga terendah saat ini sebesar $0.36/kWh pada lelang 500 MW proyek PLTS di Rajasthan pada Mei 2017. Harga yang rendah ini merupakan hasil dari kombinasi kebijakan dan regulasi yang konsisten sejak pemerintah india memutuskan mengembangkan listrik tenaga surya sejak 2003, insentif fiskal dan finansial yang mendorong permintaan sehingga memperbesar pasar pembangkit listrik tenaga surya dalam waktu yang tidak terlalu lama, serta dukungan pendanaan melalui National Clean Energy Fund (NCEF) yang sumber dananya berasal dari pungutan Rs. 50 untuk setiap ton batubara yang diproduksi di dalam negeri atau diimpor sejak 2010. NCEF ini mendanai 40% total biaya proyek melalui Indian Renewable Energy Agency (IREDA).

Tabel 2. Kebijakan pendukung listrik surya atap di sejumlah negara bagian di India

Sumber: Goel, Malti (2016)

Selain itu, pemerintah dan pemerintah negara bagian juga memberikan sejumlah insentif dan subsidi untuk membuat listrik surya atap berkembang pesat. Walaupun sejak 2014, harga listrik dari proyek-proyek pembangkit surya skala besar semakin turun, tapi untuk segmen lainnya seperti listrik surya atap harganya masih relatif lebih tinggi. Untuk mendukung keekonomian dan mendukung pencapaian target 40 GW listrik surya atap, pemerintah nasional India dan negara bagian menerbitkan berbagai inisiatif berupa kebijakan, pengaturan (regulasi), dukungan insentif fiskal dan finansial, antara lain:

  • Subsidi finasial sebesar 30% dari biaya proyek/biaya yang dipatok (benchmark cost) untuk proyek listrik surya atap di sektor perumahan/institusi/sosial, bahkan mencapai 70% untuk beberapa negara bagian yang khusus.
  • Finansial insentif sampai dengan 25% dari biaya proyek/biaya yang dipatok (benchmark cost) untuk proyek listrik surya atap di pemerintah atau BUMN (public sector undertaking).
  • Kebijakan gross/net-metering di berbagai negara bagian.
  • Renewable Purchase Obligation (RPO) pada sisi perusahaan distribusi listrik (distribution company atau DISCOM).
  • Pemberian pinjaman berbunga rendah kepada developer/pengembang melalui dukungan institusi multilateral. Indian Renewable Energy Development Agency (IREDA) memberikan pinjaman kepada system integrator dengan bunga 9,9% – 10,75%.

Di tingkat negara bagian, pemerintah negara bagian memiliki skema insentif kebijakan net metering/gross metering untuk mendorong konsumsi seluruh listrik yang dibangkitkan (self-consumption). Kebijakan ini di beberapa negara bagian digabungkan dengan instrumen lainnya, misalnya dalam bentuk subsidi langsung dan insentif fiskal berupa depresiasi yang dipercepat (appreciated depreciation) serta pengurangan pajak. Tabel 2 berikut memberikan contoh instrumen dukungan atau insentif untuk listrik surya atap dari sejumlah negara bagian.

Untuk mempercepat pencapaian target 40 GW listrik surya atap, pada akhir 2017 pemerintah India menetapkan sebuah kebijakan baru, salah satunya adalah memperluas insentif untuk pembangkit surya atap yang tersambung dengan jaringan (grid connected). Untuk mendukung ini, Kementerian Energi Terbarukan (MNRE) India mendorong perusahaan distribusi listrik (distribution company, DISCOM) sebagai garda depan implementasi listrik surya atap dan memberikan insentif finansial berbasis kinerja. Insentif akan diberikan untuk setiap MW yang terpasang di wilayah distribusi DISCOM. Kapasitas terpasang ini akan diperhitungkan sebagai bagian dari kewajiban Renewable Purchase Obligation (RPO) DISCOM.

Dalam pelaksanaannya, semua DISCOM menyampaikan baseline kapasitas instalasi listrik surya atap di wilayah distribusinya melalai aplikasi online. Baseline ini akan menjadi dasar dari monitoring. Insentif akan diberikan untuk tambahan kapasitas yang didapat pada akhir tahun anggaran.

Tabel 3. Insentif finansial untuk Distribution Company (DISCOM) untuk penambahan kapasitas listrik surya atap.

Parameter Insentif yang disediakan
Untuk setiap kenaikan sampai dengan 10% dari kapasitas terpasang dasar, dalam periode 1 tahun anggaran. 5% dari biaya proyek untuk kapasitas yang terpasang dalam satu tahun, dan diatas kapasitas terpasang di tahun sebelumnya.
Tambahan kapasitas terpasang, diatas 10% sampai dengan 15% dari kapasitas terpasang dasar, dalam periode 1 tahun anggaran. 5% dari biaya proyek untuk 10% kapasitas yang terpasang pertama, dan 10% dari biaya proyek untuk tambahan kapasitas terpasang selebihnya, dalam satu tahun.
Tambahan kapasitas terpasang lebih dari 15% dari kapasitas terpasang dasar, dalam 1 periode anggaran. 5% dari biaya proyek untuk 10% kapasitas yang terpasang pertama, dan 10% dari biaya proyek untuk tambahan diatas 10 sampai 15% kapasitas yang terpasang, dan 15% biaya proyek untuk setiap kapasitas tambahan diatas 15%, dalam satu tahun.

Sumber: MNRE (2017)

Kebijakan Renewable Purchase Obligation (RPO) atau kewajiban pembelian listrik dari pembangkit energi terbarukan merupakan salah satu kebijakan kunci yang dikeluarkan oleh pemerintah India. Kebijakan RPO ini menciptakan pasar minimum bagi energi terbarukan, ditengah ketiadaan biaya eksternalitas untuk pembangkit listrik konvensional. Kebijakan ini dieksekusi di oleh negara bagian, dan mewajibkan konsumen listrik besar untuk menggunakan listrik dari energi terbarukan dalam porsi minimum tertentu. Kewajiban RPO ini juga berlaku bagi perusahaan distribusi listrik (DISCOM) yang diberikan lisensi untuk mengalirkan listrik pada wilayah tertentu.

Sejak dimandatkan dalam UU Kelistrikan (Electricity Act) tahun 2003, penerapan RPO tidak terlalu efektif. Banyak negara bagian di India yang menerapkan RPO terlalu rendah atau tidak menerapkan RPO sama sekali. Untuk mendorong penerapan RPO, pada 2010 Central Electricity Regulatory Commission (CERC) mengeluarkan peraturan untuk mendorong pelaksaan RPO oleh pemerintah negara bagian dengan mengeluarkan ketentuan mengenai Renewable Energy Certificates (REC).

National Climate Change Action Plan (NCCAP) India mentargetkan RPO sebesar 15% pada 2022, yang diturunkan menjadi target untuk setiap negara bagian (states). Negara bagian menetapkan target RPO masing-masing untuk energi surya dan non-surya. Pada 2011, State Energy Regulatory Commissions (SERCs) menetapkan target minimum untuk solar 0,25% yang harus dicapai pada akhir tahun fiskal 2011/2012. Pada periode 2011-2013, sejumlah negara bagian menerapkan RPO secara bervariasi antara 3 (Haryana) sampai 14% (Tamil Nadu). Walaupun dalam pelaksanaannya, hanya enam dari dua puluh empat negara bagian yang berhasil memenuhi target yang ditetapkan. Pada 2016/2017, terdapat 16 negara bagian dan teritori yang mencapai target RPO-nya kurang dari 60%.

Kinerja pencapaian RPO yang tidak sepenuhnya mulus tidak menghambat langkah pemerintah India untuk meningkatkan target RPO hingga 2022. Target yang naik cukup tinggi adalah RPO untuk listrik dari energi surya (lihat gambar 2). CERC menetapkan bahwa 85% dari target untuk kewajiban bagi energi surya harus dicapai. Kewajiban ini merefleksikan tarif listrik dari listrik surya yang turun dan semakin kompetitif.

Gambar 3. Target Renewable Purchase Obligation (RPO) India 2016-2022

Beberapa Pelajaran dari India

Apa saja yang dapat dipelajari Indonesia dalam pengembangan listrik surya atap dari keberhasilan India?

Pertama, komitmen yang kuat terhadap pengembangan energi terbarukan, konsistensi kebijakan, target, dan stabilitas regulasi pemerintah di tingkat pusat dan tingkat negara bagian untuk mendorong pengembangan listrik surya atap. Pemerintah negara bagian cukup aktif mengeluarkan regulasi dan insentif untuk mendorong perkembangan listrik surya atap. Selain itu target pengembangan energi terbarukan sangat terkait dengan target dan strategi dalam Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim (National Climate Change Action Plan).

Kedua, kebijakan didukung oleh regulasi yang kuat, serta instrumen yang beragam dan saling mendukung. Sebagai contoh, pemerintah India mengeluarkan kebijakan Renewable Purchase Obligation (RPO) dan Renewable Energy Certificate (REC), yang diimplementasikan oleh negara bagian. Kebijakan RPO ini terus menerus disempurnakan ketaatan pelaksanaan dan mekanisme pendukungnya. Untuk mendukung pengembangan energi surya, terdapat kewajiban membeli listrik dari pembangkit surya, termasuk surya atap dalam target RPO setiap tahunnya. Hal ini membuat pasar untuk teknologi listrik dari energi surya semakin tumbuh dan semakin kompetitif.

Ketiga, pemerintah dan regulator mengatur perilaku utility kelistrikan dan perusahaan distribusi listrik (DISCOM) dan mendorong mereka dalam pengembangan energi terbarukan, khususnya energi surya. Pemerintah memberikan insentif finansial bagi entitas Public Sector Undertaking (PUC) atau BUMN untuk mengembangkan energi surya. Hal yang sama juga dilakukan kepada perusahaan distribusi listrik (DISCOM). Insentif ini mendorong PUC untuk membangun pembangkit energi terbarukan yang berkontribusi mendorong turunnya harga pembangkitan listrik surya sehingga lebih murah daripada harga listrik dari PLTU batubara.

Keempat, instrumen gross/net-metering, yang dikombinasikan dengan subsidi finansial (generation based incentive) dan insentif fiskal (accelerated depreciation) terbukti menjadi paket kebijajan yang efektif dalam mendorong instalasi listrik surya atap di sektor perumahan, institusi dan industri sehingga membuka pasar listrik surya atap di seluruh negeri. Kebijakan dan insentif yang disediakan juga mendorong penggunaan listrik surya secara langsung (self-consumption) sehingga dapat mengurangi tekanan untuk menambah kapasitas pembangkit konvensional.

Kelima, pengembangan instrumen finansial dan pendanaan inovatif untuk mendorong potensi pasar lebih lanjut. Untuk mendorong instalasi energi surya di India, pemerintah mendorong investasi swasta melalui pembentukan instrumen pendanaan yang lebih inovatif. Instrumen finansial ini dimaksudkan untuk menggantikan skema subsidi yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka membangun pasar dan alih teknologi listrik tenaga surya, yang berhasil membuat listrik surya atap mencapai $ 0,1/kwh dan semakin rendah. Pemerintah India mendorong bank-bank BUMN untuk mendanai instalasi listrik surya atap melalui skema kredit pemilikan rumah (KPR) atau kredit untuk renovasi rumah. Pinjaman konsesi (bunga rendah) juga diberikan kepada pemilik usaha, industri, lembaga keuangan non-bank, kelompok masyarakat yang terdaftar untuk proyek listrik surya atap.

Dukungan IESR dalam Musyawarah Nasional Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Ke-1

Institute for Essential Services Reform (IESR) memberikan dukungan dalam Musyarawah Nasional (Munas) Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) ke-1 yang diselenggarakan pada tanggal 25 Januari 2018 di Jakarta. Munas AESI ini bertema “Konsolidasi Asosiasi Energi Surya Indonesia untuk Mendukung Pencapaian Target Kebijakan Energi Nasional dalam Rangka Mewujudkan Energi Berkeadilan Hingga Pelosok Negeriâ€. Dalam acara ini juga dilakukan peluncuran portal “Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap“ dan pameran INDOSOLAR 2018.

AESI diresmikan pendiriannya pada 15 Desember 2016. Sejarah pendirian AESI diawali pada saat Luluk Sumiarso menerima undangan dari Asosiasi Energi Surya di Jerman untuk berbicara mengenai berbagai sumber energi dan berdialog di sebuah konferensi. Sebelum datang ke Jerman, Luluk Sumiarso bertemu dengan beberapa pegiat energi terbarukan lain dan menginisiasi berdirinya Indonesia Solar Association (ISA).

IESR mendukung deklarasi AESI secara resmi dan juga berperan aktif dalam menfasilitasi beragam diskusi AESI dengan fokus pada pengembangan energi surya di Indonesia. Dari beberapa diskusi yang diselenggarakan tersebut, kemudian disepakati adanya kolaborasi beragam pemangku kepentingan untuk mencapat target gigawatt pertama energi surya di Indonesia dengan pemanfaatan listrik surya atap. Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) ini dideklarasikan secara resmi dalam acara IndoEBTKEConnex tahun 2017 lalu.

Rida Mulyana sebagai Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM menyampaikan pemerintah sangat mengapresiasi AESI dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Rida menyampaikan adanya beberapa kendala untuk pengembangan energi surya, misalnya teknologi baterai, sifat yang intermitent dan tergantung cuaca, serta ketersediaan lahan. Harus dipikirkan mengenai solusi untuk mengatasi tantangan ini, tentunya kerjasama dengan berbagai pihak, melihat permasalahan secara holistik dan tidak saling menyalahkan. Rida juga menyoroti ragam pemangku kepentingan di AESI yang diharapkan dapat berkontribusi secara positif untuk mewujudkan cita-cita bersama.

Selanjutnya Arthur Panggabean sebagai konsultan GNSSA memberikan pemaparan mengenai portal GNSSA yang dapat diakses secara publik. Portal ini dirancang sebagai portal informasi mengenai pengetahuan, pertanyaan dan jawaban, juga forum untuk pelaku bisnis dan konsumen listrik surya atap untuk berjejaring.

Setelah pembukaan Munas AESI, dilakukan diskusi panel dengan tema “Towards the First Gigawatt Solar Energy in Indonesia†dengan moderator Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa. Duduk sebagai panelis adalah Harris, Direktur Aneka Energi Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Zakiyudin, Direktur Mesin dan Alat Mesin Pertanian Ditjen ILMATE Kementerian Perindustrian, Dewanto, Deputi Manager Alternatif PT PLN, dan Ahmad Masyuri, Head of Engineering PT Sampoerna.

Fabby Tumiwa menerangkan bahwa GNSSA dirancang dan dideklarasikan untuk berkontribusi terhadap target kebijakan energi nasional, yaitu 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Dari target tersebut,  6,5 GW disumbang oleh listrik tenaga surya. Pembahasan tentang bagaimana rencana GNSSA ke depan terbilang penting, karena target GNSSA yaitu tercapainya 1 GW listrik surya atap dapat memiliki efek yang sangat luar biasa terhadap industri dan terhadap perkembangan pasar energi surya di Indonesia.

Harris menyampaikan bahwa tren kebijakan pengembangan EBT berubah sangat cepat, sehingga dibutuhkan upaya-upaya sinergi internal eksternal, termasuk kolaborasi dalam GNSSA. Energi terbarukan, terutama energi yang dibangkitkan dari energi surya juga dianggap sangat mampu menyikapi perubahan dengan inovasi-inovasinya, sehingga mampu mengurangi biaya investasi dan harga.

Kesiapan industri Indonesia terkait pasar dan manufaktur komponen listrik tenaga surya ditanggapi oleh Zakiyudin. Peningkatan daya saing industri pendukung proyek ketenagalistrikan telah diatur oleh Kementerian Perindustrian, seperti pemberian fasilitas BMDTP (Bea Masuk Ditanggung Pemerintah) untuk impor bahan baku industri pendukung proyek ketenagalistrikan. Pemerintah juga memberikan tax holiday untuk investasi baru  industri permesinan pendukung proyek ketenagalistrikan, dan mengajukan usulan pemberian fasilitas tax allowance.

Dewanto sebagai perwakilan PT PLN menjelaskan bahwa PLN tidak menghalangi keberadaan PV rooftop. Secara kebijakan, sudah ada keputusan direksi tentang aturan penyambungan energi baru terbarukan, termasuk pemasangan instalasi listrik surya atap untuk pelanggan dan integrasi ke jaringan PLN. Saat ini PLN sedang berada dalam kondisi yang sulit, dikarenakan adanya penurunan penjualan, di samping berlebihnya pasokan di Jawa Bali karena turunnya permintaan dan banyaknya industri yang masih menggunakan pembangkit listrik sendiri.

Pengalaman pelaku sektor industri dalam menggunakan energi terbarukan disampaikan oleh Ahmad Masyuri dari PT HM Sampoerna. Saat ini Sampoerna memiliki dua fasilitas di Sukorejo (Jawa Timur) dan Karawang yang membangkitkan listrik dari tenaga surya. Sampoerna memiliki komitmen intenasional untuk mengurangi emisi karbon dari penggunaan energi, yang dilakukan dengan penggunaan listrik surya atap, penggantian lampu dengan lampu LED, dan efisiensi proses produksi.

Munas AESI ke-1 ini kemudian dilanjutkan dengan musyawarah anggota AESI yang menetapkan Ketua Dewan Pengurus, Ketua Dewan Pembina, dan Ketua Dewan Pakar. Untuk tahun 2018 – 2021, terpilih Ketua Dewan Pengurus Dr. Andhika Prastawa, Ketua Dewan Pembina Luluk Sumiarso, dan Ketua Dewan Pakar Nur Pamudji.

Implikasi Keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement terhadap Agenda Perubahan Iklim Global (Bagian 1)

(Bagian 1 dari 2 tulisan)

Oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Trump vs. Publik AS

foto: media.salon.com

Akhirnya Donald Trump mengumumkan secara resmi Amerika Serikat (AS) keluar dari Paris Agreement. Keputusan ini mewarnai berita media cetak, media elektronik dan media sosial di seluruh dunia sepanjang akhir pekan lalu. Berbagai komentar dari pemimpin-pemimpin negara maju dan berkembang (minus komentar Presiden Joko Widodo), para tokoh politik, akademisi asal AS dan negara lain memenuhi berbagai kanal pemberitaan.

Keputusan ini tidaklah terlalu mengejutkan. Sejak masih menjadi calon Presiden AS, Trump dan para pendukungnya telah mengancam akan membatalkan keikutsertaan AS dalam kesepakatan iklim global ini. Apa yang dilakukan Trump adalah pelaksanaan janji kampanyenya.

Saat berpidato pada Kamis (1/06) lalu berkali-kali Trump mengatakan bahwa Paris Agreement merupakan kesepakatan yang buruk (bad deal) bagi AS Trump. Dia beralasan keikutsertaan AS dalam perjanjian ini berdampak terhadap daya saing ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Trump mengutip hasil kajian NERA Consulting yang mengatakan Amerika dirugikan $ 3 triliun dalam beberapa dekade mendatang, dan kehilangan 6,5 juta kesempatan kerja.

Kajian NERA sesungguhnya didanai oleh dua kelompok pro-bisnis yang anti regulasi di bidang lingkungan, American Chamber of Commerce dan American Council for Capital Formation, yang juga didukung secara finansial oleh Koch Brothers. Oleh karenanya klaim berdasarkan kajian tersebut sangat diragukan, apalagi kajian tersebut tidak memperhitungkan dampak bagi bisnis perusahaan AS dalam bidang energi terbarukan.

Keputusan Trump ini sesungguhnya bertentangan dengan pendapat mayoritas warga AS yang justru tidak menghendaki negaranya keluar dari Paris Agreement. Dalam survei yang dilakukan Harvard School of Public Health dan Politico pada April lalu, sekitar 62 persen warga AS menghendaki tetap ikut dalam Paris Agreement. Survei lain juga menemukan bahwa para pemilih AS mendukung untuk tetap ikut serta dalam Paris Agreement dengan rasio 5 berbanding 1 dengan pemilih yang tidak setuju.

Sejumlah kelompok bisnis, termasuk perusahaan-perusahaan raksasa AS yang masuk dalam Fortune 500, diantaranya Apple, Google, HP, Microsoft, Morgan Stanley, pun secara tegas mendukung agar AS tetap di Paris Agreement. Mereka beralasan hal tersebut dapat memperkuat daya saing, menciptakan lapangan kerja, pasar dan pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi risiko bisnis. Paska pengumuman Trump, sejumlah CEO perusahaan-perusahaan terkemuka AS seperti Tesla, Disney, General Electric, dan lembaga keuangan raksasa seperti Goldman Sachs, JP Morgan’s, dan Blackrock menyatakan penolakan mereka atas keputusan Trump tersebut. Bahkan CEO Tesla, Elon Musk dan CEO Disney, Bob Iger, menyatakan mundur dari dewan penasehat Presiden.

Jika mayoritas publik dan pimpinan-pimpinan bisnis raksasa AS menentang keputusan politik ini, mengapa Trump mengambil keputusan yang kontroversial tersebut? Bagi ekonom MIT, Paul Krugman, keputusan Trump menarik dari Paris Agreement tidak ada hubungannya dengan daya saing atau pekerjaan tetapi karena tidak suka dengan keputusan pemerintah Obama, “..mainly it’s about spite: Obama made deals liberal likes, so it must die.”

Dengan kata lain, Krugman bilang bahwa alasannya Trump keluar dari Paris Agreement cukup sepele, dia hanya ingin mematikan inisiatif apapun yang pernah dibuat oleh Obama. Kalau benar adanya, ironis sekali bahwa ego seseorang atau sekelompok orang mengalahkan kepentingan milyaran umat manusia dan mengancam keberlanjutan peradaban.

Partisipasi AS dalam Paris Agreement paska pengumuman Trump

Setelah pengumuman Trump, sesungguhnya tidak secara otomatis AS bisa langsung keluar sebagai party dari Paris Agreement. Sesuai dengan Paris Agreement pasal 28, pihak yang meratifikasi (party) baru dapat meninggalkan kesepakatan ini setelah tiga tahun sejak kesepakatan ini berkekuatan hukum tetap (entered into force) bagi pihak tersebut, dengan menyampaikan pemberitahuan (notifkasi) pengunduran diri. Paris Agreement memang disepakati pada 2015, tetapi baru berkekuatan hukum pada November 2016. Dengan demikian, jika konsisten dengan ketentuan di pasal 28, maka AS baru dapat keluar dengan resmi paling cepat di November 2020.

Jika AS tidak ingin menunggu selama itu, maka opsi yang tersedia adalah AS keluar dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang berkekuatan hukum tetap (entered into force) pada 1994. UNFCCC adalah perjanjian internasional dalam perubahan iklim, yang menjadi payung Paris Agreement. Dalam pidatonya, Trump tidak menyinggung AS akan keluar dari UNFCCC, tetapi dia menyatakan akan menegosiasikan ulang bagaimana AS akan bergabung kembali (reentered) dengan Paris Agreement, atau dengan kesepakatan yang sama sekali baru. Hingga kini tidak jelas bagaimana bentuk kesepakatan baru yang akan dinegosiasikan Trump.

Dalam situasi dimana AS masih tetap berada dalam Paris Agreement (sebagai party) sampai November 2020, maka delegasi AS masih dapat mengikuti negosiasi di Ad Hoc Working Group on Paris Agreement (APA). Jika AS ingin merusak kesepakatan ini, maka mungkin saja negosiator AS melakukan upaya-upaya yang mengganggu dan memperlambat proses negosiasi yang sedang berlangsung untuk mempersiapkan modalitas, prosedur dan peraturan sebagai instrumen operasionalisasi Paris Agreement. Sesuai dengan mandate APA, berbagai instrument ini harus diselesaikan pada 2018, sehingga dapat disahkan sebelum 2020.

Jika skenario ini terjadi dan kesepakatan tidak tercapai pada 2018, implementasi Paris Agreement dapat terlambat, dan menimbulkan situasi ketidakpercayaan diantara para negara pendukung Paris Agreement. Situasi ini dapat membuka kesempatan bagi pemerintah AS (dibawah Trump) untuk menawarkan kesepakatan alternatif kepada negara-negara tertentu.

Tindakan yang merendahkan produk kesepakatan global bukanlah hal baru bagi pemimpin AS yang berasal dari Republikan. Dalam konteks negosiasi perubahan iklim, AS pernah menolak meratifikasi Protokol Kyoto, setelah Bush menggantikan Clinton sebagai Presiden. Padahal AS merupakan salah satu pihak yang membidani lahirnya Protokol Kyoto (PK) di COP-3 tahun 1997. Konsekuensinya adalah AS tidak bisa ikut dalam track perundingan PK, tetapi ada sebagai party UNFCCC, dan merundingkan implementasi UNFCCC.

Tindakan pemerintah AS melalukan aksi unilateral sebagai bentuk penentangan terhadap kesepakatan global juga dilakuan. Pada 2002, pemerintah AS membuat instrumen dapat yang “menandingi” Millenium Development Goals (MDGs) yang disepakati di tahun 2000. Salah satu keberatan AS sehingga membentuk MCA adalah pendekatan target-setting yang dilakukan MDGs.

Untuk menekankan posisi mereka atas MDGs, pemerintah AS membuat Millenium Challenges Account (MCA) dan membentuk lembaga tersendiri, Millenium Challenge Corporation (MCC), untuk mengelola dana yang diberikan kepada negara-negara berkembang yang memenuhi kriteria kelayakan (eligibility criteria) yang ditetapkan pemerintah AS. Dana diberikan kepada proyek-proyek yang sesuai dengan prioritas dan kriteria lain yang ditetapkan oleh MCC.

Dari dua kasus diatas dapat dilihat bahwa AS tidak segan-segan mengabaikan atau keluar dari kesepakatan internasional dan berjalan sendiri, sepanjang kesepakatan atau perjanjian tersebut dianggap tidak sesuai dengan kepentingan AS.

(bersambung ke bagian 2)

Jakarta, 4 Juni 2017

Implikasi Keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement terhadap Agenda Perubahan Iklim Global (Bagian 2)

(Bagian 2 dari 2 tulisan)

Oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Sebagai negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia sesudah China, keluarnya AS dari Paris Agreement dapat berdampak terhadap dua hal: pertama, pencapaian target kenaikan temperatur 2/1,5°C, dan kedua, pendanaan untuk mendukung proses negosiasi internasional, dan pendanaan iklim untuk mendukung aksi mitigasi, aksi adaptasi dan pengembangan kapasitas di negara-negara berkembang.

Implikasi terhadap Target 2/1,5°C

Bisa dikatakan keluarnya AS dari Paris Agreement membuat upaya untuk mencapai target kenaikan temperatur global dibawah 2°C, apalagi 1,5°C akan semakin sulit. Saat ini temperatur global telah naik sekitar 1°C, oleh karena itu upaya bangsa-bangsa yang telah meratifikasi Paris Agreement adalah mencegah kenaikan temperatur 1°C yang tersisa.

Pada 2014, emisi AS mencapai 6,87 juta tonCO2eq dan berkontribusi 14% dari total emisi global. Di bulan September 2016, AS meratifikasi Paris Agreement dan sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC), AS berjanji mengurangi emisi 26-28% dibawah tingkat emisi 2005 pada 2025, termasuk emisi dari perubahan tata guna lahan dan kehutanan (LULUCF). Dengan target ini sekalipun, komitmen penurunan emisi AS dinilai tidak cukup amibisius untuk mencapai target 2°C. Terlebih dengan adanya kebijakan Trump yaitu, America First Energy Plan, dan Executive Order on Energy Independence, yang berpotensi membatalkan kebijakan Clean Power Plan, maka sangat besar kemungkinan AS tidak akan mencapai target NDC-nya.

Apabila AS gagal mengurangi emisi sesuai dengan bagian yang adil (fair share), maka kesempatan untuk mempertahankan kenaikan temperatur global dibahwa 2°C semakin berat. Sejumlah skenario menyatakan bahwa untuk dapat membatasi kenaikan temperatur dibawah 2°C, maka emisi global harus mencapai puncak sebelum 2030 lalu turun hingga pertengahan abad ini. Dalam artikelnya di Jurnal Nature Climate Change Oktober 2011, Rogelj, dkk (2011) menyatakan bahwa untuk dapat tetap dibawah 2°C maka emisi harus mencapai puncak (peak) sebelum 2020, dan turun pada tingkat 44 GtCO2 pada 2020. Intinya adalah aksi mitigasi harus dilakukan secepatnya, dan penurunan emisi tidak boleh terlambat.

Sanderson dan Knutti (2016), dalam artikel yang juga terbit di Jurnal Nature Climate Change, Desember 2016 menyatakan bahwa keterlambatan (delay) dalam target mitigasi di AS dapat membuat target 2°C tidak tercapai. Sanderson dan Knutti menyatakan bahwa jika AS tidak bertindak untuk mengurangi emisi GRK dalam periode tanpa aksi (inaction) 4-8 tahun (sesuai dengan masa jabatan Presiden AS), maka emisi gas rumah kaca di atmosfer akan meningkat setara atau lebih dari emisi GRK yang harus dipotong untuk mencapai target yang disepakati dalam Paris Agreement.

Tim Climate Interactive dari MIT dalam analisisnya menyampaikan bahwa tanpa partisipasi AS, temperatur global akan lebih tinggi 0.3°C pada akhir abad ini dibandingkan dengan tingkat temperature yang terjadi jika janji penurunan emisi negara-negara yang tergabung dalam Paris Agreement berupa target INDC/NDC dapat tercapai. Kontribusi AS terhadap total penurunan emisi global mencapai 21 persen. Menurut kajian Climate Interactive, jika tidak ikut serta dalam Paris Agreement, emisi AS akan mencapai 6,7 GtCO2/tahun pada 2025, dibandingkan dengan 5,3 GtCO2/tahun jika AS menjalankan komitmen penurunan emisinya sesuai dengan NDC.

Sumber: Climate Interactive (Mei, 2017)

Walaupun demikian, terdapat keyakinan bahwa walaupun pemerintah federal AS keluar dari Paris Agreement, hal ini tidak mempengaruhi negara-negara bagian dan kota-kota yang telah menetapkan target penurunan emisi dan energi terbarukan. Aksi dari negara bagian dan kota-kota ini dapat memenuhi target penurunan emisi AS. Sehari setelah pengumuan Trump, perwakilan dari negara bagian, kota-kota dan universitas serta perusahaan di AS merencanakan penyampaian rencana pengurangan emisi kepada UN, untuk memenuhi janji penurunan emisi AS yang dibuat sebelumnya. Mereka menyampaikan target penurunan emisi 26 persen pada 2025, setara dengan target NDC.

Implikasi terhadap pendanaan iklim

Pada tahun 2016, AS merupakan pendukung dana utama dengan jumlah $ 6,44 juta per tahun atau 20 persen dari operasionalisasi UNFCCC. Posisi AS terhadap agenda perubahan iklim global dan penarikan diri dari Paris Agreement dapat mengancam kemampuan operasionalisasi UNFCCC. Sebelumnya, Trump telah merencanakan untuk menghentikan dukungan pendanaan dari AS kepada UNFCCC dan inisiatif perubahan iklim lainnya dimulai pada tahun anggaran 2018.

Dengan menyatakan keluar dari Paris Agreement, secara logika pemerintahan Trump bisa berdalih bahwa tidak ada urgensi untuk ikut serta dalam UNFCCC dan menarik dukungan pendanaan yang diberikan selama ini. Dengan demikian, tanpa adanya sumber dana lain yang menambal celah yang ditinggalkan AS, operasionalisasi UNFCCC, termasuk proses negosiasi yang sedang berjalan untuk merumuskan modalitas operasional Paris Agreement dapat terganggu. Demikian juga dengan operasionalisasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan yang memberikan kajian dan rekomendasi berbasis ilmiah untuk isu perubahan iklim kepada UNFCCC, dapat terpengaruh.

Absennya AS dalam Paris Agreement dapat mengganggu arus pendanaan iklim yang dimaksudkan untuk mendukung proyek-proyek adaptasi dan mitigasi di negara-negara berkembang. Sebelumnya, Obama menjanjikan $ 3 miliar dari total target $ 10 miliar untuk GCF. AS sudah mengucurkan sebesar $ 1 miliar sampai dengan 2016. Sesuai kesepakatan Paris, negara-negara maju berjanji untuk mobilisasi pendanaan iklim hingga mencapai $ 100 milyar pada 2020-2025. Tanpa kontribusi AS, mobilisasi pendanaan iklim akan menghadapi tantangan yang cukup serius.

Di era Obama, aliran pendanaan iklim (climate finance) dari AS sebesar $ 2.6 milyar per tahun, dengan total 2010 – 2015 sebesar $15,57 milyar. Sebagai contoh, pada 2015, lebih dari 86 persen pendanaan iklim diberikan melalui kerjasama bilateral dan sekitar 16 persen atau senilai $ 422 juta disalurkan melalui lembaga multilateral seperti Global Environmental Fund (GEF) dan Climate Investment Fund (CIF) dan Montreal Protocol Multilateral Fund. Lebih dari 60 persen pendanaan iklim disalurkan dalam bentuk kredit investasi melalui lembaga pendanaan milik pemerintah AS, OPIC dan Exim Bank.

Proposal anggaran yang disusun Trump meniadakan anggaran untuk program Global Climate Change Initiative (GCCI). Program ini dibentuk di masa Obama dengan total anggaran $2.4 miliar pada 2010-2016, atau $ 330-340 juta setiap tahunnya. Melalui program ini, AS memberikan dana kepada UNFCCC, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dukungan untuk proses internasional melalui Clean Energy Ministerial (CEM), Climate and Clean Air Coalition, dan Enhance Capacity for Low Emission Strategies (LEDS). Anggaran tersebut juga menghilangkan alokasi untuk GCF, Clean Technology Fund (CTF), Strategic Climate Fund (SCF). Total dana yang dihilangkan dari keempat inisiatif ini sebesar $1,59 miliar. Dengan demikian, pada 2018, Trump menghilangkan kontribusi AS untuk agenda perubahan iklim global dengan total $2 miliar.

Memperkuat kerjasama dan kemitraan global untuk menghadapi perubahan iklim

Keluarnya AS dari Paris Agreement memberikan ketidakpastian terhadap pencapaian target kenaikan temperatur global 2/1.5°C, dan target mobilisasi pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tanpa adanya upaya untuk menutupi kesenjangan emisi sebesar 1,5 – 1,6 GtCO2eq per tahun, target Paris Agreement bisa tidak tercapai. Paling tidak diharapkan negara-negara yang telah meratifikasi Paris Agreement untuk konsisten dengan target mitigasi dan mulai melakukan aksi mitigasi sedini mungkin, sebelum 2020.

Tahap berikutnya adalah mengkaji target penurunan emisi yang lebih ambisius sesuai dengan porsi yang adil (fair share), khususnya bagi negara-negara G-20, yang menghasilkan 70 persen emisi global. Ini artinya negara-negara tersebut harus meningkatkan ambisinya, diatas komitmen INDC/NDC, dan mempercepat pengembangan energi terbarukan dan mengurangi pembangkit batubara secara bertahap. Kajian yang dibuat oleh Climate Analytics memberikan gambaran untuk dapat mencapai target Paris Agreement, pembangkit batubara negara-negara OECD dan EU harus sepenuhnya dipensiunkan sebelum 2030, dan 2040 untuk Cina.

Dalam jangka pendek, operasionalisasi GCF dapat terkena dampak. Persetujuan proposal dan Implementasi proyek-proyek mitigasi dan adaptasi dapat terhambat karena terdapat kekurangan penerimaan $2 milyar dari total mobilisasi 10 milyar, yang berasal dari pembatalan kontribusi AS yang seharusnya berjumlah $ 3 miliar.

Berkurangnya dukungan pendanaan AS untuk sejumlah inisiatif global atau multilateral yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pengembangan energi bersih dapat mempersempit ruang-ruang untuk membuat konsensus bagi sejumlah negara kunci, diluar proses UNFCCC. Kerjasama internasional seperti Clean Energy Ministerial (CEM) yang dapat mendorong inovasi teknologi dan kebijakan untuk mendorong pengembangan energi bersih dapat melambat, jika tidak ada upaya dari negara lain untuk menutupi lubang yang ditinggalkan AS. Kerjasama bilateral antara AS dengan sejumlah negara berkembang untuk mendorong transisi pembangunan rendah karbon secara lebih cepat sepertinya akan terhenti.

Dalam situasi ini, pilihannya adalah meningkatkan solidaritas global untuk mempertegas komitmen masyarakat internasional untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Sepertinya diperlukan sebuah aliansi global baru minus AS untuk memastikan keberhasilan Paris Agreement. Negara-negara anggota G-20 dapat mengambil alih kepemimpinan global mengatasi perubahan iklim secara kolektif melalui kerjasama investasi, inovasi dan teknologi energi bersih.

Peluang ini juga dapat digunakan Indonesia, yang merupakan salah satu negara besar secara ekonomi dan emisi, untuk memperkuat diplomasi perubahan iklim global bersama-sama dengan India dan China (juga Brazil, Mexico dan Africa Selatan) membentuk “Aliansi Selatan-Selatan” untuk mendorong peran negara berkembang dalam kerjasama pendanaan, dan alih teknologi bersih, dan pelestarian hutan dan gambut. Indonesia juga dapat memperkuat kerjasama dan kemitraan dengan negara-negara kecil di Pacific, yang telah ada selama ini melalui kerjasama teknik, dengan memperluasnya ke kerjasama teknologi dan finansial untuk adaptasi perubahan iklim.

Semoga Presiden Joko Widodo memiliki visi global dan bertransformasi menjadi salah satu pemimpin dunia yang berkomitmen menyelamatkan dunia dari ancaman perubahan iklim.

Jakarta, 4 Juni 2017