Memacu pembangunan listrik surya atap, belajarlah dari India

 

Foto: antara

Potensi dan Pemanfaatan Energi Surya

Indonesia memiliki potensi energi surya yang cukup berlimpah. Data Kementerian ESDM menyebutkan potensi energi surya Indonesia mencapai 207.898 MW. Dengan teknologi modul surya (pv module) saat ini, potensi listrik yang terbangkitkan 3,4 kWh/kWp – 4,8 kWh/kWp per hari atau setara dengan 1170 kWh/kWp – 1530 kWh/kWp per tahun (lihat gambar 1). Wilayah timur Indonesia memiliki intensitas radiasi sinar matahari yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah barat. KESDM memperkirakan potensi energi surya di Indonesia mencapai 532 GWp.

Gambar 1. Potensi daya terbangkit listrik dari tenaga surya (kWh/kWp)

Sumber: World Bank/ESMAP (2017)

[1] Direktur Eksekutif IESR, dan Wakil Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI).

Dengan potensi sumber daya yang cukup besar dan wilayah yang luas, Indonesia seharusnya dapat memimpin pengembangan energi surya di kawasan Asia Tenggara. Namun kenyataannya, Indonesia justru tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, bahkan negara kecil seperti Singapura. Hingga 2017, kapasitas terpasang solar PV di Indonesia masih kurang dari 100 MW. Sementara Thailand sudah mencapai 2700 MW, Filipina 885 MW, Malaysia yang baru mulai 2011 sudah memasang 375 MW, dan Singapura yang belum lama memulai sudah punya
130 MW.

Keberhasilan negara-negara tersebut sangat kontras dengan Indonesia yang sudah memulai memanfaatkan listrik tenaga surya untuk listrik perdesaan dan penyediaan air bersih sejak tahun 1980-an. Pengalaman Indonesia dalam menggunakan solar home system (SHS) untuk akses listrik perdesaan bahkan menjadi contoh praktek terbaik (best practice) bagi negara-negara berkembang pada tahun 1990-an. Tidak sedikit negara yang menjadikan program SHS di Indonesia sebagai model untuk direplikasi.

Transformasi Energi di Sektor Kelistrikan

Di tingkat global sektor kelistrikan tengah mengalami transformasi besar menuju sistem energi rendah karbon. Pembangkit energi surya dan angin menjadi bagian penting dalam proses transisi tersebut. Total kapasitas pembangkit energi terbarukan di seluruh dunia mencapai 2,200 GW pada akhir 2017, dimana kapasitas pembangkit angin dan surya telah mencapai 1000 MW pada pertengahan tahun ini, dan terus meningkat. Salah satu faktor dari pertumbuhan listrik tenaga surya yang cepat adalah harga teknologi dan pembangkitan listrik yang semakin rendah dan kompetitif terhadap pembangkit konvensional.

Dalam laporannya, IRENA (2018) menyatakan biaya pembangkitan listrik (levelized cost of electricity) dari teknologi surya sudah turun 73% sejak 2010 sampai 2017, yang mencapai $10 sen/kWh. Sejumlah proyek pembangkit listrik surya skala utilitas (utility scale) yang dilelang pada 2017 dan 2018 menawarkan harga pembangkitan listrik sebesar 3 – 4 sen/kWh. Harga ini lebih rendah dari listrik yang dihasilkan oleh PLTU.

Indonesia sesungguhnya dapat menjadi bagian dari trend tranformasi energi global dan secara bertahap melakukan dekarbonisasi sistem kelistrikan. Menurut IRENA (2017), Indonesia punya potensi membangun 3,1 GW pembangkit listrik tenaga surya setiap tahun sampai 2030. 1 GW untuk listrik surya atap dan 2,1 GW untuk PLTS yang dibangun diatas tanah. Hingga 2030, potensi yang dapat dipasang mencapai 37 GW untuk sistem on-grid dan off-grid (tabel 1).

Tabel 1. Potensi instalasi PLTS berdasarkan scenario IRENA (2015-2030)

Sumber: IRENA (2017), data diolah

Tantangan Indonesia

Salah satu tantangan untuk mengembangkan pembangkit surya di Indonesia adalah biaya investasi pembangkit yang lebih tinggi dari rata-rata global. Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan harga tinggi tersebut, antara lain: pasar pembangkit listrik tenaga surya yang masih kecil, pertumbuhan permintaan yang rendah (<20 MW per tahun), hambatan regulasi, dan interkoneksi dengan jaringan PLN, serta financing cost yang tinggi, dimana biaya ini juga terkait dengan tingkat risiko.

Saat ini, diperkirakan total biaya proyek untuk PLTS diatas 10 MWac (utility scale) mencapai $1,3-1,4/Wp, dengan LCOE sebesar $0,14-0,15/kWh di wilayah Jawa. Dengan kapasitas yang lebih besar dan suku bunga pinjaman yang lebih rendah dapat menurunkan biaya investasi dan harga listrik dibawah 0,1/kWh. Pada 12 Desember 2017, PLN menandatangani MoU dengan Akuo Energi untuk proyek PLTS Bali 1 di Kubu, Bali sebesar 50 MW, dan Equis untuk PLTS Bali-2 di Jembrana, dengan kapasitas 50 MW. Nilai kedua proyek ini sebesar $ 91,6 juta, atau 1,83 juta per MW. Nilai proyek ini lebih dari dua kali lipat dari biaya investasi PLTS 1,17 GW di Abu Dhabi.

Untuk listrik surya atap, harga paket di tingkat retail ditawarkan pada kisaran 15 – 20 juta per watt-peak (Wp). Dengan melihat harga yang ditawarkan saat ini dan dengan potensi yang ada, listrik surya atap sangat berpotensi dikembangkan di Indonesia.

Pengembangan Listrik Surya Atap di India

Bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan potensi listrik surya yang besar ini? Mungkin bisa belajar dari India. Salah satu negara dengan pertumbuhan pembangkit listrik surya terbesar dan tercepat di dunia, selain China dan US. Pada 2017, terdapat 863,9 MW tambahan kapasitas pembangkit listrik surya atap. Total kapasitas pembangkit listrik tenaga surya mencapai 20 GW, dimana 1,7 GW adalah listrik surya atap.

Gambar 2. Perkiraan permintaan pembangkit listrik surya 2018 – 2022

Sumber: Mercom’s Solar Installation Market Update (2018)

Apa yang membuat India berhasil membangun listrik surya atap dengan cepat dan mendapatkan harga yang semakin kompetitif? Hal ini tidak lepas dari ambisi program nasional yang didukung juga oleh pemerintah negara bagian. Pemerintah juga mentargetkan listrik surya atap dapat mencapai 40 GW pada 2022. Saat ini listrik surya atap berkembang di lebih dari 30 negara bagian di India.

Harga listrik dari pembangkit tenaga surya di India sangat kompetiitif, dan lebih murah dari PLTU Batubara. Harga terendah saat ini sebesar $0.36/kWh pada lelang 500 MW proyek PLTS di Rajasthan pada Mei 2017. Harga yang rendah ini merupakan hasil dari kombinasi kebijakan dan regulasi yang konsisten sejak pemerintah india memutuskan mengembangkan listrik tenaga surya sejak 2003, insentif fiskal dan finansial yang mendorong permintaan sehingga memperbesar pasar pembangkit listrik tenaga surya dalam waktu yang tidak terlalu lama, serta dukungan pendanaan melalui National Clean Energy Fund (NCEF) yang sumber dananya berasal dari pungutan Rs. 50 untuk setiap ton batubara yang diproduksi di dalam negeri atau diimpor sejak 2010. NCEF ini mendanai 40% total biaya proyek melalui Indian Renewable Energy Agency (IREDA).

Tabel 2. Kebijakan pendukung listrik surya atap di sejumlah negara bagian di India

Sumber: Goel, Malti (2016)

Selain itu, pemerintah dan pemerintah negara bagian juga memberikan sejumlah insentif dan subsidi untuk membuat listrik surya atap berkembang pesat. Walaupun sejak 2014, harga listrik dari proyek-proyek pembangkit surya skala besar semakin turun, tapi untuk segmen lainnya seperti listrik surya atap harganya masih relatif lebih tinggi. Untuk mendukung keekonomian dan mendukung pencapaian target 40 GW listrik surya atap, pemerintah nasional India dan negara bagian menerbitkan berbagai inisiatif berupa kebijakan, pengaturan (regulasi), dukungan insentif fiskal dan finansial, antara lain:

  • Subsidi finasial sebesar 30% dari biaya proyek/biaya yang dipatok (benchmark cost) untuk proyek listrik surya atap di sektor perumahan/institusi/sosial, bahkan mencapai 70% untuk beberapa negara bagian yang khusus.
  • Finansial insentif sampai dengan 25% dari biaya proyek/biaya yang dipatok (benchmark cost) untuk proyek listrik surya atap di pemerintah atau BUMN (public sector undertaking).
  • Kebijakan gross/net-metering di berbagai negara bagian.
  • Renewable Purchase Obligation (RPO) pada sisi perusahaan distribusi listrik (distribution company atau DISCOM).
  • Pemberian pinjaman berbunga rendah kepada developer/pengembang melalui dukungan institusi multilateral. Indian Renewable Energy Development Agency (IREDA) memberikan pinjaman kepada system integrator dengan bunga 9,9% – 10,75%.

Di tingkat negara bagian, pemerintah negara bagian memiliki skema insentif kebijakan net metering/gross metering untuk mendorong konsumsi seluruh listrik yang dibangkitkan (self-consumption). Kebijakan ini di beberapa negara bagian digabungkan dengan instrumen lainnya, misalnya dalam bentuk subsidi langsung dan insentif fiskal berupa depresiasi yang dipercepat (appreciated depreciation) serta pengurangan pajak. Tabel 2 berikut memberikan contoh instrumen dukungan atau insentif untuk listrik surya atap dari sejumlah negara bagian.

Untuk mempercepat pencapaian target 40 GW listrik surya atap, pada akhir 2017 pemerintah India menetapkan sebuah kebijakan baru, salah satunya adalah memperluas insentif untuk pembangkit surya atap yang tersambung dengan jaringan (grid connected). Untuk mendukung ini, Kementerian Energi Terbarukan (MNRE) India mendorong perusahaan distribusi listrik (distribution company, DISCOM) sebagai garda depan implementasi listrik surya atap dan memberikan insentif finansial berbasis kinerja. Insentif akan diberikan untuk setiap MW yang terpasang di wilayah distribusi DISCOM. Kapasitas terpasang ini akan diperhitungkan sebagai bagian dari kewajiban Renewable Purchase Obligation (RPO) DISCOM.

Dalam pelaksanaannya, semua DISCOM menyampaikan baseline kapasitas instalasi listrik surya atap di wilayah distribusinya melalai aplikasi online. Baseline ini akan menjadi dasar dari monitoring. Insentif akan diberikan untuk tambahan kapasitas yang didapat pada akhir tahun anggaran.

Tabel 3. Insentif finansial untuk Distribution Company (DISCOM) untuk penambahan kapasitas listrik surya atap.

Parameter Insentif yang disediakan
Untuk setiap kenaikan sampai dengan 10% dari kapasitas terpasang dasar, dalam periode 1 tahun anggaran. 5% dari biaya proyek untuk kapasitas yang terpasang dalam satu tahun, dan diatas kapasitas terpasang di tahun sebelumnya.
Tambahan kapasitas terpasang, diatas 10% sampai dengan 15% dari kapasitas terpasang dasar, dalam periode 1 tahun anggaran. 5% dari biaya proyek untuk 10% kapasitas yang terpasang pertama, dan 10% dari biaya proyek untuk tambahan kapasitas terpasang selebihnya, dalam satu tahun.
Tambahan kapasitas terpasang lebih dari 15% dari kapasitas terpasang dasar, dalam 1 periode anggaran. 5% dari biaya proyek untuk 10% kapasitas yang terpasang pertama, dan 10% dari biaya proyek untuk tambahan diatas 10 sampai 15% kapasitas yang terpasang, dan 15% biaya proyek untuk setiap kapasitas tambahan diatas 15%, dalam satu tahun.

Sumber: MNRE (2017)

Kebijakan Renewable Purchase Obligation (RPO) atau kewajiban pembelian listrik dari pembangkit energi terbarukan merupakan salah satu kebijakan kunci yang dikeluarkan oleh pemerintah India. Kebijakan RPO ini menciptakan pasar minimum bagi energi terbarukan, ditengah ketiadaan biaya eksternalitas untuk pembangkit listrik konvensional. Kebijakan ini dieksekusi di oleh negara bagian, dan mewajibkan konsumen listrik besar untuk menggunakan listrik dari energi terbarukan dalam porsi minimum tertentu. Kewajiban RPO ini juga berlaku bagi perusahaan distribusi listrik (DISCOM) yang diberikan lisensi untuk mengalirkan listrik pada wilayah tertentu.

Sejak dimandatkan dalam UU Kelistrikan (Electricity Act) tahun 2003, penerapan RPO tidak terlalu efektif. Banyak negara bagian di India yang menerapkan RPO terlalu rendah atau tidak menerapkan RPO sama sekali. Untuk mendorong penerapan RPO, pada 2010 Central Electricity Regulatory Commission (CERC) mengeluarkan peraturan untuk mendorong pelaksaan RPO oleh pemerintah negara bagian dengan mengeluarkan ketentuan mengenai Renewable Energy Certificates (REC).

National Climate Change Action Plan (NCCAP) India mentargetkan RPO sebesar 15% pada 2022, yang diturunkan menjadi target untuk setiap negara bagian (states). Negara bagian menetapkan target RPO masing-masing untuk energi surya dan non-surya. Pada 2011, State Energy Regulatory Commissions (SERCs) menetapkan target minimum untuk solar 0,25% yang harus dicapai pada akhir tahun fiskal 2011/2012. Pada periode 2011-2013, sejumlah negara bagian menerapkan RPO secara bervariasi antara 3 (Haryana) sampai 14% (Tamil Nadu). Walaupun dalam pelaksanaannya, hanya enam dari dua puluh empat negara bagian yang berhasil memenuhi target yang ditetapkan. Pada 2016/2017, terdapat 16 negara bagian dan teritori yang mencapai target RPO-nya kurang dari 60%.

Kinerja pencapaian RPO yang tidak sepenuhnya mulus tidak menghambat langkah pemerintah India untuk meningkatkan target RPO hingga 2022. Target yang naik cukup tinggi adalah RPO untuk listrik dari energi surya (lihat gambar 2). CERC menetapkan bahwa 85% dari target untuk kewajiban bagi energi surya harus dicapai. Kewajiban ini merefleksikan tarif listrik dari listrik surya yang turun dan semakin kompetitif.

Gambar 3. Target Renewable Purchase Obligation (RPO) India 2016-2022

Beberapa Pelajaran dari India

Apa saja yang dapat dipelajari Indonesia dalam pengembangan listrik surya atap dari keberhasilan India?

Pertama, komitmen yang kuat terhadap pengembangan energi terbarukan, konsistensi kebijakan, target, dan stabilitas regulasi pemerintah di tingkat pusat dan tingkat negara bagian untuk mendorong pengembangan listrik surya atap. Pemerintah negara bagian cukup aktif mengeluarkan regulasi dan insentif untuk mendorong perkembangan listrik surya atap. Selain itu target pengembangan energi terbarukan sangat terkait dengan target dan strategi dalam Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim (National Climate Change Action Plan).

Kedua, kebijakan didukung oleh regulasi yang kuat, serta instrumen yang beragam dan saling mendukung. Sebagai contoh, pemerintah India mengeluarkan kebijakan Renewable Purchase Obligation (RPO) dan Renewable Energy Certificate (REC), yang diimplementasikan oleh negara bagian. Kebijakan RPO ini terus menerus disempurnakan ketaatan pelaksanaan dan mekanisme pendukungnya. Untuk mendukung pengembangan energi surya, terdapat kewajiban membeli listrik dari pembangkit surya, termasuk surya atap dalam target RPO setiap tahunnya. Hal ini membuat pasar untuk teknologi listrik dari energi surya semakin tumbuh dan semakin kompetitif.

Ketiga, pemerintah dan regulator mengatur perilaku utility kelistrikan dan perusahaan distribusi listrik (DISCOM) dan mendorong mereka dalam pengembangan energi terbarukan, khususnya energi surya. Pemerintah memberikan insentif finansial bagi entitas Public Sector Undertaking (PUC) atau BUMN untuk mengembangkan energi surya. Hal yang sama juga dilakukan kepada perusahaan distribusi listrik (DISCOM). Insentif ini mendorong PUC untuk membangun pembangkit energi terbarukan yang berkontribusi mendorong turunnya harga pembangkitan listrik surya sehingga lebih murah daripada harga listrik dari PLTU batubara.

Keempat, instrumen gross/net-metering, yang dikombinasikan dengan subsidi finansial (generation based incentive) dan insentif fiskal (accelerated depreciation) terbukti menjadi paket kebijajan yang efektif dalam mendorong instalasi listrik surya atap di sektor perumahan, institusi dan industri sehingga membuka pasar listrik surya atap di seluruh negeri. Kebijakan dan insentif yang disediakan juga mendorong penggunaan listrik surya secara langsung (self-consumption) sehingga dapat mengurangi tekanan untuk menambah kapasitas pembangkit konvensional.

Kelima, pengembangan instrumen finansial dan pendanaan inovatif untuk mendorong potensi pasar lebih lanjut. Untuk mendorong instalasi energi surya di India, pemerintah mendorong investasi swasta melalui pembentukan instrumen pendanaan yang lebih inovatif. Instrumen finansial ini dimaksudkan untuk menggantikan skema subsidi yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka membangun pasar dan alih teknologi listrik tenaga surya, yang berhasil membuat listrik surya atap mencapai $ 0,1/kwh dan semakin rendah. Pemerintah India mendorong bank-bank BUMN untuk mendanai instalasi listrik surya atap melalui skema kredit pemilikan rumah (KPR) atau kredit untuk renovasi rumah. Pinjaman konsesi (bunga rendah) juga diberikan kepada pemilik usaha, industri, lembaga keuangan non-bank, kelompok masyarakat yang terdaftar untuk proyek listrik surya atap.

Dukungan IESR dalam Musyawarah Nasional Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Ke-1

Institute for Essential Services Reform (IESR) memberikan dukungan dalam Musyarawah Nasional (Munas) Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) ke-1 yang diselenggarakan pada tanggal 25 Januari 2018 di Jakarta. Munas AESI ini bertema “Konsolidasi Asosiasi Energi Surya Indonesia untuk Mendukung Pencapaian Target Kebijakan Energi Nasional dalam Rangka Mewujudkan Energi Berkeadilan Hingga Pelosok Negeriâ€. Dalam acara ini juga dilakukan peluncuran portal “Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap“ dan pameran INDOSOLAR 2018.

AESI diresmikan pendiriannya pada 15 Desember 2016. Sejarah pendirian AESI diawali pada saat Luluk Sumiarso menerima undangan dari Asosiasi Energi Surya di Jerman untuk berbicara mengenai berbagai sumber energi dan berdialog di sebuah konferensi. Sebelum datang ke Jerman, Luluk Sumiarso bertemu dengan beberapa pegiat energi terbarukan lain dan menginisiasi berdirinya Indonesia Solar Association (ISA).

IESR mendukung deklarasi AESI secara resmi dan juga berperan aktif dalam menfasilitasi beragam diskusi AESI dengan fokus pada pengembangan energi surya di Indonesia. Dari beberapa diskusi yang diselenggarakan tersebut, kemudian disepakati adanya kolaborasi beragam pemangku kepentingan untuk mencapat target gigawatt pertama energi surya di Indonesia dengan pemanfaatan listrik surya atap. Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) ini dideklarasikan secara resmi dalam acara IndoEBTKEConnex tahun 2017 lalu.

Rida Mulyana sebagai Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM menyampaikan pemerintah sangat mengapresiasi AESI dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Rida menyampaikan adanya beberapa kendala untuk pengembangan energi surya, misalnya teknologi baterai, sifat yang intermitent dan tergantung cuaca, serta ketersediaan lahan. Harus dipikirkan mengenai solusi untuk mengatasi tantangan ini, tentunya kerjasama dengan berbagai pihak, melihat permasalahan secara holistik dan tidak saling menyalahkan. Rida juga menyoroti ragam pemangku kepentingan di AESI yang diharapkan dapat berkontribusi secara positif untuk mewujudkan cita-cita bersama.

Selanjutnya Arthur Panggabean sebagai konsultan GNSSA memberikan pemaparan mengenai portal GNSSA yang dapat diakses secara publik. Portal ini dirancang sebagai portal informasi mengenai pengetahuan, pertanyaan dan jawaban, juga forum untuk pelaku bisnis dan konsumen listrik surya atap untuk berjejaring.

Setelah pembukaan Munas AESI, dilakukan diskusi panel dengan tema “Towards the First Gigawatt Solar Energy in Indonesia†dengan moderator Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa. Duduk sebagai panelis adalah Harris, Direktur Aneka Energi Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Zakiyudin, Direktur Mesin dan Alat Mesin Pertanian Ditjen ILMATE Kementerian Perindustrian, Dewanto, Deputi Manager Alternatif PT PLN, dan Ahmad Masyuri, Head of Engineering PT Sampoerna.

Fabby Tumiwa menerangkan bahwa GNSSA dirancang dan dideklarasikan untuk berkontribusi terhadap target kebijakan energi nasional, yaitu 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Dari target tersebut,  6,5 GW disumbang oleh listrik tenaga surya. Pembahasan tentang bagaimana rencana GNSSA ke depan terbilang penting, karena target GNSSA yaitu tercapainya 1 GW listrik surya atap dapat memiliki efek yang sangat luar biasa terhadap industri dan terhadap perkembangan pasar energi surya di Indonesia.

Harris menyampaikan bahwa tren kebijakan pengembangan EBT berubah sangat cepat, sehingga dibutuhkan upaya-upaya sinergi internal eksternal, termasuk kolaborasi dalam GNSSA. Energi terbarukan, terutama energi yang dibangkitkan dari energi surya juga dianggap sangat mampu menyikapi perubahan dengan inovasi-inovasinya, sehingga mampu mengurangi biaya investasi dan harga.

Kesiapan industri Indonesia terkait pasar dan manufaktur komponen listrik tenaga surya ditanggapi oleh Zakiyudin. Peningkatan daya saing industri pendukung proyek ketenagalistrikan telah diatur oleh Kementerian Perindustrian, seperti pemberian fasilitas BMDTP (Bea Masuk Ditanggung Pemerintah) untuk impor bahan baku industri pendukung proyek ketenagalistrikan. Pemerintah juga memberikan tax holiday untuk investasi baru  industri permesinan pendukung proyek ketenagalistrikan, dan mengajukan usulan pemberian fasilitas tax allowance.

Dewanto sebagai perwakilan PT PLN menjelaskan bahwa PLN tidak menghalangi keberadaan PV rooftop. Secara kebijakan, sudah ada keputusan direksi tentang aturan penyambungan energi baru terbarukan, termasuk pemasangan instalasi listrik surya atap untuk pelanggan dan integrasi ke jaringan PLN. Saat ini PLN sedang berada dalam kondisi yang sulit, dikarenakan adanya penurunan penjualan, di samping berlebihnya pasokan di Jawa Bali karena turunnya permintaan dan banyaknya industri yang masih menggunakan pembangkit listrik sendiri.

Pengalaman pelaku sektor industri dalam menggunakan energi terbarukan disampaikan oleh Ahmad Masyuri dari PT HM Sampoerna. Saat ini Sampoerna memiliki dua fasilitas di Sukorejo (Jawa Timur) dan Karawang yang membangkitkan listrik dari tenaga surya. Sampoerna memiliki komitmen intenasional untuk mengurangi emisi karbon dari penggunaan energi, yang dilakukan dengan penggunaan listrik surya atap, penggantian lampu dengan lampu LED, dan efisiensi proses produksi.

Munas AESI ke-1 ini kemudian dilanjutkan dengan musyawarah anggota AESI yang menetapkan Ketua Dewan Pengurus, Ketua Dewan Pembina, dan Ketua Dewan Pakar. Untuk tahun 2018 – 2021, terpilih Ketua Dewan Pengurus Dr. Andhika Prastawa, Ketua Dewan Pembina Luluk Sumiarso, dan Ketua Dewan Pakar Nur Pamudji.

Implikasi Keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement terhadap Agenda Perubahan Iklim Global (Bagian 2)

(Bagian 2 dari 2 tulisan)

Oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Sebagai negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia sesudah China, keluarnya AS dari Paris Agreement dapat berdampak terhadap dua hal: pertama, pencapaian target kenaikan temperatur 2/1,5°C, dan kedua, pendanaan untuk mendukung proses negosiasi internasional, dan pendanaan iklim untuk mendukung aksi mitigasi, aksi adaptasi dan pengembangan kapasitas di negara-negara berkembang.

Implikasi terhadap Target 2/1,5°C

Bisa dikatakan keluarnya AS dari Paris Agreement membuat upaya untuk mencapai target kenaikan temperatur global dibawah 2°C, apalagi 1,5°C akan semakin sulit. Saat ini temperatur global telah naik sekitar 1°C, oleh karena itu upaya bangsa-bangsa yang telah meratifikasi Paris Agreement adalah mencegah kenaikan temperatur 1°C yang tersisa.

Pada 2014, emisi AS mencapai 6,87 juta tonCO2eq dan berkontribusi 14% dari total emisi global. Di bulan September 2016, AS meratifikasi Paris Agreement dan sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC), AS berjanji mengurangi emisi 26-28% dibawah tingkat emisi 2005 pada 2025, termasuk emisi dari perubahan tata guna lahan dan kehutanan (LULUCF). Dengan target ini sekalipun, komitmen penurunan emisi AS dinilai tidak cukup amibisius untuk mencapai target 2°C. Terlebih dengan adanya kebijakan Trump yaitu, America First Energy Plan, dan Executive Order on Energy Independence, yang berpotensi membatalkan kebijakan Clean Power Plan, maka sangat besar kemungkinan AS tidak akan mencapai target NDC-nya.

Apabila AS gagal mengurangi emisi sesuai dengan bagian yang adil (fair share), maka kesempatan untuk mempertahankan kenaikan temperatur global dibahwa 2°C semakin berat. Sejumlah skenario menyatakan bahwa untuk dapat membatasi kenaikan temperatur dibawah 2°C, maka emisi global harus mencapai puncak sebelum 2030 lalu turun hingga pertengahan abad ini. Dalam artikelnya di Jurnal Nature Climate Change Oktober 2011, Rogelj, dkk (2011) menyatakan bahwa untuk dapat tetap dibawah 2°C maka emisi harus mencapai puncak (peak) sebelum 2020, dan turun pada tingkat 44 GtCO2 pada 2020. Intinya adalah aksi mitigasi harus dilakukan secepatnya, dan penurunan emisi tidak boleh terlambat.

Sanderson dan Knutti (2016), dalam artikel yang juga terbit di Jurnal Nature Climate Change, Desember 2016 menyatakan bahwa keterlambatan (delay) dalam target mitigasi di AS dapat membuat target 2°C tidak tercapai. Sanderson dan Knutti menyatakan bahwa jika AS tidak bertindak untuk mengurangi emisi GRK dalam periode tanpa aksi (inaction) 4-8 tahun (sesuai dengan masa jabatan Presiden AS), maka emisi gas rumah kaca di atmosfer akan meningkat setara atau lebih dari emisi GRK yang harus dipotong untuk mencapai target yang disepakati dalam Paris Agreement.

Tim Climate Interactive dari MIT dalam analisisnya menyampaikan bahwa tanpa partisipasi AS, temperatur global akan lebih tinggi 0.3°C pada akhir abad ini dibandingkan dengan tingkat temperature yang terjadi jika janji penurunan emisi negara-negara yang tergabung dalam Paris Agreement berupa target INDC/NDC dapat tercapai. Kontribusi AS terhadap total penurunan emisi global mencapai 21 persen. Menurut kajian Climate Interactive, jika tidak ikut serta dalam Paris Agreement, emisi AS akan mencapai 6,7 GtCO2/tahun pada 2025, dibandingkan dengan 5,3 GtCO2/tahun jika AS menjalankan komitmen penurunan emisinya sesuai dengan NDC.

Sumber: Climate Interactive (Mei, 2017)

Walaupun demikian, terdapat keyakinan bahwa walaupun pemerintah federal AS keluar dari Paris Agreement, hal ini tidak mempengaruhi negara-negara bagian dan kota-kota yang telah menetapkan target penurunan emisi dan energi terbarukan. Aksi dari negara bagian dan kota-kota ini dapat memenuhi target penurunan emisi AS. Sehari setelah pengumuan Trump, perwakilan dari negara bagian, kota-kota dan universitas serta perusahaan di AS merencanakan penyampaian rencana pengurangan emisi kepada UN, untuk memenuhi janji penurunan emisi AS yang dibuat sebelumnya. Mereka menyampaikan target penurunan emisi 26 persen pada 2025, setara dengan target NDC.

Implikasi terhadap pendanaan iklim

Pada tahun 2016, AS merupakan pendukung dana utama dengan jumlah $ 6,44 juta per tahun atau 20 persen dari operasionalisasi UNFCCC. Posisi AS terhadap agenda perubahan iklim global dan penarikan diri dari Paris Agreement dapat mengancam kemampuan operasionalisasi UNFCCC. Sebelumnya, Trump telah merencanakan untuk menghentikan dukungan pendanaan dari AS kepada UNFCCC dan inisiatif perubahan iklim lainnya dimulai pada tahun anggaran 2018.

Dengan menyatakan keluar dari Paris Agreement, secara logika pemerintahan Trump bisa berdalih bahwa tidak ada urgensi untuk ikut serta dalam UNFCCC dan menarik dukungan pendanaan yang diberikan selama ini. Dengan demikian, tanpa adanya sumber dana lain yang menambal celah yang ditinggalkan AS, operasionalisasi UNFCCC, termasuk proses negosiasi yang sedang berjalan untuk merumuskan modalitas operasional Paris Agreement dapat terganggu. Demikian juga dengan operasionalisasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan yang memberikan kajian dan rekomendasi berbasis ilmiah untuk isu perubahan iklim kepada UNFCCC, dapat terpengaruh.

Absennya AS dalam Paris Agreement dapat mengganggu arus pendanaan iklim yang dimaksudkan untuk mendukung proyek-proyek adaptasi dan mitigasi di negara-negara berkembang. Sebelumnya, Obama menjanjikan $ 3 miliar dari total target $ 10 miliar untuk GCF. AS sudah mengucurkan sebesar $ 1 miliar sampai dengan 2016. Sesuai kesepakatan Paris, negara-negara maju berjanji untuk mobilisasi pendanaan iklim hingga mencapai $ 100 milyar pada 2020-2025. Tanpa kontribusi AS, mobilisasi pendanaan iklim akan menghadapi tantangan yang cukup serius.

Di era Obama, aliran pendanaan iklim (climate finance) dari AS sebesar $ 2.6 milyar per tahun, dengan total 2010 – 2015 sebesar $15,57 milyar. Sebagai contoh, pada 2015, lebih dari 86 persen pendanaan iklim diberikan melalui kerjasama bilateral dan sekitar 16 persen atau senilai $ 422 juta disalurkan melalui lembaga multilateral seperti Global Environmental Fund (GEF) dan Climate Investment Fund (CIF) dan Montreal Protocol Multilateral Fund. Lebih dari 60 persen pendanaan iklim disalurkan dalam bentuk kredit investasi melalui lembaga pendanaan milik pemerintah AS, OPIC dan Exim Bank.

Proposal anggaran yang disusun Trump meniadakan anggaran untuk program Global Climate Change Initiative (GCCI). Program ini dibentuk di masa Obama dengan total anggaran $2.4 miliar pada 2010-2016, atau $ 330-340 juta setiap tahunnya. Melalui program ini, AS memberikan dana kepada UNFCCC, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), dukungan untuk proses internasional melalui Clean Energy Ministerial (CEM), Climate and Clean Air Coalition, dan Enhance Capacity for Low Emission Strategies (LEDS). Anggaran tersebut juga menghilangkan alokasi untuk GCF, Clean Technology Fund (CTF), Strategic Climate Fund (SCF). Total dana yang dihilangkan dari keempat inisiatif ini sebesar $1,59 miliar. Dengan demikian, pada 2018, Trump menghilangkan kontribusi AS untuk agenda perubahan iklim global dengan total $2 miliar.

Memperkuat kerjasama dan kemitraan global untuk menghadapi perubahan iklim

Keluarnya AS dari Paris Agreement memberikan ketidakpastian terhadap pencapaian target kenaikan temperatur global 2/1.5°C, dan target mobilisasi pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tanpa adanya upaya untuk menutupi kesenjangan emisi sebesar 1,5 – 1,6 GtCO2eq per tahun, target Paris Agreement bisa tidak tercapai. Paling tidak diharapkan negara-negara yang telah meratifikasi Paris Agreement untuk konsisten dengan target mitigasi dan mulai melakukan aksi mitigasi sedini mungkin, sebelum 2020.

Tahap berikutnya adalah mengkaji target penurunan emisi yang lebih ambisius sesuai dengan porsi yang adil (fair share), khususnya bagi negara-negara G-20, yang menghasilkan 70 persen emisi global. Ini artinya negara-negara tersebut harus meningkatkan ambisinya, diatas komitmen INDC/NDC, dan mempercepat pengembangan energi terbarukan dan mengurangi pembangkit batubara secara bertahap. Kajian yang dibuat oleh Climate Analytics memberikan gambaran untuk dapat mencapai target Paris Agreement, pembangkit batubara negara-negara OECD dan EU harus sepenuhnya dipensiunkan sebelum 2030, dan 2040 untuk Cina.

Dalam jangka pendek, operasionalisasi GCF dapat terkena dampak. Persetujuan proposal dan Implementasi proyek-proyek mitigasi dan adaptasi dapat terhambat karena terdapat kekurangan penerimaan $2 milyar dari total mobilisasi 10 milyar, yang berasal dari pembatalan kontribusi AS yang seharusnya berjumlah $ 3 miliar.

Berkurangnya dukungan pendanaan AS untuk sejumlah inisiatif global atau multilateral yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pengembangan energi bersih dapat mempersempit ruang-ruang untuk membuat konsensus bagi sejumlah negara kunci, diluar proses UNFCCC. Kerjasama internasional seperti Clean Energy Ministerial (CEM) yang dapat mendorong inovasi teknologi dan kebijakan untuk mendorong pengembangan energi bersih dapat melambat, jika tidak ada upaya dari negara lain untuk menutupi lubang yang ditinggalkan AS. Kerjasama bilateral antara AS dengan sejumlah negara berkembang untuk mendorong transisi pembangunan rendah karbon secara lebih cepat sepertinya akan terhenti.

Dalam situasi ini, pilihannya adalah meningkatkan solidaritas global untuk mempertegas komitmen masyarakat internasional untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Sepertinya diperlukan sebuah aliansi global baru minus AS untuk memastikan keberhasilan Paris Agreement. Negara-negara anggota G-20 dapat mengambil alih kepemimpinan global mengatasi perubahan iklim secara kolektif melalui kerjasama investasi, inovasi dan teknologi energi bersih.

Peluang ini juga dapat digunakan Indonesia, yang merupakan salah satu negara besar secara ekonomi dan emisi, untuk memperkuat diplomasi perubahan iklim global bersama-sama dengan India dan China (juga Brazil, Mexico dan Africa Selatan) membentuk “Aliansi Selatan-Selatan” untuk mendorong peran negara berkembang dalam kerjasama pendanaan, dan alih teknologi bersih, dan pelestarian hutan dan gambut. Indonesia juga dapat memperkuat kerjasama dan kemitraan dengan negara-negara kecil di Pacific, yang telah ada selama ini melalui kerjasama teknik, dengan memperluasnya ke kerjasama teknologi dan finansial untuk adaptasi perubahan iklim.

Semoga Presiden Joko Widodo memiliki visi global dan bertransformasi menjadi salah satu pemimpin dunia yang berkomitmen menyelamatkan dunia dari ancaman perubahan iklim.

Jakarta, 4 Juni 2017

Implikasi Keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement terhadap Agenda Perubahan Iklim Global (Bagian 1)

(Bagian 1 dari 2 tulisan)

Oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Trump vs. Publik AS

foto: media.salon.com

Akhirnya Donald Trump mengumumkan secara resmi Amerika Serikat (AS) keluar dari Paris Agreement. Keputusan ini mewarnai berita media cetak, media elektronik dan media sosial di seluruh dunia sepanjang akhir pekan lalu. Berbagai komentar dari pemimpin-pemimpin negara maju dan berkembang (minus komentar Presiden Joko Widodo), para tokoh politik, akademisi asal AS dan negara lain memenuhi berbagai kanal pemberitaan.

Keputusan ini tidaklah terlalu mengejutkan. Sejak masih menjadi calon Presiden AS, Trump dan para pendukungnya telah mengancam akan membatalkan keikutsertaan AS dalam kesepakatan iklim global ini. Apa yang dilakukan Trump adalah pelaksanaan janji kampanyenya.

Saat berpidato pada Kamis (1/06) lalu berkali-kali Trump mengatakan bahwa Paris Agreement merupakan kesepakatan yang buruk (bad deal) bagi AS Trump. Dia beralasan keikutsertaan AS dalam perjanjian ini berdampak terhadap daya saing ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Trump mengutip hasil kajian NERA Consulting yang mengatakan Amerika dirugikan $ 3 triliun dalam beberapa dekade mendatang, dan kehilangan 6,5 juta kesempatan kerja.

Kajian NERA sesungguhnya didanai oleh dua kelompok pro-bisnis yang anti regulasi di bidang lingkungan, American Chamber of Commerce dan American Council for Capital Formation, yang juga didukung secara finansial oleh Koch Brothers. Oleh karenanya klaim berdasarkan kajian tersebut sangat diragukan, apalagi kajian tersebut tidak memperhitungkan dampak bagi bisnis perusahaan AS dalam bidang energi terbarukan.

Keputusan Trump ini sesungguhnya bertentangan dengan pendapat mayoritas warga AS yang justru tidak menghendaki negaranya keluar dari Paris Agreement. Dalam survei yang dilakukan Harvard School of Public Health dan Politico pada April lalu, sekitar 62 persen warga AS menghendaki tetap ikut dalam Paris Agreement. Survei lain juga menemukan bahwa para pemilih AS mendukung untuk tetap ikut serta dalam Paris Agreement dengan rasio 5 berbanding 1 dengan pemilih yang tidak setuju.

Sejumlah kelompok bisnis, termasuk perusahaan-perusahaan raksasa AS yang masuk dalam Fortune 500, diantaranya Apple, Google, HP, Microsoft, Morgan Stanley, pun secara tegas mendukung agar AS tetap di Paris Agreement. Mereka beralasan hal tersebut dapat memperkuat daya saing, menciptakan lapangan kerja, pasar dan pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi risiko bisnis. Paska pengumuman Trump, sejumlah CEO perusahaan-perusahaan terkemuka AS seperti Tesla, Disney, General Electric, dan lembaga keuangan raksasa seperti Goldman Sachs, JP Morgan’s, dan Blackrock menyatakan penolakan mereka atas keputusan Trump tersebut. Bahkan CEO Tesla, Elon Musk dan CEO Disney, Bob Iger, menyatakan mundur dari dewan penasehat Presiden.

Jika mayoritas publik dan pimpinan-pimpinan bisnis raksasa AS menentang keputusan politik ini, mengapa Trump mengambil keputusan yang kontroversial tersebut? Bagi ekonom MIT, Paul Krugman, keputusan Trump menarik dari Paris Agreement tidak ada hubungannya dengan daya saing atau pekerjaan tetapi karena tidak suka dengan keputusan pemerintah Obama, “..mainly it’s about spite: Obama made deals liberal likes, so it must die.”

Dengan kata lain, Krugman bilang bahwa alasannya Trump keluar dari Paris Agreement cukup sepele, dia hanya ingin mematikan inisiatif apapun yang pernah dibuat oleh Obama. Kalau benar adanya, ironis sekali bahwa ego seseorang atau sekelompok orang mengalahkan kepentingan milyaran umat manusia dan mengancam keberlanjutan peradaban.

Partisipasi AS dalam Paris Agreement paska pengumuman Trump

Setelah pengumuman Trump, sesungguhnya tidak secara otomatis AS bisa langsung keluar sebagai party dari Paris Agreement. Sesuai dengan Paris Agreement pasal 28, pihak yang meratifikasi (party) baru dapat meninggalkan kesepakatan ini setelah tiga tahun sejak kesepakatan ini berkekuatan hukum tetap (entered into force) bagi pihak tersebut, dengan menyampaikan pemberitahuan (notifkasi) pengunduran diri. Paris Agreement memang disepakati pada 2015, tetapi baru berkekuatan hukum pada November 2016. Dengan demikian, jika konsisten dengan ketentuan di pasal 28, maka AS baru dapat keluar dengan resmi paling cepat di November 2020.

Jika AS tidak ingin menunggu selama itu, maka opsi yang tersedia adalah AS keluar dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang berkekuatan hukum tetap (entered into force) pada 1994. UNFCCC adalah perjanjian internasional dalam perubahan iklim, yang menjadi payung Paris Agreement. Dalam pidatonya, Trump tidak menyinggung AS akan keluar dari UNFCCC, tetapi dia menyatakan akan menegosiasikan ulang bagaimana AS akan bergabung kembali (reentered) dengan Paris Agreement, atau dengan kesepakatan yang sama sekali baru. Hingga kini tidak jelas bagaimana bentuk kesepakatan baru yang akan dinegosiasikan Trump.

Dalam situasi dimana AS masih tetap berada dalam Paris Agreement (sebagai party) sampai November 2020, maka delegasi AS masih dapat mengikuti negosiasi di Ad Hoc Working Group on Paris Agreement (APA). Jika AS ingin merusak kesepakatan ini, maka mungkin saja negosiator AS melakukan upaya-upaya yang mengganggu dan memperlambat proses negosiasi yang sedang berlangsung untuk mempersiapkan modalitas, prosedur dan peraturan sebagai instrumen operasionalisasi Paris Agreement. Sesuai dengan mandate APA, berbagai instrument ini harus diselesaikan pada 2018, sehingga dapat disahkan sebelum 2020.

Jika skenario ini terjadi dan kesepakatan tidak tercapai pada 2018, implementasi Paris Agreement dapat terlambat, dan menimbulkan situasi ketidakpercayaan diantara para negara pendukung Paris Agreement. Situasi ini dapat membuka kesempatan bagi pemerintah AS (dibawah Trump) untuk menawarkan kesepakatan alternatif kepada negara-negara tertentu.

Tindakan yang merendahkan produk kesepakatan global bukanlah hal baru bagi pemimpin AS yang berasal dari Republikan. Dalam konteks negosiasi perubahan iklim, AS pernah menolak meratifikasi Protokol Kyoto, setelah Bush menggantikan Clinton sebagai Presiden. Padahal AS merupakan salah satu pihak yang membidani lahirnya Protokol Kyoto (PK) di COP-3 tahun 1997. Konsekuensinya adalah AS tidak bisa ikut dalam track perundingan PK, tetapi ada sebagai party UNFCCC, dan merundingkan implementasi UNFCCC.

Tindakan pemerintah AS melalukan aksi unilateral sebagai bentuk penentangan terhadap kesepakatan global juga dilakuan. Pada 2002, pemerintah AS membuat instrumen dapat yang “menandingi” Millenium Development Goals (MDGs) yang disepakati di tahun 2000. Salah satu keberatan AS sehingga membentuk MCA adalah pendekatan target-setting yang dilakukan MDGs.

Untuk menekankan posisi mereka atas MDGs, pemerintah AS membuat Millenium Challenges Account (MCA) dan membentuk lembaga tersendiri, Millenium Challenge Corporation (MCC), untuk mengelola dana yang diberikan kepada negara-negara berkembang yang memenuhi kriteria kelayakan (eligibility criteria) yang ditetapkan pemerintah AS. Dana diberikan kepada proyek-proyek yang sesuai dengan prioritas dan kriteria lain yang ditetapkan oleh MCC.

Dari dua kasus diatas dapat dilihat bahwa AS tidak segan-segan mengabaikan atau keluar dari kesepakatan internasional dan berjalan sendiri, sepanjang kesepakatan atau perjanjian tersebut dianggap tidak sesuai dengan kepentingan AS.

(bersambung ke bagian 2)

Jakarta, 4 Juni 2017

Pencabutan Subsidi Listrik: Mahal atau Wajar?

Pencabutan subsidi listrik bagi rumah tangga golongan 900 VA telah diterapkan pemerintah. Apa implikasinya bagi konsumen?

Rumah saya di desa berlangganan listrik dengan kapasitas terpasang 900 VA. Kebutuhan listrik di rumah memang cukup dengan kapasitas segitu, tidak ada peralatan elektronik yang memakan daya besar seperti AC atau oven. Sehari-hari, yang rutin digunakan hanya penerangan, kulkas, dan televisi. Ada pompa air dan mesin cuci, yang penggunaannya kadang-kadang saja. Lampu di rumah juga kebanyakan sudah ganti lampu LED. Saya kira ini alasan terbesar Ibu tidak ikut menaikkan kapasitas ke golongan rumah tangga 1.300 VA seperti anjuran pemerintah (golongan yang tarif listriknya tidak disubsidi) karena memang konsumsinya sedikit.

Dengan berlakunya Permen ESDM No. 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik PT PLN, maka otomatis rumah saya adalah rumah yang diases ulang untuk urusan subsidi tarif. Dan seperti sudah diduga pula, rumah saya termasuk yang tidak lagi mendapatkan subsidi tarif listrik. Penyesuaian tarif ini dilakukan untuk seluruh rumah tangga golongan 900 VA yang dinilai sudah mampu. Jadi pemerintah melakukan pencabutan subsidi listrik yang selama ini dinikmati oleh 18,94 juta pelanggan berdaya 900 VA terhitung mulai 1 Januari 2017. Jumlah pelanggan golongan 900 VA yang dicabut subsidinya berkisar 82% dari total jumlah pengguna listrik 900 VA, termasuk rumah saya. Subsidi tersebut akan dicabut dalam tiga tahap, di mana tarif listrik per kilowatt-hour (KWh) setiap periodenya akan naik 33 persen.

Tagihan listrik rumah saya biasanya berkisar di angka 100 ribu rupiah per bulan, yang di bulan Maret langsung terasa kenaikannya menjadi ±150 ribu rupiah. Terang saja, tarif listrik yang sebelumnya “hanya” Rp 585/kWh kini menjadi Rp 1.032/kWh. Tarif ini akan naik lagi di bulan Mei 2017 menjadi Rp 1.352/kWh. Untungnya Ibu saya tidak lekas panik atau protes, karena sebelumnya sudah mengetahui bahwa pencabutan subsidi ini akan mempengaruhi tagihan listrik bulanan. Kemudian kami juga menyadari bahwa kami memang tidak layak untuk menerima subsidi. Barangkali harusnya kami menaikkan kapasitas listrik di rumah sehingga membayarnya juga tarif normal, namun penggunaan listrik kami juga tak terlalu besar.

Dinilai Tak Berpihak Pada Rakyat Miskin

Meskipun bertujuan menghemat anggaran dan mengalihkannya untuk membiayai listrik perdesaan, kebijakan ini menuai banyak protes dari konsumen pengguna listrik, terutama yang merasa berat dengan kenaikan tarif tersebut. Ribuan pengaduan mengenai kenaikan TDL ini masuk ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak Januari lalu. Pencabutan subsidi listrik ini juga dinilai tidak berpihak pada masyarakat kelas bawah.

Pemerintah menilai pencabutan subsidi listrik ini adalah langkah yang baik karena selama ini subsidi yang diberikan dianggap salah sasaran. Dengan pencabutan subsidi ini, diharapkan anggaran subsidi listrik di tahun 2017 bisa ditekan menjadi Rp 45 triliun, dari sebelumnya Rp 60,44 triliun di tahun 2016. Sekitar 4,1 juta rumah tangga yang dievaluasi masih berada pada golongan tidak mampu tetap mendapatkan subsidi. Dasar evaluasinya dilakukan bersama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), yang selanjutnya dilakukan verifikasi ulang oleh PLN. Evaluasi seperti ini tentunya tak kebal error, sehingga Kementerian ESDM juga membuka kesempatan pengaduan masyarakat melalui kantor kelurahan/desa atau secara online. Kerangka waktu jelasnya perlu dipublikasikan agar masyarakat bisa tahu kapan keluhan mereka akan ditanggapi. Harapannya subsidi listrik TETAP diberikan bagi mereka yang tergolong tidak mampu.

Sementara verifikasi data dan bagaimana menanggapi keluhan masyarakat kurang mampu terkait pencabutan subsidi listrik itu adalah tantangan, kita juga hendaknya mencermati mengapa pengalihan subdisi listrik itu penting.

Hingga saat ini, rasio elektrifikasi (persentase penduduk yang mendapatkan akses listrik) Pulau Jawa (dan Indonesia bagian barat) memang timpang dibandingkan Indonesia bagian timur. Citra satelit NASA yang acapkali digunakan sebagai ilustrasi ketimpangan itu memang benar adanya. Rasio elektrifikasi DKI Jakarta misalnya, sudah mencapai hampir 100%, dan rata-rata provinsi di Jawa sudah di atas 90%. Provinsi-provinsi di luar Jawa, khususnya Indonesia bagian timur, masih di bawah 70%. Tercatat lebih dari 2.500 desa di seluruh Indonesia yang masih gelap total, sama sekali belum tersentuh listrik dalam bentuk jaringan PLN atau mesin diesel. Konsumsi listrik antara Jawa dan pulau-pulau di kawasan timur Indonesia (KTI) juga menunjukkan ketimpangan yang besar. Ini artinya pemenuhan energi di Indonesia belum merata, yang salah satunya disebabkan oleh kurangnya anggaran pemerintah untuk melistriki daerah-daerah yang memiliki tantangan geografis yang cukup besar.

Pertanyaan fundamentalnya bagi saya pribadi sebagai pelanggan 900 VA adalah, bersediakah saya membayar listrik lebih mahal sehingga saudara-saudara saya di KTI bisa merasakan nikmat listrik?

Saya dan Ibu berpendapat, pertanyaan itu bisa diiyakan. Tentu saja harus ada prasyarat kepercayaan bahwa pengalihan subsidi ini akan digunakan sebagaimana mestinya, dan itulah harapan kami. Ini juga tak menihilkan harapan lain bahwa kualitas listrik bagi daerah yang sudah terlistriki akan terus ditingkatkan. Jamak kita dengar bahwa banyak daerah di Indonesia yang sering mengalami pemadaman bergilir. Berdasarkan data yang didapat dari inisiatif pemantauan kualitas pasokan listrik ESMI yang dikelola oleh IESR di Indonesia, banyak lokasi di Jabodetabek yang mengalami pemadaman atau ketidakstabilan tegangan. Permasalahan ini semakin jamak ditemui di Kupang, salah satu kota yang menjadi lokasi pilot project ESMIInilah PR lain bagi penyedia layanan listrik di Indonesia: bagaimana pemerataan kualitas dilakukan.

 

Cermati Konsumsi Listrik Sendiri

“Wah parah nih pemerintah, masa tagihan gue naik dua kali lipat dari bulan lalu,” seorang teman mendadak curhat. Saat itu saya menyempatkan bertanya mengenai kapasitas terpasang di rumahnya. Karena si teman ini tidak yakin, saya menanyakan apa saja peralatan elektronik yang ada di rumahnya. Dia menjawab ada dua AC, kulkas, mesin cuci, pompa air, oven, dan beberapa yang lain. Dengan AC yang digunakan harian, saya cukup yakin bahwa kapasitas terpasang di rumahnya pasti setidaknya 1.300 VA.

“Coba cek dulu tagihan sama penggunaannya, harusnya sih rumah elo tarifnya normal aja kagak ada pencabutan subsidi karena emang nggak disubdisi, Neng,” saya menjawab sembari memberikan ilustrasi berapa konsumsi listrik yang dipakainya di rumah dengan peralatan elektronik sebanyak itu.

Saat ini kenaikan TDL hanya terjadi pada golongan rumah tangga 900 VA yang dianggap mampu, belum ada kenaikan TDL untuk golongan lain. Jadi ketika ada yang mengeluh seperti teman saya tadi, saya memang memilih bertanya kapasitas terpasang di rumahnya berapa. Dari sana bisa diperiksa kenaikannya karena TDL yang berubah atau karena konsumsi yang naik. Bulan April kemarin cukup panas di Jakarta, barangkali itu yang menyebabkan konsumsi listrik naik, akibatnya tagihan pun naik.

Sebagai manusia modern yang selalu mencari colokan di mana pun berada (tunjuk diri sendiri), membicarakan listrik ini menarik. Sering tak kelihatan (karena tidak membayar tagihan), tapi begitu naik, langsung terasa dampaknya. Apakah kita menyadarinya, dan kemudian peduli?

Hening Marlistya Citraningrum, Program Manager for Sustainable Energy Transition di IESR.

Seri Diskusi Pojok Energi 03: Melistriki Indonesia

Pemerintah dengan persetujuan DPR telah memutuskan untuk mencabut subsidi listrik bagi 19 juta pelanggan katergori 900 VA. Apa dampak pencabutan subsidi ini terhadap anggaran pemerintah dan pembangunan lisrik di Indonesia, dan bagaimana dampaknya pula bagi masyarakat luas. Ikuti diskusi Pojok Energi yang akan berlangsung tanggal 23 Mei 2017, bertempat di Ke; Kini, Cikini Jakarta dengan narasumber :
  • Dr. Ir Andy Noorsaman (tbc), DirJen Ketenagalistikan, Kementerian ESDM
  • Tulus Abadi, Ketua YLKI
  • Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR
  • RSVP pojokenergi3.eventbrite.com

Berjalan Bersama, Lebih Jauh, Lebih Cepat: Catatan dari Sustainable Energy for All Forum 2017

“In Quebec, there are no climate change sceptics,” Pierre Arcand, politisi dari Quebec menjawab pertanyaan mengapa Quebec sangat progresif dalam mengejar efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan.

Pierre menambahkan, “Tentu pilihan politik bisa berbeda, tapi untuk urusan satu ini, semua satu suara.”

Awal April 2017, lebih dari 1.000 orang yang mewakili pemerintah, sektor swasta, organisasi sipil masyarakat, dan organisasi internasional menghadiri Sustainable Energy for All Forum di New York, Amerika Serikat. Cerita Pierre Arcand adalah satu di antara melimpahnya cerita keberhasilan dan dampak transisi energi yang dibagikan dalam forum tersebut.

Dunia memang sedang mengalami transisi energi. Era keemasan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara sudah menurun. Tak hanya karena cadangannya mulai habis, juga karena dampaknya yang tak baik pada bumi dan kesehatan manusia. Sustainable energy merupakan salah satu aspek dalam tujuan pembangunan global yang berkelanjutan, guna memastikan kebutuhan energi dunia dipenuhi dari sumber-sumber energi bersih dan terbarukan.

Dalam SE4ALL Forum ini ini, tiga tujuan energi global dibahas dalam kerangka cerita dan diskusi di lebih dari 60 sesi. Tiga tujuan itu, yaitu akses listrik, energi terbarukan, dan efisiensi energi, direfleksikan bersama untuk dilihat perkembangan yang sudah dibuat, tantangan yang muncul, dan bagaimana proyeksi ke depan untuk mengantisipasi target bersama di tahun 2030: pemenuhan akses pada energi modern, menggandakan efisiensi energi dan penggunaan energi terbarukan.

Dalam recap yang disampaikan di pembukaan forum, Rachel Kyte, CEO SE4ALL dan Special Representative of the United Nations Secretary-General for Sustainable Energy for All menggarisbawahi sebuah pernyataan “We need to move faster.” Dalam laporan 2017 Global Tracking Framework yang juga diluncurkan dalam forum, tren negara-negara di dunia menunjukkan peningkatan jumlah akses pada energi bersih untuk memasak, listrik, dan energi terbarukan, namun masih terdapat 1 miliar orang atau 1 dari setiap 7 orang di dunia yang masih hidup dalam gelap. Indonesia adalah salah satu negara high impact, di mana lebih dari 56 juta orang saat ini sudah menggunakan energi bersih untuk memasak.

Pelaku teknologi dan swasta juga banyak berbagi cerita. Teknologi energi terbarukan saat ini berkembang pesat, yang membuat biaya energi terbarukan juga menurun, misalnya harga solar PV yang turun hingga dua kali lipat sejak tahun 2012. Dengan perkembangan teknologi ini, energi terbarukan bisa menjangkau lebih banyak area, pengguna, dan menciptakan dampak yang lebih besar.

Kawasan yang menjadi fokus dalam forum ini adalah Afrika Timur, seperti Kenya dan Tanzania. Pemerintah yang terbuka pada investasi dan teknologi energi terbarukan, terutama energi sirya, serta penggunaan telepon genggang dan mobile money membuat Afrika Timur menjadi kawasan yang ramah untuk energi bersih terdesentralisasi. Faktor-faktor ini juga ditambah dengan kebijakan yang mendukung, misalnya tarif dan biaya impor yang rendah, tersedianya dukungan pendanaan lokal, dan target energi terbarukan yang jelas.

Cerita-cerita dari level akar rumput pun tak luput diangkat, seperti Ibu Niru Shresta dari Nepal yang berhasil menjual lebih dari 6.000 tungku bersih biomassa dalam 1 tahun. Sebagai salah satu penerima penghargaan ENERGIA Women Entrepreneurship Award 2017, Ibu Niru Shresta mengajak puluhan perempuan lain di sekitar tempat tinggalnya untuk peduli energi bersih dan berganti ke tungku bersih biomassa untuk memasak. Dari Indonesia, Ibu Detty sebagai peserta Program Wonder Women Kopernik memiliki cerita serupa. Sebagai ibu, istri, dan juga guru sekolah; Ibu Detty aktif berbagi mengenai pentingnya energi bersih dan dampaknya pada kesehatan dan lingkungan. Dengan berwirausaha mendistribusikan teknologi energi bersih, Ibu Detty bahagia karena melihat banyak orang merasakan dampak positifnya: keluarga dapat menghemat waktu, biaya, dan lebih sehat.

Pencapaian target energi global memang mensyaratkan kerjasama berbagai pihak. Percepatan pemenuhan energi global dengan energi bersih dan terbarukan ini juga mencakup kesetraan gender, inklusi sosial, dan pemberdayaan perempuan. Dengan berkolaborasi, kita bisa memastikan bahwa transisi energi ini memberikan dampak bagi semua orang.

Leaves no one behind. We need to move faster, further, together.

Foto kredit: SEforALL.org

Mengevaluasi Kinerja 2 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Pada 20 Oktober 2016, duet Jokowi-JK genap dua tahun lamanya dalam memimpin Republik Indonesia. Koalisi Masyarakat Sipil PWYP Indonesia menyoroti kinerja dari dua tahun pertama masa pemerintahan Jokowi-JK, khususnya dalam sektor energi dan sumberdaya mineral (ESDM). Dalam mensosialisasikan hasil evaluasi tersebut, PWYP Indonesia menyelenggarakan media briefing dengan menghadirkan Maryati Abdullah (Koordinator PWYP Indonesia), Fabby Tumiwa (Direktur IESR), dan Berly Martawardaya (Akademisi Universitas Indonesia) sebagai nara sumbernya. Media briefing tersebut diselenggarakan di kawasan Cikini pada 21 Oktober 2016.

Jokowi-JK mengusung nawacita sebagai sembilan agenda prioritas selama masa kepemimpinannya. Empat dari sembilan agenda tersebut terkait langsung dengan sektor ESDM, yaitu nawacita nomor 1, 2, 4, dan 7. Keempat agenda tersebut menghasilkan sembilan program yang terkait langsung dengan sektor ESDM. Program-program tersebut adalah:

  1. aspek regulasi, ketahanan, keamanan, dan penegakan hukum;
  2. aspek pemberantasan korupsi;
  3. aspek produksi dan penerimaan negara dari sektor SDA;
  4. bidang energi;
  5. peningkatan nilai tambah dan hilirisasi industri SDA;
  6. renegosiasi kontrak pertambangan;
  7. investasi, perdagangan dan pengembangan industri;
  8. aspek sosial: konflik dan hak masyarakat; dan
  9. aspek kelembagaan.

Komitmen pemerintah dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tercermin dalam terbentuknya Korsup Energi yang anggotanya merupakan gabungan dari masyarakat sipil dengan KPK. Selain itu, pemerintah juga melakukan penataan izin usaha pertambangan dengan melakukan, salah satunya, pencabutan izin usaha pertambangan yang bersifat non Clean and Clear. Namun, kemajuan yang tidak terlalu signifikan dalam isu renegosiasi kontrak pertambangan juga terlihat selama dua tahun terakhir ini. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya jumlah perusahaan PKP2B dan KK yang telah menandatangani amandemen Kontrak Karya sesuai amanat UU Minerba.

Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor ESDM, pemerintah melakukan upaya untuk menaikkan tingkat produksi dan jumlah investasi serta meningkatkan transparansi penerimaan. Untuk meningkatkan jumlah produksi, pemerintah mengeluarkan insentif fiskal dan juga mengembangkan teknologi Enhanced Oil Recovery. Terkait dengan upaya peningkatan investasi, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi pembangunan kilang dan infrastruktur listrik. Di samping itu, izin investasi disederhanakan hingga 60% dalam dua tahun terakhir. Namun sayangnya nilai investasi di sektor ESDM tetap saja terus menurun. Implementasi dari Extractive Industry Transparency Initiative dalam tata kelola sektor pertambangan di Indonesia pun juga dilakukan untuk meningkatkan transparansi penerimaan.

Pemerintah pun telah melakukan perubahan tata kelola dalam bidang energi selama dua tahun terakhir ini, seperti menetapkan tata niaga gas dan mengalihkan subsidi dari sektor energi ke sektor produktif lainnya. Mengenai peningkatan hilirisasi industri SDA, saat ini sudah banyak perusahaan pertambangan yang membangun pabrik smelter. Meskipun begitu, di sisi lain, pemerintah tidak menunjukkan upaya yang progresif dalam mengatasi konflik dan pemenuhan hak masyarakat.

Mengenai aspek kelembagaan, pemerintah melakukan upaya penguatan kelembagaan melalui pembentukan Direktoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Percepatan Infrastrukur Migas yang menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam mengantisipasi kebocoran penerimaan di sektor ini.

Pemanfaatan EBT dalam Listrik

Di dalam Kebijakan Energi Nasional melalui PP No. 79/2014, ditargetkan bahwa, pada tahun 2025, peran EBT adalah minimal 23% serta kapasitas pembangkit listrik adalah 115 GW. Konsekuensinya, EBT harus menjadi sumber pembangkit listrik dengan kapasitas sebesar 45 GW pada tahun 2025. Diketahui bahwa kapasitas pembangkit listrik EBT saat ini adalah 9 MW; sehingga dibutuhkan tambahan 36 MW lagi sampai akhir tahun 2025. Untuk dapat mencapai target tersebut, diharapkan ada tambahan 16 MW sampai akhir tahun 2019; sehingga terdapat total 25 GW kapasitas pembangkit listrik EBT pada 2019.

Namun, sangat disayangkan, pengembangan pembangkit listrik EBT dalam dua tahun terakhir ini tidak signifikan. Tidak ada pembangkit listrik EBT dengan kapasitas ratusan MW yang masuk ke dalam grid. Sebenarnya, ada beberapa pembangkit listrik EBT dengan skala kecil (kapasitas ratusan KW) masuk ke dalam grid, namun ini semua berasal dari proyek Kementerian ESDM sebagai bagian dari program listrik desa.

Di dalam rancangan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang akan segera disahkan oleh Jokowi melalui Perpres, kembali ditegaskan bahwa 45 GW listrik pada tahun 2025 ditargetkan berasal dari EBT. Meskipun demikian, RUPTL 2016-2025[1] memasang target yang lebih rendah untuk tambahan pemanfaatan EBT dalam penyediaan listrik, yaitu sekitar 22 GW, pada tahun 2025. Hal ini mengakibatkan total pemanfaatan EBT dalam penyediaan listrik adalah 31 GW (22+9) pada akhir tahun 2025. Dengan kata lain, PLN hanya dapat menyediakan 2/3 dari target RUEN. Oleh karena itu, pemerintah harus dapat mengakselerasi pemanfaatan EBT sebagai sumber pembangkit listrik dalam 3 tahun ke depan.

Untuk itu, pemerintah harus dapat mengatasi permasalahan yang mengakibatkan mandeknya pemanfaatan EBT dalam sumber listrik selama dua tahun terakhir ini, yaitu:


1Dokumen ini menjadi acuan oleh PLN dalam menjalankan bisnisnya.

  1. PLN tidak mau bekerja sama dengan IPP dalam pemasokan listrik EBT

Selama ini, PLN menolak untuk menandatangani Purchase Power Agreement dengan harga Feed-in Tariff (FiT) yang telah ditentukan oleh pemerintah. Menurut PLN, FiT tersebut lebih mahal daripada biaya produksi PLN ataupun harga yang PLN terima ketika PLN melakukan kontrak langsung dengan perusahaan lain (Business to Business). PLN tidak ingin menanggung kerugian dari selisih harga ini. Ketidakpastian sikap PLN ini dianggap sebagai risiko investasi yang besar oleh perusahaan penyedia listrik (IPP).

2) Tidak adanya paket regulasi insentif pemanfaatan EBT yang komprehensif, baik untuk PLN dan IPP

3) Sulit mendapatkan pendanaan untuk proyek-proyek listrik EBT

Selama ini, tidak ada kerangka regulasi perbankan yang memungkinkan adanya pinjaman-pinjaman skala kecil dan menengah untuk proyek-proyek listrik EBT sehingga proyek-proyek ini cenderung tidak dapat disetujui oleh pihak perbankan.

Listrik

Satu hal positif dari pemerintahan Jokowi-JK adalah terjadinya peningkatan rasio elektrifikasi sebesar 1,2% dari 2015 sampai Juni 2016.

Pemerintahan Jokowi-JK memiliki dua program utama: (1) meningkatkan kapasitas pembangkit listrik sehingga dapat meningkatkan tingkat konsumsi per kapita; dan (2) meningkatkan rasio elektrifikasi dari 82% pada 2014 menjadi 97% pada 2019. Strategi utama dalam menjalankan program tersebut adalah: (2) meningkatkan kapasitas pembangkit listrik dengan program 35 GW; (2) meningkatkan rasio elektrifikasi di perdesaan serta di daerah terpencil.

Namun, pada nyatanya, apa yang terjadi? (1) belum ada kemajuan yang substansial dari pelaksanaan program 35 GW; (2) tidak seluruh pembangkit listrik beroperasi, bahkan masih ada beberapa pembangkit listrik yang mengalam krisis; (3) tingginya jumlah investasi yang dibutuhkan untuk pembangkit, listrik, transmisi dan distribusi, yaitu hampir Rp 2.000 T untuk 10 tahun mendatang.

Untuk mencapai akses listrik universal, pilihan penyediaan listrik dengan skema off-grid patut dipertimbangkan mengingat tidak semua daerah listrik bisa dijangkau dengan skema on-grid. Dalam penyediaan listrik dengan skema on-grid, institutional arrangement menjadi penting selain isu teknis. Pihak lokal harus dilibatkan dalam proses perawatan dan monitoring secara berkala.

Mineral

Dalam perjalanannya mengelola mineral, sudah sepatutnya Indonesia memiliki perusahan mineral skala dunia. Hal ini penting mengingat sifat mineral yang tidak terbarukan.

Rekomendasi

Secara umum, untuk ke depannya, dalam rangka mencapai target-target yang telah tertuang dalam dokumen-dokumen perencanaan seperti RPJMN, RUEN, dan lain sebagainya, pemerintah harus konsistensi dalam pembuatan regulasi, konsistensi dalam pelaksanaan regulasi, serta konsistensi dalam kaitannya dengan pencapaian target.[1] Dokumen ini menjadi acuan oleh PLN dalam menjalankan bisnisnya.